Disclaimer : Naruto © Masashi Kishimoto

Warning: OOC, typo(s), shonen-ai, AU!

.

.

"Two Legendary Artists' Love Story"s Last Chapter!

~A New Beginning~

.

.

Wahai kalian dua insan yang terpisah oleh maut, ikuti benang merah takdir kalian dan temukan sebuah jalan baru...

...menuju keabadian yang sempurna.

.

.

Hari yang cerah di Kota Tokyo, Sang Surya tengah memancarkan sinarnya dari di langit biru yang cerah tak berawan. Hiruk-pikuk orang-orang berlalu-lalang di dalam kota menambah kepadatan kota dengan penduduk yang cukup banyak tersebut.

Di salah satu bagian terdalam kota Tokyo, terlihat seorang laki-laki berambut pirang panjang yang tengah berlari-lari menerobos keramaian kota Tokyo di siang yang merupakan jam makan siang—yang jelas saja membuat Ibu Kota Jepang tersebut begitu padat dan ramai. Dengan memeluk erat sebuah bungkusan di dadanya, ia menggumamkan kata 'maaf' beberapa kali kepada orang-orang yang tak sengaja ditabraknya.

Saat ia telah berhasil melewati titik terpadat kota Tokyo, ia segera melirik arloji yang melinggar di pergelangan tangannya. Setelah mengucapkan beberapa deret kalimat umpatan atas keterlambatannya, ia segera berlari ke tempat yang ia tuju.

Dengan napas terengah-engah, lelaki tersebut memasuki sebuah gedung tinggi dan segera berlari ke lantai dua dengan tangga darurat tanpa berpikir untuk menggunakan lift yang telah disediakan di dalam gedung tersebut.

"Semoga mereka belum lama menunggu," gumamnya pada diri sendiri ketika ia menginjakkan kakinya pada anak tangga terakhir yang menandakan bahwa dirinya kini sudah berada di lantai dua. Bergegas ia menuju sebuah ruangan pintu yang terletak tak jauh dari tangga.

Brak!

Pemuda itu membanting pintu dengan kasar tanpa mengetuknya terlebih dahulu. Bunyi bantingan pintu membuat semua orang yang tengah duduk di dalamnya menoleh ke arah lelaki berambut pirang yang kini mencoba untuk mengatur napasnya.

"Deidara, kau terlambat lagi," ujar salah satu dari orang-orang di dalam ruangan tersebut.

"Maaf...un," ucap pemuda berambut pirang tersebut dengan napas pendek-pendek, seraya mengusap peluh yang menetes dari pelipisnya menggunakan punggung tangannya.

"Ah, tidak apa-apa. Yang penting kau membawa hasil karyamu, 'kan? Jangan katakan kau lupa membawanya karena terburu-buru?" tanya seorang gadis berambut biru keunguan yang tangannya masih sibuk melipat-lipat sebuah kertas berwarna hingga berbentuk sesuai dengan yang ia kehendaki.

"Mana mungkin aku lupa, un?" ucap Deidara seraya masuk ke dalam ruangan yang cukup luas tersebut. Ia meletakkan bungkusan—yang sedari tadi ia peluk—di atas meja kemudian mengeluarkan isinya. "Semalam aku hampir tidak tidur untuk menyelesaikan karya ini. Karena itu tadi pagi aku bangun kesiangan dan...yah, aku terlambat," lanjutnya santai.

Dua buah patung tanah liat berwarna putih ia letakkan di atas meja. Bibirnya menyunggingkan sebuah senyum bangga atas hasil karyanya. Rekan-rekannya yang lain segera meninggalkan karya seni mereka masing-masing untuk merapat ke arah Deidara agar mereka dapat melihat hasil karya Deidara secara langsung.

"Wah, ini bagus Dei-nii," puji salah satu dari mereka—seorang perempuan berambut hitam dengan rambut yang sangat pendek menyerupai gaya rambut seorang laki-laki.

"Kurasa kau memang memiliki selera yang bagus dalam menilai sesuatu yang berbau seni, Kurotsuchi, un." Deidara balas memuji karena merupakan sebuah kebanggaan yang luar biasa baginya saat orang lain memuji hasil karyanya.

Perempuan berambut biru yang tadi sibuk dengan Origami di tangannya, kini mengangguk-anggukkan kepalanya pelan seraya bergumam dan mengelus dagunya dengan jemari tangannya. "Um, kau memang pandai memahat dan mengukir dari tanah liat, Dei. Tapi...boleh aku menanyakan sesuatu?"

Deidara mengangguk antusias.

Konan menggunakan salah jari telunjuk tangan kanannya untuk menyentuh karya seni yang telah Deidara buat. Perempuan itu bergumam mengagumi pahatan dan ukiran yang begitu detail di tanah liat yang masih sedikit lembab tersebut.

"Kenapa kalajengking dan burung?" tanya Konan seraya mendongak menatap Deidara dari tempat duduknya.

Deidara berkedip mendengar pertanyaan Konan yang sama sekali tak disangka olehnya. Mata biru Azure-nya melirik ke pahatan tanah liat berbentuk kalajengking dan burung yang berdiri dengan kokoh di atas meja. "Tidak tahu," sahutnya ragu. "Kenapa kau menanyakan hal seperti itu, Konan?"

Konan mengangkat bahunya sesaat. "Aku hanya penasaran. Karena kurasa kalajengking dan burung adalah dua hewan yang sepertinya tak akan pernah akur. Maksudku, mereka benar-benar berbeda. Burung—ini burung kenari, 'kan?" Saat Konan mendapat jawaban berupa anggukan dari Deidara, ia melanjutkan kalimatnya. "Burung kenari dan kalajengking hidup di tempat yang berbeda. Aku hanya penasaran kenapa kau bisa terinspirasi dari dua hewan yang sama sekali tidak berkerabat."

"Terkadang seorang seniman tak memerlukan sebuah alasan dalam menciptakan sebuah karya seni. Bukan begitu, Deidara-san?" tanya seorang laki-laki berkulit pucat yang sibuk menyempurnakan lukisannya dengan menggunakan sebuah kuas yang terlapisi cat.

Menyeringai tipis, Deidara mengangguk. "Kau benar, Sai."

Konan memutar kedua bola matanya. "Ah, sudahlah. Lupakan saja." Kemudian perempuan itu menghela napas panjang. "Aku bahkan masih heran kenapa aku bisa memilih jurusan seni yang dipenuhi oleh orang-orang aneh seperti kalian."

Tawa pelan dan tawa kecil menyahuti kalimat yang dikatakan oleh perempuan berambut pendek sebahu tersebut.

"Hey! Jika kau tidak aneh, kau belum bisa disebut seorang seniman, un!" seru Deidara diiringi dengan tawa geli.

Menghela napas sekali lagi, Konan berdiri dari tempat duduknya. Sekilas ia menatap isi ruangan yang dipenuhi dengan alat-alat kesenian, seperti kanvas, kuas, cat, kertas, tanah liat, kayu, dan sebagainya. Ruangan yang cukup luas itu memang ruangan khusus untuk segala kegiatan yang berbau seni. Ruangan tersebut pada umumnya digunakan oleh mahasiswa-mahasiswi yang memilih jurusan seni di Universitas tersebut dalam menuangkan ide-ide di kepala mereka menjadi sebuah karya seni yang setiap tahunnya akan mereka pamerkan dalam sebuah pameran kesenian agar bisa dinikmati oleh khalayak umum.

"Sudah hampir jam tiga sore. Sepertinya kita harus segera berangkat jika tidak ingin ketinggalan acara pembukaan pameran kesenian terbesar di Tokyo," ujar Konan seraya membereskan barang-barangnya ke dalam tas. Tak lupa ia mengumpulkan origami buatannya untuk ia sumbangkan pada pameran kesenian yang akan mereka kunjungi nanti.

Teman-temannya yang lain mengangguk antusias dan segera berkemas-kemas. Mereka merapikan karya seni yang akan mereka bawa ke acara pameran kesenian yang sudah mereka tunggu selama berbulan-bulan. Setiap tahunnya di salah satu museum di Tokyo, diselenggarakan sebuah pameran kesenian yang sangat besar. Dalam pameran tersebut, semua seniman dari seluruh dunia boleh menyumbangkan hasil karya mereka agar dapat dinikmati oleh pengunjung. Deidara dan rekan-rekannya begitu antusias untuk mengunjungi dan menyumbangkan karya seni mereka ke pameran besar tersebut.

.

.

.

"Hey, kudengar pameran kesenian tahun ini diselenggarakan oleh seorang laki-laki yang masih muda."

"Ah, aku juga mendengar kabar itu. Mereka mengatakan laki-laki ini sangat tampan. Usianya masih dua puluhan. Sulit dipercaya."

"Di usia dua puluh tahunan ia sudah bisa menyelenggarakan pameran sebesar ini? Pameran yang sangat diburu para seniman di seluruh Jepang bahkan dunia? Mengagumkan!"

Deidara dan beberapa orang temannya yang baru saja tiba di museum tempat di mana pameran kesenian berlangsung, tak sengaja mendengarkan pembicaraan para pengunjung dan terkagum-kagum pada penyelenggara acara ini.

Mau tak mau, Deidara dan kawan-kawannya menjadi penasaran akan penyelenggara acara yang dielu-elukan oleh para pengunjung. Tanpa disadari, mata mereka mengamati sekeliling dengan penasaran.

Museum tempat mereka berada saat ini memiliki hawa yang sejuk meskipun padat oleh pengunjung, mungkin karena banyaknya Air Conditioner yang terpasang di gedung besar tersebut. Gedung bernuansa putih bergaya Eropa dengan desain yang minimalis namun terkesan sangat elegan itu terlihat begitu luas dan menjulang tinggi. Hampir seluruh permukaan dinding ditutupi oleh lukisan-lukisan berbagai jenis dan ukuran.

Deidara hanya mampu berdecak kagum melihat museum terbesar yang pernah ia kunjungi.

Seandainya aku bisa memenuhi museum ini dengan karya seniku, Deidara berangan-angan dalam hati.

Suara di sekitar Deidara kini berubah menjadi pekikan tertahan para pengunjung wanita, dan bisikan dari para pengunjung pria. Perubahan yang tiba-tiba itu membuat Deidara berhenti mengagumi museum besar tersebut untuk menoleh ke arah panggung.

Di panggung besar yang didekorasi dengan gaya campuran antara Eropa dan Jepang tersebut kini berdiri seorang pemuda berambut merah yang mengenakan tuxedo hitam. Penampilannya yang begitu resmi dan elegan membuat Deidara dapat menebak siapa pemuda itu.

"Selama siang hadirin sekalian."

Suara yang rendah dan tenang membuat darah Deidara berdesir tanpa ia sadari. Suara tersebut terdengar tak asing, seperti Deidara sudah pernah—bahkan sering—mendengarnya.

"Terima kasih atas waktu yang kalian luangkan untuk mengunjungi pameran kesenian yang tahun ini diketuai oleh saya sendiri, Sasori."

Riuh tepuk tangan para pengunjung menyambut ucapan terima kasih dari seorang seniman yang harum namanya sudah tersebar di seluruh Jepang. Di usianya yang masih muda, ia sudah berhasil meniti karirnya di dunia seni sehingga namanya sudah tak asing lagi bagi para pecinta seni di Jepang.

Tak seperti pengunjung lain yang bertepuk tangan dengan meriah, Deidara hanya terdiam menatap sosok laki-laki tampan yang berdiri di atas panggung. Entah mengapa, ia sama sekali tak ingin berhenti menatap Sasori, berkedip pun ia tak ingin.

"Pada hari ini batin kita para pecinta seni akan dipuaskan oleh karya seni para seniman di seluruh Jepang, bahkan tak sedikit yang berasal dari luar Jepang. Pada kesempatan kali ini para seniman bisa saling bertemu dan bertukar pikiran, bahkan pandangan mereka terhadap seni. Dan para pengunjung bisa menikmati karya seni terbaik dari para seniman," ujar Sasori seraya tersenyum simpul.

Sambutannya berlanjut dengan bahasa Inggris agar seniman dan pengunjung yang berasal dari luar Jepang bisa mengerti apa yang tengah ia sampaikan. Para pengunjung berdecak kagum, pasalnya Sasori yang merupakan keturunan asli Jepang itu dapat berbicara bahasa Inggris dengan sangat fasih. Selanjutnya pun ia melanjutkan sambutannya dengan dua bahasa.

Senyum simpul dan tatapan hangat yang ia tunjukkan berhasil membuat para pengunjung tak henti-henti menatapnya.

"Sekian beberapa patah kata yang bisa saya berikan. Thank you for your attention and participation."

Riuh tepuk tangan pengunjung menemani turunnya seniman muda itu dari panggung. Sesaat setelah ia turun, beberapa orang segera menghampirinya untuk dapat berbicara langsung dengannya.

"Hebat sekali, un. Masih muda tapi sudah menjadi seniman yang sukses dan terkenal," gumam Deidara yang masih berdiri di tempatnya, menatap Sasori dengan kagum. Di saat pengunjung yang lain mulai berpencar untuk memanjakan mata mereka dengan keindahan karya seni yang dipamerkan, Deidara, Konan, Kurotsuchi dan Sai masih berdiri di tempat mereka.

"Sasori terkenal dengan karya seninya yang berupa boneka kayu. Ia bisa membuat boneka kayu yang bentuknya sama persis seperti manusia. Beberapa pejabat bahkan memintanya untuk membuat replika diri mereka dalam bentuk boneka kayu—dengan bayaran yang besar tentu saja—karena replika dengan patung lilin sudah sangat biasa. Sepertinya keahliannya dalam memahat kayu memang sudah ia miliki sejak ia lahir. Bakat alami, kau tahu?" Papar Konan panjang lebar menjelaskan segala informasi yang ia ketahui tentang Sasori.

Deidara hanya mengangguk-angguk mengerti karena walaupun ia sudah sering mendengar nama Sasori di media massa, Deidara sama sekali tak mengetahui informasi mengenai seniman muda itu. Hari ini adalah kali pertama ia melihat Sasori secara langsung, mendengar suaranya secara langsung, dan mendapat informasi tentangnya.

"Kudengar di pameran ini ia memamerkan sebuah karya seni yang telah diturunkan dari leluhurnya." Ucapan Kurotsuchi berhasil menarik perhatian tiga orang temannya.

"Benarkah? Karya seni seperti apa?" tanya Konan antusias.

"Diturunkan dari leluhurnya? Karya seni yang diwariskan turun-temurun?" Sai ikut bertanya.

Kurotsuchi mengangguk. "Aku tidak tahu karya seni yang seperti apa, tapi karya seni itu disimpan di ruangan itu," ujar Kurotsuchi seraya menunjuk sebuah ruangan di dekat panggung yang tertutup oleh tirai berwarna merah. Disana terlihat jelas para pengunjung tengah memasuki ruangan tersebut karena ingin melihat karya seni apa yang dimaksud di media massa. "Sebaiknya kita melihatnya nanti saja. Masih ramai sekali di sana."

Konan mengangguk menyetujui. "Lebih baik sekarang kita berikan hasil jerih payah kita kepada panitia untuk dipamerkan!"

Ketiga temannya mengangguk kemudian pergi mencari salah satu panitia untuk memberikan karya seni mereka.

.

.

Tak terasa sudah tiga jam mereka berada di dalam museum besar tersebut, tenggelam dalam kekaguman akan indahnya karya seni para seniman. Mulai dari lukisan yang sangat artistik dari seniman yang juga terkenal di Jepang, sampai koleksi boneka kayu milik Sasori, semuanya benar-benar memiliki nilai seni yang tinggi.

Tetapi rupanya ada sesuatu yang membuat Deidara risih. Sedari tadi orang-orang berbisik dengan kawan-kawannya seraya meliriknya dengan tatapan heran. Tak sedikit yang memperhatikan wajah Deidara lekat-lekat seolah tengah memastikan sesuatu. Sikap dari para pengunjung itu membuat Deidara gerah, karena itu—tanpa memberitahu teman-temannya yang masih sibuk—ia pergi ke ruangan yang paling diburu oleh pengunjung pameran seni tersebut.

Setibanya di dalam, Deidara merasa sedikit lega karena rupanya tak ada satu pun pengunjung di dalam ruangan itu selain dirinya. Sepertinya semua pengunjung tengah sibuk menikmati karya seni yang lain di luar sana. Tersenyum tipis, Deidara mencari-cari objek seni yang dikatakan oleh Kurotsuchi.

Dari kejauhan—mengingat ruangan tersebut cukup luas—Deidara dapat melihat beberapa boneka terpajang di dinding yang berhadapan dengan pintu masuk. Kedua alisnya bertaut saat melihat sesuatu yang janggal dari boneka kayu tersebut.

Semakin dekat jarak Deidara dari boneka kayu yang terpajang, semakin melebar mata Deidara dibuatnya. Hingga akhirnya, karena keterkejutannya, Deidara benar-benar menghentikan langkahnya. Matanya menatap tak percaya pada apa yang disuguhkan di hadapannya.

"Ini...bukankah—tidak mungkin," bisiknya.

Di hadapannya kini terpajang empat buah boneka kayu yang terpahat dengan begitu sempurna, namun terlihat seperti sebuah karya yang sudah sangat lama, tua, walau masih tetap indah. Dua boneka kayu yang berada di sisi kanan dan kiri adalah dua boneka berbentuk orang dewasa, satu laki-laki dan satu perempuan. Boneka laki-laki di sebelah kanan memiliki warna rambut merah gelap, sedangkan boneka perempuan di sebelah kiri memiliki rambut cokelat tua panjang sepunggung.

Di sebelah boneka berambut merah itu, terdapat satu lagi boneka yang berambut merah juga, hanya saja bentuk tubuh dan wajahnya terlihat jauh lebih muda. Warna matanya cokelat Hazel—warna yang hangat dan menenangkan. Namun yang membuat Deidara berdiri mematung, diam, dan kehilangan kata-kata adalah boneka yang berada di sebelah boneka berambut merah bermata Hazel tadi. Jemari kedua boneka itu saling terhubung, saling menggenggam, bertaut erat.

Boneka tersebut memiliki rambut pirang panjang sepunggung, sebagaian diikat tinggi di atas kepalanya, sebagian tergerai di punggungnya, dan sisanya menutupi wajah kirinya. Mata kanan boneka berambut pirang tersebut berwarna biru secerah langit dan sedalam samudera—biru Azure.

"Kau menyukainya?"

Deidara tersentak saat suara yang tenang dan dalam tertangkap oleh indera pendengarannya. Segera ia menoleh ke belakang, terkejut mendapati Sasori tengah berdiri di dekatnya.

Kedua mata Sasori melebar saat melihat wajah Deidara dengan jelas. Saat ia memasuki ruangan tadi, yang ia dapati adalah seorang berambut pirang tengah menatap empat boneka yang paling berharga bagi Sasori. Tapi saat melihat langsung wajah dari laki-laki berambut pirang tersebut, Sasori terkejut bukan main.

Mata cokelatnya melirik salah satu dari empat boneka yang terpajang di ruangan khusus tersebut. Kemudian ia kembali mengembalikan tatapannya pada salah satu pengunjungnya yang entah mengapa memiliki perawakan yang sama dengan boneka berambut pirang tersebut.

"Boneka itu terlihat sepertiku, un," ujar Deidara.

Sasori mengangguk ragu. Dahinya berkerut karena rasa heran. "Keempat boneka ini diciptakan ratusan tahun yang lalu. Aku tidak mengerti mengapa salah satu dari mereka terlihat sama persis sepertiku. Dan hari ini, aku semakin tak mengerti mengapa salah satu dari mereka terlihat sama persis sepertimu."

Tatapan mata mereka terhubung oleh sebuah garis tak tampak.

"Setelah kau mengatakannya, entah mengapa, kau jadi terlihat tak asing bagiku, un," ujar Deidara, masih menerka-nerka misteri apa yang sebenarnya menyelimuti mereka berdua.

Sasori terdiam sesaat, kemudian bertanya, "Apa kita pernah bertemu sebelumnya?"

Mereka berdua terdiam sejenak. Larut dan tenggelam dalam mata satu sama lain. Iris biru yang tenang, jernih, dan sedalam samudera mampu mengenggelamkan alam sadar Sasori. Sedangkan iris cokelat yang tenang, dan menawarkan kehangatan itu menghipnosis Deidara untuk terus menatapnya.

Tanpa Sasori sadari sama sekali, jemari tangan kanannya perlahan menelurusi helaian pirang keemasan yang terasa begitu lembut menyelip diantara jemarinya.

Mereka berdua tertegun.

Ini perasaan yang tidak asing.

"Sasori," ujar Sasori yang tanpa sadar memperkenalkan dirinya kepada salah satu pengunjung yang tentu saja sudah mengetahui namanya jika mendengarkan sambutannya tadi.

"Deidara, un." Deidara balas memperkenalkan dirinya.

"Deidara..." Sasori berbisik memanggil nama Deidara dengan nada yang mengalun indah di telinga Deidara, mengirim sebuah sensasi yang membuat jantungnya berdebar. "Namamu terdengar tak asing."

Deidara terdiam sesaat, memperhatikan Sasori yang semakin lama terlihat semakin tak asing baginya. Seperti mereka pernah bertemu sebelumnya. Seolah mereka sudah saling mengenal dengan baik sebelumnya.

"Danna."

Sebuah kata yang tak sengaja Deidara ucapkan, membuat mereka berdua tertegun. Deidara tak mengerti mengapa ia tiba-tiba saja mengucapkan sebuah kata yang sudah jarang digunakan oleh masyarakat Jepang saat ini. Sebuah kata yang berarti 'tuan', namun di dalam kehidupan rumah tangga, kata itu berarti 'suami'.

Yang lebih mengherankan bagi Deidara adalah...

...kata itu terasa begitu akrab dilidahnya.

Sasori pun merasa demikian. Ia merasa seseorang sering memanggilnya dengan kata 'Danna'. Panggilan itu terasa sangat akrab di pendengarannya, meski pun sebenarnya kali ini adalah kali pertama ia mendengar kata tersebut. Masyarakat Jepang, terutama di perkotaan seperti Tokyo ini, sudah jarang sekali menggunakan kata yang terkesan tradisional tersebut.

Setelah cukup lama keheningan menyelimuti mereka berdua, tawa pelan Deidara berhasil mengusir keheningan itu.

"Baiklah un, ini aneh. Kita baru pertama kali bertemu lalu merasa sudah saling mengenal. Dan dua boneka itu bentuknya benar-benar menyerupai kita berdua, un. Ini aneh sekali," ujar Deidara seraya menggaruk bagian belakang kepalanya, berusaha bersikap seolah-olah dirinya tak terlalu mengambil pusing atas kejadian membingungkan yang menimpanya.

Tatapan Sasori melembut. "Kau benar," ucapnya, tersenyum simpul.

"Kalau begitu izinkan aku memperkenalkan diriku, un." Deidara mengulurkan tangan kanannya kepada Sasori. "Namaku Deidara. Aku adalah seorang mahasiswa yang sangat mencintai seni. Suatu hari nanti aku ingin menjadi seorang seniman yang terkenal sepertimu, seorang seniman yang menginspirasi dengan prinsip seni yang berbeda dari kebanyakan orang."

"Prinsip seni yang berbeda?" tanya Sasori.

Deidara mengangguk. "Seni adalah keindahan sesaat. Sebuah keindahan yang hanya bisa dinikmati dalam waktu beberapa detik, kemudian lenyap hancur tak bersisa dan hanya akan menyisakan kenangan di pikiran penyaksinya."

Sasori mengerutkan dahinya sebelum menyeringai tipis. Dibalasnya uluran tangan Deidara. "Namaku Sasori. Seorang seniman yang sangat tidak setuju dengan prinsip senimu, Deidara. Seni adalah keindahan abadi yang tak akan pernah lekang oleh waktu, sehingga penikmatnya bisa terus menikmati keindahan itu."

Deidara menyeringai. "Pendapat yang bagus, un. Tapi seni sesungguhnya tidaklah demikian."

Sasori menggelengkan kepalanya. Seringaian tipis di bibirnya perlahan berubah menjadi senyuman. Ia menunjuk empat boneka kayu yang sedari tadi menyaksikan mereka berdua.

"Seperti inilah seni yang sesungguhnya. Diciptakan ratusan atau mungkin ribuan tahun yang lalu, tetapi keindahannya masih bisa dinikmati hingga saat ini. Aku tidak tahu apa yang terjadi pada saat itu, tetapi seni akan mempertemukan dan mempersatukan kepingan-kepingan yang tertelan oleh ruang dan waktu."

Deidara tertegun namun akhirnya tersenyum.

"Kau benar, Danna. Kali ini kau benar."

Alam bawah sadar mereka mengatakan sebentar lagi mereka akan memulai sesuatu yang baru. Menulis sejarah dalam sebuah buku dengan halaman yang masih kosong.

Bersama, mereka akan menulis sebuah cerita baru di lembaran yang baru.

.

.

Saatnya meniti masa depan yang kita impikan.

Bersamamu, aku akan buktikan keabadian bukanlah sebuah omong kosong.

Bersamamu, aku membuka sebuah lembaran baru,

dan menulis perjalanan baru kita.

Hey, Deidara,

"Aku sudah menemukanmu."

.

.

OWARI

.

.

Tepat saat perdebatan mereka menemukan sebuah titik temu, seorang anak laki-laki berlari ke arah mereka.

"Tou-san!"

Sasori dan Deidara menoleh untuk mendapati seorang anak laki-laki berambut merah yang berusia tak lebih dari lima tahun tengah berlari ke arah mereka. Dahi mereka berkerut, pertanda mereka tak memiliki bayangan tentang siapa anak yang memiliki warna rambut sama dengan Sasori dan warna mata sama dengan Deidara.

"Saso-tousan!" Anak itu meraih tangan Sasori dengan tangan kirinya. Kemudian meraih tangan Deidara dengan tangan kanannya. "Dei-tousan!"

Sasori dan Deidara berkedip bingung.

"Senang bisa bertemu dengan kalian lagi," ujar anak itu seraya tersenyum lebar.

Mata Sasori dan Deidara melebar.

"Perkenalkan, namaku adalah Akasuna."

.

.

.

END!

Huwaah akhirnya selesai juga fanfic yang perlu perjuangan keras untuk membuatnya. Dengan segala halangan dan rintangan, hujan dan badai yang menerpa, akhirnya fanfic ini bisa saya selesaikan.

Akhirnya saya selesaikan tantangan yang saya buat untuk diri saya sendiri! Publish 1 chapter setiap hari di bulan Februari. Yay~!

Ini fic terpanjang dengan chapter terbanyak yang pernah saya buat. Saya dedikasikan fanfic ini khusus untuk 2nd SasoDei Month! Keep romantic SasoDei!
Oke, saya mau curcol panjang lebar nih ya. Di skip aja gak apa2 kok, hoho.

Pertama, di sela-sela kesibukan saya di kampus (seharian penuh di kampus) setiap malam -sekitar jam 10- saya pasti menulis satu chapter yang harus di publish untuk hari itu. Ini benar-benar menguras tenaga, emosi, dan pikiran. Karena itu beberapa chapter terakhir ini saya publish-nya selalu tengah malam (jam 12 atau kurang), jadi harap maklumi diksi saya yang kacau, alur berantakan, typos, dan segala kekurangan lainnya.

Kedua, tentang cerita. Di chapter2 sebelumnya saya sudah memberi tahu alasan mengapa Sasori memutuskan untuk membiarkan dirinya terbunuh. Jadi jangan berpikiran 'Sasori bunuh diri karena gak sayang Deidara', oke? Jadilah reloves yang baik, heheh. Dan tentang epilog yang ada Akasuna itu, anggap saja itu sebagai pelengkap ya.

Dan kenapa saya memilih kalimat "Aku sudah menemukanmu" sebagai ending? Yak! Itu karena kalimat terakhir Sasori (dari hati ke hati) ke Deidara itu adalah "Aku akan menemukanmu." Maksud Sasori itu, aku akan menemukanmu di kehidupan yang selanjutnya. Dan akhirnya Sasori berhasil menemukan Deidara~

Special thanks to :

yuichi, Cherry, akasuna deidara, dan titan-miauw

yang selalu muncul di kolom review saya. Review kalian membangkitkan semangat saya untuk tetap melanjutkan fic ini sampai selesai. Makasi banyak temen-temen *hug*. Makasi juga buat reviewer lain, dan silent reader yang sudah menyempatkan diri untuk membaca fic ini.

Akhir kata, saya mohon maaf atas segala kekurangan di fic ini, dan terimakasih sudah mau membaca.

HAPPY 2ND SASODEI MONTH~!

28 Februari 2014,

With love,

Cerulean Canary