Ich Liebe Dich

Rate/Genre: M/Romance, Hurt/Comfort

Disclaimer: Naruto is Kishimoto Sensei's

Pairing: SasuNaru

A/N: Rated M for sure. But, not at first chapter. Ficnya mungkin OOC, masih shounen-ai, yaoinya ada dipertengahan Chapter.

Oh ya, mungkin bakal jadi harem! Naru ya, heuhehehe..

Yang gak suka, ya gak usah baca XD

Happy Reading.


Chapter 1

Hari ini adalah hari pertama keberangkatan Naruto ke Paris. Dua hari sebelumnya, ketika ia masih di Jepang, ia dilepas oleh keluarga, teman-teman, sanak saudara, dan keponakan-keponakannya. Yang paling berat melepas kepergiannya adalah Kushina—Ibu Naruto, wanita bersurai merah tomat itu tak tega harus merelakan anak semata wayangnya berkelana di negara yang terkenal dengan Menara Eiffelnya itu seorang diri.

Namun, setelah Naruto meyakinkan sang bunda, bahwa ia akan baik-baik saja disana dan berjanji akan terus mengabari keluarganya, Kushina terdiam. Well, Naruto sudah berumur 25 tahun. Tentu saja ia bisa menjaga dirinya sendiri diusianya yang terbilang matang ini.

"—Tentu saja-ttebayo! Eh, sudah dulu ya, bu, aku harus berangkat sekarang. Nanti aku kabari lagi. Sampai jumpa!" kata Naruto mengakhiri percakapannya dengan Kushina, seraya menutup ponsel birunya. Ia berjalan mendorong troli—yang penuh dengan barang bawaannya, menuju pintu keberangkatan untuk melakukan check-in.

Naruto tak pernah menyangka, jika suasana di bandara akan seramai ini. Pemuda blonde itu sedikit gugup, ini adalah pertama kalinya ia berangkat keluar negeri.

Naruto berjalan memasuki awak pesawat—tentunya setelah diperiksa oleh petugas. Ugh, ternyata sama saja, didalam pesawat pun ramainya minta ampun. Ditatapnya lembaran tiket untuk masuk kedalam pesawatnya, disana tertera nama dan nomor kursi yang nantinya akan Naruto duduki.

"Nomor 29." gumam Naruto. Ia mengedarkan pandangannya keseluruh kursi yang ada diawak pesawat. "Yatta!" seru Naruto ketika menemukan kursi dengan nomor 29 yang ada di baris ketiga—disebelah pemuda raven.

Setelah meletakkan tasnya di bagasi kabin yang berada diatas, Naruto menyamankan dirinya di kursi dengan ukiran angka 29 itu, ia memperhatikan pemuda yang duduk disebelahnya—di kursi nomor 30 yang sedang asyik mendengarkan musik dengan headphonenya.

Pemuda itu terlihat masih sangat muda, kulitnya berwarna putih pucat, gaya rambutnya seperti pantat ayam, memakai pakaian santai namun tetap terlihat menawan, wajahnya datar, umurnya mungkin sekitar 17 atau 18tahunan—hanya sebuah prediksi dari sang Uzumaki.

Merasa ditatap, pemuda itu menoleh kearah Naruto. Kedua iris berbeda warna itu pun bertemu.

Onyx bertemu dengan Sapphire.

"Attention for all the passengers who were on the plane, please immediately put your seat belt for safety when flying. Thank you."

Keduanya terdiam dalam keheningan yang cukup lama, masih saling menatap. Naruto ingin sekali menyudahi acara tatap-tatapan bodoh ini, namun susah rasanya untuk melepaskan pandangannya dari mata hitam kelam itu. Rasanya, seperti ada magnet yang menariknya untuk terus menatap mata itu.

"Permisi, mohon maaf, tolong kenakan sabuk pengaman anda."

Ah, beruntungnya Naruto, berkat pramugari cantik yang menghampirinya, ia bisa terlepas dari scene tatap-tatapan tadi. Ia pun menggunakan sabuk pengamannya.

"Salah." Pemuda berkulit tan itu menoleh ke arah sumber suara—eh, itu pemuda yang tadi, terlihat sedang menatapnya datar.

"Caramu memakai sabuk salah, Dobe."

"Eh?" Naruto melirik kearah sabuk yang dikenakan pemuda itu, lalu melirik kembali sabuk yang dikenakannya—terbalik. Buru-buru, ia memperbaiki kesalahan bodohnya, "T-Terimakasih."

"Hn." balas pemuda itu singkat.

"Etto, kau juga mau pergi ke Paris?" tanya Naruto.

"Hn."

"Hanya sendirian?"

"Hn."

CTAK.

Ada perempatan jalan di kepala Naruto, dahinya berkedut-kedut. Ia lebih memilih untuk tak bertanya lagi, niat baiknya untuk berkenalan melayang sudah, ia tak suka dengan respon pemuda disebelahnya. Benar-benar tak sopan.

Namun, Naruto tak ingin menanggapi pemuda itu dengan serius. Masih ada hal penting yang harus dipikirkan; yaitu impian yang sebentar lagi akan segera tercapai.

"Attention for all the passengers in the plane, five minutes again, will be taken off air. Please check back for your seat belt. Thank you"

—Impian untuk menjadi seorang Chef terkenal, sebentar lagi akan segera terwujud.

.

.

"Naruto, apa kamu yakin akan pergi ke Paris sendirian? Tidakkah kamu berpikir akan resikonya? Paris itu tidak seperti Jepang, Naru.."

"Ibu, aku sudah besar. Sudah saatnya bagiku untuk mewujudkan impianku!"

"Apa bedanya bekerja di negara sendiri dengan negara lain? Bukalah matamu lebar-lebar, nak."

"Ibu, aku sudah menantikan saat-saat ini sejak lama. Diumurku yang ke-25 ini, paman Jiraiya berjanji akan menyekolahkanku di Paris, kan?"

"Tapi, Naru—"

"Akan kubuktikan kepada kalian semua, bahwa aku benar-benar bisa mewujudkan impianku, dan menjadi seorang Chef!"

XoXo

Pik.

Naruto mengerjapkan iris biru langitnya berkali-kali. OH, hanya mimpi.

Ia menatap ke seluruh penjuru. Sudah hampir sepi, "Nani? Sudah sepi?!" sontak Naruto terbangun seraya mengumpat tak jelas.

Ia menatap kursi disebelahnya, pemuda itu juga sudah pergi. Naruto mengumpat lagi, mengambil tasnya kemudian pergi menuju tempat pengambilan bagasi.

Saat tiba di tempat pengambilan bagasi, Naruto segera menyambar koper hitam miliknya, kemudian berlalu meninggalkan tempat itu.

"Paman!" Naruto berlonjak senang ketika Pamannya, Jiraiya datang menjemputnya. Baru saja, Naruto akan memesan taxi, namun diurungkan setelah Jiraiya memanggil-manggil namanya dalam keramaian.

"Ah, kau benar-benar sudah dewasa sekarang. Terakhir kali aku melihatmu, saat kau masih berumur 12 tahun." ucap pemuda paruh baya itu seraya mengacak-acak suraian keemasan Naruto.

"Itu karena aku sudah 25 tahun-ttebayo!" balas Naruto seraya merapikan rambutnya. Jiraiya hanya tertawa maklum melihat tingkah Naruto yang tak berubah dari dulu.

"Baiklah, kalau begitu ayo kita berangkat ke rumah, semua sudah menunggumu." Naruto mengangguk, kemudian berjalan mengikuti pamannya menuju parkiran mobil.

Ia memperhatikan pesawat yang terbang di langit, kemudian iris sapphirenya melihat indahnya menara Eiffel lewat selembar foto.

"Selamat datang di Paris, Naruto." gumamnya.

.

.

"Selamat datang, Naruto!" sapa seorang wanita paruh baya dari balik pintu. Ia tersenyum hangat seraya memeluk Naruto. "Sudah lama aku menanti kedatanganmu, keponakanku."

"Tsunade, jangan memeluknya seperti itu. Naruto baru pulang dari pesawat, ia masih sangat lelah." kata Jiraiya.

Tsunade―wanita itu, sontak melepaskan pelukannya dari Naruto. "Kau benar, maafkan aku. Lebih baik sekarang kau lekas mandi, setelah itu berkumpul bersama kami ke meja makan. Hari ini aku masak banyak~~!"

"Whoaa, bibi dan paman tak perlu serepot itu.."

"Kau tak perlu sesungkan itu pada kami, Naru. Kamarmu ada di lantai dua, paling pojok ya."

"Baiklah, kalau begitu aku mandi dulu-ttebayo!" Ia pun pergi meninggalkan Tsunade dan Kushina yang masih berdiri didepan pintu.

"Dia mencoba mengikuti jejak Ayahnya menjadi seorang Chef, tetapi dengan cara yang berbeda. Dia memberanikan diri datang kesini, padahal ia tak pandai berbahasa asing. Dasar bodoh." kata Tsunade seraya tersenyum.

"Minato memang hebat, dia sudah memprediksi bahwa Naruto tak akan bisa berbahasa asing. Maka dari itu, ia dan Kushina meminta bantuan kita untuk menjaga Naruto selama bekerja disini.." Jiraiya terkekeh pelan.

"Tapi aku akui, Minato memang ayah yang hebat, mereka memiliki dua orang putra dengan wajah dan sifat yang sama, ambisi mereka juga sama. Namun adiknya lebih memilih untuk berada di Jepang, bersama Minato dan Kushina."

"Maksudmu, Menma?" tanya Tsunade.

Jiraiya menatap kearah luar jendela, "Yah, siapa lagi adik Naruto selain Menma, Menma Uzumaki.. mereka memang terbilang akrab sebagai seorang saudara.. tapi, entah mengapa, aku punya firasat buruk tentangnya."

Setelah selesai membasuh diri, Naruto berjalan menuju kopernya berada. Tangan tannya masih sibuk mengusap-usap surai keemasan yang kini basah terkena air―efek habis keramas, menggunakan handuk yang melingkari lehernya.

Dan betapa terkejutnya ia, ketika melihat isi koper hitamnya.

―Yang ternyata adalah tas koper milik orang lain.

"BAKAAAA!" teriak Naruto frustasi. Ia benar-benar merutuki kebodohannya saat mengambil koper, seharusnya ia memperhatikan kopernya yang mana. Sekarang, yang ada di hadapannya adalah sebuah koper dengan barang-barang berupa baju, parfume, buku, dan sebuah dompet.

Naruto membuka dompet yang terbuat dari bahan kulit tersebut, berharap dapat menemukan kartu nama pemiliknya.

Uchiha Sasuke. 91345628xx

Segera, ia merogoh tasnya untuk mengambil ponsel birunya. Ditekannya nomor sesuai dengan digit yang tertera di kartu nama tersebut.

Tut. Tut.

"Dimana koperku?"

"E-Eh?" Naruto terbelalak, "Ano.. kopermu ada di tanganku sekarang, sepertinya tertukar saat aku mengambilnya.."

"Katakan, dimana kau sekarang."

"Heee, kau sendiri ada dimana?" Naruto balik bertanya.

"Di Zoe Apartement, di sebelah Mon Joli Tresor."

"B-Baiklah, tunggu aku dattebayo!"

Klik.

Naruto menutup ponselnya seraya mengambil koper dan turun ke bawah, melewati Jiraiya dan Tsunade yang sudah duduk di meja makan.

"Bibi, Paman, maaf aku harus pergi sekarang! Kalian makan duluan saja, Iterasshai!"

"Naruto kau mau pergi kema―" omongan Tsunade terputus ketika Jiraiya memegang tangannya. "Biarkan saja,"

Naruto tak tau harus bahagia atau justru sedih, bahagia karena kopernya kembali, atau sedih karena harus bertemu lagi dengan pemuda menyebalkan yang tak tau sopan santun di pesawat tadi.

"K-Kau?"

"Kau ceroboh sekali, Naru-dobe."

To be Continued.