Chapter 2


"K-Kau?"

"Kau ceroboh sekali, Naru-dobe." ucap pemuda pucat itu sarkatis.

Naruto menggertakkan giginya. Bocah dihadapannya benar-benar kurang ajar, mereka tak saling kenal, namun ia sudah berani memanggil Naruto dengan panggilan 'Dobe' bukan dengan embel-embel '-san'. Sial, mencari orang yang beretika sudah sangat langka sekarang.

Sabar. Sabar.

Ia menghela nafas, mengambil momen untuk beberapa saat, sebelum akhirnya berkata, "Jadi masalahnya sudah selesai kan? Kalau begitu terimakasih ya!" Naruto pun berlari meninggalkan pemuda raven yang masih menatap kepergiannya. Ia berharap agar tak dipertemukan lagi dengan bocah kurang ajar itu.

"Bodoh." gumam Sasuke seraya menyeret kopernya menuju kedalam apartement mewah bergaya Eropa itu.


Je T'aime

Rate/Genre: M/Romance, Hurt/Comfort

Disclaimer: Masashi Kishimoto

Pairing: SasuNaru

Bacotan: Hello bagi semua yang sudah menyempatkan diri untuk membaca fic ini. Seriously, review kalian sangat mengena di hati, dan menjadi penyemangat saya untuk melanjutkan fanfiction ini *curcol*

Oh ya, saya mohon maaf yang sebesar-besarnya atas kelalaian saya dalam penulisan judul, yang semula berupa 'Ich Liebe Dich' kini sudah fix menjadi 'Je T'aime' hontou ni gomenasai, saya suka keliru bahasa Jerman sama Perancis haghaghag *ditimpugin* dan masih di Ch1, Naruto 'bukan' anak semata wayang, kok. Itu hanya kelalaian saya, Naruto punya adik, namanya Menma.

Okelah, sekian curcol dari saya, semoga masih betah untuk baca fic ini. Haha,

Happy Reading!


"Tadai— Brr, dingin!" gerutu Naruto sembari mengusapkan kedua tangannya, ia pergi tanpa persiapan tadi—tanpa memakai baju hangat di musim dingin.

"Selamat datang.. Kau darimana, Naruto? Dan kenapa kau membawa kopermu keluar?" tanya Tsunade menyelidik dari balik pintu.

"Haah~" Naruto menghela nafas berat sebelum akhirnya menjawab, "Koperku tertukar dengan salah satu penumpang yang ada di pesawat, bibi. Tadi aku mengembalikannya, dan mendapatkan koperku kembali. —Dan bisakah aku masuk sekarang? Demi Tuhan, diluar dingin sekali!"

Tsunade mengangguk, tanda ia paham. "Cepat masuk, pamanmu sudah menunggu di meja makan." kata Tsunade mengintrupsi.

"Heee, jadi, kalian menungguku sejak tadi?" Naruto terbelalak. "Bibi, Paman, aku benar-benar merasa tak enak hati!"

Tsunade tersenyum, ia menepuk bahu keponakannya. "Ini hari terakhirmu di rumah kami, 'kan. Besok kau sudah harus tinggal di asrama, jadi apa salahnya menunggu selama tiga puluh menit untuk makan bersama dengan keponakan yang sudah 13 tahun lamanya tak bertemu?"

Naruto mencelos. Kata-kata Tsunade barusan membuatnya sedikit terharu, "Baiklah, kalau begitu ayo kita habiskan masakan bibi Tsunade!" ucapnya seraya menarik tangan Tsunade menuju meja makan—tempat Jiraiya berada.

Ia pun menyamankan dirinya di kursi meja makan, berhadapan dengan Jiraiya—yang sedang asyik menyeruput kopinya, dan Tsunade—yang sudah duluan menikmati makanan dengan khidmat.

"Itadakimasu!" kata Naruto setengah berteriak. Ia pun mulai mengambil Raclette—makanan khas Perancis yang umumnya dimakan saat musim dingin, yang terdiri dari keju khusus yang dilelehkan bersama kentang rebus.

"Bagaimana rasanya, Naruto?" tanya Tsunade penasaran ketika melihat perubahan raut wajah Naruto.

"Ini enak-ttebayo! Aku tidak tau makanan jenis apa ini..tapi.." Naruto memperhatikan Raclette yang ada dihadapannya dengan seksama. "Ketika sudah masuk di mulut, aku bisa merasakan campuran kentang yang lembut, bersama lelehan keju dengan cita rasa yang khas dan bumbu-bumbu seperti lada hitam serta paprika ketika dikunyah.—Ini benar-benar enak!"

Tsunade dan Jiraiya tercenggang, saling menatap satu sama lain. Bagaimana bisa dia tau bahan-bahan yang ada didalam Raclette—makanan khas Perancis, yang bahkan baru pertama kali Naruto cicipi.

"Kenapa kau ingin menjadi seorang Chef, Naru?" tanya Jiraiya tiba-tiba.

"Eh? Tentu saja karena hobiku memasak, dan ingin mengikuti jejak Ayah." sahut Naruto—masih menikmati Raclette-nya.

"Lalu, kenapa kau memilih untuk sekolah memasak di Paris? Bukankah di Jepang juga memiliki banyak sekolah memasak dengan kualitas yang terjamin?" kali ini Tsunade turut serta bertanya, —tertarik dalam percakapan mereka.

Naruto menghentikan aktivitas dinnernya. Ia menunduk sejenak, seraya menjawab "Aku hanya ingin membuktikan kepada Ayah, Ibu, dan Menma..bahwa aku akan menjadi seorang Chef, dengan kemampuanku sendiri. Akan kubuktikan kepada mereka, bahwa aku ini bukanlah anak yang terus-menerus bergantung kepada orangtuanya di usianya yang ke-25."

Tsunade dan Jiraiya terdiam mendengar pernyataan Naruto. 'Persis seperti Minato dulu.' batin mereka bersamaan.

"Kau pasti bisa, Naruto."

"Cepat habiskan makan malammu, setelah itu tidur. Besok pagi-pagi, kau sudah harus berangkat, 'kan?"

"Ha'i!"

.

.

"Akhirnya, kau meninggalkan kami lagi, Naruto." lirih Tsunade, kedua tangannya masih sibuk memeluk Naruto. Sedih rasanya harus berpisah dengan keponakan tersayang—lagi.

"Hey, aku pasti akan mengunjungi kalian jika aku libur nanti! Bibi tenang saja." Naruto mengusap pundak bibinya perlahan, mencoba untuk menghibur Tsunade yang sedang galau.

"Dia benar, Tsunade. Lagipula, kau sudah tau kan tujuan Naruto datang kemari untuk apa." Jiraiya menepuk pundak Tsunade—turut mencoba menghibur.

"Baiklah, baiklah, kau menang. Tapi kau harus sering mengunjungi kami, jangan sungkan, karena kami adalah orangtua keduamu, Naru." kata Tsunade.

"Tentu saja-ttebayo! Terimakasih paman, bibi, sudah menganggapku seperti anak kalian sendiri." Naruto memperlihatkan cengiran khasnya. "Kurasa aku harus pergi sekarang, sebelum ketinggalan kereta." ucap Naruto lagi. Ia memeluk Tsunade dan Jiraiya sebagai tanda perpisahan, lalu pergi meninggalkan mereka berdua menuju kereta.

"Jaga dirimu baik-baik, Naruto!" dan hanya dibalas dengan lambaian tangan dari sang Uzumaki. Perlahan, kereta itu pun melaju—menghilang dari hadapan Tsunade dan Jiraiya.

"Mungkin jika Nawaki masih hidup, usianya sama seperti Naruto. Mereka berdua sangat mirip." lirih Tsunade.

"Kau benar, setidaknya sekarang kita masih punya penerus Nawaki." timpal Jiraiya. "Ayo kita pulang."

.

.

Nawaki Senju, putra tunggal Jiraiya dan Tsunade. Meninggal dunia diumurnya yang ke-18 tahun, karena kebocoran gas di sebuah kitchen di hotel, yang menyebabkannya mengalami kehabisan oksigen—dan menghembuskan nafas terakhir, tepat sehari setelah ia menjabat sebagai Executive Chef di sebuah Hotel ternama di Aussie.

.

.

Naruto menyamankan dirinya di kursi baris kedua, dekat dengan jendela. Ia beruntung, kursi disini kosong. Apalagi dekat dengan jendela, oh, ia sangat suka melihat pemandangan dari dalam kereta.

Iris biru langitnya tak bisa lepas dari indahnya pemandangan kota Paris yang selama ini hanya bisa ia saksikan lewat layar kaca, —kini menjadi kenyataan.

Sampai-sampai tak menyadari keberadaan pemuda yang duduk disebelahnya sejak tadi.

"Eh?!" Naruto terlonjak ketika mendapati sosok pemuda..oh, bukan.. pemuda raven yang ia kenal. "S-Sasuke?!"

Yang disebut namanya hanya memasang muka datar—sedatar teplon.

"K-Kenapa kau bisa ada disini?!" tanya Naruto.

"Ada yang salah?" Sasuke balik bertanya. "Lagipula tempat duduk yang tersisa tinggal ini."

"B-Bukan, bukan begitu.. Maksudku—aargh, lupakan!"

Sasuke mengernyitkan dahinya, pemuda blonde disebelahnya ini benar-benar aneh. "Usuratonkachi." gumamnya.

"Eh? Tadi kau ada mengatakan sesuatu?" tanya Naruto.

"Lupakan." sahut Sasuke cuek, ia mengambil headphonenya seraya menyambungkan kabelnya ke IPod biru miliknya. Jadilah, Sasuke tuli sementara sekarang.

Naruto yang awalnya memperhatikan gerak-gerik Sasuke, hanya bisa mencibir tak jelas melihat tingkah pemuda berambut bak pantat ayam yang sok cool disebelahnya.

"Dunia ini sempit." gumam Naruto.

Kereta pun melaju, menembus gelapnya malam. Naruto merasakan angin sepoi-sepoi dari luar kaca jendela yang membuat suraian pirangnya menari-nari. Perlahan, ia pun memejamkan matanya.

Tanpa sadar, bahwa pemuda disebelahnya sedang memperhatikannya. Ujung bibirnya terangkat melihat Naruto yang kini sedang terlelap.

Sasuke melepas headphonenya, setelah tujuh jam lamanya mendengarkan musik, akhirnya ia merasakan efeknya. Telinganya terasa berkedut-kedut, lagipula ini sudah jamnya tidur. Maka, Sasuke memutuskan untuk mengistirahatkan matanya sekarang.

Cit. Cit. Cit.

Hari berlalu, entah karena silaunya matahari, kicauan burung, atau mungkin karena suara pemuda yang sedang bersumpah serapah tak jelas yang tiba-tiba saja membangunkan Naruto dari mimpi indahnya.

Pik.

Perlahan, Naruto membuka kedua matanya, ia merasa seperti berada diatas kasur yang hangat—dan empuk.

Empuk? Naruto kan sedang ada di kereta, kereta umum, bukan kereta VIP.

Hey, apa ia sedang bermimpi?

Pik. Pik.

Dengan sigap, ia mengucek kedua matanya—berusaha agar cepat sadar dari mimpinya.

"Cepat bangun sekarang juga, Dobe!" suara bariton mengintrupsi kegiatan Naruto. Ia menoleh, dan mendapati Sasuke sedang menatapnya horor.

Naruto tercenggang, dan terkejut setelah menyadari dia sedang apa dan dimana.

Tidur di pangkuan Sasuke.

"GYAAAH, MAAFKAN AKUUU! MAAF!" kata Naruto salting. Wajahnya memerah bak kepiting rebus sekarang.

Sasuke hanya berdecih seraya mengambil kopernya, —berjalan meninggalkan Naruto yang masih berada ditempat.

"Suram!" gerutu Naruto. Ia turut menyambar kopernya, lalu keluar dari kereta.

.

.

"L-Le Mo-Montclair Montmartre." Naruto mengernyitkan dahinya ketika membaca nama Asrama yang akan ia tempati. Pasalnya, lidahnya tidak terbiasa berbicara bahasa Perancis.

Ia berjalan mengikuti denah yang tertera di ponsel miliknya. Naruto beruntung, karena sebelum berangkat ke luar negeri, Menma sudah memasangkan aplikasi penunjuk arah untuk Naruto.

—Dan disinilah Naruto, berdiri didepan Asrama yang megah dan terlihat begitu mewah. Ia tercenggang, kagum.

"I-Ini asrama? Seperti gedung presiden saja." gumam Naruto. Awalnya Naruto kebingungan, harus masuk asrama lewat pintu mana—mengingat banyaknya pintu di asrama tersebut.

Namun, ketika melihat segerombolan orang—yang ternyata adalah calon Chef —yang sama seperti dirinya, Naruto memilih untuk mengikuti mereka.

Keberuntungan berada di pihak Naruto. Ia yang memang tak pandai berbahasa asing, tak perlu kesusahan untuk bersosialisasi lagi, karena sekarang sudah memiliki teman yang sama-sama berasal dari negeri Sakura, sama seperti dirinya.

"Perkenalkan, aku Uzumaki Naruto. Mohon bantuannya!" Naruto membungkukkan badannya—memberi hormat.

"Yosh, salam kenal. Aku Inuzuka Kiba." sahut pemuda dengan tato berbentuk segitiga terbalik di kedua pipinya.

"Haah~ Nara Shikamaru." pemuda dengan raut wajah madesu turut menyahut.

"Hai. Akimichi Chouji desu!"

"Aku Sai. Salam kenal."

Naruto tersenyum senang. Sekarang, ia tak perlu khawatir lagi akan tak punya teman.

"Hey, semuanya harap berkumpul! Master Chef akan segera datang untuk menyambut kita semua!" seru pemuda dari kejauhan—yang entah siapa, Naruto tak kenal. Ia hanya mengikuti teman-temannya yang kini sedang berkumpul ditengah-tengah lobby asrama.

"Hadirin sekalian, sebelum Master Chef datang menyambut kita semua. Mohon ijinkan, aku, selaku penanggung jawab disini, memperkenalkan diri kepada kalian semua." Naruto—yang notabene pendek, harus meninjitkan kakinya untuk melihat sosok berambut oranye, dengan tindikan penuh di wajahnya yang rupawan sedang berbicara di podium.

"Perkenalkan, aku Pain, salah satu dari perwakilan dari puluhan senior kalian. Disini, aku akan menjelaskan tentang pembagian kamar dan masing-masing pengawas kalian dalam praktek."

"Di asrama kami, Le Montclair Montmartre, setiap satu kamarnya dihuni oleh 4 orang. 3 diantaranya adalah para newbie, sementara satunya adalah senior yang nantinya akan mengawasi kalian."

Suasana menjadi ramai seketika. Namun mendadak hening ketika Pain memukul podium dengan keras. "Aku belum selesai bicara!" katanya setengah berteriak.

"Masalah roomate, kalian tidak bisa memilih secara bebas. Disini, kalian akan dibagikan kamar, teman sekamar, beserta senior yang akan dibacakan langsung oleh Master Chef kita, Hiruzen Sarutobi." Pain membungkuk, memberikan hormat kepada sosok laki-laki tua, yang kini disambut antusias oleh baik para senior maupul newbie.

"Terimakasih, Pain. Baiklah, langsung saja, akan aku bacakan list pembagian kamar tahun ini." Hiruzen membuka mapnya, kemudian membacakan satu per satu nama-nama orang beserta kamar yang didapat.

"Kamar 101, Nara Shikamaru, Akimichi Chouji, Inuzuka Kiba. Yang akan diawasi oleh Hidan dari Dorm 3."

"Selanjutnya ada kamar 102, yaitu Rock Lee, Hyuuga Neji, dan Gaara yang akan diawasi oleh Sasori dari Dorm 2."

"..."

"..."

Naruto menggerutu ketika mendapati orang-orang yang baru saja ia kenal, berada dalam satu kamar yang sama. Sedangkan dirinya? Sampai saat ini masih sedang dalam proses—untuk mengetahui di kamar mana dan dengan siapa ia akan diawasi.

"Dan sisanya adalah di kamar nomor 309, yaitu Uchiha Sasuke dan Uzumaki Naruto, yang akan diawasi langsung oleh Uchiha Itachi, dan Pain."

Naruto melongo.

Hell no, kenapa ia harus bersama Uchiha Sasuke—lagi? Dan kenapa juga hanya mereka berdua yang diawasi oleh dua senior sekaligus?

Naruto tak habis pikir. Kenapa ia jadi sesial ini.

"Kusso!" gusar Naruto seraya mengacak-acak suraian pirangnya.

.

.

"Menma, apa yang sedang kamu lamunkan? Ayo cepat habiskan sarapanmu, setelah itu berangkat ke sekolah!" kata Kushina dari arah dapur.

"...Ayah, kira-kira apa yang sedang kakak lakukan ya, sekarang?" tanya pemuda bersurai hitam dengan tiga garis di pipinya itu.

"Hm?" Minato—sang ayah, menyeruput kopinya seraya membalikkan lembaran baru koran paginya. "Mungkin sudah di asrama barunya. Bersama teman-teman baru tentunya."

"...Kuharap begitu."


To be Continuned


A/N: *liat atas* wew...kayaknya bakal banyak chara yang ada di fict ini deh =_= but, hanya beberapa yang bakal saya bikin jadi xxNaru.

Fufu, gaje banget ya :'D OOc atau gak, saya minta review aja deh.

kritik saran selalu saya terima dengan hati yang terbuka(?)

Salam,

Harukichi Aizawa