Levi Ackerman, seorang mahasiswa jurusan sejarah semester enam dengan kehidupan dan wajah yang kelewat lurus-lurus saja—kalau tak mau dibilang membosankan. Pada hari normal yang berjalan lancar, ia hanya akan duduk diam di kelas—mengunci mulutnya rapat-rapat dan hanya akan bicara dalam rangka menjawab pertanyaan dosennya—sembari mencatat semua materi yang dirasa perlu dan menyimak kuliah dengan serius. Sangat biasa.

Kegiatan sehari-harinya di kampus, selain menghadiri kuliah tentunya, adalah belajar di perpustakaan—itupun dia lakukan kalau dosen yang seharusnya mengajar ternyata berhalangan hadir. Cuma hal itu saja yang bisa dikerjakannya di kampus, sehingga segera setelah dia puas berkutat dengan buku-buku di perpustakaan, Levi akan memilih pulang untuk mengistirahatkan kepala atau mengerjakan tugas yang makin menggunung tiap harinya.

Salahkan orangtuanya yang memiliki harta melimpah-ruah sampai-sampai Levi tak perlu bersusah payah bekerja paruh waktu di minimarket, pusing-pusing memikirkan soal masa depannya, atau pusing soal prospek kerja lulusan sejarah yang—kata orang—tak sebagus alumni jurusan bisnis. Tidak apa-apa, kan? Toh, uang keluarganya masih banyak.

Namun sebenarnya, kekayaan keluarga yang membuatnya tak terlalu mempedulikan pilihan jurusannya itu juga patut disayangkan, karena kepalanya yang cerdas jadi hanya digunakan untuk menganalisis masa lampau. Levi sendiri menanggapi pandangan yang seperti itu dengan santai. Bagi pria macam dia, toh sejarah hidup orang lain jauh lebih menarik daripada urusan bisnis, politik, bahkan medis dan farmasi yang penuh tipu muslihat.

Ah, sebenarnya mempelajari masa lalu tidaklah semudah membalikan telapak tangan seperti yang anggapan orang awam. Tidak mudah, karena tidak semua pakar sepakat tentang fakta di masa lalu. Banyak faktor, perincian, dan detail-detail yang kadang belum diketahui hingga berakhir sebagai misteri.

Terkadang, bukti-bukti memang ada. Namun, mengingat manusia adalah makhluk Tuhan paling kompleks di muka bumi ini, bukan tidak mungkin jika fakta yang sebenarnya ternyata berlawanan arah dengan bukti-bukti yang tersaji.

Mungkin, aspek misterius, kompleks, dan penuh probabilitas dari sejarahlah yang terkadang membuat Levi begitu tertarik mengikuti kuliah dan mendengarkan penjelasan gurunya. Seperti saat ini.

.

.

Disclaimer Shingeki no Kyojin © Isayama Hajime

a collaboration fic Svezza Annashya and Deluxe

present

_ Special _

Dosen paruh baya yang rambutnya klimis seperti habis keramas dengan minyak tanah itu sedang mengajarkan teori yang dikemukakan oleh Karl Max. Cukup rumit dan membosankan jika tidak punya passion untuk sejarah dan kesabaran yang cukup tinggi. Lihat saja, anak lain sudah kehilangan fokus. Beberapa merumpi di pojok kelas, seperti semut yang mengerubungi gula. Beberapa memainkan permainan di ponsel pintarnya, beberapa menguap, dan beberapa sudah terlelap. Namun Levi, orang membosankan yang memang cocok dengan topik macam ini, masih bertahan dengan mata terbuka, bahkan memperhatikan dengan seksama.

Menurut teori Karl Max yang dikutip oleh gurunya, permasalahan ekonomilah yang membentuk sejarah. Atau sederhananya—menurut Levi—adalah masalah kepentingan duniawi berupa uang, makanan, dan semacamnyalah yang menyebabkan manusia sanggup melakukan segalanya. Konflik dalam masyarakat, politik, korupsi, bahkan konspirasi. Dan seiring berjalannya waktu, serentet peristiwa tersebutlah kita kenal sebagai sejarah manusia.

Tetapi apakah semua itu hanya dikarenakan kebutuhan makan mereka yang tidak terpenuhi?

Di sinilah pertentangan dan perbedaan pendapat dimulai. Ketika Levi baru saja ingin mengajukan pertanyaan, pintu kelas diketuk oleh seseorang dari luar. Beberapa siswa tukang tidur kini membuka matanya—berharap kalau si Pengetuk itu salah satu dosen petinggi yang akan menyampaikan kabar libur setengah hari. Levi mendengus dan mengistirahatkan kepalanya di meja. Pak Dosen pun berhenti menjelaskan dan membuka pintu.

Setelah diskusi ulet dengan si Pengetuk Pintu, Pak Dosen Klimis itu mengangguk dan beralih menyapu pandang seluruh penjuru kelas. Ketika matanya menangkap bayangan Levi, Pak Dosen berseru, "Levi, ada yang ingin bertemu denganmu!"

Serentak, para mahasiswa-mahasiswi lain mendesah berat. Pupus harap mereka. Hancur luluh lantak bagai diterjang tsunami Aceh. Mereka menatap sebal pada Levi. Yang ditatap tak acuh. Dia malah mengerutkan kening dan bertanya-tanya dalam hati. Orang gila macam apa yang berani menginterupsi jam kuliahnya macam ini?

"Ah, ya," kata-kata Pak Dosen menyedot perhatian muda-mudi di ruangan itu, "Dan karena saya ada acara sedangkan waktu kuliah kita tinggal lima belas menit, kalian bisa pulang sekarang. Terima kasih."

Mereka bengong. Ternganga tak percaya selama beberapa detik. Mungkin otak mereka yang habis dijejali teori-teori tentang manusia dan sejarah itu memerlukan waktu untuk memahami arti perkataan Pak Dosen. Buktinya, baru setelah Pak Dosen menghilang di balik pintu mahogani ruang kuliah sorak-sorai berkumandang. Beberapa orang menyalami Levi sambil mengucap terima kasih. Setelahnya, mereka berebut keluar ruangan. Levi tambah heran. Orang gila macam apa yang berani menginterupsi jam kuliahnya dan sanggup membuat Pak Dosen bersedia membubarkan siswanya lebih awal?

Apakah dia orang super nekat? Atau malah, super ngotot?

Pertanyaannya segera terjawab, karena seorang pemuda dengan surai coklat kayu dan sepasang iris hijau kebiruan berdiri di ambang pintu, melangkah masuk ragu-ragu. Petra, gadis manis yang juga masih ada di ruangan itu menyapanya.

"Yang cari Levi, ya?"

Pemuda itu mengangguk.

"Levi yang duduk di samping jendela. Ah, itu, orangnya sedang melihat kesini," kata Petra Rall sembari melempar senyum madunya pada Levi yang tengah menatap keduanya dengan ekspresi heran bercampur rasa bingung dan tak mengerti. Gaulnya sih, gagal paham. Gagal paham siapa pemuda itu dan apa tujuannya.

Si Pemuda berterima kasih pada Petra Rall dan menghampiri Levi di tempat duduknya.

"Maaf mengganggu waktu Anda, Levi-senpai. Saya Eren Yeager, kouhai Anda yang sekarang baru semester empat," kata anak itu memperkenalkan diri dengan sopan. Kepalanya tertunduk sedikit untuk menghormati seniornya yang malah menatapnya dengan malas.

"Ada apa?" tanya Levi dingin tanpa basa-basi. Ia bukanlah orang yang suka melakukan hal secara bertele-tele, terlebih yang dihadapinya adalah seorang bocah dengan kemampuan menakjubkan yang sanggup membuat kelasnya dibubarkan lebih awal.

"Begini, kuliah filsafat saya di semester ini mengharuskan saya membawa buku filsafat sejarah karangan G.W.F Hegel sebagai pegangan. Sir Mike bilang, Anda memiliki buku tersebut, sehingga saya bermaksud untuk meminjamnya pada Anda karena yang ada di perpustakaan sudah habis dipinjam," jawab sang bocah Yeager tegas—menghiraukan tatapan tajam Levi yang seolah membatasi keduanya dengan dinding tebal. Hanya ada dua kemungkinan; dia tak peduli pada tatapan yang Levi berikan dan dia terlalu naif untuk sadar apa arti tatapan tersebut. " …Ah, dan karena buku tersebut tidak lagi terbit."

Yah, Levi dapat memaklumi hal itu karena ia pun mendapatkannya dalam acara pelelangan—dengan harga yang tidak murah, tentu. Nyaris menghabiskan tabungannya. Mengapa tidak minta uang pada orangtua? Mari kita anggap saja harga dirinya tidak mengijinkan hal itu.

Levi mengangguk, "Baik. Besok temui aku di sini pada pukul tiga sore."

Eren hanya tersenyum kecil, namun matanya berkata lebih banyak dari lengkungan senyum dan nada bicaranya yang tetap biasa-biasa saja ketika mengucapkan terima kasih. Levi angkat bahu—tak peduli. Dia memang suka belajar sejarah yang notabene erat hubungannya dengan gerak-gerik, tingkah laku, dan akibat dari keputusan yang dibuat manusia. Namun, hal itu tidak membuat dia bermetamorfosa jadi seorang pecinta ilmu psikologi yang gemar betul mengobservasi gerak-gerik manusia—walau tak bisa dipungkiri kalau dia memang tertarik.

Sehingga, dia memutuskan untuk menganggap sikap Eren yang menyembunyikan emosi meluap-luapnya itu sebagai hal yang biasa saja. Toh, dia sendiri juga tak jauh beda. Kan jadi lucu rasanya kalau dia memikirkan hal itu terlalu dalam sedangkan dia juga melakukan hal yang sama.

Levi mendengus kemudian mengemasi barang-barangnya. Mau langsung pulang saja. Mau membaca ulang buku filsafat sejarah kesayangannya sebelum dipinjam oleh Eren Yeager.

.

.

.

Hari Kamis ini menjadi begitu melelahkan bagi Levi karena bobot tas ranselnya yang terlewat berat. Mata kuliah jam keduanya baru saja berakhir. Semua mahasiswa yang berada di kelasnya telah bersiap membereskan berbagai macam buku yang berserakan di atas meja. Segala obrolan simpang siur yang saling menyahut di antara kerumunan sekian banyak manusia dalam ruangan membuat suasana berubah ricuh. Tidak tahan dengan keributan yang abstrak, ia pun meninggalkan kelas dengan segera. Masih ada tugas yang perlu dilaksanakan, yaitu menjaga perpustakaan jurusan.

Beberapa orang bilang dia aneh. Kutu buku yang mengerikan. Beberapa anak menyebutnya terobsesi pada sejarah. Beberapa gadis muda pengunjung perpustakaan yang sudah bosan hidup memanggilnya literature wota—alias orang yang terobsesi pada literatur. Apakah mereka tidak tahu jika Levi membaca buku sejarah, bukannya buku sastra kelas tinggi? Apakah mukanya seperti orang yang tergila-gila pada William Shakespeare?

Biarlah orang berkata apa. Yang penting, itulah surga dunia baginya.

Ketika jarak antara dirinya dan pintu tinggal tiga langkah lagi, seseorang menepuk bahunya dari belakang. Levi menoleh. Retinanya menangkap bayangan seorang pria tegap berambut pirang dengan suspicious smile yang senantiasa tersungging berdiri di belakangnya. Orang ini lagi, orang ini lagi. Levi mendecih.

"Ada apa, Sir?" katanya dingin.

"Aku hanya ingin menyampaikan terima kasih atas bantuan mengoreksi yang kamu berikan kemarin," ucap orang tersebut. Senyum mencurigakan itu masih tersungging lebar di wajahnya. Tidak lepas-lepas. Sungguh dosen teladan yang setia menerapkan peraturan 'senyum simetris 2 cm ke kanan dan 2 cm ke kiri' dari pihak kampus.

Levi mengangkat alisnya—heran maksimal, "Ya. Sudah?"

"Tidak. Ah, maksudku, bagaimana kalau kita minum di bar—?"

"Ha! Saya tidak akan tertipu lagi, Sir Erwin," sahutnya getir. "Pasti kali ini Anda juga akan menyuruh saya membayar sendiri seperti yang sudah lalu," imbuh pemuda pendek itu dengan sinis.

Alis Erwin berkerut dan matanya memancarkan pandangan yang menunjukkan keseriusan—atau, berusaha serius—atau, berusaha menyembunyikan kebohongan besar, "Tidak, tidak. Aku serius. Aku yang bayar sekarang."

Levi membalas nada memelas Erwin dengan sindiran nyata, "Benarkah? Huh. Sir Erwin sudah kaya, rupanya."

"Yah, bukan begitu juga, Levi. Kamu kan tahu kalau aku baru lulus pascasarjana tahun lalu. Jelas keuanganku belum stabil. Makanya aku juga ingin meminta kamu untuk menyiapkan uang. Sekedar jaga-jaga saja. Siapa tahu uangku tidak cukup."

"Nah. Di sini letak masalahnya, Sir. Anda minum terlalu banyak, sementara uang yang Anda bawa itu pas-pasan. Bagaimana Anda bisa membayari bagian saya jika uang Anda saja habis untuk membayar bagian Anda sendiri?" tukas Levi dingin. Dia kembali membalikkan badan dan bersiap berjalan menuju pintu, namun Erwin mencengkram tangannya. Latar kampus yang suram berganti menjadi ladang bunga tulip kebanggaan Belanda. Matahari bersinar cerah, namun tidak ganas. Kupu-kupu berterbangan. Mendadak, Levi sudah pakai selendang.

"Tidak, tidak. Aku berjanji akan menepati kata-kataku kali ini. Sungguh!"

Pemuda bersurai hitam itu mengernyitkan alis. Kemudian menggelengkan kepala. Akhirnya, dia mendengus. Pasti cuma halusinasi. Latar dan kostum dan kalimat ambigu itu pasti cuma imajinasinya saja. 'Fokus, Levi, fokus!' katanya dalam hati—mensugesti diri sendiri.

Levi berpikir sebentar. Apakah orang ini bisa dipercaya? Masalahnya, sudah tiga kali mereka berdua pergi ke bar dengan janji yang sama, namun Erwin selalu ingkar. Apakah dia layak mendapatkan kesempatan sekali lagi, atau tidak?

"Baiklah. Sekali lagi. Kesempatan Anda untuk menepati janji Anda, Sir," jawab Levi sambil menyentakkan tangannya dari cengkraman Erwin dan langsung berjalan keluar kelas. Sekilas, dia bisa melihat wajah Erwin yang berbinar bahagia karena akhirnya diberi kesempatan terakhir. Levi mendengus lagi. Benar-benar, deh. Dia tak habis pikir mengapa mantan kakak tingkatnya itu tak bertambah dewasa seiring bertambahnya usia. Dasar. Erwin Smith memang tidak pernah berubah, masih suka menebar janji palsu. Dan dia, yang tak berubah juga, masih bisa-bisanya percaya. Semburat sipu tampak di pipinya.

Eh—uhuk! Abaikan yang terakhir.

Sebagai akibat melamun di siang bolong, dia hampir saja bertabrakan dengan seseorang jika refleknya tidak bagus. Sialnya, orang itu lebih tinggi darinya. Ketika dia melihat ke atas untuk memaki orang yang nyaris menabraknya, alisnya berkerut. Ternyata si Bocah Yeager itu.

"Levi-senpai," katanya memulai, "Saya ingin—"

"Ya, aku tahu. Eren Yeager. Mahasiswa semester empat yang ingin meminjam buku Filsafat Sejarah karya G.W.F Hegel. Ini bukunya. Jaga baik-baik," kata Levi to the point sambil menyerahkan buku setebal satu setengah inci dengan sampul biru berilustrasikan wajah sang penulis. Sebuah mahakarya bagi mahasiswa sejarah.

Eren Yeager menerimanya dengan senang hati. Mata beriris hijaunya berbinar senang, mirip kelinci. Dia membungkukkan tubuhnya kemudian berterima kasih dengan singkat—namun sopan—dan berjanji akan mengembalikannya begitu semester empat berakhir. Levi menjawabnya dengan anggukan singkat serta ekspresi datar.

"Baik, sekali lagi, terima kasih. Saya pamit dulu. Selamat siang, Levi-senpai."

Levi pun mengangguk untuk yang kedua kali.

.

.

.

"Sekarang, mukamu itu lebih tidak enak dilihat daripada Pithecanthropus Javanicus, Levi."

Yang disindir mengerling acuh. Alih-alih marah karena dibilang lebih jelek dari manusia purba yang satu itu, dia malah meneguk Gewürztraminer langsung dari botolnya hingga ludes.

"Duh, duh. Kenapa kamu marah hanya karena disuruh menyetir, sih?"

Levi menyenderkan punggungnya pada sofa maroon yang mereka duduki sambil menggerutu pelan. Bagaimana tidak kesal, coba? Sudah diperlakukan macam sopir (dengan alasan Erwin belum pandai menyetir. Sungguh konyol), harus mau diajak ke bar yang tidak familiar untuknya, eh, ketika sampai dia malah disuruh bayar sendiri. Seharusnya kan, dia yang ditraktir. Seharusnya, yang punya mobil yang menyetir. Ini malah terbalik. Dia kerja dan keluar uang, sedangkan si Erwin Smith cuma ongkang-ongkang dan main suruh seenak jidat. Lain kali, tidak akan ada lagi yang namanya kesempatan kedua untuk Erwin.

"Kamu harusnya bersyukur, Levi. Ber-syu-kur. Kamu baru saja menyetir mobil Mercedez, lho!"

Levi memutar bola matanya.

"Lagi, aku mengenalkanmu pada bar yang bagus, kan? Cocktail di Spectrum ini enak sekali, lho. Suara penyanyi-penyanyinya juga bagus. Luas, pula," Erwin menuangkan Cabernet Sauvignon-nya ke gelas kemudian meneguknya hingga tetes terakhir, "Lihat, tempat ini lebih nyaman daripada bar yang kamu kunjungi biasanya."

Si Pemuda Pendek melengos. Walau secara pelayanan dan fasilitas memang Spectrum Bar ini jauh lebih nyaman dari bar yang biasa dia kunjungi, sifat tidak gampang beradaptasinya menjadi penghalang untuk turut merasakan kenyamanan itu. Akibatnya, dia jadi bosan dan tidak betah berada di sana.

"Oh, ya, kok tumben-tumbennya kamu menghabiskan sebotol Gewürztraminer sendiri?" Erwin Smith melirik lewat ekor mata, "Stres?"

Levi menggeleng, "Cenderung bosan, Sir."

Erwin menaikkan alis, "Panggil aku Erwin Smith saja. Toh, kita ada di luar kampus. Mengapa bosan?"

"Semuanya berjalan terlalu datar. Kegiatan di kampus, di rumah, di luar rumah. Tidak ada hal-hal menarik belakangan ini. Semuanya datar, biasa saja. Membosankan," jelas pemuda bermarga Ackerman itu.

"Kamu berharap kehidupan macam apa, memangnya? Kehidupan yang penuh mara bahaya seperti tokoh-tokoh di film laga? Atau kehidupan aneh seperti Odd Thomas di novel karangan Dean Koontz?" Erwin menegakkan duduknya dan memperhatikan seorang gadis yang sedang bernyanyi di panggung. Suaranya merdu dan wajahnya manis. Tipe gadis yang disukai Erwin.

"Tuh, Levi. Lihat, deh. Penyanyi bar ini cantik-cantik."

"Ya, ya, ya. Buatmu."

"Matamu buta kalau bilang dia tak cantik," kata Erwin keras kepala. Dia mencengkram kepala mantan juniornya dan mengarahkan wajah Levi agar menatap si Gadis Berambut Coklat. "Coba cermati. Cantik, kan?"

Levi terdiam. Wajahnya tetap datar. Tak ada tanda-tanda perubahan emosi apapun. Erwin yang melihatnya sampai gemas. Apakah Levi tak punya perasaan ataukah dia berusaha melawan perasaannya sendiri?

"Bagaimana, bagaimana?"

"Biasa."

Erwin mendesah dan melepaskan cengkramannya. Dia mengacak rambut. Mungkin, Levi memang terlahir tanpa perasaan suka dalam kamus kehidupannya. Mungkin, Tuhan mendesain Levi untuk menjadi orang yang hidup menjomblo seumur hidup. Mungkin, kebosanannya ini akan segera membawa Levi untuk menjadi seorang pendeta di kuil Shinto. Entahlah.

"Eh, Levi," panggilan Erwin memecah lamunan Levi. Pemuda itu agak tersentak, tapi dia langsung berubah kalem lagi. "Boleh minta bantuan lagi?"

Levi terdiam, namun Erwin tahu kalau pemuda itu murka dalam hati. Bukannya Levi tidak bisa marah pada Erwin, tapi terlalu banyak kata-kata yang ingin disemburkan Levi pada dosen tak tahu dirinya. Jadi Levi memilih untuk bungkam dan menghujamkan beribu belati tak kasat mata yang merupakan metafora dari sorot tajam netranya.

"Sedikit... kok. Sedikit. Bantuan kecil."

"Memangnya kamu pernah memintaku untuk melakukan hal yang benar-benar kecil?" kata-kata Levi menohok Erwin.

"Cuma mengawasi diskusi, kok. Mengawasi diskusi saja. Tidak sulit, kan?"

"Diskusi. Coba kutebak. Pasti kelas Eropa Kontemporer," Levi memutar mata, "Ya, kan?"

"Ah, benar. Bagaimana kamu tahu?"

"Semester ini, sudah dua kali kamu memintaku melakukan hal yang sama. Kelas itu jatuh hari Jumat dan kamu tidak bisa mengisinya karena harus menemui editormu," jawab Levi enteng. "Oh, coba kutebak lagi. Aku harus mengisi kelas itu minggu depan, kan?"

"Uh, ya. Itu juga benar. Bagaimana kamu tahu?"

"Kamu punya kebiasaan untuk bilang padaku satu minggu sebelumnya."

"Levi, sungguh, kamu adalah pengamat yang baik."

Levi menggelengkan kepalanya, "Tidak. Kamu saja yang terlalu mudah ditebak. Omong-omong, atur jadwalmu dengan baik. Kamu tidak bisa mengorbankan kelas itu terus-terusan."

"Baik, baik."

"Lagian, kamu menulis novel tentang apa, sih?" Levi melirik dosennya, "Kok aku tidak pernah lihat nama Erwin Smith di toko buku?"

"Kan ada nama pena, Levi."

Levi mengangguk-angguk. "Kamu... giat sekali mengumpulkan uang."

"Biar cepat mapan. Aku juga ingin membahagiakan istriku—" Erwin meraih botol Sauvignon-nya dan menuangkan isinya ke gelas. Dihirupnya aroma anggur yang khas itu dalam-dalam sebelum menyesapnya hingga habis, "—suatu hari nanti."

Levi mendengus dan mengambil botol Sauvignon milik Erwin ketika sang empunya minuman sedang asik memberikan tepuk tangan pada penyanyi berambut coklat yang telah menyelesaikan lagunya. Minuman beralkohol itu dia tuang sampai memenuhi gelasnya. Erwin sempat menatapnya dengan pandangan tak rela, namun menghela nafas pasrah dan membiarkan Levi mengurangi volume cairan dalam botol minumannya.

Levi mengangkat gelasnya, "Semoga sukses untuk karirmu."

"Terima kasih," kata Erwin sambil ikut mengangkat gelasnya.

Ketika Levi baru saja selesai mengosongkan gelasnya, orang-orang di bar bertepuk tangan dengan meriah. Rupanya, mereka menyambut seorang gadis penyanyi bar dengan postur tinggi semampai yang—sialnya—lebih tinggi dari Levi. Rambutnya diikat tinggi melebihi telinga, dengan potongan kaus hitam tanpa lengan berkerah 'v' yang membuat tubuh pucatnya tampak bersinar dibawah temaramnya lampu panggung. Wajahnya cantik, manis memukau.

Namun, lebih dari paras dan penampilannya, sepasang netra beriris coklat muda milik gadis itu begitu indah. Begitu hidup. Matanya berbicara lebih banyak daripada gunjingan-gunjingan dan gosip-gosip orang di bar tentang dia.

Dia cantik. Levi mengakuinya diam-diam.

Gadis itu melangkah dengan mantap dan percaya diri. Tangan langsingnya meraih microphone dan intro lagu menyambutnya. Mendadak, sorak-sorai penghuni bar menghilang digantikan senandung lirih tapi merdu milik gadis itu.

Heart beat-beat-beat

Heart beat-beat-beat…

Denting piano menyatu dengan suara merdu yang menyusup ke indera pendengaran seluruh orang di bar. Gadis itu, sang pusat perhatian, memejamkan kedua iris coklatnya, menghayati setiap melodi yang terlontar.

Levi memiliki kedua mata 'mengantuk' yang terlihat sangat membosankan dan terkesan sangat tidak fokus, namun dalam jarak lima meter dari tempatnya bersinggah, ia dapat melihat dengan jelas bagaimana sang pusat perhatian terlihat begitu indah. Bukan hanya melodi yang dibalut dengan suara merdu, tetapi juga kedua iris coklat yang baru sebentar ia kagumi. Rambut pasirnya yang terkucir rapi memperlihatkan wajah tenangnya. Potongan v-neck memperlihatkan kejenjangan penyangga kepala dan torso yang begitu menakjubkan dengan sempurna. Lengan kurusnya yang hanya terbalut kulit pucat terlihat begitu memikat. Kedua belah bibir peachnya bergerak seiring lirik yang mengalun.

Did we really love?

Or was it just a long war?

At the tangled memories, I smile and I cry

More than any of the good memories with anyone else, I miss the times I spent with you

I want you so I'm stewing in sickness

Kedua iris coklat gadis itu membuka, memberikan suatu perasaan hangat yang menjalar dalam tubuh angkuh milik si Mahasiswa Sejarah. Kedua obsidian milik Levi tidak mengalihkan pandangan sedikitpun dari sosok bersurai pasir yang terlihat halus dan rapuh. Dia menatap sosok di tengah panggung itu dalam diam, dengan khidmat.

Hingga ketika Tuhan memberinya kejutan, si Gadis Penyanyi Bar menatapnya dengan syahdu. Melodi indah masih teralun, memenuhi kepala hitamnya dan menenggelamkan sukmanya dalam ketenangan. Mengistirahatkan tubuhnya yang lelah.

You are, you are, you a-are

So special to me...

(First you made my heart beat)

Entah karena suara merdu yang mengalunkan lirik lagu atau memang sosok dihadapannya lah yang begitu indah, Levi ikut terbawa suasana. Dia tersenyum dan menutup matanya. Membuatnya semakin hanyut dan tersesat dalam rangkaian harmoni yang membentuk lullaby pengantar tidur yang familiar. Terus berputar-putar dan memenuhi pikiran serta sanubarinya.

You are, you are, you a-are

Lagi—

You are, you are, you a-are...

Dan lagi—

So special to me...

Dan lagi-lagi.

Namun ketika tiba-tiba nada-nada itu berhenti dan Levi membuka matanya, dia mendapati dirinya berada di barak prajurit yang gelap.

To Be Continued

A/N :

Haha, gomen gomen…

Ini adalah fic kolaborasi pertama antara saya dan Deluxe. Sumpah dan beneran, awalnya fic ini tuh amat sangat membosankan tapi dengan banyaknya pahatan disana sini oleh Deluxe hingga tadaaa~~~ jadilah seperti ini :D

Ah, maaf ya kalau ada banyak typo dan tokoh yang sangat OOC disini. Tapi kami beneran ga ada maksud apapun kok bikin fic ini. Hanya untuk hiburan semata.

Dan, kami harap minna-san menyukai fic kami

Kami ga akan tahu apa yang minna pikirkan dari fic ini, dan tentunya silahkan tinggalkan jejak di kotak review biar kami tahu kalau memang harus ada perbaikan. Saran dan kritik diterima. Tapi mohon jangan di bash ya. Kami belum lapang dada untuk menerimanya *bow*
oia, cerita ini akan tetap RiRen kok sebagai pemain utama. Hehe

Kalau begitu sampai jumpa ! (^O^)