Ohayou! Konichiwa! Konbawa!

.

Terima kasih sudah menyempatkan untuk RnR fic saya, ataupun memberikan fave/follow/faves. Saya senang sekali. X"D

.

Yosh, I will survive!

Dozo, Minna-sama~

.

Disclaimer: Kuroko no basket belongs to Fujimaki Tadatoshi. Photo Kano belongs to Enterbrain.I didn't take any personal commercial advantages from making this fanfiction. Purely just for fun.

Warnings: AR, boys love/shounen-ai, OOT, OOC, fluff, cliché, fast-pace, LIME, typo(s).

.

Saya sudah memberikan warnings. Jadi, jika ada yang tidak disukai, tolong jangan memaksakan diri untuk membaca. ;)

.

Have a nice read! ^_~

.

XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX

.

Tiada lagi yang sepertimu

Aku menyukaimu

Karena itu—

maukah kau jadi pacarku?

.

#~**~#

A Kuroko no Basket Fanfiction,

.

Reflection

.

Chapter 10

"Mis—understanding"

.

By: Light of Leviathan

#~**~#

.

Langit menggelap. Atau kelabu awan (hanya imajiner belaka, dramatisasi seperti biasa) tengah sendu memayungi sektor tikar Rakuzan.

"Ini mimpi buruk. Benar-benar mimpi buruk. Oh, Tuhan."

Mibuchi berdesis seperti induk semang tidak suka anak semata wayangnya didekati gebetannya. Mengabaikan Nebuya yang mengobrak-abrik keranjang makanan. Tak mengacuhkan Hayama yang berbinar-binar tengah bicara antusias dengan junior baru mereka. Dua pemuda itu tidak ada yang bisa diharapkan. Bahkan kalaupun yang kini menggantungi pucuk langit adalah piring terbang dan bukan matahari, Mibuchi ragu apa keduanya bisa diandalkan untuk melakukan revolusi umat manusia dan berinisiatif mengangkat bambu runcing untuk memerangi UMA.

Intinya: Sei-chan-nya dalam bahaya!

Bukti: Sei-chan tersenyum. Sorot mata dan kedut di sudut bibirnya itu pertanda . Ini jelas berbahaya, bukan?

"Sampaikan terimakasihku untuk teman-temanmu." Akashi menerima botol minum yang bergetar hebat, menjalar ke telapak tangannya. Ekspresinya terlalu kentara ia menikmati perhatian, sekali lagi: perhatian Furihata untuknya. "Sudah kau minum?"

"E-eh … te-tentu saja belum." Furihata menggelengkan kepala kuat-kuat. Berguling ke samping, hendak berdiri dan cepat-cepat melarikan diri tapi keras-keras ia diteriaki.

"FURIHATA-KUN, BILANG "GANBATTE KUDASAI, AKASHI-KUN!" SEKARANG. CEPATLAAAAH!" Aida menjerit antusias.

"Jangan kembali ke sini sebelum kau mengatakannya!" teriak sang kapten.

Koganei membuat corong dengan kedua telapak tangannya, ditaruh di depan mulutnya. "Coba tanyakan padanya apakah kalau nanti Seirin melawan Rakuzan, Akashi akan lemah terhadapmu, Furihata! Kalau iya, kau saja yang jadi point-guard. Biar kita bisa menang dengan mudah!"

"Oh, itu ide bagus, Koga," puji Kiyoshi.

Furihata terbeliak kaget, tangannya terkibas-kibas panik. "O-OI, AKU TIDAK MAU MENURUTI KEMAUAN ANEH-ANEH SENPAI-TACHI LAGI—"

"APA?! KAU TIDAK MAU HORMAT PADA SENIORMU?" Hyuuga mendadak clutch mode. Salah dengar, salah paham, dan benar-benar salah kaprah. "KAU MAU DIKELUARKAN DARI TIM SEIRIN UNTUK BERSAMA AKASHI?!"

Furihata memukulkan kepalan tangannya ke lantai berulangkali, depresi tak terkira. "BUKAAAN BEGITUUU!" serunya stress. Dia meremas kepalanya yang pusing berputar. "Aku tidak akan keluar dari tim Seirin hanya karena Akashi!"

Ah, dan Furihata benar-benar salah bicara!—tim Rakuzan horror maksimal.

Yang tidak terbukti: Akashi tenang meneguk minum yang diberikan Furihata padanya. Manik heterokromik—kali ini matanya berubah demikian—bergelimang antagonis. Seolah sedang menyimpulkan bahwa Furihata masih lebih menyukai Seirin daripada dirinya.

—oh, dan yang salah paham ternyata bukan hanya kapten tim Seirin. Akashi juga.

"DEMI KEHIDUPAN UMAT MANUSIA, DAN KAU SENDIRI, TETAPLAH DI SANA, FURIII!"

Furihata nyaris berteriak "Pengkhianat!" atau menyemburkan "Teman macam apa kalian, Fuku, Kawa?!" sampai timbrenya melenceng jadi messo sopran, alih-alih melakukannya ia malah menanamkan dahi ke lapangan basket dan meninju pelan—geram sekaligus gemas. Tentu saja, tak ada refleksinya yang mungkin sedang terbelalak dan hendak membentak marah karena merasa didiskriminasi sepihak—tempat ini bukanlah lantai berkeramik yang berkilau setelah disirami karbol berbau cemara.

"Kau tidak bisa bercermin di lantai."

Oh, tolonglah! –bila pita suaranya tidak menyuarakan jeritan, hatinya sudah histeris menandingi lengkingan tujuh oktaf rocker. Apalagi seuntai kalimat itu, menyirat nada geli merendahkan, dan tatkala Furihata melirik ditemukannya Akashi jelas tengah menikmati memandangnya.

Menurut Furihata—yang tengah menderita jiwa-raga, pasti karena tadi ia terlihat seperti bercermin pada lantai. Jadi Akashi masih saja ingat kejadian sialan itu dan mengingatkannya lagi. Emperor muda itu menuai kepuasan pribadi melihatnya menderita.

Menurut orang logis, apa yang Akashi katakan memang benar; lantai semen lapangan basket jalanan tak dapat digunakan untuk bercermin.

Menurut mereka yang mengerti—terutama hal-hal menyerempet ecchi, bisa jadi juga Akashi menyenangi posisi submisif Furihata. Tertelungkup di lantai, menengadah dengan mata berkaca, tangan dengan kuku yang niatnya mencengkeram lapangan—seolah sedang meremas benda lain untuk dikusutkan melampiaskan hasrat, pantat menungging sedikit.

Baiklah, tergantung opini dan paradigma masing-masing individu.

"A-aku … ungh—" Furihata dengan hati ketar-ketir tak kuat menatap Akashi, dipalingkannya wajah ke arah sebaliknya. "—ta-tahu itu, dan ti-tidak se-sedang bercermin." Dan ia merebahkan kepalanya ke lantai. Pipi digigiti rona sewarna surai pemuda di sisinya.

Furihata jelas tidak mengerti efek reaksinya itu pada Akashi.

"Kenapa kau tadi memandangiku seperti itu?" Akashi merendahkan suaranya, tak ingin siapapun mencuri dengar percakapan mereka.

Pemuda yang tengah menelungkupi lantai itu membeliakkan pupil mungilnya. Kelopak matanya mengerut, sudut di bawah mata berkedut. Pandangan nyalang memandang, sepertinya mengingat—dan menyusun jawaban. Mengadu tatapan sesaat dengan netra merah yang intens, barulah ia paham apa yang ditanyakan Akashi.

Pasti saat tadi ia bercengkerama dengan Aomine.

Akashi memicingkan mata. Itu lagi, pandangan Furihata meredup lagi. Jadi benar: itu karena dirinya. Pasti ada kesalahan yang dilakukannya. Akashi memang absolut, tapi seabsolut apapun dirinya, Furihata jelas terlihat tidak absolut akan perasaannya terhadap Akashi.

Furihata menggerung tidak jelas—ia tidak yakin ingin mengonfrontasi tentang hal yang sebenarnya telah bercokol lama sejak kenyataan sesungguhnya ia ketahui.

Hening di antara mereka pecah seketika oleh teriakan.

"BILANG PADA AKASHI, KALAU DIA SAMPAI-SAMPAI BERANI MENGALAH HANYA KARENA KAU DIJADIKAN POINT-GUARD UNTUK PERTANDINGAN SEIRIN VERSUS RAKUZAN NANTI, AKU BERSUMPAH AKAN—" raungan Kagami bertransformasi jadi umpatan kesakitan karena Kuroko menikam lagi pinggangnya dikombo dengan jitakan dari Aida.

Para senior Seirin mengomeli Kagami, kartu truf mereka demi melemahkan Rakuzan (baca: Furihata Kouki), tidak boleh diekspos semena-mena begitu—tak sadar bahwa tim lain juga telah mengetahui hal ini. Hanya tim Seirin yang eksklusif, diberkahi kesempatan untuk sekiranya mengurangi performa prima sang diktator muda yang bisa-bisanya termagnet kawan ordinari mereka (baca: Akashi Seijuurou).

Furihata meringis mendengar jeritan-jeritan kolosal tidak tahu malu dari kubu timnya. Mengacak gemas surainya, tak habis pikir dengan kegilaan teman-temannya yang hampir tiada akhir. Ah, tapi distraksi ini bisa ia manfaatkan untuk mengulur waktu menjawab pertanyaan Akashi barusan.

Lamat-lamat si pebasket tersebut mengembalikan posisi kepalanya lagi—helaian rambut coklatnya menggesek lapangan, mendongak sedikit, takut-takut memandang Akashi.

Strike one. Akashi tertegun.

"A-apa kau ti-tidak marah?" lirih Furihata, ragu.

Strike two. Ah, suara itu.

Akashi balas memandang pemuda yang tengah menatapnya lekat—menemukan fakta bahwa Furihata dengan ketidakmengertian dalam suaranya itu mendongkrak dampak mengerikan pada diri Akashi, lantas ia balik bertanya.

"Kenapa aku harus marah?"

Jari-jemari yang Akashi harap suatu hari akan tersisip dalam genggaman tangannya mengetuk-ngetuk gugup lantai lapangan. Dan Akashi silau dengan mata yang pupilnya melebar, alisnya terlekuk ditarik gravitasi selaras lengkungan bibirnya, pipi sedikit menggembung. Ya Tuhan, inikah cobaan dari penderitaan hidup entitas dilingkup perfeksi?

"Ka-kau tidak merasa … te-terganggu?"

Akashi menekuk kaki kirinya, lengan kiri bertumpu di lutut. Ia menggeser pandangan, lekat menatap Furihata—geli nan merendahkan. "Kenapa aku harus merasa terganggu?"

Sedepa jeda.

Sepasang pemuda yang saling berpandangan itu membuat orang lain menyingkir jauh-jauh.

'JAHAT!' Furihata menangis komikal dalam hati. Ekspresi monotonis Akashi—dan matanya yang memendar intensi sadis itu, menandakan orang ini sedang memonopolinya untuk mengungkapkan isi hatinya. Apapun itu.

Akashi tidak menyerah karena diangsurkan ekspresi yang membuatnya seperti singa ingin menerkam mangsa, melainkan menenangkan diri dan mengangkat tangannya untuk menyentuh pipi itu. Halus mencubitnya.

Ah, kulit pipi itu instan dibedaki warna ranum lapisan tertinggi pelangi. Ibu jari kapan bergerak pelan menemui sudut bibir yang pernah dicium olehnya, mengelusnya hati-hati—bertanya dalam hati sampai kapan ia mampu mengekang diri untuk tidak menciumnya lagi. Telunjuknya bergerak menekan lamat garis dagu, menyebabkan bibir itu sedikit ternganga.

Tak ada hembusan napas terhela—Akashi menyadari perlakuannya merampas napas Furihata.

"Kalau kau tidak merasakan apa-apa, harusnya kau tidak merasa marah atau terganggu dengan semua yang mereka lakukan." Akashi menghunjam pandang Furihata, dari mata dan ia tak tahu sampai mana—mungkin mengerosi kebebalan Furihata hingga palung jiwa. "Abaikan saja mereka."

Furihata bergetar takut. Tidak tahu mana yang lebih ditakutinya, intensitas kesungguhan Akashi yang terefleksi di mata dan roman wajahnya atau justru dirinya sendiri yang masih dibelenggu ragu untuk mengklarifikasi masalah dengan Akashi. Yang ia mengerti, Akashi terlalu intimidatif baginya.

"Tapi jika kau merasa marah dan terganggu tentang yang kaurasakan terhadapku—"

Sel-sel saraf di bibir yang terlampau sensitif tersengat aliran listrik dinamis ketika ibu jari Akashi membelainya. Ada hasrat bicara dalam sentuhan sang emperor.

Tatapan itu merenggut pasokan napasnya. Furihata menggigil dihunjam pandangan yang akhirnya mampu ia artikan; Akashi menginginkannya.

"—abaikan saja aku."

Sunyi menyelebungi keduanya.

"PRIIIIT! Second half Rakuzan versus Kaijou, mulai!"

Akashi menjauh dari Furihata yang tergugu kaku. Menaruh botol minuman yang tadi diberikan atas dasar paksaan tim Seirin—mungkin seharusnya ia mesti berterimakasih pada para senior yang sepertinya suportif terhadap kemungkinan terwujudnya relasi dirinya dan Furihata, lantas beranjak mengikuti teman-teman setimnya ke lapangan.

Dorongan sedikit ini saja Furihata akan mundur seribu langka, Akashi akan menyusun rencana lain untuk menarik Furihata mendekat lagi padanya. Hingga pemuda yang terlalu pengecut itu akan mengakui perasaannya—yang menyebabkan Akashi diombang-ambing keraguannya.

Tapi Akashi akan menyusun rencana lagi nanti, setelah pertandingan basket usai.

Maka ketika asumsi Akashi gagal terealisasi—Furihata akan bergegas lari ke kubu timnya dan menjauhinya lagi, kapten tim Rakuzan tersebut dikejutkan dengan tarikan di ujung kaus belakang yang dikenakannya.

Furihata berlutut, kepala tertunduk. Getar terlabuh di sekujur tubuh. Tangannya bergetar dahsyat, meremas kaus yang Akashi kenakan kuat-kuat.

"G-ga—"

Mata kolong langit yang selalu menjatuhkan Akashi dengan gravitasi solid pesona ordinarinya.

"Ga-ganba—"

"OI, FURIHATA! APA YANG KAULAKUKAN? CEPAT SINI! PERTANDINGAN AKAN DIMULA—AAARGHH!"

Niat suci hati, Kagami ingin memanggil temannya yang hari ini konstan dibuli halus oleh seniornya. Para seniornya tidak mengerti, Akashi mungkin saja akan mengeluarkan senjata tajam untuk mencungkil mata Furihata yang dengan laknat berani menghentikan langkahnya!

Kagami hanya ingin menyelamatkan Furihata. Karena Furihata adalah temannya juga.

Kuroko akhirnya paham, Kagami ternyata salah paham juga.

Jadi sebelum semua orang sempat mencaci-maki cahayanya atau melempari botol kosong untuk menggebuk kepalanya—yang mungkin membuatnya cidera otak dan jadi makin bodoh, Kuroko meregangkan wrist-band pemberian trio Furihata-Fukuda-Kawahara untuk menepis pelipis Kagami.

"KUROKO, TEMEEE!"

"BAKAGAMIII!" –dan ini bukan hanya teriakan dari kubu tim Seirin.

Furihata memanfaatkan distraksi itu untuk terjatuh-bangun, melepaskan kaus Akashi, dan lari secepat yang ia bisa. Jatuh menyuruk pada kedua sahabatnya yang menyisakan tempat untuknya, dan berusaha tak menghiraukan godaan yang tersembur padanya. Ia menyela keributan Kagami dan Kuroko—membela Kagami dan mengucapkan terima kasih padanya.

Akashi terdiam. Furihata tadi hampir—

Hayama melonjak-lonjak antusias. "Akashi, ayoooo!"

menyemangatinya?

Menarik napas dalam—ia harus kembali fokus pada pertandingan melawan Kaijou dan Kise, Akashi tenang melangkah ke tengah lapangan. Saat sepasang pemain berdiri tepat di half-line, ia melirik sekilas ke arah kerumunan Seirin.

Pandangannya bertemu dengan Furihata yang menatapnya redup. Ekspresi ini lagi. Tapi kali ini, tersirat secercah sesal.

Bibir sang pemuda yang memasang form kuda-kuda sempurna di lapangan itu mengurva ke atas. Pesan itu sampai padanya.

Dan rongga matanya kini dihuni sepasang monokrom magenta.

Semua anggota tim Rakuzan merasakan aura kekuatan familiar, seketika tahu kapten mereka akan meningkatkan kemampuan mereka dengan cara yang hanya dirinya seorang yang bisa. Sepertinya tim Rakuzan perlu berterimakasih pada seseorang dari tim Seirin (baca: Furihata Kouki, lagi).

Akhirnya, Akashi paham apa yang tadi Furihata susah payah berjuang untuk diucapkan padanya.

Dan yang menggosipkan kedua pemuda santer itu bahkan bukan hanya kedua kubu tim masing-masing. Ada bisik-bisik tetangga di pojokan, makin keras kasak-kusuk mereka ketika Momoi menghampiri Akashi, berjinjit seraya membisikkan sesuatu.

Berdasarkan kacamata normal orang waras, keduanya tampak serasi. Terlebih ketika Akashi tersenyum tipis merespons yang Momoi bisikkan padanya.

Aomine mengerling pada area Seirin yang selalu meriah dengan keramaian. Bingo: ditemukannya chihuahua itu yang nyusruk tidak elit terbeliak melihat Momoi terkikik pada Akashi yang mengulas senyum dan mengangguk padanya. Oh, itukah tanda cemburu?

Momoi melangkah riang kembali ke sisinya. Bersenandung riang.

"Apa-apaan muka psikopat Akashi dan kau barusan, Satsuki?"

Pertanyaan bernada malas itu membuahkan pukulan yang terlalu mudah Aomine hindari.

"Rahasia." Momoi menjulurkan lidah nakal padanya.

Aomine mengorek telinga. Rahasia mereka bukan urusannya. Toh nanti Momoi sendiri yang akan berceloteh antusias memberitahunya. Seperti waktu terakhir kali bertemu, Momoi melontarkan asumsi dari observasinya atas perilaku Akashi pada chihuahua itu yang berujung pertanyaan—

"Kau menyukainya, ya, Akashi-kun?"

—dan tak perlu jawaban, tekukan bibir serta ekspresi kiamat-akan-datang Akashi versi sudut pandang Aomine itu adalah kenyataan hidup paling mengerikan. Bila dianalogi, Aomine yakin dari zaman rekipli sampai reformasi, dari zaman batu sampai baja, dari zaman nenek moyang sampai cicit kayang, bahkan ilmuwan sekalipun takkan dapat merumuskan bagaimana bisa cinta melibas batas spesies.

Bagaimana bisa singa menyukai chihuahua secara afektif? Atau hanya ingin memangsa saja?

Entahlah, bukan kapasitas otak Aomine untuk memikirkannya.

("Ganbatte, ne…"

"Apa itu mantra untuk mengakhiri dunia?"

"Berhenti berpikiran buruk, Dai-chan." Ketus. Jeda. Senyuman lembut. "Tepatnya itu mantra untuk menyemangati Akashi-kun.")

.

#~**~#

.

"Hari ini matahari bersinar sendu."

"Dan awan pun begitu kelabu."

"Mungkin sang emperor benar-benar sedang error."

"Tidak, dia hanya terlihat makin horror."

"—KITAKORE!"

"Ano saa, Izuki-Senpai … bukan tanggapan semacam itu yang kami ingin dengar darimu."

Sahutan sopan Fukuda dan Kawahara yang tertawa kaku, sweatdrop deras melihat Izuki menyingkir sendiri dan kembali memfokuskan konsentrasi menganalisis jalannya pertarungan di quarter terakhir.

"…"

Kedua pemuda yang tengah memandangi arakan berabu awan menoleh ke belakang, menemukan teman mereka meringkuk memeluk lutut membelakangi mereka berdua.

"Oi, Furi, katakan sesuatu untuk dampak fenomenal mengglobal ini!" Fukuda mengguncang bahu sahabatnya.

"Diamlah, Fuku, Kawa," sungut Furihata dalam gerutu murni sakit hati. "Kalian mengkhianatiku tadi. Dan jangan ikut-ikutan Senpai-tachi mendramatisir hiperbolis situasi."

Pemuda yang rambutnya baru dihuni anakan rambut tipis melontar argumen, "Kami bukan ikut-ikutan siapapun, justru kami menyelamatkanmu, tahu." Dia menjitak pelan kepala bersurai coklat itu.

Fukuda ternganga sesaat. Raut wajahnya kini serius berpandangan dengan Kawahara. "Furi, ini terdengar seperti kau barusan membela Akashi."

"Apa?!" Furihata memutar kepalanya, terlihat defensif. "Ini juga tidak seperti yang kalian—"

"Astaga." Fukuda menepuk dahinya. "Kawa, katakan padaku! Furi itu lemot, idiot—"

Selagi Furihata berupaya mencekik Fukuda, Kawahara kalem menjawab, "—bolot." Dia melerai kedua sahabatnya yang kini saling menyerang satu sama lain, dihindarinya sabetan tangan Furi yang nyaris menepis kepala imitasi globe miliknya. "Furi, kami tahu otakmu bahkan lebih berfungsi daripada Kagami." Karena keduanya masih menyemburkan makian khas remaja lelaki satu sama lain, Kawahara yang pesimis akhirnya menoleh ke belakang. "Furi, lihat dunk Akashi itu!"

Aksi hendak memelarkan pipi Fukuda terinterupsi, Furihata menoleh ke lapangan. Akashi bahkan berada di garis tengah lapangan dan tidak sedang memegang bola. Ia mendelik pada Kawahara.

Fukuda melepaskan diri dari cengkeraman Furihata. Kepalanya tergeleng-geleng tak percaya. "Lihat siapa yang tertipu mentah-mentah."

Pemuda yang jadi sentris atensi ini menggerung sebal. Tapi toh dia memutar posisinya, tak lagi membelakangi lapangan, melainkan kembali menyaksikan pertandingan.

"Dia sangat perhatian memang benar-benar hanya padamu." Fukuda memosi ibu jari pada sosok Akashi yang tangkas tengah melakukan intercept operan bola basket Kasamatsu pada ace tim Kaijou. "Kau masih mengelak?"

"…" Furihata menumpukan dagu pada lutut. Tak bergegas menjawab Kawahara. Matanya hanya terpancang pada Akashi yang kini melesat kilat melampaui marking dari Hayakawa. "Kalian bilang, kalau aku butuh apa-apa, meski kalian tidak sebanding dengan Akashi … aku bisa memercayai kalian." Dia menarik napas dalam, ekspresi kesalnya tersayup. "Tapi tadi bahkan kalian juga membiarkanku diumpan oleh Senpai-tachi untuk dengannya. Teman macam apa kalian?" gerungnya sedih.

"Kami yang tanya, apa kau benar-benar percaya pada kami?" Fukuda memutar balik pernyataan jadi pertanyaan.

"Tentu saja—!"

Kawahara bertukar lirikan dengan Fukuda. "Sepertinya tidak. Pertama, ada yang kausembunyikan dari kami."

"Dan sepertinya Akashi tahu itu," imbuh Fukuda serius.

Strike one. Furihata berjengit pahit. menelan bongkahan sepat saliva.

"Kedua kau tidak—atau mungkin belum—cerita tentang resolusi masalahmu dengan Haruka Niimi-san." Fukuda mengangkat satu telunjuk kanan dan jari tengahnya. "Kedua, soal taggar trending topic di sosial media. Orang mana setolol itu yang tidak sadar bahwa yang digunjingkan siswa-siswi Rakuzan tentang Akashi Seijuurou bukan kau, Furi?"

"Ketiga—" Kawahara memelankan volume suaranya. Meraih tas Furihata yang membuat si empunya diderik panik, dan Fukuda menahannya yang berontak habis-habisan agar Kawahara bisa menarik secarik material fabrik. "—selama ini kami bersamamu, dan bagaimana bisa kami tidak tahu ini selalu ada di tasmu?"

Combo-strikes. Terutama karena jersey itu.

Para apresiator basket memberi salut riuh dengan tepuk tangan berderai karena tim Kaijou berhasil menyabet skor mengungguli Rakuzan.

"Kau selalu begitu, Furi. Kau selalu memikirkan semuanya sendiri." Fukuda turut merendahkan frekuensi suaranya. Ekspresinya melunak sedikit dan menepuk-nepuk bahu Furihata. "Aku tahu kau akan memberitahu kami, tapi kadang itu terlambat."

Airmuka keras, determinatif khas Furihata yang keluar ketika didebur ketakutan. Ekspresi bersikerasnya yang melumer sekelam rupa langit yang mengatapi mereka. Ada sendu menggelayut di matanya, yang hanya dipahami oleh kedua kawannya. "Maaf, aku…"

"…tidak bisa cerita pada kami." Kawahara mengedikkan bahu ringan. "Tinggal bilang begitu saja, apa susahnya, Furi."

"…"

Fukuda menghamburkan napas panjang pada telapak tangannya yang dirayapi dingin suhu musim gugur. "Kami sendiri tidak mengerti kenapa kau tidak cerita pada kami, tapi kalau itu membahayakanmu karena Akashi menyebabkan dampak global fenomenal, setidaknya kau bisa mengklarifikasi dan menyelesaikan masalahmu dengannya."

"Dampak global fenomenal … kau berlebihan, Fuku," gumam Furihata jemu.

"Cek akun jejaring sosialmu," tanggap Fukuda seraya bolak-balik menggulir pandangan dari objek pandang Furihata pada temannya itu. Bicara begini saja, bahkan atensi kawannya terpasung pada siluet kapten tim rival mereka dari Kyoto yang tengah berjuang membalas keunggulan skor tim dari Akita.

"Kalian tidak merasa … jijik atau semacamnya?"

Suara itu berdengung pilu di antara sorakan meriah yang menghidupkan lapangan.

Sisi yang ini mereka kenal, sisi pesimis Furihata yang tengah menggerung miris—entah apa. Mereka pikir Furihata menanyakan tentang relasi tabu yang entah kenapa perspektif lingkungan basket mereka dengan anomali bahkan menetralisir penyalahan terhadap kodrat yang digalakkan oleh norma adat-istiadat tersebut.

"…kalau aku yang melakukannya, kurasa aku jijik pada diriku sendiri," jawab Kawahara jujur.

Denyut ngilu kian mengerut bibir sang pebasket Seirin bernomor punggung dua belas tersebut ke bawah.

"Aku juga." Fukuda mengangguk setuju. "Kau pasti merasa begitu, ya?" Ditamparnya pelan punggung kawannya. "Tapi, itu kalau pandanganmu terbatas hanya dari sudut pandang diri sendiri saja."

"Ha-hah?" Furihata mendongak, roman wajah diriak kebingungan.

"Sederhananya, kami di sini selama ini melihatmu mendapat perhatian dari Akashi … kami juga bisa tahu apa yang dia rasakan padamu … tidak berbahaya." Kawahara menguraikan. "Maksudku, tidak seberbahaya waktu dia mencoba menusuk Kagami dengan gunting," guraunya jenaka.

"Kurasa bukan hanya kami. Yang lain juga bisa melihatnya. Ketulusan monster itu hanya padamu," ujar Fukuda dengan nada bercanda di akhir kalimat. "Sebenarnya, dia tidak terlihat seperti monster lagi saat berhadapan denganmu."

Atensi Furihata yang sadar tak sadar terepisentrum di Akashi kini akhirnya terenggut, bergulir pada kedua sahabatnya. Syok membumbungi ekspresi.

"Kami juga ingin menyelamatkanmu, Furi. Kesabaran seseorang ada batasnya, dan—entah kau sadar ini atau tidak—kami tidak ingin membayangkan apa jadinya dampak ketidaksabaran Akashi padamu yang terus menghindarinya." Kawahara menarik keluar lipatan rapi jersey Rakuzan, menjejalkannya pada Furihata yang tengah ternganga. "Setidaknya, hanya ini yang bisa kami lakukan untuk sekarang."

Sorak-sorai terburai memenuhi udara yang diruahi liukan tak gemulai daun-daun kering maple merah kecoklatan. Satu tim telah tersegel kemenangan mutlaknya.

"Kami mengerti kau pengecut, tapi aku yakin kau tidak mau jadi pecundang." Fukuda bangun dari duduknya, menarik lengan Furihata untuk bangun juga yang masih tampak linglung, meremas bahunya dengan tekanan menenangkan. "Bicaralah dengannya, Furi."

Furihata menatap jersey yang ada dalam dekapannya. Milik Akashi. Panas memedas matanya. Mencelos, sensasi kehangatan karena uraian kedua sahabatnya itu dialokasikannya untuk menjadi keberaniannya. Serak suaranya oleh haru-biru tatkala berusaha bercanda, "Pokoknya … kalau nanti sesuatu yang buruk malah terjadi—seperti aku akan mati karena Akashi, kalian harus mencegahnya, oke?"

"Kau yang berlebihan, tahu." Fukuda menampar gemas bahu kawannya.

"Kami akan menyelamatkanmu—" Kawahara nyengir inosen. "—kalau tidak terlambat, sih." Dan ia meninjukan kepalan tangannya kompak dengan Fukuda.

Furihata menghela napas panjang, senyum tulus tipis menyembul di wajahnya. "Kalian … benar-benar teman—"

"—menakjubkan?" Kawahara mengelus kepala eks-plontosnya. Berekspresi sok tampan. "Kami tahu itu."

Fukuda dan Furihata berpandangan, tak lama ketiga sobat karib itu meletuskan gelak-tawa menyenangkan. Bukan karena hasil pertandingan yang sempat menderum lapangan, melainkan karena teman.

Angin menderak ranting-ranting, keras menggoyang pepohonan. Setara eksitasi euforia kemenangan, dan tak ada lagi gulungan penyesalan berkabut tebal kekalahan.

Furihata menggigit bibir, mendekap rapat jersey Rakuzan, langkah beratnya menggodam imajiner lapangan tatkala ia menghampiri Akashi.

.

#~**~#

.

Pertandingan tim biru elit melawan tim emperor dimenangkan oleh Rakuzan. Klise alasannya, ace mereka mengalami degradasi energi dan nyeri. Akashi menjabat tangan sang kapten, lalu saling meninjukan kepalan tangan masing-masing. Kise meringis, menerima uluran tangan dari Akashi dan bangun dengan bantuannya. Akashi membiarkan Kasamatsu memapah paksa Kise menuju sektor tikar mereka.

Terbalur oleh euforia dan salutisme di sana-sini, Akashi tengah menyeka rahangnya yang gatal digantungi bulir-bulir peluh. Hari sedingin ini, dan dia juga berkeringat hingga merintiki permukaan lapangan. Dilayangkannya pandangan ke luar kawasan lapangan basket, jalanan terbentang di balik rimbun hutan.

Pertarungan berikutnya adalah Too versus Yosen. Yang itu berarti adalah Aomine pasti akan berseteru one on one dengan Murasakibara. Setelah itu, pasti diundi lagi antara Seirin, Rakuzan, dan siapapun yang menang antara Too atau Yosen.

Akashi memprediksi dengan terawangan masa depan, kekuatan yang disinyalir paling supranatural—sayang sekali namanya tak tercantum dalam golongan minoritas Anak Indigo atau semacamnya, pasti Seirin akan melawan Rakuzan dulu.

Pemikiran ini saja mengulik sudut bibirnya. Akashi cukup sadar ketika Nebuya bergidik menjauhinya dan memilih berjabat tangan dengan Kobori. Pandangannya beredar mendeteksi keberadaan teman-teman setimnya tengah bercakap-cakap dengan anggota tim Kaijou, dan terlibat konversasi jamak dengan para penonton lainnya. Kehebohan. Keramaian. Kekisruhan.

Mengabaikan semua itu, Akashi menatap langit. Awan gembul bergumpal gelap seperti kemarahan alam telah saling tindih dan mencerca wajah elok relief bumi yang mesti mereka naungi. Mungkin akan ada badai atau—

—ada tarikan pelan di ujung kausnya. Akashi menoleh ke belakang. Terpana menemukan seseorang yang tengah dipikirkannya akan one on one dengannya lagi, pula diprediksinya akan diumpankan Seirin sebagai trik untuk mendistraksi keseriusannya dalam pertandingan basket, bergetar dengan kepala tertunduk dan ujung sepatu mengetuk-ngetuk lapangan sembari meremat tepi kausnya.

"A-aku…" Tarik-hela napas tak beraturan. "…bi-bisakah … ukh, bukan … bolehkah aku … bicara—" Akashi menjatuhkan pandangan pada jersey familiar dalam dekapan pemuda yang melirih, "—padamu?"

Suspense adalah detik-detik yang terasa selama penjelajah antaraksisa mengarungi angkasa, Furihata mengira itu sebegitu lama, karena jeda keterkejutan yang Akashi berikan selama mencerna permintaannya benar-benar menyiksanya.

"A-aduh!"

Furihata meringis kesakitan ketika sesuatu jatuh menimpuk kepalanya. Dingin, tangannya yang bertremor—karena degup jantungnya yang tengah gugup merambat ke seluruh tubuh—meraba apa yang menimpa dan mengiriman sensasi dingin menyengat dirinya. Bukan hanya sekali, dua kali, repetitif dengan kecepatan terakselarasi.

ZRASH!

"AAAARGHH!"

"WOAAAAH!"

"GULUNG TIKARNYA!"

"KUMPULKAN BARANG-BARANG KITA!"

"AWWH, SAKIT!"

"DINGIIIIN!"

Euforia itu bertransformasi jadi distopia manakala yang menghujani mereka bukanlah perasan mata air dari langit. Melainkan benda dingin berdiameter sekitar tujuh mili meter menghunjam area setempat dikarenakan iklim Jepang yang sedang anomali disebabkan oleh pemanasan global.

Hujan es.

Akashi menyambar jersey miliknya. Membentangkan jersey-nya, lalu meneduhi dirinya dan pemuda yang tengah melindungi kepalanya dari terjangan beringas hujan es. Lengan kanannya merangkul Furihata protektif. Fokusnya yang terdistorsi oleh hiruk-pikuk kegentingan situasi, dan kondisi tak memungkinkan karena fenomena anomali hujan es, membuatnya luput memerhatikan saputan warna yang memekat di pipi Furihata.

"Kita tidak bisa bicara di sini," jawab Akashi, tak menyadari Furihata menggigit bibir dan menundukkan kepala lebih dalam karena helaan karbondioksida sang emperor menggelitik hangat telinganya, dirapatkannya posisi mereka seraya menuntun Furihata berlari kecil meninggalkan area lapangan.

Tak ada yang menyadari kedua pemuda itu lenyap. Alex yang paling dewasa di sana membiarkan kaum remaja perbasketan itu berkotek-kotek protes dengan fenomena gloal perubahan ekstrim iklim. Wanita itu tengah memanjatkan doa dalam gumam geli.

"Well, hopefully that extraordinary couple will be okay when they do this and that in this icy weather."

.

To be continue

.

XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX

.

*Dilemparin es batu sama Lechi-tachi gegara molor update*

Sejujurnya, kalau nggak karena mood-booster indah dan partner-in-crime yang lagi cedera, mungkin ini fic masih saya "kristalkan" dalam drafts fic. *Dicekek*

Maaf bila Fukuda dan Kawahara berasa OOC banget (siapa sih yang gak kamu buat super OOC di fic ini, Light?!). Saya udah berusaha menyisiri adegan yang ada trio Seirin, tapi super minimalis di anime. Di manga-nya juga sama minimnya. Idem A/N chapter 9, saya bener-bener gak merasionalkan tentang ketabuan relasi di fic ini. Orz

Bagian Furi selalu memikirkan semuanya sendiri dan memberitahu nanti, itu saya dapat dari observasi Furihata pada Mayuzumi. Dia yang seorang diri memikirkan (satu-satunya di tim Seirin menotis Mayuzumi dan kefamiliarannya), dan terlambat memberitahu (begitu pertandingan terlanjur berlangsung).

Dan Furihata juga bukan tipikal orang yang mudah memberitahukan perasaannya. Terlihat dari saat dia menangis, menguraikan kesedihannya karena di-subs-out keluar lapangan (BUKAN, SAYA TAHU SEBENERNYA FURI NANGIS GEGARA MASIH MAU MARKING AKASHI, 'KAN? MUAHAHA *dipites FujiTada-Sensei karena nikung canon lagi*), hanya pada Kuroko ia berbagi perasaannya; bukan pada Fukuda (karena lagi berganti me-marking Akashi) bukan juga pada Kawahara (yang notabene padahal ada di bench juga) atau seniornya yang lain.

Bisa juga karena yang lain lagi fokus sama kegentingan pertandingan (tapi kalau dari sudut pandang ini kesannya tim Seirin nggak perhatian sama anggotanya, ahah).

Kenapa kok baru setelah dipoyokin FukuKawa, Furi baru nyamperin Akashi? Ini karna berdasarkan canon-nya, Furi memang pengecut, pesimis, suram, dsb. Tapi karakternya mengalami perkembangan. Furi memang pengecut, tapi dia bukan cowok pecundang. Kalau memang sudah saatnya, dia tahu diri dan dapat diandalkan oleh orang-orang yang membutuhkannya—seperti kata Aida Riko. (flashback one on one pertama AkaFuri di fic Koraeru koto dake ga yuuki janai) ada yang di sisinya, teman-temannya, meyakinkan bahwa Furihata sebenarnya "bisa". :"D

Soal "do this and that"-*mendadak keinget mate partner-in-crime dan keambiguan kita berdua*-well, sampai chapter depan! XD

.

And see you latte~

.

Terima kasih sudah menyempatkan untuk membaca. Kritik dan saran yang membangun sangat saya harapkan. ^_^

.

Sweet smile,

Light of Leviathan