summary

Hanya sebuah kisah romansa klasik di atas tanah desa Batavia. Tussen mij en u.

.

.

West Batavia, 1830.

Ini adalah kisah jaman dulu, pertengahan abad ke-19, yang dimulai sejak suami-istri muda bermarga Van Gaal menginjakkan kaki di negeri rempah-rempah bernama Hindia Belanda, nama Indonesia saat masih di bawah jajahan masa kolonial. Keluarga impor itu datang dengan sebuah tujuan besar melalui jalur perdagangan ini. Diantaranya adalah mempertinggi derajat, memperkaya diri, dan mendapatkan kehormatan di tanah Asia ini melalui cara memperjual-belikan barang tekstil luar negrinya. Tak ada niatan lain selain itu. Hingga pada suatu hari, di tahun-tahunnya sang kepala keluarga berhasil mencapai titik puncak keemasan di bidang karir, lahirlah seorang bayi lelaki yang normal dan sehat. Rambutnya pirang pucat seperti ayah, mata hijau zambrudnya turunan si ibu, dan kulit seindah kaca porselen. Dia adalah putra pertama mereka, Nethere Van Gaal namanya.

Segala fasilitas terbaik diberikan hanya untuknya. Di tanah asing milik pribumi lain adat dan ras ini, taraf benda-benda kepunyaannya disama-ratakan. Elit semua—boleh lebih, tak boleh kurang. Dimulai dari pendidikan, mainan, hingga lingkungan sosialnya. Ya, terutama di bagian sosial, atau sebut saja pergaulan. Karena sudah dari awal Pieter Van Gaal, sang ayah, memberi peringatan keras untuk Nethere sejak awal ia berusia lima tahun.

"Jangan pernah kau berteman, berbicara, atau sekedar melirik kaum pribumi, entah apapun alasannya. Ayah tidak suka kau main dengan mereka."

Itu nasihat yang dia ucapkan bagai ultimatum. Dan karenanya, bocah lelaki dengan tatanan rambut jabrik ke atas itu hanya mengerjapkan mata lentiknya dan mengangguk patuh tanpa suara. Wajah polosnya seperti tak menaruh minat juga untuk itu.

"Ja, vader."

.

.

.

BATAVIA

Hetalia by Hidekazu Himaruya

AU—Alternate Universe

Pieree Present...

(Netherlands—FemIndonesia)

.

.

one of nine

-prolog-

.

.

South Batavia.

Di hari yang sama, lebih tepatnya pada tanggal 17 Agustus, keluarlah bayi mungil bersimbah darah segar dari rahim seorang wanita muda asal Sunda bernama Laras. Dukun anak yang membantu proses pengeluarannya segera menggendong bayi yang kini menangis histeris itu, lalu membersihkan darah dan juga kulit ari yang masih menempel di tubuh sang bayi. Tersengal-sengal, sang ibu yang telah kewalahan mencoba membangkitkan tubuh penuh peluhnya dan memandangi nenek tua di ujung ruangan kecil nan kumuhnya. "Ba-Bagaimana?"

"Selamat, Ras. Dia perempuan. Normal dan sehat. Cantik pula—kulitnya kuning langsat tapi terlihat putih bersih."

Laras menghela nafas lega seraya membaringkan kembali tubuh lemasnya di kasur. Ia luruskan kedua kaki tegangnya dan membiarkan dukun yang bekerja layaknya bidan profesional itu menyelesaikan tahap akhir proses persalinannya. Dukun kulit cokelat serta rambut putih yang telah dicepol rapi itu bertanya pelan. "Bayi ini mau diberi nama apa, Ras?"

Pertanyaan tadi membuat bibir Laras mengulum senyum pedih sekalipun kedua matanya masih terpejam. "Karena mediang ayahnya sudah berpesan dari dulu, mungkin aku akan menamainya Nesia, Inesia Rahayu..."

Dukun anak itu mengangguk. Ia belai lembut kepala bulat sang bayi yang sudah ditumbuhi oleh surai hitam tipis dengan basuhan air. Mengusap pipi buah persik dan hidung mancungnya yang masih kecil. "Nama yang bagus. Suatu saat nanti aku yakin dia akan tumbuh menjadi gadis cantik yang lemah lembut. Ah, atau sebagai wanita kuat yang bisa mengusir kompeni [1] dari sini lewat perang, mungkin?"

"Amin, Mbok." Candaan tadi ditanggapi oleh Laras yang kini tertawa kecil. "Tapi daripada perang... entah kenapa aku lebih ingin dia bisa menahlukkan kompeni dengan jalur damai."

"Hm? Contoh damainya?"

"Siapa tau nanti ada orang kompeni yang mencintainya. Sehingga orang-orang Eropa itu akan memperbaiki sifatnya kepada kita yang merupakan warga asli tanah ini—tidak kurang ajar lagi. Yaa memang sedikit tidak mungkin sih."

Giliran Mbok yang tertawa. "Harapanmu boleh juga." Ia memandangi bayi yang masih merah ini dan mengeluarkannya dari baskom air—sudah selesai bersih-bersih. Ia taruh bayi yang masih aktif bergerak itu ke kain batik yang sudah dibentangkan dan membalutnya hati-hati. Diam-diam si mbok tersenyum.

Kalau dipikir-pikir... ucapan Laras di era ini memang terkesan mustahil. Mana ada pribumi yang bisa setulus itu mencintai warga inlander, pribumi, sampai rela meluruskan hubungan buruk yang telah berkembang sejak pertengahan abad ke-17 itu. Tingkatan kasta ras di sini terlalu statis, susah berubah. Tapi bukannya akan menjadi suatu hal yang indah jika hal tersebut terjadi?

Kami semua mendoakanmu, Nesia...

.

.

see you

.

.

my note

[1] Kompenisebutan untuk Belanda dari pribumi. Diambil dari Compagnie (VOC).

Hadiah kecil untuk ulang tahun Indonesia yang ke-69. Sebuah fict yang sangat terinspirasi dari kisah cinta seorang pria Belanda dan gadis Papua. Agak dibuat berbeda supaya ngga terlalu mirip dengan cerita aslinya :')

.

.

warm regards,

Pieree...