Disclaimer: Fujimaki Tadatoshi. Saya sama sekali tidak mengambil keuntuungan materiil dan hanya bertujuan untuk bersenang-senang.

Pairing: jelas Akafuri.

Warn: Sho-ai, standart warning, dan alur maju mundur.

Aaa, g sanggup ngelihat FFN dan AO3 tapi Akafuri lama banget pertumbuhannya(tapi sekarang udah banyak sih ya ). Jadi, ngeprodusen sendiri deh. Ayo gelakkan semangat Akafuri.

Happy reading minna ^-^


"Sei-chan!"

Teriakan berkumandang memecah lamunan, Akashi berbalik, memandang pada orang yang dengan beraninya meneriakinya—siapa lagi itu kalau bukan orang yang padahal lelaki tapi senang hati dipanggil Onee. Ia mendecih, menyesal parah sudah menoleh karena sekarang orang itu mendekatinya. Padahal baru saja ia kembali memikirkan pemuda itu, lelaki berambut coklat seumurannya yang ia temui di café dan menangis karena dirinya. Lalu kemudian ia mengingat juga tentang mimpinya semalam, bagaimana orang yang selama ini kabur dalam sekumpulan kilasan singkat dalam ingatan dengan pemuda di café itu ternyata berhubungan.

Mereka orang yang sama, Akashi menyimpulkan itu. Dan semuanya membuat konklusinya menjadi jelas.

Kenapa pemuda itu menangis saat ia meminta maaf dan terlihat begitu terluka.

Kenapa pemuda itu memiliki warna rambut yang sama dengan orang yang menjadi harta berharga adiknya.

Kenapa hatinya bergetar ngilu dan selalu merindu pada pemuda itu.

Dan kenapa orang itu datang dalam mimpi basahnya.

Hatinya ngilu, bergetar penuh dendam dan juga takut. Pasti pemuda itu berpikir jika Akashi meninggalkannya, membuangnya karena bersikap seolah tak mengenalnya, mencampakkannya, membohonginya. Padahal itu karena binary mereka, pecahan dua kepribadian yang satu sama lain tak mau mengalah. Ia tak mengerti, gagal paham pada adiknya. Jika pemuda itu seberharga itu baginya, lalu kenapa ia sengaja membuat pemuda itu terluka.

Kenapa tak biarkan saja ia yang mengurusnya? Kenapa tak biarkan saja Akashi yang melanjutkan cintanya pada pemuda itu? Membiarkan pemuda itu dimiliki olehnya dan membuat pemuda itu terus bahagia, bersama—berdua. Dengan begitu tak akan ada yang terluka, bukan?

"Karena hanya orang idiot yang mau berbagi padahal ia jelas dicintai dan mencintai orang itu."

"Apa yang kau maksud?"

Akashi menegakkan wajah, sedikit bingung ketika suara datar itu membuat pikirnya pecah untuk yang kedua kali. Dia pikir hanya ada suara yang mendayu dari Mibuchi, lantas kenapa Mayuzumi juga disini? Dan kenapa juga ia tak menyadari kehadirannya seperti biasa? Akashi tertawa meremehkan dalam hati, dia lupa—pikirannya terlalu didominasi oleh dia dan anomali adiknya.

Mayuzumi menatapnya datar, tanpa intensi untuk mengulik informasi atau sekedar membaca ekspresi Akashi. Kemudian Light novel yang tak lepas di tangan dibalik, menunjukkan deretan kata penuh intrik romansa. Akashi mengernyit, kisah hidupnya sudah mulai lebih parah dari bacaan murahan itu.

"Hanya membaca dari sini," ucap Mayuzumi datar. Kembali tenggelam dengan dia, novelnya dan dunianya sendiri.

Mendengus rendah, kalimat itu malah kembali terngiang dalam benak.

'Karena hanya orang idiot yang mau berbagi padahal ia jelas dicintai dan mencintai orang itu.'

Rasionalitas Akashi terkikis habis, emosi bergolak seolah lahar di dalam gunung berapi. Deduksi yang di dapatkannya hanya bisa menunjukkan satu hal dan pemuda bersurai merah magenta itu tidak habis pikir.

Apa adiknya begitu gila sampai mengobarkan dan melukai siapapun, bahkan orang yang ia cintai hanya untuk membuat ia tak bisa bersama dengan pemuda itu?

Dan ia tahu jawabannya, sangat-sangat tahu sampai ia merasa bergitu terluka. Dikhianati kesekian kali oleh kepribadian yang ia anggap sebagai adik sendiri.

'Kau begitu egois, kenapa?'

Elegy memenuhi hati, gencar memilin kakofoni melingkupi diri.

'Sebegitukah kau menganggapku sainganmu?'

Menyindir merendahkan, ia menghina dirinya sendiri yang seolah merasa jadi manusia paling terhormat dan berhak memiliki segalanya untuk ia kuasai. Merasa dirinya cukup baik untuk mengambil alih hal yang berharga bagi adiknya.

Jelas saja adiknya tak mau berbagi, karena ia juga punya keinginan dan hati sendiri. Karena ia juga punya perasaan dan seseorang yang tak berhak dibagi. Meski mereka sebadan tak lantas wajar untuk berbagi.

Tapi jika begini pemuda itu yang akan terluka, lebih parah dari Akashi dan adiknya sendiri. Terlebih ketika rasa sakit serta ketidaksadaran menyerangnya dan keesokan hari menemukan diri sendiri bertubuh sehat bugar dahaga terpenuhi namun penuh luka di punggung. Ia tahu di hari itu pasti adiknya berbuat kesalahan lagi, tapi jika dihubungkan dengan semuanya Akashi takkan mau membayangkan apa yang terjadi. Adiknya terlalu parah menyakiti.

'Naa, aku.'

Dan jika ia disini bertindak sebagai kakak yang baik juga orang yang licik itu bukan kesalahannya. Ia hanya ingin memperbaiki hubungannya—walau sebenarnya adiknya—dengan pemuda itu. Juga mungkin mengambil kesempatan di balik niatnya yang tak benar-benar tulus.

Pemuda itu terlalu manis, Akashi terlalu terpesona padanya seperti adiknya jatuh cinta pada pemilik surai sewarna daun di musim gugur. Terlalu menarik untuk diabaikan oleh jiwa Akashi sendiri dan ia berpikir mereka sebenarnya mungkin saja berbagi hati, berbagi perasaan, hanya saja tak mau mengakui. Toh pada nyatanya, mereka orang yang sama bukan?

"Sei-chan." Mibuchi memanggilnya manja, gencar bersikeras memeluknya namun ia selalu berhasil mengelak. Menatap bosan pada lelaki berperawakan flamboyan itu, Akashi bersuara.

"Reo, kau tahu pemuda berambut coklat yang pernah bersamaku?"

Antusias yang sedari tadi bertahan di wajah Mibuchi perlahan luntur, eskpresinya sekelam warna rambutnya yang berwarna hitam. Ia tahu jika Akashi bertanya itu berarti harus ada jawaban, tapi jika ini yang ia tanyakan rasanya menjawabnya terasa terlalu memuakkan.

Pemuda berambut coklat yang dengan bodohnya berani maju padahal seluruh tubuhnya gemetaran, bahkan terjatuh sebelum masuk ke dalam lapangan. Si bodoh dan tak berguna itu, untuk apa Akashi bertanya. Sebenarnya ia ingin mengelak, membahas masalah lain, tapi mata Akashi menghujamnya nyalak.

"Err, jika yang kau maksud pemuda bertendensi pengecut yang terjatuh sebelum memasuki lapangan dan memarkingmu selama lima menit maka aku tahu." Ia berucap sambil melekatkan ibu jari dan telunjuk kiri di dagu, berpose seolah detektif. " Sebenarnya aku malas mengingat namanya, tapi berhubung yang dimarking adalah Sei-chan, mau tidak mau aku jadi teringat. Kalau tidak salah namanya…Furikata…Furimata…Perikata."

Akashi berdehem, memberikan Mibuchi sekali lagi pandangan tajam.

"A-ah, maksudnya Furihata Kouki. Dari Seirin."

Bibir Akashi terangkat naik sekian mili, tak akan disadari jika kau bukan pakar mikroekspresi.

'Ho, Furihata Kouki 'kah?'

Kembali ia memandang kedua anggota tim basket line pertama yang kini sudah pensiun itu, mengeluarkan ponsel pintarnya ia hanya bersuara sambil berlalu.

"Reo, Chihiro, sepertinya aku memiliki urusan tertentu yang harus diurus terlebih dahulu."


.

.

.


Pagi mengutip malam yang memberikan gelap, membawa cahaya bersamanya dan membangunkan segala macam makhluk non-nokturnal kembali pada aktifitasnya. Furihata terbangun ketika sinar mentari menusuki matanya dengan spektrum-spektrum menyilaukan, memaksa otot bisepnya membawa tangan menutupi alat optiknya. Menggeliatkan tubuhnya perlahan ia membiarkan desahan nafas keluar begitu saja, membalik selimut dan matanya mencari-cari secarik kertas kusut yang berupa selembar foto. Sudah kabur karena terlalu sering ditetesi liquid air mata tapi masih cukup untuk menjadi reminansinya.

"Seijuurou-kun? Kau memuakkan, berkata hubungan kita tidak masalah dan memaksaku mencintaimu tapi malah mengecewakanku."

Tak ada yang menyahut, ia memang seorang diri. Dibalut sepi yang lamat membelai hatinya yang hampir mati, selayak cintanya yang telah rusak porak-poranda karena badai yang sebenarnya telah ia prediksi. Ia kembali menghela nafas, bibirnya tak lagi mengukung sedih, ia sudah terlalu sakit hanya untuk merasakannya.

Foto blur itu kembali dipandanginya. Memandangi seorang pemuda yang memiliki segala kuasa dalam genggamannya, terlalu kuat dan absolute sampai-sampai Furihata ketakutan tapi mau saja didominasi, berada dalam tiraninya.

"Aku tahu bahwa kau hanya mempermainkanku. Aku tahu dan sudah memperkirakannya, tapi cinta itu memang bukan kuasa manusia." Furihata tertawa, miris menahan segala kecewa yang ingin tumpah ruah dari mulutnya." Ketika aku sadar, aku sudah begini. Mencintaimu separah ini lalu semua keadaan kembali pada keadaan seharusnya."

Bahwa Akashi tak selayaknya bersamanya. Karena mereka terlalu berbeda, jurang yang memisahkan mereka terlalu jauh dari terpaut. Membiarkan diri mereka melihat keseberang dan objek dalam pandang itu hanyalah sekedar titik.

"Kau dan aku memang tidak pantas digariskan takdir dalam garis lurus tapi aku terlalu berharap. Dan beginilah aku, terluka, terluka dan terluka."

Nafasnya mulai memburu karena rasa sakit yang menghimpit, menguak luka hati yang bertindih merajam naluri yang tersepi.

"Aku lelah mengharapkanmu. Aku ingin lari darimu dan melupakanmu. Tapi kenapa kau selalu ada di pikiranku?"

Furihata berjalan pelan, menyusuri kamarnya menuju ke kamar mandi. Setidaknya ia bisa sedikit mengurangi sakit hati.


.

.

.


Tubuhnya agak segar ketika langkah kakinya ia bawa menuruni tangga, mungkin karena air mandi yang hangat cukup untuk menenangkan sedikit seluruh syaraf tubuhnya yang tegang. Furihata masih mengeringkan rambut perlahan saat aroma omelet rice memenuhi indera pembaunya, menerbit sedikit salivanya walau sakit hati masih meraja—wajar, bagaimanapun makanan dengan bahan utama nasi dan telur itu merupakan hidangan favoritnya. Simpel tapi lezat, sepertinya dirinya seharusnya berada. Tidak boleh menaik garis kepada beef steak segala, cukup menjadi dirinya yang sederhana dan kehidupannya akan kembali normal.

"Furihata-kun." Namanya dipanggil dari balik dinding-dinding asal penarik perhatiannya itu berasal, dapur dipenuhi dengan suara hentakan talenan dan spatula, desis minyak yang mengeringkan nasi, menyesapinya dengan bumbu.

Yang dipanggil hanya mengangguk perlahan, menarik letak handuk yang menjuntai menutupi wajah, ketika ia memasuki dapur dan menemukan pemuda bersurai biru muda dalam balutan apron coklat yang biasa dipakai ibunya. Pemuda itu—yang bertubuh lebih kecil dari mereka berdua—balas mengangguk, walau hatinya rasanya tak enak melihat Furihata masih saja sepertinya memikirkan orang itu namun memilih tak bersuara. Ia merasa sakit melihat orang yang ia sukai terluka, terlebih karena orang yang seharusnya menjadi rivalnya, sayang ia tak punya hak disini.

Bisa jadi jika ia mengambil tindakan yang salah nanti Furihata akan bertambah muram durja dan Kuroko sama sekali tak mau itu terjadi.

Tak butuh waktu lama untuk Kuroko meletakkan sajian makan di meja—nyatanya, saat Furihata turun masakannya sudah hampir jadi—juga ikut mendudukkan diri berseberangan dengan pemuda yang surainya masih tertutup handuk. Piringnya ia sodorkan ke depan ketika sama sekali tak menunjukkan pergerakan, tepat ketika Kuroko ingin bersuara uutuk menganjurkannya paling tidak menelan sesuap dua agar energi tubuhnya tetap terjaga, Furihata memecah rekor perbincangan pertama mereka hari ini.

"Kuroko—" kalimatnya tergantung di tenggorokan namun coba ia suarakan. Masih cukup banyak—sangat sebenarnya— beban yang menggantunginya mengenai dia, Akashi. Dan ia juga sejujurnya tak yakin dengan apa yang ia katakan ini murni karena ia sudah lelah dengan semua beban itu hingga akhirnya bisa berlari"—aku ingin keluar rumah." Keluar dari segala hal yang mengingatkan Furihata dengan Akashi. Atau sekedar usahanya melepaskan diri namun akan kembali di boikot oleh hatinya sendiri lagi.

Kuroko terdiam, terpaku memikirkan maksud jika benar ada tujuan di balik empat kata yang keluar dari mulut pemuda di depannya. Apa itu berarti Furihata ingin keluar dari segala sakit hatinya dan muncul menjadi pribadi baru. Apa itu berarti Furihata mencoba menginjak dilema yang mengukungnya selama ini karena Akashi itu. Apa itu artinya ia siap menjalani hidup yang baru, tak terpaut lagi dengan Akashi?

Memikirnya saja sudah membuatnya tersenyum tapi untung saja wajah tanpa ekspresinya bisa menutupi itu. Bagaimanapun ia tak mau terlihat di luar karakter saat Furihata sendiri tidak tahu Kuroko mengetahui rahasianya dan perasaan apa yang ia tanggung terhadap pemuda bersurai coklat terang itu.

"Kalau itu bisa membuatmu merasa lebih sehat"—dan lupa dengan Akashi, lanjutnya dalam hati. Meski belum berarti Furihata akan membuka hati lagi tapi begini saja sudah cukup,"—kurasa tak masalah." Setidaknya harapannya meningkat sekian persen." Perlu kutemani?"

Furihata hanya tertawa kecil menjawabnya, memiringkan kepala ke samping." Boleh saja, ngomong-ngomong kau terlihat antusias, Kuroko-kun."

"Ah!" Kuroko berjengit, ternyata meski ia mencoba terlihat biasa saja antusiasnya tetap kelihatan ya?

Berdehem pelan, pemuda yang akan menduduki bangku kelas 2 itu memilih menyuap kembali makanannya, bersuara datar sebisa mungkin."Begitukah?"

"Hu um," kedua jemari Furihata diletakkan di dagu, menerka rupa dan meneliti gerak-gerik kawannya itu lalu menunjuknya dengan sendok." Benar! Tarikan bibirmu lebih ke atas." Kemudian ia bergumam lagi ketika temannya tak menunjukkan perubahan ekspresi." Tapi sekarang tidak lagi. Ha ah, aku yakin sekali tadi melihat bibirmu naik dan wajahmu berseri!"

Diam, berusaha keras tidak tertawa sekaligus ingin mengubur diri, Kuroko lebih memilih menyuap nasinya lagi." Mungkin kau sedang berhalusinasi," balasnya singkat.

Furihata mengerang, manyun dan menelungkupkan tubuhnya di meja." Sungguh Kuroko, kau tadi berseri, berseri seperti orang yang bahagia!"

Bibir Kuroko naik sedikit, Furihata begini malah membuatnya lebih hidup dan kembali seperti Furihata yang biasanya. Jadi ia melanjutkan," aku yang memiliki badan dan perasaannya saja tidak merasa bahwa aku sedang berseri, Furihata-kun."

Dan lagi, Furihata mengerang, merasa kalah lalu memalingkan wajah." Kau kan tidak bisa melihat wajahmu sendiri."

"Terserah saja. Yang jelas, kau ingin jalan-jalan kemana?"

Furihata tersedak nasi yang baru saja ia telan ketika Kuroko menanyakan itu. Ia juga sebenarnya tak tahu akan pergi kemana dan sama sekali belum memikirkannya, mungkin berjalan sekitar kompleks rumahnya atau kemana saja yang banyak orang—terbukti, hanya berbicara dengan Kuroko saja berhasil membuatnya melupakan sedikit sakit hatinya terhadap Akashi. Namun, lebih-lebih dari semua itu, ada satu hal yang aneh.

"Kuroko-kun," Kouki memperhatikan seluruh perawakan Kuroko yang bisa ia lihat dari seberang meja, menautkan alisnya." Kau jadi lebih perhatian, ya?"

Kali ini giliran Kuroko yang tersedak, meskipun ia mencoba menutupi ekpresinya tetap saja ada yang terlihat ketika ia tertangkap tanpa penjagaan begini." Itu hanya karena kau sakit dan akhir-akhir ini jarang konsentrasi."

Memilih untuk setuju, Furihata mengangguk pelan. Kemudian membuka suara lagi ketika teringat suatu hal.

"Lalu, apa handphonemu sudah ketemu? Kau kan datang kesini dini hari sampai bermalam karena lupa membawa handphonemu pulang. Ah, tumben kau ceroboh begini, Kuroko-kun. Tak seperti biasanya."

Kali ini Kuroko tersedak parah, ternyata cinta bisa membuat orang bertingkah bodoh tanpa logika hingga tak bisa membuat alasan yang matang.

Ah sial, handphone yang jadi alasan malah ketinggalan di rumahnya—yang sebenarnya.


.

.

.


"Benar kau tidak jadi ikut? Padahal tadi kau terlihat antusias sekali."

Furihata menjawab telepon di seberang sembari mengunci pintu, handphone tersampir antara telinga dan bahu.

"Padahal aku juga ingin mengajakmu untuk ke toko buku. Mungkin ada judul baru yang menarik."

Click.

Segera ia mengantongi anak kunci ke dalam saku, memegangi handphone dengan tangan dan berjalan santai hendak keluar dari pekarangan rumah. Ia melihat sekeliling, pekarangannya berantakan karena lama tak ia rawat. Sebaiknya ia melakukan itu segera setelah pulang berjalan-jalan jika ia tak ingin ketahuan oleh okasan. Tersenyum sedih, mungkin memang kegalauan hatinya terlalu berlebihan.

"Hee?! Tiba-tiba sakit perut." Furihata berusaha memikirkan konklusi-konklusi yang bertebaran di otaknya mengenai kenapa Kuroko berubah sikap begitu cepat, namun ia menampik semua itu." Itu pasti karena kau terlalu sering minum milkshake."

"Tentu saja ada. Kau itu kekurangan gizi, Kuroko-kun."

Tertawa, ia selalu merasa lucu jika Kuroko sudah berkaitan dengan milkshake—ia terlalu posesif dan agresif. Membela milkshake sampai keluar dari sifat aslinya." Perutmu memang tidak buncit, tapi badanmu kurus."

"Ah, baiklah. Aku menyerah, walau sebenarnya kau memang sebaiknya mengurangi porsi milkshakemu dan memilih makanan sehat." Kouki tertawa di bagian ini—getir sebenarnya, mengingat ia akhir-akhir ini juga kurang memakan makanan bergizi karena terlalu memikirkan Akashi.

"Baiklah, baiklah, aku paham. Ha'i!"

Bahkan teman yang paling tidak banyak ekspresi saja mengkhawatirkannya, sepertinya ia memang terlalu menampakkan sakit hatinya. Mau bagaimana lagi, ia terlalu mencintai Akashi.

'Arghh! Apa yang kau lakukan Furihata?! Jangan memikirkannya lagi, semangatlah! Semangat! Luapakan dia!'

Mengepalkan kedua tangan, ia memasang wajah penuh determinasi dan bersiap melangkah, menuju ke lingkungan luar lagi dan hidup yang baru. Jika saja tak ada tubuh tegap seorang pemuda bersurai merah magenta, sedang bersandar santai di pagar rumahnya.

DEG!

Furihata ingin mundur secepatnya dan segera berlari ke rumah mencari keamanan namun lengannya sudah berhasil digapai dengan cepat. Ia berjengit, panik melanda, berusaha keras melepaskan diri dari genggaman Akashi namun sia-sia.


.

.

.


"Maafkan aku."

Duduk dengan tremor berlebih dan hati hancur berkeping-keping di hadapan orang yang mencampakkanmu membuat Furihata tak pernah berpikir jika aksi selanjutnya yang Akashi lakukan setelah menariknya paksa kembali ke dalam rumahnya sendiri dan duduk berhadapan adalah dogeza.

Apa maksud Akashi dengan meminta maaf seperti itu?

Mencemoohnya?

"Maafkan aku, tapi aku benar-benar—

"Tidak perlu dijelaskan." Furihata menahan hatinya yang satir menahan gurat-gurat sembilu yang kembali mengiris hatinya perih. Ia sejujurnya tak tahu kenapa Akashi bersikap seolah semenyesal ini. Memang hatinya akan kembali baik jika Akashi melakukannya?

Percuma, hatinya sudah hancur, menjadi serpih.

Lalu apa tujuannya kemari setelah membuangnya lebih dari sebulan yang lalu? Tidak mungkin kan untuk dirinya menyesal sekarang setelah selama ini.

"Tidak!" Akashi tegas berucap, mendudukan dirinya sendiri." Kau harus mendengarkan penjelasanku atas semua ini."

'Dan menunjukkan jika dirimu sepenuhnya hanya menganggapku sebagai bonekamu,' tambah Furihata kecewa.

Tapi ia tak mengatakan itu, lidahnya kelu untuk mengucapkan satu saja kekecewaan yang menimbun di hatinya. Dirinya terlalu naif, masih saja berharap pada Akashi. Dan ia menyumpah, kenapa Akashi datang di saat Furihata sudah hampir bisa mengangkat kaki untuk melangkah. Bukankah ia sudah melihat seberapa menderitanya dirinya karena ulah Akashi, janji palsunya, ucapan manisnya yang hanyalah tuba. Apa itu semua tak cukup? Sampai kapan ia mau menjerat Furhata?

"Lalu apa?" Furihata berucap getir, kentara menahan tangisan yang terancam lepas karena hatinya berdarah lagi. Sakit, sakit sekali.

Akashi menatap Furihata dalam, menyelami setiap makna yang bisa ia tangkap dari pancaran mata yang terkasih. Namun sejauh apapun, yang ia lihat hanya kekecewaan yang berlapis-lapis tiada akhir. Jika saja ia punya sedikit hati, seharusnya lebih baik ia tak kemari, menjejakkan kaki di rumah ini dan kembali membuat Furihata sakit hati. Tapi egonya menolaknya untuk berbalik dan pergi, membiarkan Furihata berlari darinya dan akhirnya menemukan kebahagiaan pada orang lain selain dirinya. Ia sama sekali tidak rela jika hal itu yang terjadi. Darah Akashi mendarah daging dalam dirinya : hal yang ia ingini haruslah ia kuasai. Begitu juga dengan Furihata, ia juga ingin menguasainya.

Sayangnya ia tak tahu di mana harus memulai, harus darimana ia ceritakan semua tentang dirinya kepada Furihata. Dari awal ia tak mengingat apapapun dan adiknya yang menguasai dirinya? Tapi tidak, bukankah itu terihat jelas kalau di sini dia hanya menggantikan saja? Oh, terimakasih, tapi ia ingin Furihata berpikir bahwa Akashi hanya ada satu.

Jadi ia memulainya dengan kata," Aku mencintaimu."

Furihata termenung, pikirnya tergugu lugu mencari pembenaran atas apa yang Akashi ucapkan. Mencoba mencari bukti bahwa apa yang pemuda itu katakan padanya benar adanya. Walau separuh hatinya yang sudah remuk redam itu memberontak setengah mati, tak mau lagi tertipu oleh Akashi, tak mau lagi disakiti, tak ingin terluka lagi.

Dan hanya satu hal yang bisa Furihata lakukan, ia menatap Akashi, mencoba menyampaikan isi hati.

Tak tahukah jika dengan dua kata itu cintaku hampir sepenuhnya kembali padamu?

Tak tahukah jika dengan dua kata itu aku hampir merasa gila karena merasa ini semua halusinasi?

Tak tahukah jika HANYA dengan kata itu kau meruntuhkan separuh dinding yang kubangun untuk menutup hatiku darimu?

Tak tahukah jika dengan dua kata itu juga hatiku hancur lagi?

"Aku tahu aku salah," jeda ketika Akashi menelan semua harga dirinya, menjadi orang sialan yang memamfaatkan hati yang masih ingin merengkuhnya. Menjadi bajingan tak tahu malu masih mengharap cinta dari orang yang ia lukai sebegini parahnya." Tapi aku mohon maafkan aku, dan semua kesalahanku."

Furihata berpikir apakah benar bisa begitu? Apakah benar Akashi akan begitu? Tapi hatinya keburu mekar, tak bisa berhenti menebarkan panorama indah karena kelopak warna-warni yang mekar.

"Seijuurou-kun, aku, aku, aku—

Furihata kehabisan nafas, terlalu gembira. Hatinya beradu dengan bunga-bunga yang seolah ingin membuang begitu saja luka hati yang sudah ia derita. Ia ingin pingsan, Furihata tidak kuat.

Kemudian Akashi menatapnya, sarat determinasi. Tangannya yang tergelantung lemah di sisi tubuh dikait dengan milik Akashi, jari-jari mereka bertaut dan ia bawa ke depan wajahnya, mata magenta senada kanan-kiri itu terpejam saat Furihata merasakan sentuhan elektris ketika Akashi menciuminya lembut.

"Seijuurou-kun," panggilnya lemah, sarat dengan haru yang mendalam.

Saat itulah Furihata melihat bahu Akashi yang bergetar, tangannya yang segera dilepas dan pindah ke surai-surainya sendiri yang berwarna magenta. Ia mendengar, pemuda itu menggerang, geraman kesakitan, setelahnya tertawa terbahak-bahak. Menunjuk-nunjuk Furihata dengan matanya yang menatapnya remeh.

"Pftt, kau memang peliharaanku yang paling manis, Kouki." Manik heterokromatik bergelimang dengan sadisnya menghujam pilu hati Furihata yang kembali hancur lebur, kali ini menjadi abu, dibawa badai berlalu." Mudah sekali kau kutipu."

Saking sakitnya perasaannya, Furihata tak tahu lagi harus berekspresi bagaimana selain diam dengan mata kosong.

"Ahhh, sudah cukup aku bersenang-senang hari ini." Akashi berdiri, menepuk-nepuk surai kecoklatan pemuda yang masih terpaku itu lalu berbalik seolah tanpa dosa. Seakan mereka teman baik bukannya pasangan yang bermain hati." Sampai ketemu lagi…my pet," ucapnya sadis.

TBC

Yeee, akhirnya bisa update lagi setelah sekian lama. Maafkan diriku dan segala plottwistku, sungguh, ini agar ceritanya jalan saja.

Ini aku begadang nulis untuk hadiah ulang tahun Light of Leviathan karena kemarin gak bisa langsung kasih hadiah yang kujanjikan pada partner in crime ku itu, maafkan aku Light! *peluk Light*

Berhubung setelah aku kembali ke kampus minggu kemarin dan menemukan diriku dibanjjiri tugas, target membuat fic ini update minggu kemarin juga batal. Maafkan diriku, maafkan diriku.

Terimakasih kepada reviewer, reader, yang favoritin serta follow, kalau gak inget kalian mungkin fic ini akan terlantar. Maafkan daku yang pemalas.

Semoga masih pada ingat dengan jalan cerita ini dan aku menunggu review dan kritik dari kalian semua.

Review please?