Beberapa menit setelahnya, setelah ibunya tertidur pulas, Seito merasa bosan untuk terus menerus di rumah. Ia ingin sekali-kali bermain sendirian di luar sana karena di dalam rumahnya ia tidak bisa bermain bersama siapapun—ayahnya pun terlihat tidak memperdulikannya.
Karena pemikiran Seito tersebut, pada akhirnya ia berencana untuk berjalan-jalan sebentar di luar rumah. Sebelum menjalankan aksinya, ia ingin mengambil jaket merahnya yang tergantung di lemarinya yang kebetulan terbuka.
Dengan perlahan, tubuh kecil Seito menggeliat pelan menjauhi tubuh ibunya yang sedang memeluknya—di tengah tidur pulasnya. Dengan menggunakan kesempatan ini, ibunya tidak akan tahu jika ia akan pergi dari rumah—atau kalian juga bisa menyebutnya rencana kabur dari rumah. Ia berani melakukan hal ini karena sebelum ibunya bangun nanti, ia memastikan dirinya akan sudah berada di dalam kamarnya sehingga ibunya tidak mengetahui jika ia telah kabur dari rumah.
Rencana yang bagus, pikir seorang anak yang mirip dengan Akashi tersebut.
Kini, kaki kecilnya sudah menapak di lantai kamarnya, berjalan perlahan ke arah lemari yang sedang terbuka, lalu ia sedikit menjijit untuk meraih jaket merah kesayangannya tersebut.
"Mama, aku akan segera kembali nanti," bisik Seito pelan entah kepada siapa sebelum ia keluar lewat jendela kamar tidurnya sambil membawa buku tulis kecil dan sebuah pensil.
.
.
.
Sudah lama sejak wanita itu tertidur pulas.
Sekarang, yang terlihat hanyalah wanita itu seorang yang sedang tertidur di kamar buah hatinya, Seito. Dan, jangan bertanya apa yang sedang dilakukan Akashi saat ini. Tentu saja, dia, Akashi, ia masih terlihat sibuk di ruang kerjanya, seperti biasa.
'Ugh, sebentar lagi akan selesai,' batin Akashi sambil menghembuskan napas kesal. 'Setelah ini aku akan menengok istriku dan anak laki-lakiku di kamarnya,' sambungnya yang diteruskan dengan aktivitas menandatangani kertas-kertas yang berada di hadapannya.
Setelah melakukan aktivitasnya tersebut, Akashi berdiri dari tempat duduknya lalu merenggangkan otot-ototnya yang agak kaku. Kemudian, ia segera berjalan ke luar ruang kerjanya menuju kamar anaknya.
Sesampainya di depan kamar Seito, ia membuka pintu itu perlahan.
Sedikit demi sedikit, ia dapat melihat sosok yang sedang tertidur di atas tempat tidur yang tidak terlalu besar itu. Ia berjalan mendekati sosok itu dan hanya menemukan sosok istrinya saja tanpa ada sosok yang juga sedang ia cari itu—Seito.
Dengan tetap tenang, Akashi mengecek ke seluruh sudut ruangan di kamar tidur Seito ini, sambil mengucapkan, "Seito… kamu ada dimana? Kamu ingin mengajak ayah main petak umpet, ya?" namun, tidak ada jawaban. Untunglah istrinya tersebut masih tetap tidur nyenyak di kasur empuk di sebelah sana. Dengan begitu, Akashi tidak akan merasa bersalah karena telah membangunkan istrinya. Secara, istrinya memang sedang terlihat kelelahan.
Karena tidak kunjung menemukan Seito di kamarnya, Akashi melakukan pencarian lebih jauh lagi, yaitu dengan mencarinya keseluruh penjuru rumah; termasuk menanyai semua pembantu dan pelayan yang ia temui di jalan.
"Karin, apa kau melihat Seito?" tanya Akashi pada salah seorang pelayan yang kebetulan lewat di hadapannya sambil membawa bak cucian.
Karin berhenti berjalan seraya segera menghadap 'tuanya' "Seito? Maaf tuan Akashi, saya sama sekali tidak melihatnya hari ini," ucap Karin sambil membungkuk sopan di hadapan Akashi.
"Kamu ini bagaimana, masa' tidak melihatnya sama sekali hari ini?" tanya Akashi sekali lagi untuk memastikan.
"Maafkan saya tuan, tapi saya tadi sedang sibuk di ruang cuci, jadi, saya tidak melihat Seito. Sekali lagi maafkan saya tuan," ia membungkuk sekali lagi sebagai tanda minta maaf.
"Tck," Akashi mendecak pelan, kemudian berlalu di hadapan pelayan wanita yang memandanginya dengan bingung tersebut.
'Aku punya firasat buruk tentang ini,' Akashi membatin yang kemudian dilanjutkan dengan mengambil kunci mobilnya di sebuah meja yang terletak tidak jauh dari pintu utama. Sebelum Akashi meninggalkan rumah untuk mencari Seito, Akashi sudah menuliskan pesan di meja sebelah tempat tidur yang biasa ia tempati bersama istrinya itu. Ia menulis:
Sayang, aku akan pergi untuk mencari sesuatu. Jangan cemaskan aku. Aku akan segera pulang. Ini tidak memakan waktu yang cukup lama. Jika seandainya melebihi jam makan malam dan aku tidak kunjung pulang, makan malamlah sendiri tanpa diriku karena aku tidak mau mambuat berat badanmu terus berkurang nantinya. Berat badanmu sudah di bawah rata-rata bagiku. Karena kau selalu bekerja keras dan peduli padaku. Hingga kau tidak memperdulikan dirimu sendiri.
Dari,
Seijuro
.
.
.
Di jalan sana, terlihat seorang bocah berambut merah yang sedang berjalan dan bersenandung dengan riangnya. Buku tulis kecil dan pensil itu tetap berada pada genggaman tangan kirinya, helaian rambut merahnya juga menari-nari terbawa angin.
Ia menghirup udara segar, lalu menghembuskannya kembali. Menikmati pemandangan di sebelah kiri dan kanannya. Ia tidak pernah dengan bebas berjalan-jalan di luar seperti ini, meskipun ia sudah mengidam-idamkan pengalaman seperti ini dari dulu.
Pupil mata Seito tiba-tiba membesar ketika melihat sebuah objek yang menarik hatinya, seekor bebek putih bersih yang berjalan tidak jauh dari hadapannya. Ia berlari menuju bebek itu dengan kaki kecilnya sebagai tumpuhannya. "Ada bebek!" Pekik Seito sambil berusaha mengejarnya.
Sayang, Seito tidak bisa menangkap bebek itu karena ia sudah berenang di atas air danau sebelum Seito sempat menangkapnya. "Bebek yang indah! Aku ingin menggambar bebek itu sebagai kenangan-kenangan!" Kata Seito pada dirinya sendiri. Lalu, ia mendudukkan tubuhnya di atas rerumputan hijau di sekitar danau sambil tetap memperhatikan bebek yang sedang berenang di atas air tersebut.
Seito menggores-goreskan pensilnya terus menerus pada selembar kertas di salah satu halaman bukunya hingga terciptalah sebuah gambar bebek yang tidak terlalu sempurna, namun cukup bisa dikenali yang terlihat imut nan lucu. Ia memberi judul gambarannya "Seekor Bebek yang Sedang Berenang Di Sebuah Danau".
Lalu, ia beranjak berdiri dan memulai perjalanannya lagi untuk menikmati alam.
.
.
.
Saat ini, seorang ayah sedang khawatir atas keadaan anaknya.
"Daiki, apa anakku sedang bersamamu?" tanya Akashi kepada seseorang yang sedang berada di ujung sambungan telepon itu.
"Hah? Apa maksudmu? Aku sedang berpatroli saat ini. Mana mungkin anakmu sedang bersamaku? Konyol sekali," ucap seseorang diujung telepon sana dengan nada sarkastik.
"Kau berani melawan? Anakku sekarang tidak ada di rumah, Daiki. Aku perlu bantuanmu," kata Akashi. Layaknya kalimat ajaib, Aomine setengah tidak percaya mantan kapten tim basketnya tersebut meminta bantuan kepadanya.
"Baiklah. Dimana terakhir kali kau melihat anakmu?" tanya Aomine. Jujur saja, Aomine malas pada awalnya, tetapi setelah mendengar Akashi memohon bantuannya, ia jadi luluh dan ingin membantu temannya ini.
"Di ruang kerjaku," jawab Akashi sambil tetap menyetir mobil, meski ia tahu akan bahaya menelpon saat berkendara.
"Lalu, kau sudah mencarinya di sekitar rumahmu?" tanya Aomine lagi.
"Sudah. Tapi aku tidak menemukannya. Jika aku sudah menemukannya, aku tidak akan repot-repot menghubungimu, Daiki."
Ingin sekali rasanya Aomine membalas perkataan Akashi barusan dengan, "Katanya kau adalah seorang—pangeran—yang tahu segalanya dengan mata emperor-mu itu? lalu, kau sendiri tidak tahu dimana sekarang anakmu berada. Apa kau sedang bercanda, Akashi?"tapi, Aomine mengurungkan niatnya untuk menuruti hawa nafsunya untuk mengucapkan jawaban nista seperti itu. Aomine tahu sekarang temannya sedang berada dalam masa kesulitan. Ia memang sedang membutuhkan bantuannya.
"Kapan terakhir kali kau melihatnya?" tanya Aomine sekali lagi.
Akashi menjawab, "Sekitar siang hari tadi, entah jam berapa. Karena aku tidak melihat jam. Yang pasti, aku terakhir kali melihatnya saat ia bersama istriku yang akan meninggalkan ruang kerjaku karena mereka berencana untuk tidur siang bersama."
"Baiklah, aku sudah mendapatkan gambaran tentang kejadiannya, aku akan mencarinya kemudian menemuimu, Akashi."
.
.
.
Di lain tempat…
Udara masih sejuk seperti biasa. Suasananya pun tenang.
"Andai saja Papa dan Mama bersamaku saat ini. Aku ingin menunjukkan kepada mereka bahwa sebenarnya di luar sana masih banyak sesuatu yang lebih mengasyikkan daripada harus terus bekerja dan bekerja di kantor! Andai saja…" gumam Seito pelan sambil menatap langit yang dipenuhi awan-awan putih dengan matahari yang sedikit condong ke arah barat, pertanda hari sudah mulai sore.
"Katika berpidato di acara kenaikan kelas atau perpisahan kelas satu nanti, aku ingin menceritakan pengalamanku saat ini. Aku ingin bercerita kepada mereka semua tentang kehidupanku…"
"Pasti teman-teman yang lain juga akan punya kisah menarik lainnya…"
"Oh iya!" Seito menghentikan langkahnya, "Saat aku maju dihadapan semua teman-temanku beserta orangtua mereka, aku ingin sekali menunjukkan hasil karyaku yang sudah kubuat selama ini! Papa pasti akan merasa senang saat mendengarkanku bercerita nanti…" namun, seketika wajah bahagia Seito berubah menjadi murung, "Oh iya ya… seharusnya aku tidak boleh berharap yang berlebihan pada orangtuaku, terutama pada Papaku. Aku lupa jika Papa tidak bisa menghadiri acara perpisahan kelasku nanti…" ia melirik buku kecil yang ia genggam itu dengan mata berkaca-kaca hingga sesuatu menetes di pipinya.
"Eh?" ia mendongakkan wajahnya ke arah langit, dan melihat ribuan tetes air berjatuhan dari atas langit. "Hujan?!" ia memekik tidak percaya sembari mencari tempat berteduh yang pas.
.
.
.
"Ugh," mengucek mata perlahan, wanita berambut hitam khas Asia itu sedikit demi sedikit berupaya menyadarkan dirinya setelah tertidur pulas barusan. Terlihat di jam dinding menunjukkan pukul lima sore. Li—lima?! Wanita itu kaget bukan main saat menyadari ia tidur siang terlalu lama. Ia membenarkan posisi duduknya dan melihat ke sekeliling ruangan, mencoba mencari sesuatu yang dirasa ganjil. Ia merasa ada sesuatu yang kurang dan ia belum menyadarinya.
"Hm, bagaimana keadaan Sei-kun saat ini ya…" gumamnya pelan sebelum ia beranjak dari tepat tidur milik Seito dan menuju ke ruang kerja orang yang disebutnya 'Sei-kun' tadi.
Sesampainya di sana dan tidak menemukan seorangpun di ruangan itu, wanita itu kamudian berjalan menuju kamar tidurnya sendiri dan melihat sesuatu yang berbeda tergeletak di atas meja sebelah tempat tidurnya. Ia berjalan mendekatinya, dan menemukan secarik kertas berisikan pesan dari suaminya.
Ia kaget. Dan baru menyadari jika anak semata wayangnya, Seito tidak ada di rumah. Jadi, dapat disimpulkan bahwa Seijuro, suaminya, sedang mencari Seito di luar rumah. Tapi, kenapa? Kenapa hal ini bisa terjadi? Bukankah Seito selalu izin kemanapun ia akan pergi? Bukankah Seito anak yang patuh pada orangtuanya?
"Se—Seito…" kertas kecil itu pun jatuh ke atas lantai.
.
.
.
xoOox
.
Kuroko no Basuke © Fujimaki Tadatoshi-sensei
Cerita & OC(s) © ImaginationFactory
.
Warn: Suami-suamian, istri-istrian XD (jadi, kalau gak suka mending gak usah dibaca! :'3), typo(s) mungkin bertebaran :'3
.
.
.
Hanya Satu Harapanku
Akashi X Reader
.
xoOox
.
And… happy reading! :3
.
.
.
Dingin. Di luar sini amat dingin, batin Seito sambil memeluk badannya sendiri dengan tangan mungilnya. Walaupun jaket telah membungkus tubuh kecilnya, tetap saja hawa dingin itu merasuki badannya hingga ia menggigil kedinginan.
'Sudah jam berapakah ini? Aku harus pulang, aku tidak ingin Papa tahu jika aku kabur dari rumah. Dan aku juga tidak ingin Mama khawatir terhadapku…' batin Seito sambil mengusap air matanya yang tidak bisa ia kendalikan walau sebenarnya ia tidak ingin terlihat sedang menangis.
'Saat dingin seperti ini, Mama pasti membuatkan sesuatu yang hangat untukku. Seperti sup tofu kesukaanku contohnya…'ingatnya sambil menggambar sup tofu kesukaannya itu pada buku tulis kecil yang ia bawa. Hanya benda itulah yang saat ini bisa menghiburnya sambil menunggu hujan reda.
Hingga… ia dapat melihat walau dengan remang-remang bahwa dari kejauhan, seseorang yang tinggi sambil membawa payung, berambut merah dan membawa beberapa kantong plastik di tangannya sedang berjalan ke arah Seito. 'Itu pasti Papa!' pikir Seito. Seito langsung berdiri dan melambaikan tangannya berharap orang itu melihatnya lalu menghampirinya.
Benar saja, orang itu kemudian menghampiri Seito. Setelah jarak orang itu dan Seito sudah cukup dekat, orang itu membungkukkan badannya untuk melihat Seito dengan lebih jelas lagi. "Oh, itu kau, Seito?" ucap Kagami sambil tetap menggenggam payung dan beberapa kantong plastik di tangannya.
'Ternyata dia adalah paman Kagami…' batin Seito.
"Apa yang kau lakukan di bawah pohon sendirian, Seito? Lihat, bajumu juga agak basah," Kagami memegang bagian baju Seito yang basah dan menunjukkannya kepada anak itu.
"Hehehe," Seito hanya menjawabnya dengan tawaan kecil di hadapan pria yang umurnya berkisar antara 30 tahunan itu. Cukup tua? Bisa dibilang begitu. Namun, kecintaannya terhadap olah raga yang bernama basket belum surut juga.
"Apa ayahmu tidak mencarimu, Seito?" tanya Kagami kemudian.
"Papa? Papa tidak akan mencariku karena Papa sedang sibuk bekerja," ucap Seito dengan polosnya. Kagami hanya terkekeh pelan.
"Apa-apaan maksudmu ini… kalau begitu, paman akan mengantarkanmu pulang. Kau masih ingatkan jalan menuju rumahmu?" tanya Kagami sambil mengacak-acak rambut Seito dengan pelan.
'Andai saja aku memiliki Papa yang peduli kepadaku seperti Paman Kagami ini…'pikir Seito. "Ya!" Seito menjawab pertanyaan Kagami sambil mengangguk menandakan ia masih ingat jalan pulang menuju rumahnya.
.
.
.
"Anak kecil itu… dimana keberadaannya…" ucap Aomine dengan alis bertautan kesal sambil mengendarai mobil patrolinya. Saat ini, ia sedang bersama Akashi dan salah satu temannya yang lain, Kuroko. Entah karena apa, saat Akashi dan Aomine bertemu di suatu tempat tadi, tiba-tiba Kuroko muncul. Dan pada akhirnya, Kuroko ikut untuk mencari keberadaan Seito bersama Aomine dan Akashi tentunya.
Lalu, apa yang terjadi dengan mobil Akashi? Bukankah tadi Akashi membawa mobil sendiri untuk mencari Seito? Tenang saja, mobil Akashi saat ini sedang ia titipkan di sebuah tempat parkiran yang aman, di dekat tempat ia bertemu dengan Aomine tadi.
Tiba-tiba, telepon genggam Akashi berdering, menandakan ada seseorang yang sedang menghubungi nomornya. "Diamlah sebentar, Daiki. Ini ada telepon masuk dari nomor rumahku," perintah Akashi pada Aomine sebelum ia mengangkat teleponnya itu.
"Halo?"
Kuroko hanya bisa menatap mantan kaptennya itu dengan wajah datarnya sambil sayup-sayup terdengar pembicaraan seseorang yang berada di ujung telepon itu.
"Benarkah?! Dia datang bersama siapa?!" Akashi tiba-tiba bertanya dengan nada setengah berteriak. Kuroko yang duduk di sebelah Akashi tiba-tiba ingin segera membuka pintu mobil ini lalu pergi jauh-jauh. Sedangkan Aomine, langsung mengerem mobil ini karena merasa ada sesuatu yang penting tengah dibicarakan Akashi di telepon itu dan ia harus mendengarkannya.
"Daiki! Kita putar arah menuju ke rumahku!"
"Tapi ke—"
"Jangan banyak tanya! Nanti aku akan menjelaskannya!"
Belum sempat Aomine menyelesaikan ucapannya, Akashi sudah memotongnya duluan…
.
.
.
"Seito!" Akashi berteriak sesaat setelah pintu utama rumahnya ia buka dengan kencangnya, hingga suara pintunya hampir mirip dengan dobrakan. Seito yang sedang berada di pelukan ibunya sambil menikmati usapan handuk di kepalanya, langsung menoleh ke sumber suara.
"Papa?" ucap Seito pelan. Wajahnya takut-takut melirik mata ayahnya, karena ia tahu bahwa ayahnya sedang marah. Sehingga, ia mencari arah pandangan lain.
"Dari mana saja kau, Seito?"
Ini tidak bagus. Benar-benar tidak bagus. Aura suram benar-benar membuat Kagami yang sedang duduk di sofa sambil menikmati coklat hangat dari istri Akashi, tiba-tiba tanpa disadari kakinya sudah bergetar ketakutan dengan sendirinya.
"Kagami, kau bawa kemana saja anakku ini? Aku bisa-bisa melaporkanmu ke polisi!" Akashi berjalan mendekati Kagami. Kagami sudah bersiap-siap kabur dari sini.
"Di—Dia tidak bersalah! Paman Kagami tidak bersalah! Aku yang salah, Pa…" tiba-tiba Seito berbicara dengan keberanian. Akashi otomatis langsung menolehkan kepalanya ke arah anaknya.
"…"
"Ma—maafkan aku Pa… Sebenarnya aku yang salah…"anak kecil itu perlahan-lahan menatap mata ayahnya dengan mata merah besar yang sedikit berkaca-kaca. Akashi yang tadi menatap Kagami dengan amarah, ekspresinya langsung berubah menjadi netral.
"Seito? Kenapa?" tanya Akashi sambil menghampiri anaknya lalu mensejajarkan tingginya dengan anaknya itu.
"Tadi aku hanya ingin berjalan-jalan sebentar tanpa sepengetahuan Papa, Mama dan para penjaga rumah disini. Seito tahu Seito salah, jadi, jangan menyalahkan Paman Kagami. Paman Kagami sudah menolong Seito yang sedang menunggu hujan reda di bawah pohon."
Akashi melirik Kagami sekilas. Yang dilirik hanya memberikan senyuman bodoh sambil mengangkat salah satu tangannya lalu membuat symbol 'v' dengan jari tangannya seakan berkata 'pissss'.
Akashi kembali terfokus pada anaknya, lalu berkata, "Baiklah, Papa akan memaafkanmu. Lain kali jangan diulangi lagi, ya, Seito," ucap Akashi seraya mencium kening Seito dengan lembut.
Seito hanya bisa tersenyum tipis sebagai ucapan syukur atas reaksi ayahnya yang tidak benar-benar memarahinya ataupun menghukumnya.
.
.
.
.
.
.
Beberapa hari kemudian…
.
Di tengah ruang aula yang ramai, dengan para tamu undangan yang hadir berdandan dengan rapi dan menarik, hari yang ditunggu-tunggu Seito ini telah tiba juga. Saat ini, ia sedang berada di aula, tengah bersiap-siap maju ke depan para tamu undangan—lebih tepatnya ke depan para orangtua wali murid dan teman-teman seangkatannya.
Di tangannya, ia menggenggam buku tulis kecil yang nanti ia akan bawa maju ke depan panggung sebagai pedoman berpidato. Rambut merahnya rapi, baju dan calananya pun demikian. Saat ini, ia tengah memakai pakaian bebas seperti biasa, namun bedanya, hari ini tidak ada pelajaran karena hari ini hari perpisahan kelas satu menuju kelas dua.
Kenapa Seito dan murid yang lainnya tidak memakai seragam sekolah saat mereka bersekolah? Karena, mereka masih murid SD. Saat masih menjadi murid SD dan kau bersekolah di Jepang, para murid tidak diharuskan memakai seragam kecuali murid SMP dan SMA. Yang berarti, saat SD mereka bebas memilih pakaian yang mereka ingin kenakan saat bersekolah.
Saat tiba giliran Seito, Seito berdiri dari tempat duduknya. Perasaan tegang sempat menjalar ke sekujur tubuhnya, namun, ia harus mengabaikannya. Berpasang-pasang sorot mata memperhatikan setiap gerak-gerik Seito saat ini. Walaupun sekarang ini Papa dan Mamanya tidak dapat hadir untuk menghadiri acara ini, Seito masih bersyukur dan harus tidak kecewa karena mereka—Papa dan Mama Seito—sedang bekerja keras untuk membiayai hidup Seito dan seisi rumahnya termasuk para pelayan di rumahnya.
Sesampainya di hadapan para tamu undangan, Seito sedikit merapikan bajunya sebentar lalu memperkenalkan diri.
"Hai, perkenalkan, nama saya Akashi Seito." Saat mengucapkan kata 'Akashi' sebagian orangtua wali murid berbisik-bisik sebentar dengan orangtua wali murid yang lain.
"Saya akan berpidato disini sebagai bukti bahwa saya telah belajar dengan giat dan telah melatih mentalku agar berani berbicara di hadapan umum selama setahun ini."
Seito tersenyum kecil kepada para tamu, "Jadi Sebelumnya, saya akan bercerita tentang keluarga kecil saya. Jadi, begini. Keluargaku terdiri dari tiga orang, yaitu: Papa, Mama, dan diriku sendiri. Orangtuaku selalu sibuk bekerja, seperti saat ini contohnya. Mereka tidak bisa melihatku berpidato di depan umum seperti ini karena mereka tengah menjalankan dan mengatur bisnis di perusahaan mereka. Aku sayang orangtuaku meskipun mereka jarang mengajakku jalan-jalan layaknya keluarga lainnya. Hobiku membaca buku, aku juga sering menulis puisi dan menggambar sesuatu yang menarik. Ini salah satu hasil karyaku," Seito mulai mengambil selembar kertas yang ia lipat di buku kecilnya, lalu membukanya. "Ini Papaku," ia menunjuk ke sosok yang berdiri paling kanan di gambar itu yang menampilkan seorang lelaki dengan rambut merah, dengan warna mata yang berbeda antara yang kiri dan kanan, yang sedang melipat kedua tangannya di depan dadanya. "Dan yang ini Mamaku. Ia sangat baik sekali," kata Seito sambil menunjuk sosok yang lain yang berdiri di paling kiri. "Dan yang ini aku!" ucapnya sambil menunjuk seseorang yang berada paling tengah di gambarnya dengan tinggi lebih rendah daripada yang lain. Tiga sosok yang digambar itu saling bergandengan tangan antara yang satu dengan yang lainnya. Ekspresi wajah yang Seito gambar pada setiap sosok itu juga menampilkan ekspresi gembira dan ceria. "Aku menamai gambar ini dengan 'Keluarga kecil yang bahagia'! Kalian para murid yang masih bisa berkumpul setiap saat dengan orangtua kalian, sebaiknya bisa lebih bersyukur. Walau mereka—maksudku orangtua sering memarahi kita, bukan berarti orangtua benci kepada kita! Mereka sayang kepada kita!"
Jeda sebentar. Seito sedang berupaya untuk menahan sesuatu yang meluap dari dalam hatinya. "A-Aku harap aku dan keluargaku bisa bahagia walaupun kami sibuk dengan tugas masing-masing…" Ia ingin sekali menangis untuk saat ini. "Ta—tapi… Papa… Mama… tidak bisa melihatku saat ini…" Seito mulai menundukkan kepalanya—melihat ke arah lantai panggung. "Aku ingin… sekali saja harapanku ini bisa terkabul. Aku ingin Papa dan Mama melihatku tampil di depan umum seperti saat ini…" Suaranya pun mulai bergetar. Ia tidak bisa membendung perasaannya saat ini.
Di sisi lain, ada seseorang yang sedang mendengarkan perkataan Seito dari jauh. Sosok itu tersenyum kecil saat mendengarkan bocah berambut merah bermarga Akashi tersebut berpidato. Ia bersembunyi di balik pintu besar aula itu.
"Sei-kun, sudah siap?" wanita cantik dengan rambut yang digulung ke atas dan pakaian dress yang indah membalut tubuhnya, menoleh ke arah suaminya, bertanya kesiapannya.
"Siap! Ayo kita jalankan rencana berikutnya," Akashi langsung membuka pintu aula itu lebar-lebar sembari langsung menggenggam erat tangan istrinya. Cahaya dari luar sana menerobos masuk saat pintu besar itu semakin lama semakin terbuka lebar. Menampilkan sepasang manusia yang serasi tengah berjalan berdampingan dengan wajah bahagia. Salah seorangnya sedang melambaikan tangan ke arah anak yang sedang mendapat giliran membaca pidato ini. "Seito!" pekik wanita itu sambil tetap melambaikan tangannya.
Seito yang merasa terpanggil segera mengangkat kepalanya. Ia kaget, benar-benar kaget saat mengetahui dua orang yang paling ia sayangi di dunia ini terlihat berada di hadapannya, walau dari kejauhan. "Papa, Mama!"
Akashi dan istrinya terus saja berjalan di tengah bersamaan melewati tempat duduk penonton, menuju anaknya yang sedang berada di panggung sana. Kemudian, mereka berdua menaiki panggung lalu memeluk anak laki-lakinya yang sangat berharga itu dengan pelukan kasih sayang.
"Kami mendengar semua yang kau katakana dari kejauhan, Seito."
.
.
.
'Tuhan, aku ingin waktu bisa berhenti sekarang ini. Karena, aku jarang sekali berkumpul dengan keluarga kecilku seperti saat ini.'
.
.
.
.
Hanya Satu Harapanku: /END/
.
.
.
AN:
.
Hai hai! Saya kembali! Saya harap, kalian enggak lupa sama aku ya :'3
Ini, Imagi sudah meneruskan fanfic buat Akashi nya :'3
Hm... kira-kira, selanjutnya kalian mau karakter yang mana bakalan ditampilin?
.
Daftar panggilang yang diberikan setiap karakter untuk si 'reader' (LOL X'D):
1. Kuroko: "Sayang"
2. Akashi: "Sayang", "My empress" (Sebenernya, Akashi lebih suka manggil pake sebutan apa sih? XD)
3. Kise: - (rencananya sih Kise manggil si 'reader' dengan sebutan 'Honey' :3 tapi, apa kalian suka? :3)
4. Aomine: - (entahlah belum terpikirkan)
5. Midorima: - (entahlah belum terpikirkan juga! X'D)
6. Murasakibara: - (Sebenarnya sih kepikiran, tapi… entahlah! XD)
.
Uhm… ada yang mau bantuin Imagi? :3 atau kalian mau request karakter selanjutnya, settingnya mau dimana, atau adegan di dalam ceritanya mau yang apa? :3
.
Imagi tunggu ya… :3
Terima kasih sudah membaca dan terima kasih juga supportnya! Imagi terharu :'3 /Alah…
Sampai bertemu di chap selanjutnya… :3/
