"Notre"

Kuroko No Basuke © Tadatoshi Fujimaki

Rated : T

"Kami tidak mendapatkan keuntungan komersil macam apapun atas cerita ini."

.

.

Story by :

Alice Klein and Suki Pie

.

.

.:: Prolog ::.

.

[Pergi adalah ketika kau kembali nanti. Dan aku di sini, menemanimu; menanti hingga kini.]

.

.

.

Kedua manik scarlet itu membaca dengan seksama secarik kertas yang tertempel pada papan pengumuman, berusaha mencari nama seseorang yang tidak lain dan tidak bukan adalah dirinya sendiri. Well, seharusnya tidak sulit untuk menemuka—

Akashi Seijuurou—kamar asrama nomor 54.

—ah, benar kan? Tidak sulit.

Akashi tersenyum tipis seraya mengingat kembali denah daerah universitasnya—yang tentunya sudah Akashi ingat dengan sangat baik—dan kamar dengan nomor genap berarti ada di gedung asrama bagian barat yang letaknya tidak jauh dari gedung fakultas Akashi.

Bukannya beranjak segera ke aula untuk upacara penerimaan mahasiswa baru, pemuda yang memiliki warna rambut senada dengan matanya tersebut malah terdiam di depan papan pengumuman. Sebetulnya ia masih penasaran. Sebab dari dalam benaknya, tiba-tiba terlintas sebuah pertanyaan sepele yang terus berulang dan terngiang.

Siapa yang kira-kira akan menjadi teman sekamarnya nanti?

Kembali Akashi menelusuri deretan nama yang terpasang di papan dan—lagi—ia tidak memerlukan waktu lama untuk menemukan nama orang yang akan menjadi teman sekamarnya.

Aomine Daiki—kamar asrama nomor 54.

Oh, jadi teman sekamarnya nanti bernama Aomine Daiki? Akashi berharap semoga saja dia bukan orang yang menyusahkan.

"Akashi, apa itu kau?"

Akashi membalikkan badannya refleks saat namanya disebut-sebut dan di belakangnya tampak seseorang yang sudah sangat familiar di matanya. Jade lalu bertemu dengan ruby.

"Ah, Shintarou, tentu saja ini aku. Apa liburan beberapa bulan membuatmu amnesia dan lupa pada teman semasa SMA-mu sendiri?" Jawab Akashi dengan seringai tipis.

Laki-laki bersurai hijau itu mengembuskan napasnya, "Bukannya begitu," Lalu membetulkan letak kacamatanya, "Aku hanya memastikan karena terkejut melihatmu ada di Hokkaido. Aku kira sekarang kau ada di Tokyo,"

Akashi mendengus geli, "Eh, mengejutkanmu? Bukankah seharusnya kau sudah terbiasa karena aku sering membuatmu terkejut, Shintarou?"

"Ya, dalam berbagai hal kau memang mengejutkan. Jalan pikiranmu acak, Akashi,"

"Dan aku anggap itu sebagai pujian darimu, Shintarou,"

Midorima melipat kedua tangannya, "Ada yang ingin aku tanyakan, kalau begitu,"

"Menanyakan apa?" Sejujurnya Akashi sudah dapat mengetahui apa yang ingin ditanyakan Midorima. Tentu saja, sebab Akashi tahu kalau Midorima tidak akan semudah itu memercayai keberadaannya di sini hanya sebagai kebetulan semata.

"Kenapa kau bisa ada di sini?"

Shintarou, betapa mudahnya menerka isi pikiranmu. "Aku terdaftar sebagai mahasiswa di sini. Jadi aku kemari untuk kuliah, ada yang salah?" jawab Akashi lugas.

"Tidak ada yang salah, memang. Yang ingin aku tanyakan, kenapa di Hokkaido bukannya di Tokyo? Aku rasa dengan kemampuan otakmu, masuk ke Tokyo Daigaku adalah hal yang mudah,"

Akashi tidak suka ini. Pertanyaan Midorima seolah memojokkannya. Hell, Midorima tidak akan menerima alasan yang ia buat-buat. Sudah pasti ia akan terus menuntut jawaban yang sebenarnya.

Tidak kunjung mendapat respon dari lawan bicaranya, Midorima kembali angkat suara, "Baiklah kalau begitu," Midorima melangkah mendekati Akashi, menatap iris dengan citra kemerahan itu lekat-lekat, "Aku tidak akan menuntut jawabanmu sekarang dan kau tidak boleh mengelak sebab aku tahu ada yang janggal padamu, Akashi,"

Midorima mulai melangkahkan kaki jenjangnya, meninggalkan Akashi yang masih terdiam. Namun belum jauh berjalan, Midorima pun menghentikan langkahnya, "Omong-omong kamar asramaku ada di gedung timur, nomor 67. Bukannya apa-apa, hanya saja kau bisa mengunjungiku kalau-kalau ingin bertanding shogibersama, seperti dulu saat kita masih di SMA,"

Akashi tersenyum tipis, "Terima kasih atas undangannya dan aku akan sangat senang apabila dapat mengalahkanmu lagi, Shintarou."

.

.


.

.

Dari awal, Akashi adalah tipe orang yang tidak suka diperintah. Memerintah orang lain, jauh lebih menarik menurutnya ketimbang harus menuruti segala perintah ini-itu. Namun meskipun demikian Akashi tetaplah orang yang patuh pada aturan yang berlaku, sehingga akhirnya ia memutuskan—dengan setengah hati—untuk mengikuti masa orientasi di kampusnya walaupun ia tahu kakak-kakak angkatannya nanti akan menyuruhnya melakukan hal-hal absurd ataupun hal-hal lain yang memalukan.

"Sekarang, dari atas gedung ini, teriakan dengan lantang nama, jurusan, dan alasan kalian masuk ke universitas ini. Kalau tidak, hukumannya kalian harus menyatakan cinta pada orang yang kalian sukai sambil membuka pakaian kalian,"

Nah, kan. Absurd. Setidaknya Akashi perlu bersyukur, sebab masa orientasinya hanya berlangsung satu hari dan yang jelas, Akashi sama sekali tidak tertarik untuk mempermalukan dirinya sendiri di depan banyak orang.

"Siapa yang ingin mulai duluan?"

Huh, harga dirinya terlalu tinggi untuk ini.

"Senpai, maaf. Sepertinya anemiaku kambuh," Ucap Akashi berbohong sambil memegang kepalanya agar terlihat meyakinkan. Dengan ini, ia berharap dapat terbebas dari perintah sang kakak angkatan.

"Eh, baiklah. Aku izinkan kau untuk tidak mengikuti kegiatan ini. Pergi dan beristirahatlah di ruang kesehatan. Perlukah kau—"

"Tidak perlu. Aku bisa pergi sendiri, senpai." Tanpa basa-basi Akashi pun langsung memisahkan diri dari rombongannya dan setelah itu banyak tatapan iri tertuju pada pemuda bersurai merah tersebut.

Sebenarnya Akashi tidak berminat untuk pergi ke ruang kesehatan. Ia hanya ingin meloloskan diri saja. Lagipula jika ia beristirahat di ruang kesehatan, ia akan ditanyai macam-macam dan bisa saja akibat itu peran sakit-sakitannya akan ketahuan.

Untuk itu Akashi memutuskan untuk mengelilingi bagian lain dari atap gedung tempatnya berada sekarang. Sebab bagaimanapun juga sangat jarang baginya mengunjungi tempat seperti ini. Ia lebih suka mengunjungi perpustakaan dan menenangkan diri di sana sambil membaca beberapa buku.

Akashi sampai di sisi lain atap gedung yang berada cukup jauh dari tempat rombongannya semula. Ternyata di sini sepi, tidak ada orang.

Akashi pun berjalan sampai ke arah sisi atap dan memperhatikan pemandangan yang bisa terlihat dari sana. Hijaunya pepohonan berpadu dengan gedung-gedung berbagai fakultas yang bervariasi tingginya, menyambut indera pengelihatan Akashi. Cukup indah juga, eh?

Kedua iris merahnya lalu tertutup, berusaha menajamkan inderanya ketika terpaan angin mulai menyapu halus sensor-sensor penerima impuls di kulitnya. Sudah lama sekali rasanya Akashi tidak merasakan ketenangan seperti ini, merasakan kebebasan seperti ini.

'Kenapa kau bisa ada di sini?'

Kelopak mata yang menutupi manik merahnya terbuka. Ah, kenapa pertanyaan Midorima pagi hari tadi bisa tiba-tiba terngiang kembali?

'Aku tidak akan menuntut jawabanmu sekarang—'

Jawaban? Bahkan Akashi sudah susah payah, berusaha melupakan alasannya ia datang ke Hokkaido dan memutuskan untuk menuntut ilmu di sini. Namun pemuda teman semasa sekolahnya dulu itu, menuntut untuk mengetahui jawaban yang seharusnya sudah ia buang jauh-jauh.

Huh, merepotkan sekali.

'—dan kau tidak boleh mengelak sebab aku tahu ada yang janggal padamu, Akashi.'

Rasanya Akashi ingin tertawa. Harus Akashi akui kalau Midorima adalah orang yang lumayan peka pada keadaan di sekitarnya, walaupun sangat jarang bagi pemuda itu untuk menunjukkannya secara gamblang di depan setiap orang.

Tapi katanya tadi… janggal? Apa salahnya memang? Akashi hanya ingin merasakan hal yang berbeda, itu saja. Tidak ada hal yang aneh soal itu.

Tidak ada.

Kaki kanannya melangkah.

Hmm, benarkah tidak ada yang aneh?

Baru kali ini Akashi merasa ragu pada dirinya sendiri padahal biasanya ia yakin pada keputusan yang ia pilih. Ia ragu apakah pertanyaan Midorima tadi memiliki jawaban yang pasti. Bahkan otaknya seperti sudah diatur agar tidak lagi mengungkit masalah ini.

Disusul oleh kaki kirinya.

Ah, ada apa sebetulnya? Benarkah ada yang salah? Benarkah ada yang janggal? Batinnya mendesak mencari jawaban, namun logikanya berhenti seolah enggan berjalan.

Maju selangkah lagi.

Kepala Akashi mendadak nyeri ketika pertanyaan yang sama berulang tiada henti di dalam benaknya.

Dan tidak ada lagi tempat berpijak baginya.

Langit biru pun menjadi hal yang terakhir dilihatnya sebelum menutup mata.

.

.


.

.

Sial. Sial sial.

Aomine Daiki menghentakkan kedua kakinya kesal, badan berdiri tegap, dan kepala terangkat angkuh. Beberapa mahasiswa baru yang menyapanya tak ia hiraukan. Tak menarik, pikirnya. Setiap kali Aomine berjalan, terutama melintasi koridor, tidak jarang di antara mereka akan menyapanya seperti 'Izin lewat, Senpai.' Atau izin inilah, izin itulah, dan izin-izin aneh lainnya. Oke, itu menganggu.

Meski dalam hati ada rasa bangga dan egois yang menggerogoti dirinya karena merasa ditakuti dan dihormati. Hahaha, jujur saja, masa-masa orientasi adalah hal yang disukai Aomine. Selain mencari junior-junior yang manis dan berdada besar, ia juga bisa menggodanya sesuka hati. Mesum? Enak saja. Ini hanya formalitas sebagai kakak angkatan.

Ah, omong-omong, sebenarnya Aomine sedang kesal saat ini.

Beberapa menit yang lalu Imayoshi meneleponnya untuk segera datang ke atap gedung sekolah. Cih! Itu mengganggu tidur siangnya, sungguh. Dan Aomine cukup tahu bagaimana caranya Imayoshi mengancam agar ia sendiri mau angkat kaki dari ruang kelas kosong yang beberapa jam lalu menjadi sarang hibernasinya. Bisa-bisa udang perliharaannya nanti mati satu per satu seperti tahun lalu. Tidak, terima kasih. Aomine tidak akan mengorbankan udang peliharaannya lagi!

"Sekarang, dari atas gedung ini, teriakan dengan lantang nama, jurusan, dan alasan kalian masuk ke universitas ini. Kalau tidak, hukumannya kalian harus menyatakan cinta pada orang yang kalian sukai sambil membuka pakaian kalian,"

Satu alis Aomine terangkat begitu permintaan kakak kelas yang tak lagi asing baginya mulai menggema. Oh, sudah dimulai ternyata. Aomine jadi merasa bernostalgia ketika masa-masa itu, masa dimana ia juga menjadi seorang junior yang dijadikan budak oleh senior.

Langkah kakinya berhenti tepat di depan pintu atap gedung. Satu menit sebelum Aomine membuka kenopnya, laki-laki berkulit dim itu sempat-sempatnya merapikan rambut, kameja dan celana jeans-nya, menata name tag agar lebih terlihat, lalu mengatur ekspresi agar terlihat lebih sangar dan galak.

Sebagai senior, ia harus memiliki kharisma yang khas.

Tak butuh waktu lama sampai akhirnya Aomine membuka kenop pintu hingga daunnya berderit kecil setelah itu terbuka seluruhnya. Kumpulan mahasiswa baru berbaju putih, adalah hal yang pertama kali menjadi objek fokusnya.

Aomine terkekeh, nyaris tertawa meledak begitu sensor pendengarannya menangkap beberapa mahasiswa terpilih—jika bisa dikatakan beruntung—berdiri dengan gagah di ujung pembatas, toa berada di satu tangan dengan ujung menempel di bibir, dan suara yang menggema di seluruh penjuru kampus.

"Saya yang bernama xxx, jurusan xxx, alasan saya memilih universitas ini karena… karena—"

"Yang lebih lantang lagi! Mana suaranya?!"

"SAYA YANG BERNAMA—"

Astaga, suasana seperti ini tidak jauh berbeda ketika Aomine baru saja menginjakan kaki di universitas Hokkaido yang menjadi rumah keduanya sampai saat ini. Aomine menggeleng pelan, dalam hati tertawa habis-habisan. Rasanya seperti bernostalgia saja.

Tak tertarik mendekati kerumunan mahasiswa di depannya, maka Aomine mengambil langkah mundur; menjauh dari kegiatan yang tengah berlangsung. Toh, ia berada di sana pun tak akan mengubah keadaan. Imayoshi yang mengambil alih semuanya.

Hingga langkahnya secara tidak sadar membawa Aomine pada sisi lain gedung. Yang lebih sepi; lebih terisolir bahkan nyaris terlupakan. Well, tempat yang bagus—bagus digunakan untuk melanjutkan tidur siangnya, sebenarnya—salahkan saja si mata empat yang telah mengganggu waktu tidurnya.

Hingga detik berikutnya, tubuh Aomine kaku sesaat.

Manik biru tua itu memicing sejenak, memastikan penglihatannya pada sosok kecil yang berdiri di ujung gedung, tanpa pengaman, tanpa pijakan yang pasti. Terpaku seperkian detik bagaimana angin kecil menghembuskan helai merahnya, kameja putih yang terangkat sedikit, juga pungguh kecil yang terlihat rapuh baginya.

Tidak, tidak. Punggung itu memang terlihat rapuh, yang dengan mudah bisa lenyap kapan saja, namun entah mengapa dari caranya berdiri, Aomine merasa sosok pemuda merah itu memiliki… entahlah, sulit untuk mengatakannya, hanya saja terlihat… absolut?

Dan, oh, tunggu, tunggu. Pertanyaannya; apa-yang-sedang-dilakukan-orang-itu-di-sana?

"Dia itu kabur atau apa?" sahutnya gusar, melangkah cepat untuk mendekati. Aomine tak butuh waktu sampai satu menit agar sel motorik yang mengirimkan sinyal ke otaknya membuat adrenalinnya mendadak muncul, menyebabkan jantungnya berdebar tak tentu, napas tertahan dan tubuh mematung.

Ada yang salah.

Pemuda merah itu—

"Holy shit! Kau—apa yang sedang kau lakukan!"

—berniat untuk bunuh diri, kah?!

Sepasang kakinya refleks berlari. Secepat mungkin; selincah yang ia bisa. Bagaimana tapak kaki bersol karet itu menghantam tanah lebih keras bahkan sampai menghentak.

Satu …

Bagaimana ketika Aomine merasa tubuhnya bergerak sendiri, mengikuti instingnya. Mengabaikan berbagai macam spekulasi buruk, mengabaikan kalimat-kalimat yang tak ingin didengarnya. Jatuh. Melompat. Bunuh diri. Tewas.

Dua …

Dan bagaimana akhirnya satu lengan Aomine terjulur ke depan, kelima jari saling terbuka, mencoba menggapai objek di depannya.

Ti—

"Apa yang kau lakukan, bodoh?!"

Hingga ia berhasil menarik punggung yang tampak rapuh itu. Lengan melingkar di sekeliling pinggang, satu tumpuan kakinya terdorong melawan gravitasi dan mengakibatkan tubuh juga pemuda yang ditariknya jatuh terhuyung ke belakang. Terpelanting, membentur, bergesekan, lalu terjerembab dalam irama yang tak tentu.

Aomine merasakan kedua sikunya perih. Mungkin tidak sengaja bergesekan dengan kerikil-kerikil kecil yang tak kasat mata begitu tubuhnya terjatuh. Ia juga merasakan nyeri di dadanya; di bagian luar. Dan ia baru sadar ketika membuka mata—yang sebelumnya terpejam begitu rapat—kepala berambut merah itu baru saja menabrak dadanya dengan bebas. Juga helai rambut yang menggelitik dagunya.

Oh, Tuhan, posisi ini, membuat Aomine tidak bisa bergerak dan rasa pegal di sekujur tubuhnya.

"Ugh! Kenapa kau menarik—"

"Hei, kau yang bodoh!" Aomine berseru keki. "Apa yang sebenarnya kau laku—"

Aomine mematung.

"—kan?"

Kepala merah itu mendongak. Mata saling menatap namun tak memandang. Bibir saling terbuka namun kata yang keluar nihil adanya.

Sepasang manik delima itu membuat Aomine tak berkutik.

.

.

.

To Be Continued


A/N :

Alice & Suki : Halooo~~

Hahaha, kami kembali membawakan cerita baru dengan pair yang baru. Ya, salahkan saja Alice, karena dia Suki jadi keracunan AoAka 8D /dibuang Alice. Dan buat informasi, Akashi di sini adalah Akashi versi Teiko. Matanya masih dua-duanya merah dan wajahnya imut, tapi kelakuannya sisi Akashi yang lainnya. Ah, mungkin nanti keliatan di jalan ceritanya /heh/

Terus terus, apa lagi ya?

Oh, buat Minna-san yang dari Bandung, tadi ada yang ke BJF kah? Mungkin kita saling papasan tapi gak nyadar? #plek

Terima kasih bagi yang sudah berkenan mampir dan membaca! XD *ketjup*

Akhir kata,

Alice & Suki : Review please! XD *dari Alice yang lagi nge-RP dan Suki yang lagi pegel-pegel kaki*