You and Me, Rival!
-Trent Special Chapter-
Ibu...
Apa kabar?
Entah kenapa, akhir-akhir ini aku menjadi sering bernostalgia.
Ibu ingat?
Bagaimana dulu mereka semua menyebutku 'dokter jenius'?
Aku sempat kesal.
Sangat kesal.
Tapi... Berkatmu ibu.
Karena ada ibu disisiku,
Aku dapat bertahan hingga saat ini.
-oOo-
Tap. Tap.
"U-uwah! Lihat itu! Dia dokter jenius yang dibicarakan itu, bukan?"
"Umurnya masih dua belas tahun, bukan?! Bukan main..."
Berisik.
Aku bisa mendengar kalian, bodoh.
"Kudengar ayahnya juga seorang dokter hebat, bukan? Pantas saja anaknya jenius begitu!"
"Yah, tapi bagaimana pun juga dia tetaplah anak kecil! Tidak mungkin dia dapat menyaingi kita-..."
BRAK!
Trent melempar kaleng kosong ke arah tong sampah di dekat mereka, lalu menatap mereka tajam. Kedua dokter yang tadi sibuk membicarakannya, langsung berdiri dan pergi begitu saja. Trent lalu menggaruk-garuk kepalanya, dan menghela napasnya.
"Ha-ah! Dasar orang tua berisik. Dokter jenius, dokter jenius! Apanya..."
Trent duduk di kursi panjang yang ada di depan ruang resepsionis itu. Dia menarik napasnya dalam-dalam, lalu menghembuskannya. Sudah dua bulan semenjak kedatangannya ke rumah sakit ini. Rumah sakit ayahnya. Tetapi, dia sama sekali belum diperbolehkan memegang pasien. Selama ini dia hanya menjadi asisten dokter-dokter lain, dan mengamati bagaimana mereka bekerja. Dan dia bisa bebas berkeliaran di rumah sakit sesukanya, seperti yang dilakukannya saat ini.
"...Bau obat." Ujarnya mengeluh. Dia sendiri tidak mengerti apakah dia menyukai pekerjaannya atau tidak. Yang dia tau, otaknya bekerja jauh lebih cepat dibandingkan anak-anak seumurannya. Itulah yang membuatnya bisa berdiri di sini, saat ini.
"Ibu! Aku tidak suka rumah sakit~"
"Hei! Jangan bilang begitu! Kita hanya menjenguk kakek sebentar, oke? Setelah itu kita akan pulang."
"U-uhhh..."
Dari jauh, Trent melihat ada anak laki-laki seumurannya yang digandeng oleh ibunya menuju ruang rawat inap. Dia pun terdiam.
"Memang seharusnya anak seumuranku itu tidak suka di rumah sakit, ya..." Ujarnya pada dirinya sendiri. Dia mengerutkan alisnya, sampai dia mendengar sebuah teriakan wanita.
"T-Tolong! Anakku!"
Wanita itu berlari, dan beberapa perawat sibuk membawa anak itu ke ruang operasi. Penasaran, Trent pun memutuskan untuk mengikuti mereka. Sampai akhirnya anak itu pun masuk ke ruang operasi, dan ibunya menunggu di luar sambil menangis. Tanpa mengucapkan apapun pada ibu anak itu, Trent masuk ke dalam ruang operasi dan mengintipnya dari jauh. Kebetulan yang mengoperasi anak itu, adalah ayahnya.
"Segera berikan obat bius. Kita akan menjahit dahinya."
((Oh. Rupanya dahinya sedikit tersobek.)) Ujar Trent dalam hati. Dia melihat anak yang sudah tidak berdaya itu. Umurnya mungkin sekitar 7-8 tahun? Bajunya kotor. Pasti anak laki-laki ini sedang bermain, kemudian terjatuh atau apapun itu. Dasar bocah.
Kemudian dia mengamati operasi itu sampai selesai. Dan, tak lama dia dipindahkan ke ruang pasien. Ibu anak itu pun segera menghampiri anaknya yang masih setengah sadar itu.
"D-Dokter! Bagaimana... Anak saya?" Tanya wanita itu pada dokter yang mengoperasi anaknya barusan. Sementara Trent, masih berdiri di sebelah ayahnya tanpa mengucapkan sepatah kata apapun.
"Dia tidak apa-apa. Hanya saja, mungkin dia perlu dirawat disini untuk beberapa hari sampai jahitan di dahinya bisa dilepas."
"B-baik. Terima kasih, Dokter."
"Tunggu sebentar, ya. Aku akan panggil perawat untuk memeriksanya kembali."
Dokter itu pun keluar dari kamar pasien itu. Tapi entah kenapa Trent masih belum keluar dari ruangan itu. Dia masih penasaran dengan anak laki-laki itu. Mungkin saja dia bisa mengajaknya berbicara sebentar. Karena terus berada di rumah sakit dan sudah tidak pergi ke sekolah lagi, Trent sama sekali tidak memiliki teman sebayanya. Dengan membangun sedikit harapan di hatinya, dia berharap anak di depannya ini dapat menjadi temannya.
"M-mama?" Anak itu mulai berbicara dan menatap ibunya.
"A-anakku... K-kau..." Trent memejamkan matanya. Dia sudah melihat adegan ini berkali-kali.
((Setelah ini mereka pasti akan menangis, lalu berpelukan atau apalah itu.)) Ujar Trent dalam hati. Tapi, dia pun terhentak saat melihat wanita itu mencubit hidung anaknya.
"A-a-aw! Lephaskan mhamha!" Ujar anak itu sambil meronta sekuat tenaga. Ibu anak itu hanya menatapnya tajam.
"Kau ini... Apa yang kau pikirkan...! Memanjat pagar rumah seperti itu, kau mau kabur kemana, hah?! Untung saja hanya dahimu yang terluka! Bagaimana kalau ada bagian tubuhmu yang patah?!"
"...Berisik." Ujar anak itu sambil mengacuhkan ibunya. Ibu anak itu semakin kesal dan kembali berteriak lagi.
"Kau itu! Kenapa keras kepala sekali, sih?! Semakin mirip ayahmu saja! Menyebalkan!"
Mendengar nama ayahnya disebut, anak itu langsung menggigit bibir bawahnya. Dia pun membuka kedua matanya lebar-lebar dan melawan ibunya.
"Kenapa Mama selalu membenci Papa seperti itu?! Aku benci Mama!"
"A-apa-...!"
Sreeek
"Permisi, aku akan melakukan cek terhadap anak ibu. Mohon ibu untuk mengurus data ini di ruang resepsionis." Perawat itu masuk dan memberikan beberapa lembar kertas kepada ibu anak itu.
"O-oh. Baik. Akan segera saya urus. Claire. Jangan membuat masalah. Mama akan segera kembali." Kemudian wanita itu keluar dari kamar pasien anaknya, sementara perawat tadi sibuk mengatur tekanan darah anak itu. Trent masih terdiam sambil mengedipkan matanya.
((Apa tadi? Apa aku salah dengar? Kenapa namanya terdengar seperti nama perempuan? T-tapi...))
Trent melirik ke arah anak di depannya ini. Rambut pirang, dipotong bob pendek dengan poni rata. Dan dengan tampang liarnya itu, bagaimana pun... Dia tetap terlihat seperti anak laki-laki! Dan apa penyebab dari luka di dahinya itu? Bukankah karena dia memanjat pagar?!
"Nah, selesai. Sekarang kamu istirahat dulu, ya. Sebentar lagi ibumu datang." Perawat itu pun keluar tanpa mengucapkan sepatah kata pada Trent. Trent mengalihkan pandangannya. Ya, semua orang di rumah sakit ini tau dia dapat bebas bergerak ke mana pun sesukanya, berkat ayahnya, dan otak jeniusnya itu. Sadar telah melamun, Trent kembali menoleh ke arah kasur itu dan sudah mendapati anak itu sudah tidak ada di kasurnya. Dan saat ini, dia sedang mencoba untuk mengangkat tiang infusnya. Dia mencoba berjalanan ke arah jendela kamar pasien yang cukup besar itu. Trent pun langsung menghentikannya.
"H-Hoi! A-apa yang kau lakukan?! Kau harus tidur!"
Trent langsung menarik tiang infus milik anak itu dan membaringkannya kembali ke tempat tidurnya. Anak itu hanya terdiam dan mengalihkan pandangannya.
Ini gila. Dia baru saja dioperasi kan?! Dan dia langsung berniat untuk bergerak?!
Trent mengerutkan alisnya, menatap anak itu dengan tajam. Dia sebenarnya ingin pergi untuk mengikuti ayahnya lagi, tapi... Entah kenapa dia mempunyai firasat buruk jika dia meninggalkan anak ini sendirian.
"Hah... Kemana sih ibu anak ini! Lama sekali!"
"...Dia mungkin tidak akan kembali."
"Hah?" Merasa mendengar anak itu mengeluarkan suaranya, Trent kembali menatapnya. Dia bisa melihat mata anak itu mulai memerah.
"Toh, dia membenciku." Anak itu mengalihkan pandangannya, dan air mata anak itu benar-benar mulai keluar sekarang. Melihatnya, Trent pun mulai panik.
"H-hoi! K-kau ini laki-laki kan?! Jangan menangis!" Anak itu hanya terdiam mendengar perkataan Trent sambil menatap jendela yang ada di sebelah ranjangnya. Sementara Trent masih menggaruk-garuk kepalanya.
"Dengar ya. Apapun yang terjadi, kau tidak boleh pergi dari ranjang ini. Mengerti? Aku sibuk dan tidak bisa mengawasimu terus. Kau dengar, kan?" Anak itu masih terus terdiam tanpa menoleh ke arah Trent sedikit pun. Kesal, Trent pun memutuskan untuk keluar dari kamar anak itu.
Blam!
"Hah... Aku merasa bodoh. Apa yang kulakukan?"
Trent pun mulai berjalan, sampai dia melihat sosok yang dikenalnya. Dengan senyuman lebar menghiasi wajahnya, dia segera berlari dan memeluk orang itu dari belakang.
"Ibu!"
"E-eh! Astaga! Trent! Kau hampir membuat jantung Ibu copot..."
"Hehehe! Aku sudah menunggu Ibu! Kenapa agak telat hari ini?" Ujar Trent sambil memajukan bibirnya. Ibunya hanya tertawa sambil mengelus kepala anaknya.
"Maaf ya. Ibu tidak menyangka akan terjebak macet dijalanan. Tapi barusan Ibu sudah menghubungi ayahmu. Kau tidak bersamanya?" Trent sedikit tersentak, kemudian mengalihkan pandangannya.
"T-Tadi ada sesuatu yang menghalangiku jadi... Aku terpisah sama Ayah!"
"Hahahaha! Begitu ya..." Ujar ibu Trent, sambil mengelus kepala anaknya dengan lembut. Trent langsung memeluknya dengan erat. Dia sangat menyukai wangi ibunya. Ya, baginya ibunya adalah wanita yang paling lembut di dunia ini! Dia sangat menyayanginya.
"Terresa." Ibu Trent segera menoleh dan tersenyum kepada orang yang memanggil namanya. Begitu pula Trent.
"Kau kemana saja? Aku dan Trent sudah menunggumu."
"Maaf, hari ini aku ada pasien dadakan. Kau tadi juga melihatnya sendiri kan, Trent?"
"Yah, begitulah~" Ujar Trent malas-malasan sambil mengalihkan pandangannya. Ayah Trent pun mendekat dan mencubit pipi anaknya.
"Kau itu. Sifat menyebalkanmu itu mirip siapa sih."
"Hahaha. Tentu saja mirip denganmu." Ujar ibu Trent sambil menahan tawanya.
"E-eh?! Aku tidak seperti itu!"
"Tidak. Ayah seperti itu."
"Ck. Diamlah." Ayah Trent menggaruk-garuk kepalanya, sambil mengalihkan pandangannya.
"Ayah yang harusnya diam!" Ujar Trent sambil mengalihkan pandangannya juga. Ibu Trent hanya tertawa-tawa saja melihat tingkah suami dan anaknya yang begitu mirip. Bukan hanya tingkahnya saja yang mirip, bahkan kedua wajah mereka sangat mirip. Ibu Trent yakin, saat anaknya besar nanti, dia bisa saja menjadi duplikat ayahnya.
"Sudah, sudah. Lebih baik sekarang kita pergi makan siang dulu, oke?" Trent dan ayahnya saling bertatapan, kemudian mereka tersenyum bersamaan.
"Oke!"
Mereka bertiga berjalan bersama, keluar dari rumah sakit. Ibu Trent berada di posisi tengah. Tangan kanannya digandeng oleh putra tercintanya, dan pundak kanannya dirangkul oleh suami tercintanya. Hal inilah yang mereka lakukan setiap hari, untuk menghabiskan waktu bersama. Saat jam istirahat di rumah sakit, mereka akan pergi makan siang bersama. Dan hal itulah yang dinanti-nanti oleh Trent, untuk melepas kejenuhannya selama di rumah sakit. Dia merasa sangat senang.
"Ah~ aku kenyang!" Trent keluar dari mobil sambil mengusap-usap perutnya yang tampak membuncit itu.
"Tentu saja, kau makan banyak sekali tadi." Ujar Ibu Trent yang masih berada di dalam mobil. Ayah Trent pun keluar dari mobil istrinya, dan menatapnya lekat-lekat.
"Aku dan Trent akan kembali lebih cepat malam ini." Ujarnya, sambil memasukkan kepalanya lewat jendela mobil.
"Ya, aku tau. Aku akan menunggu di rumah." Jawabnya, sambil mencium suaminya. Trent yang melihatnya hanya cemberut sambil menghentakkan kakinya.
"Ibu~! Aku juga mau!" Ujarnya sambil mendorong ayahnya, dan menyodorkan pipinya.
"Hahaha, iya-iya... Hari ini juga, semangat ya Trent." Setelah mendapatkan kecupan dari ibunya dan berhasil memamerkannya kepada ayahnya, Trent pun melambaikan tangannya kepada ibunya tercinta. Kemudian, dia merasakan sebuah telapak tangan yang besar, mengacak-acak rambutnya.
"Nah, kita sudah selesai mengisi tenaga kita. Sekarang waktunya kembali bekerja, Trent." Mendengar ucapan dari ayahnya yang terdengar menantang itu, Trent langsung tersenyum dan menatap ayahnya lekat-lekat.
"Suatu hari nanti aku bakal ngalahin Ayah. Aku bakal jadi Dokter yang lebih hebat dari Ayah. Tapi bukan sebagai anak dari Dokter Eric. Aku akan ngalahin Ayah, dengan menggunakan namaku sendiri... Trent."
Kedua mata ayah Trent terbuka lebar untuk sesaat. Dia tau anaknya ini jenius. Namun di matanya, dia tetaplah anak berumur dua belas tahun biasa. Karena itu, dia masih tidak terbiasa mendengar kata-kata anaknya yang kadang terdengar sangat dewasa ini. Karena itulah dia kadang merasa canggung untuk berbicara dengan anaknya sendiri. Mungkin karena sifat kakunya itu. Tapi, dengan cepat dia membalas senyum anaknya.
"Ya, akan ayah tunggu."
-oOo-
"Hah... Dasar ayah bodoh."
"Trent, maaf! Ayah ada janji dengan seseorang. Ayah tidak bisa menemanimu dulu, jadi... Kau keliling rumah sakit sendiri dulu, ya?"
Mengingat kata-kata ayahnya tadi, Trent mengerutkan alisnya.
((Apa-apaan itu?! Menyebalkan!))
Tanpa sadar Trent sudah melangkah ke depan kamar yang tadi sempat dia masuki. Dia menyipitkan matanya. Penasaran, dia pun membuka pintu kamar pasien itu dan mendapati anak itu, sedang berusaha mengotak-atik jendela di kamarnya. Melihatnya, Trent pun segera berlari dan menghentikannya.
"H-HOI! APA YANG KAU LAKUKAN?!" Anak itu tampak terkejut mendengar teriakan Trent. Akhirnya Trent pun kembali membantunya untuk berbaring di ranjangnya.
"Kau ini... Sudah kubilang... Jangan kemana-mana! Kau dengar!?" Anak itu hanya terdiam dan mengalihkan pandangannya. Menolak untuk menatap Trent.
"Hah... Apa yang harus kulakukan..." Trent menggaruk-garuk kepalanya. Bingung. Dia pun menatap anak itu.
"Ibumu belum datang?"
"...Dia pergi lagi untuk mengambil beberapa barang dari rumah." Trent terkejut. Anak ini bisa bicara juga rupanya.
"O-oh."
Trent terdiam lagi. Dia tidak tau harus berbicara apa. Dia tidak pandai dalam hal ini. Selain itu, dia tidak pernah berbicara dengan anak sebayanya sebelumnya.
"K-kalau begitu... Aku keluar dulu." Merasa harus memecah keheningan, Trent pun keluar dari kamar itu. Dia terdiam dan segera berlari mencari ayahnya. Setelah beberapa menit berlari, dia pun menemukan ayahnya sedang berbicara dengan beberapa pria berjas lainnya yang tampaknya juga seorang dokter. Dia berlari dan segera menabrak ayahnya dari belakang. Ayahnya yang terkejut karena tiba-tiba ditubruk oleh anaknya, hanya bisa meringgis kesakitan. Dia pun menoleh ke arah anaknya.
"T-Trent..." Terdengar nada penuh ancaman dalam perkataan ayahnya itu. Seakan tidak peduli, Trent menarik jas ayahnya dan mendekat kepadanya.
"Ada yang harus kubicarakan, Ayah! Ini penting!"
"Tapi... Bukankah Ayah sudah bilang kalau Ayah ada tamu?"
"Ini lebih penting! Ayah ingat anak liar yang tadi pagi Ayah operasi?"
"Oh... Anak yang dahinya sobek itu, ya?" Jawab ayah Trent sambil meletakkan jari telunjuk dan jempol di dagunya.
"Iya! Dia itu anak berbahaya! Sudah dua kali dia kabur dari ranjangnya dan melakukan hal yang aneh! Dia bisa saja berniat kabur dari rumah sakit lewat kalau aku tidak menghentikannya tadi!"
Ayah Trent mengedip-ngedipkan matanya. Dia cukup... Terkejut.
"Oh... Lalu?"
"Kok lalu sih, yah?! Itu bisa berbahaya! Dia baru saja dioperasi, dan dia sudah berkeliaran kemana-mana! Nanti lukanya bisa terbuka, kan?!"
Ayah Trent hanya tersenyum menanggapi anaknya. Melihatnya, Trent pun semakin kesal.
"AYAH!-..."
"Kalau begitu, bagaimana kalau kau saja yang mengawasinya?"
"E-eh?" Trent bengong mendengar perkataan ayahnya.
"Anggap saja ini tugas pertamamu. Tidak apa, kan? Kau hanya perlu mengawasinya selama tiga hari."
"T-Tapi-...?!"
"Apa? Kau takut?"
"U-ugh!..."
"Rawatlah dia dan jadilah temennya, Trent." Seketika, mata Trent langsung berbinar.
"T-Teman?"
Lagi-lagi ayah Trent terdiam melihat tingkah anaknya. Dia hanya tersenyum sambil mengusap-usap kepala anak satu-satunya itu.
"Sanggup?"
"...Mhm..." Trent hanya menganggukkan kepalanya pelan sambil mengalihkan wajahnya yang mulai memerah itu.
"Baiklah. Kalau begitu, Ayah serahkan padamu ya. Ayah mengandalkanmu."
"I-iya! Aku akan mengawasinya!" Trent berlari menuju kamar anak itu lagi. Dia merasa senang sekali. Ayahnya mengandalkannya. Dan... Ada kemungkinan dia bisa memiliki teman.
"Wah-wah, itu tadi anakmu yang sering dibicarakan itu? Anak jenius itu? Tapi... Dia terlihat seperti anak biasa di mataku." Ujar salah satu pria, tanpa ada maksud buruk apapun. Ayah Trent pun tertawa menanggapinya.
"Ah, anda berlebihan. Dia memang hanyalah anak laki-laki biasa. Hanya saja... Dia adalah anakku. Karena itulah dia spesial." Ujarnya bangga, sambil menatapnya yang perlahan menghilang dari koridor rumah sakit.
-oOo-
"...Aku memang berjanji pada Ayah untuk merawatmu. Tapi..." Trent mengepalkan tangannya.
"Bisakah-...?!" Dia menarik tiang infus anak itu.
"Kau-...?!" Dia menarik anak itu ke arah kasurnya.
"DIAM?!" Kemudian Trent mendorongnya hingga anak itu berbaring di kasurnya.
"..." Anak itu hanya terdiam sambil menatap Trent tanpa dosa.
"Berapa kali sudah kukatakan?! KAU HARUS TIDUR! Bagaimana kau bisa sembuh kalau kau terus bergerak?!"
Trent menghela napasnya. Ini sudah hari kedua semenjak dia mengawasi anak itu. Dan selama dua hari itu, dia benar-benar bekerja keras. Sedikit saja dia mengalihkan matanya, anak itu sudah menghilang dari kasurnya.
"Hah... Kemana sih ibumu? Bukannya mengawasimu, dia malah pergi!"
"... Dia kerja."
"Heh?" Trent menoleh ke arah anak itu. Saat ini anak itu telah menatapnya.
"Dia sibuk kerja. Aku sudah biasa."
"O-oh... Begitu." Trent menggaruk-garuk kepalanya. Dia bingung. Dia tidak tau kalau seorang ibu rumah tangga juga bekerja, karena selama ini ibunya selalu berada di rumah.
"Mmm." Jawab anak itu singkat.
"Kalau ayahmu?"
Deg!
Anak itu tampak terkejut dan membuka kedua matanya lebar-lebar. Kemudian dia terlihat sedih.
"Papa... Sudah lama menghilang dan tidak pulang..."
"O-oh." Merasa salah bicara, Trent pun terdiam. Sesekali dia melirik ke arah anak itu. Dia masih terlihat sedih. Gawat. Apa yang harus dia lakukan?
"N-ngomong-ngomong... Rambutmu itu unik ya? Kupikir kau itu orang asing. Habis rambutmu pirang begitu..."
"Aku sudah sering diledek di sekolah karena rambut ini." Anak itu semakin kelihatan murung. Trent menggigit bibirnya. Dia salah lagi. Sekarang apa?!
"... Warna rambutku sama seperti Papa."
"E-eh?" Trent menatap anak itu. Tampaknya dia ingin mulai bercerita.
"Orang-orang dan Mama sangat membenci rambut ini. Berkali-kali Mama menyuruhku mengecatnya tapi... Aku tidak mau. Karena ini rambut Papa."
Trent terdiam. Tanpa sadar dia sudah mendekat pada anak itu dan mulai penasaran mengenai kehidupan anak itu.
"Memangnya papamu kemana?"
Anak itu hanya terdiam dan menggelengkan kepalanya.
"Aku tidak tau. Sudah hampir enam bulan semenjak Papa menghilang. Kami juga sudah pindah rumah semenjak itu. Aku selalu berusaha mencari Papa tapi... Mama selalu melarangnya. Karena itu..."
"T-Tunggu. Jangan bilang kau memanjat pagar rumahmu itu karena kau..."
Anak itu menganggukkan kepalanya.
"Kupikir Papa akan kembali ke rumahku yang dulu, dan mencari aku dan Mama. Jadi aku..."
"Kau gila." Ujar Trent. Secara spontan, tanpa belas kasih. Anak itu hanya terdiam dan mengalihkan pandangannya.
"Memangnya kenapa? Aku ini kuat." Ujarnya sambil memajukan bibirnya.
"T-Tapi..." Trent mengerutkan alisnya. Dia mulai tidak yakin lagi.
((D-Dia ini... Laki-laki atau perempuan? Aku tidak ingat namanya waktu ibunya memanggilnya t-tapi... Waktu itu namanya terdengar seperti nama perempuan. Tapi tidak mungkin kan? Dari segi fisik dan perbuatannya... Dia benar-benar seperti laki-laki, kan? Apa... Aku harus bertanya? T-Tapi tidak sopan... kan?))
"...Toh, aku ini laki-laki!" Ujar anak itu, seolah bisa membaca pikiran Trent. Trent pun menghela napasnya, dan memandangnya dengan tatapan remeh.
"Dengar ya! Walaupun kau ini laki-laki sekalipun, memanjat pagar itu berbahaya! Kau bisa saja melukai dirimu lebih parah lagi! Nanti ibumu bisa sedih!"
"Itu tidak akan terjadi."
"Heh?"
"...Toh dia tidak menyukaiku dari awal. Dia sama sekali... Tidak mempedulikanku."
"Itu tidak mungkin." Tegas Trent, sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Anak itu hanya mengerutkan alisnyanya melihat tingkah Trent.
"Seorang ibu itu... Selalu menyayangi anaknya! Seperti ibuku! Dia itu baik, wangi, cantik, lembut, pintar, jago memasak, dan pintar segalanya!" Trent merentangkan tangannya.
"...Bawel."
"A-Apa katamu?!" Trent mengepalkan tangannya ke arah anak itu. Tapi anak itu tetap terdiam.
"...Aku sudah tidak tahan lagi..." Anak itu terlihat sangat sedih. Dia mengalihkan pandangannya ke arah jendela. Trent pun berpikir.
((Jangan-jangan selama ini... D-Dia... pergi ke arah jendela itu... Untuk bunuh diri?!))
Trent pun mundur perlahan dan membuka matanya lebar-lebar.
((G-Gawat! Selama ini aku hanya mempelajari buku kedokteran saja! Aku sama sekali tidak mempelajari buku psikologi... A-apa yang harus kulakukan untuk menangani pasien bermental lemah seperti ini... Bagaimana ini... Kalau begini terus dia benar-benar bisa bunuh diri...!?))
"Trent..."
Tiba-tiba senyuman ibunya muncul di benaknya. Dia pun teringat akan suatu hal. Kemudian dia mendekati anak itu lagi dan mulai membuka mulutnya.
"K-kalau kau takut bicara dengan ibumu... Mungkin kau bisa mencoba menulis surat untuknya?"
"Surat?"
"Ya. Surat! Kalau aku memecahkan piring atau mangkok di rumah... Aku selalu meminta maaf menggunakan surat... Karena aku tidak berani meminta maaf secara langsung. T-tapi ibu selalu membalasnya! Dan dia akan segera memelukku dan memaafkanku! Lalu-..."
"...Cerewet."
"A-APA?!" Trent mengerutkan alisnya. Dia memang tidak menyukai anak ini. Tapi, hal itu berubah ketika dia melihat senyuman di wajah anak itu.
"...Mungkin kucoba nanti. Terima kasih."
Trent membuka matanya lebar-lebar. Tanpa sadar dirinya sudah tersenyum dengan lebar. Tapi dia segera menutupnya dengan tangannya lalu pergi keluar dari kamar itu. Trent pun mencoba mengatur napasnya.
"Dia bilang 'terima kasih'... D-dia mengakuiku!" Trent mengepalkan tangannya dan tersenyum dengan lebar. Tapi, dia lupa. Ini adalah hari terakhir dia akan bertemu dengan anak itu karena besok, anak itu akan pulang ke rumahnya.
-oOo-
Sraakk!
"Claire?"
Ibu Claire masuk ke ruang pasien. Hari sudah malam, dan nampaknya Claire juga sudah tertidur di ranjangnya. Ibu Claire duduk di samping ranjang anaknya dan mengelus kepalanya.
"Jelaskan kepadaku, Mama..." ibu Claire terhentak dan langsung menatap anaknya yang sudah membuka matanya itu.
Claire duduk di atas kasurnya, dan berusaha sekuat tenaga menahan air matanya untuk jatuh.
"Kenapa Mama membenci Papa...?"
"C-Claire..."
Ibu Claire langsung mendekap anaknya. Sambil menangis, dia berusaha untuk berbicara.
"M-Maaf... Mama bermaksud untuk membicarakannya kepadamu ketika kau sudah lebih besar sedikit tapi..." ibu Claire melepaskan dekapannya dan menatap anaknya lekat-lekat.
"Papa... Sudah meninggal enam bulan yang lalu, Claire."
"A-apa...?"
"Papa meninggal karena kecelakaan saat bekerja. Maaf karena Mama tidak bisa mengatakannya, Claire." Ujar ibu Claire sambil menghapus air matanya.
"T-tapi... Ke-kenapa... Kenapa?! Kenapa Mama tidak memberitahuku?! Apa karena Mama terlalu membenci Papa?!"
"Sejak awal Mama dan Papa... Memang tidak cocok, Claire. Kami sering bertengkar tanpa sepengetahuanmu. Dan kami sudah memutuskan untuk bercerai saat kau sudah berumur sepuluh tahun, tapi..."
"Papa... Telah meninggal lebih dulu... Sebelum kalian bercerai?"
"Maafkan Mama, Claire. Mama menyembunyikannya darimu selama enam bulan ini. Karena Mama takut... Mama takut kau akan meninggalkan mama. Mama tau kau sangat menyayangi papamu. Maaf... Maafkan mama."
"M-mama... Mama jahat! JAHAT! JAHAT!"
"Maafkan mama... Tapi... Mama sangat menyayangimu, Claire. Apa kau... Membenci mama, Claire?"
"Uh... Hiks! Uhuwaa... HUWAAA!"
-oOo-
Tap tap tap!
Sreekk!
"Maaf aku terlambat! Tadi aku harus membantu ayahku dulu, jadi-... Loh?"
Trent mengedip-ngedipkan matanya. Kamar yang ada di depannya sudah kosong. Dan di dalamnya ada beberapa perawat yang masih membersihkan kamar itu. Trent memutuskan untuk bertanya pada salah satu perawat itu.
"Mmm... Pasien yang ada di sini...?"
"Oh? Ah... Mereka sudah pulang pagi-pagi sekali. Tampaknya anak itu juga sudah sembuh, jadi-..."
"O-oh begitu. Terima kasih." Perawat itu hanya menganggukkan kepalanya. Kemudian, Trent berjalan keluar kamar itu dan kembali menutup pintunya.
Blam!
"Dia sudah pergi ya..." Ujar Trent agak sedikit kecewa. Baru saja dia menyangka akan memiliki teman sebayanya. Tapi, dia ternyata salah. Memang mustahil untuk anak jenius sepertinya bisa bermain dengan bebas seperti anak-anak lainnya.
Kemudian dia pun memutuskan untuk kembali mencari ayahnya, sebelum salah seorang perawat berlari ke arahnya dengan wajah yang pucat. Perawat itu segera memegang kedua pundaknya dengan tangannya yang sedikit gemetar.
"T-tuan Trent... D-Dokter Eric mencari anda..."
"Eh? Ayah? Ada apa?"
"..." Perawat itu hanya terdiam dan menggandeng tangan Trent. Dia mengatar Trent ke kantor ayahnya. Masih kebingungan, Trent pun segera masuk ke dalam kantor ayahnya.
Kreek
"A-ayah?"
Trent tercekat. Dia melihat ayahnya tertunduk di kursi, dengan kedua tangannya berada di kepalanya. Ayahnya kelihatan sangat kacau. Trent belum pernah melihat ayahnya seperti ini. Terlebih, Trent belum pernah melihat air mata itu.
"A-a-ayah... A-ada apa...?" Suara Trent yang gemetar itu hampir tidak bisa keluar. Dia mendekati ayahnya, dan meletakkan tangannya pada punggung ayahnya. Dalam sekejap, Trent sudah berada di dalam dekapan ayahnya. Ayahnya pun menangis sejadi-jadinya.
"T-Trent... T-Trent..." Trent bisa merasakan dekapan ayahnya yang sangat kuat, sekaligus tubuh ayahnya yang tidak berhenti bergetar itu. Trent pun menjadi semakin takut. Dia merasakan firasat buruk. Firasat yang sangat buruk. Entah apapun yang telah terjadi, dia merasa mulai saat ini... Hidupnya akan berubah.
"A-Ayah...?"
"T-Trent... R-rumah kita habis terbakar..."
Deg!
Trent merasa tubuhnya bergelonjak. Sekilas dia merasakan jantungnya berhenti berdetak. Tapi dia tau, ayahnya masih belum selesai bicara. Ayahnya... Masih belum sanggup mengatakan musibah yang sesungguhnya.
"S-satu-satunya yang selamat... Hanyalah benda yang disimpan oleh ibumu di dalam lemari besinya. Itu... Hadiah dari ibumu, untukmu." Ayah Trent menunjukkan sesuatu di atas meja. Sebuah kotak berisi jas dokter putih, yang masih sangat bersih. Di luar kotak itu terdapat tulisan, 'Happy Sweet 17th, Trent!'
Trent merasa senang. Ibunya menyiapkan kado untuk ulang tahunnya yang ke tujuh belas tahun, lima tahun lebih awal. T-tapi... Tadi apa kata ayahnya? Satu-satunya yang selamat...?
"D-Dan Trent..." Ayahnya semakin mempererat dekapannya. Firasat Trent snngat tidak enak. Sangat tidak enak.
"Ibumu... Ikut terbakar di dalamnya.
...
Dan ada detik itu...
Hidupku...
Mulai berubah...
-oOo-
Kami pindah ke rumah baru yang jauh lebih besar dari sebelumnya.
Ayah menyewa banyak sekali pembantu untuk mengurus rumah kami.
Tapi semenjak saat itu... Aku merasa ayah semakin berubah.
Dan jarak diantara kami pun semakin membesar.
Aku tidak bodoh. Aku langsung mengetahui jawabannya.
Itu karena...
Penghubung kami telah hilang.
Tangan kanan ayah dan tangan kiriku... Tidak bisa lagi merasakan kehangatan yang selalu kami rasakan dulu.
Menyadari hal itu, terus membuat kami selalu melarikan diri dari kenyataan.
Hingga akhirnya, tanpa sadar... Tujuh tahun pun berlalu. Aku memutuskan untuk bekerja di sebuah desa kecil yang jauh dari kota. Aku ingin memulai hidup baru disana. Memulai dari awal, dimana tidak ada seorang pun yang mengenalku sebagai 'dokter jenius' maupun 'putra dokter Eric'. Aku tidak membawa banyak barang dari rumahku. Cukup satu barang. Yang akan selalu kupakai dan tidak akan kulepas.
Jas... Darimu, Ibu.
"N-namaku Elli! Aku akan berusaha untuk menjadi asistenmu!"
"Ya. Mohon bantuannya."
Aku mendapatkan asisten baruku selama bekerja di desa ini. Dia nampaknya pemula, namun bisa diandalkan. Baguslah.
Tetapi...
"Hei. Kau tidak akan bekerja dengan rambut panjang tergerai seperti itu, kan?"
"E-eh?! Apa ini mengganggu anda, Dokter?"
"Bukan begitu. Aku hanya tidak ingin rambut panjangmu itu membuatmu kesulitan untuk bergerak dengan bebas."
"M-maafkan aku! Aku akan segera mengikatnya saat bekerja!" Elli segera berlari mengambil ikat rambutnya dan segera mengikat rambutnya.
((Rambut, ya?)) Trent pun terdiam. Dan entah di benaknya, dia tiba-tiba teringat akan seseorang...
"Bob..."
"Eh? Bob?"
"Oh? Ah. Maaf. Aku barusan berbicara sendiri. Entah kenapa aku tiba-tiba teringat akan seseorang dengan potongan rambut bob. Tapi... Aku tidak bisa mengingatnya." Elli pun terdiam sejenak. Kemudian dia memberanikan dirinya untuk bertanya kepada Trent.
"A-apa Dokter menyukai rambut bermodel bob?"
"Eh?"
Dokter mengerutkan alisnya. Kemudian dia berpikir.
((Bob ya? Siapa ya dia? Aku merasa pernah melihat orang dengan rambut seperti itu tapi...))
"Yah, mungkin itu tidak buruk juga."
"E-eh?!" Elli tersentak. Dia langsung menyembunyikan muka merahnya. Dia kemudian tersenyum sambil berkata di dalam hatinya,
((Besok aku akan potong rambut! Pasti! Pasti!))
Dan...
Aku pun memulai hari-hariku di desa. Itu tidak buruk juga. Walaupun aku tidak dapat menyentuh alat-alat elektronik semauku.
Kupikir hari-hariku akan terus berjalan seperti itu, tetapi...
"Hei! Tunggu dulu! Kau harus membayar utangmu!"
Kedatangannya...
Mulai mengubah hidupku.
...
...
...
"Ren-..."
"TRENT!"
Plop!
Trent membuka matanya lebar-lebar. Dia langsung sadar dari lamunannya. Sudah berapa lama dia berdiam diri disini? Dia melihat sekelilingnya.
Ah... Dia ingat sekarang. Dia dan Claire sedang berjalan-jalan di kota. Sebelum mereka kembali ke Mineral Town, mereka memutuskan untuk berjalan-jalan sebentar.
"Trent?" Dia menoleh ke arah Claire yang tampak khawatir. "Kau sakit? Kenapa kau sejak tadi melihat rumah sakit itu?"
Trent menggelengkan kepalanya. Lalu dia menatap rumah sakit itu lekat-lekat.
"Ini... Adalah rumah sakit milik ayahku."
"Eh?! Hebat! Tapi aku tidak menyangka... Ternyata rumah sakit ayahmu dekat sekali dengan rumahku!" Ujar Claire kagum. Dia menatap Dokter yang masih menatap rumah sakit ayahnya. Penuh dengan tatapan nostalgia.
"Disini pertama kalinya aku bekerja sebagai dokter. Dan kau tau pasien pertama macam apa yang kudapatkan? Aku tidak ingat rupanya, tapi... Aku ingat sekali bagaimana dia sangat menyusahkanku."
"Eh? Memangnya apa yang dia lakukan?"
"Dia itu tidak pernah mau diam di ranjangnya. Sedikit saja aku lengah, dia sudah hilang dari kasur. Dan lebih buruknya lagi... Dia sering sekali berniat bunuh diri. Benar-benar anak laki-laki liar... Aku tidak percaya dulu aku sempat menganggapnya teman." Keluh Dokter. Claire mengerutkan alisnya.
"W-Woah! Kau yakin dia tidak salah masuk rumah sakit? Orang seperti itu harusnya dirawat di rumah sakit jiwa! Apa dia masih waras?"
"Entah." Ujar Dokter sambil mengangkat bahunya. "Aku penasaran dia sekarang menjadi seperti apa..."
"Mmm... Bicara tentang rumah sakit... Aku tidak terlalu ingat, tapi waktu kecil aku itu tomboy dan petakilan. Dan aku pernah dirawat sekali karena terjatuh!"
"Kau ini... Dari dulu tidak pernah berubah."
"Hei! Elli merubahku seperti ini! Dia bahkan membuatku berniat memanjangkan rambutku sepanjang ini!" Claire mengangkat beberapa helai rambutnya. "T-Tapi... Aku punya kenangan menyebalkan di rumah sakit..."
"Mmm? Kenapa?"
"Ibuku pergi bekerja selama aku dirawat dari rumah sakit, jadi aku selalu sendirian. Dan saat itu... Tiba-tiba saja... Muncul anak laki-laki yang entah siapa di kamarku!"
"Eh? Bagaimana dia bisa masuk ke kamar pasien seenaknya begitu?"
"Tidak tau! Dan setiap aku ingin pergi untuk membuka jendela karena udaranya sangat panas, dia selalu datang tiba-tiba dan menarikku sambil menggenggam tanganku tanpa ragu! Selain itu... Dia itu cerewet sekali..."
"Kau yakin dia bukan orang aneh?" Claire mengangkat bahunya.
"Aku tidak tau. Aku pikir dia menyukaiku, jadi aku senyum kepadanya sekali, dan... Dia langsung pergi begitu saja. Untunglah." Dokter langsung mengerutkan alisnya.
"Lain kali, pukul saja orang mesum seperti itu."
"Iya, aku menyesal telah diam saja waktu itu." Ujar Claire sambil tertawa kecil.
Kemudian dia sadar Trent terdiam sejak tadi dan terus menatap rumah sakit itu.
...
"Ayahmu masih bekerja disini?"
"Mmm... Jujur, aku tidak tau."
"EH!? Kok tidak tau!? Kalian bagaimana sih?!"
"...Sejak ibuku meninggal, aku dan ayahku... Menjadi jarang berbicara lagi."
Trent menarik napasnya. Dia ingat sekali, perubahan yang terjadi pada ayahnya semenjak kepergian ibunya. Dia menjadi banyak diam, jarang tersenyum, atau malah hampir tidak pernah tersenyum. Sama... Seperti dirinya.
"... Aku mengerti."
Trent menoleh ke arah Claire, yang menatap langit dengan tatapan kosong. Seakan pikirannya telah melayang jauh entah kemana.
"Aku... Mengerti." Claire menoleh ke arah Trent, menatapnya lekat-lekat. Kemudian dia menggenggam tangan Trent. Trent sempat sedikit terkejut, namun dia bisa mengendalikan dirinya.
"Hei... Apa kau ingin bertemu dengan ayahmu?" Mendengar pertanyaan Claire, Trent mengangkat bahunya.
"...Entahlah. Tapi kurasa... Dia tidak ingin menemuiku."
"Tapi sampai kapan kau akan bersifat egois dan pesimis seperti ini?! Kau harus mencobanya!"
"...Tidak mau."
Slup!
"Eh?"
Tanpa sepengetahuan Trent, tangan Claire sudah menyusup masuk ke dalam saku celananya, dan dalam waktu beberapa detik, handphone Trent sudah berada di tangan Claire.
"A-apa yang kau lakukan?!" Trent menjadi panik saat Claire membuka kontak di handphone-nya, dan menekan kontak yang dia beri nama, 'Ayah'.
"Tentu saja menyuruhmu berbicara dengan ayahmu."
"A-apa?"
"Ajaklah dia untuk bertemu denganmu sekarang, oke?"
"...Tidak mau."
Pip!
Claire menekan tombol berwarna hijau di layar handphone Trent. Trent hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Itu nomor lama ayahku. Tidak mungkin nomornya masih aktif-..."
"Halo? Apa ini ayahnya Trent?"
"BOHONG!"
Set!
Trent merebut kembali handphone-nya dari tangan Claire, tapi Claire tak kalah cepat. Dia segera merebut kembali handphone Trent, dan menempelkannya di telinganya.
"Halo, maaf. Oh? Ini asistennya? Dokternya sedang sibuk?"
Trent menghela napasnya. Baguslah. Paling tidak dia tidak jadi berbicara dengannya.
"Mmm, tolong bilang anak laki-lakinya ingin berbicara dengannya."
"H-HOI!"
"...Ah. Oke!" Claire menunjukkan senyum kemenangannya, dan menyodorkan handphone itu kepada pemiliknya.
"Kau itu-..." Trent baru saja hendak mematikan telepon itu sebelum...
[H-Halo?]
Trent terdiam. Dia membuka kedua matanya lebar-lebar. A-apa itu tadi? Dia... Mendengar suara yang tidak asing lagi di telinganya. Suara yang sudah lama tidak didengarnya. Meskipun terdengar berbeda di telepon.
Trent mengakuinya.
Dia... Memang merindukan ayahnya.
Dia pun terdiam dan menatap Claire dengan ragu.
"Dia menunggumu." Ujar Claire dengan senyuman lembutnya. Merasa kalah, dengan ragu, Dokter menghela napasnya. Dia mengangkat handphone-nya, dan mulai berbicara.
"H-Halo a-ayah? I-ini aku... Trent."
"A-ayah... Ada waktu luang?"
Ibu...
Hidupku memang benar-benar berubah... Berkat dia.
Apa ibu melihatnya?
Aku dan ayah...
Memang sudah lama terpisah.
Jarak diantara kami menjadi semakin besar seiring berjalannya waktu.
Itu semua terjadi...
Semenjak kau pergi, Ibu.
Hanya ibulah yang menjadi penghubung kami.
Dan semenjak ibu pergi...
Tangan kanan ayah yang biasa dia gunakan untuk merangkul Ibu... Sudah menjadi dingin.
Begitu pula dengan tangan kiriku yang biasa kugunakan untuk menggandeng tangan kananmu, Ibu.
Tetapi...
Jika kukatakan...
Kami sudah menemukan penghubung yang baru...
Apa kau akan marah... Ibu?
...
Tapi entah kenapa...
Aku merasa...
Aku bisa merasakan senyuman Ibu.
Senyuman hangat Ibu.
Karena itulah, yang ingin kukatakan saat ini...
Aku sangat menyayangimu Ibu, sangat.
Tetapi... Saat ini... Aku telah menemui orang yang sangat kucintai, melebihi siapapun.
Aku akan menjaganya, dan selalu menyayanginya.
Seumur hidupku.
Karena itulah aku ingin mengundang Ibu, untuk melihatnya.
Melihat penghubung baru antara aku dan Ayah.
Sekaligus...
Orang yang sangat aku cintai.
Tangan kiriku dan tangan kanan Ayah...
Tidak akan pernah kedinginan lagi.
Karena...
Ayah akan merangkulnya penuh kelembutan, dengan menggunakan tangan kanannya.
Dan aku akan menggandengnya penuh kasih sayang, dengan menggunakan tangan kiriku.
Aku akan menunjukkan pemandangan itu kepada ibu...
Pasti...
Di pesta pernikahanku nanti.
...
-TAMAT-
AUTHOR NOTE:
YEEEAHHH! TAMAT! (ToT)/
Halo semua! Aduh... Author bingung harus ngomong apa... Karena pasti gak jauh-jauh dari ucapan maaf, terima kasih, sama minta review.
Dan... Author bakal melakukannya lagi pada kesempatan kali ini! Yap!
PERTAMA!
Mohon maaf yang sebesar-besarnya atas ngaretnya Author satu ini. Yap. Lutanima ini gak pernah jauh-jauh dari kata N.G.A.R.E.T. Jadi mohon dimaklumi. Hehehe! Dan mohon maaf juga kalo banyak ditemukan typo, kata-kata Bahasa Indonesia yang amburadaul, dsb. Maaf juga kalau ending ceritanya di luar perkiraan, bikin kesel, greget, galau, ga nyambung, dsb. Yah, pokoknya disini Author pengen minta maaf buat segala-galanya.
KEDUA!
Author mau ngucapin terima kasih yang sebesar-besarnya!
Buat yang udah ngeluangin waktunya buat ngasih review! Maaf gak bisa disebutin satu-satu dan maaf juga gak bisa balesin reviewnya satu-satu... Tapi udah saya baca dan resapi semua kok ke lubuk hati terdalam! Serius! #lebay Makasih banyak yaaaaaa... :')
Dan yang udah ngasih tau banyak typo yang telah saya perbuat, maklum Author ini bener-bener amatir... Sampe sekarang aja kadang masih suka nge-blank sendiri... (Makasih banyak Giselle Gionne! :'D),
Buat yang udah nge favorite-in cerita ini juga makasih banyak! :'D
Dan terakhir... Buat para pembaca semua yang baik hati, yang udah ngikutin fanfic ini dari awal sampe akhir... Berkat kalian fanfic ini masih terus berjalan! :')
Makasih atas semuanya pokoknyaaa! *udah gak tau lagi harus ngomong apa :v*
Yak, kira-kira sekian kata penutup dari Author super lelet yang banyak ngasih janji palsu ini, mohon review, kritik, saran pairing selanjutnya? Hohoho! (?)
TERIMA KASIH, SAMPAI JUMPA LAGI! XD
-Lutanima-
