Ohayou! Konichiwa! Konbawa!

.

Terima kasih sudah menyempatkan untuk RnR fic saya, ataupun memberikan fave/follow/faves. Saya senang sekali. X"D

.

Disclaimer: Kuroko no basket belongs Fujimaki Tadatoshi. Akame ga Kill belongs to Takahiro and Tetsuya Tashiro. I do not own it nor I take any commercial advantages nor profit for my fanfiction.

Warning: Alternate Universe, super incredibly OOC, twisted, misdirection plots, LIME, typo(s), SHOUNEN-AI/MALEXMALE, simple diction, slow pace, death-chara, etc.

Italic: flashback

.

Saya sudah memberikan warnings. Jadi, jika ada yang tidak disukai, tolong jangan memaksakan diri untuk membaca. ;)

.

Have a nice read!

.

XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX

.

Suatu waktu, dalam hubungan di masa muda labil yang acapkali meninggikan ego dan sesekali mereka pun bisa berkepala batu, mereka pernah digendayut cemburu dan saling mendiamkan dengan sikap kaku, sehingga hari demi hari hati mereka seperti mati karena merasa perasaan yang menautkan mereka akhirnya membeku.

Tidak ada yang merasa bersalah; tidak ada yang melontar maaf.

Bahkan permulaannya sudah tak mereka ingat sampai pada tahap tidak satu pun dari keduanya tidak setuju bahwa mungkin relasi mereka ternyata hanya sampai di situ.

Hingga keduanya sepakat bertemu, tak satu pun bertutur menyenandung lagu, hendak berkata tapi begitu ragu.

Kenangan kebersamaan mereka berguguran, terkilas deras dalam benak dengan hati yang retak dan perlahan terkoyak.

Tak ada satu pun dari keduanya benar-benar siap mengucap selamat tinggal.

Keduanya berjalan beriringan, satu dengan pandangan lurus ke depan mencari akhir jalan yang (ia harapkan) tak berkeujungan, satu lagi dengan badan bertemperatur tinggi yang kontras dari suhu musim saat ini yang mereka tapaki (mungkin karena kegilaan tingkat akhir sekolah, dipicu stressor relasi mereka yang mungkin kandas di sini).

Banyak toko di distrik belanja kota ini terlewati hingga langkah yang setengah goyah akhirnya terhenti.

Di balik kaca tersaput embun salju dan manekin dengan busana kemilau tersuci, ada wanita yang tengah tertawa seraya berputar anggun dalam balutan gaun pengantin putih bersih, membiarkan pria yang terpesona merengkuhnya kemudian memeluknya dalam putaran pusara memusingkan. Keduanya tersenyum bahagia, tak menghirau dunia.

Tidak ada yang bisa memastikan selama apa mereka bisa bersama, tapi yang memandang redup menyaksikannya menyadari, bahwa saat ini pasangan itu bahagia saling cinta dan berpikiran mereka bisa selamanya bersama.

( ... sementara kesadarannya diketuk kala ia terbatuk, perih tak terperi menyadari bahwa untuk bisa bersamanya saja dalam ikatan sakral itu tidak mungkin—tidak lebih dari harapan yang buruk.)

"Ukh, Sei—"

Tangannya menjangkau tangan yang tidak menggenggamnya sejak mereka bertemu dan tak bicara kata apa pun meski hanya sesuku. Tangan yang hangatnya menyayat hatinya dengan kesadaran bahwa ternyata ia begitu rindu.

"—a-aku ... maafkan aku—"

"Kouki!"

Tubuhnya ambruk pada seseorang yang refleks memeluknya, mengejutkan segelintir lalu-lalang orang yang tergesa berlindung dari rinai salju pertama tapi tak mengacuhkannya, dan pandangannya terlanjur menggelap—luput mematut seseorang dengan torehan pilu teresap dalam dirinya yang sejak tadi mereka bertemu begitu senyap.

"... aku yang harusnya minta maaf padamu, Kouki."

Relasi mereka tak terhenti di sini.

Namun bermusim-musim setelah hari ketika ia terjatuh tak sadarkan diri, kali ini melintasi toko wedding dress di musim serta tempat yang sama dan bernostalgia dengan secarik surat tawaran bekerja di genggaman dari seniornya, ia pedih dibayang kenang hari itu.

Mengingat bahwa ia menyadari mereka—meski kala itu relasi mereka tak terhenti—bersama lagi, tapi kini hari-hari bersama dengan yang pergi dan belum juga kembali tak ada lagi.

Menyadari bahwa memang mereka tidak bisa bersama selamanya.

Mengerti seperti hari ini, mereka sudah tidak bersama lagi.

Namun layaknya hari mereka hampir berakhir, pasangan di dalam toko wedding dress selalu berbahagia memikirkan mereka akan saling terikat selamanya hingga mereka tak tahu batas sebenarnya selamanya sampai di mana, sementara ia hanya di situ dan tergugu.

Bibirnya meliuk sendu. Ia tidak harusnya merasa pilu dan cemburu atas pasangan yang bercengkerama merencana wacana bulan madu. Bukan salah mereka ia seorang diri pilu merindu.

Setidaknya, mereka bisa bersama tanpa dijustifikasi publik bahwa mereka tidak diperkenankan bersama karena memiliki relasi tabu.

Udara diserak hela napasnya yang bergetar, tumpukan salju di trotoar amblas oleh jejak kakinya yang bertapak gentar, dan ia mendapatkan jawaban atas tawaran yang diajukan padanya—mungkin ini anugerah untuknya yang terpuruk dan bangkit untuk berikhtiar.

Dia menyakukan tangan mengambil ponsel, memijit sebaris nomor kawannya sejak di sekolah menengah atas yang mereka tak sengaja bertemu lagi ketika ia terlunta, dan bertukar sapa dengannya sebelum melugaskan—

"... ya ... Kuroko, aku menerima tawaran kerja Seirin. Yo-yoroshiku onegaishimasu!"

tetap melangkah tanpa arah menelusuri jalan bersuhu dingin membuat beku dan ngilu, berimbun salju, bertubi-tubi sepi, (hidupnya) yang tak berpenghujung.

Cukup ia saja yang terluka, hatinyangilu seperti seiris sembilu karena kenyataan tak bisa bersama selamanya dengan membawa hatinya pergi serta-merta dan entah sampai kapan akan dinantinya.

Biarkan ia membantu mereka yang bisa berbahagia dengan yang tercinta selama-lamanya mereka bisa bersama.

Furihata Kouki tidak pernah sekalipun berani membayangkan, tidak hingga akhirnya ia bertemu Akashi Seijuurou sekali lagi, bahwa mereka bisa bersama selamanya dalam ikatan sesakral pernikahan.

Suatu waktu yang lalu, sekarang, suatu hari nanti, semua akan tetap sama saja. Mereka tidak bisa bersama selamanya.

.

.

.

.

Dia datang dari bayang-bayang masa lalu yang hanya menyisakan sepat membuat pepat.

Dia yang selama ini menjadi alasan tetap gigih berjuang tanpa kenal letih apalagi penat.

'Jadi ... biarkan aku bersamamu—'

Dia adalah cinta yang tidak bisa diharapkan bersama sampai akhir hayat.

Dan dia adalah cinta yang akan diingat sampai akhir hayat.

.

.

.

walau hanya untuk sebentar saja.

.

#~**~#

Special Alternate Ending "Saigou ni Iezu ni Ita",

Special gift for Akashi Seijuurou's birthday,

.

.

Ienakatta Omoi wo

(My feelings that I didn't say to you)

.

.

By: Light of Leviathan

#~**~#

.

"Masuk sana."

"Kau yang masuk."

"Kau."

"Astaga, kau yang bisa berlaku tsundere seakan tidak terjadi apa-apa, Shin-chan."

"Kau lebih bisa untuk mengusir aura negatif di dalam, Bakao."

"Oh, ayolah! Bukankah Akashi temanmu? Paling tidak—"

"—justru karena itu, aku tidak mau, nanodayo."

"Sebentar lagi Miyaji-san dan yang lain datang—"

"—kaulakukan saja sendiri."

Helaan napas panjang-panjang dan ketukan gulungan kertas di bahu masing-masing meremangkan bulu kuduk mereka. Menoleh ke belakang, seseorang menyingkirkan mereka dari celah pintu, memisahkan kepala mereka yang bertumpuk.

"Masuklah kalau Miyaji-san dan yang lainnya datang."

Midorima dan Takao menatap gadis yang menjeblak pintu terbuka. "O-oi, Chelsea—"

Yang disebutkan namanya itu melirih tajam pada mereka, "Luruskan kesalahpahaman kalian itu dan sadarilah betapa kalian masih sangat beruntung—paling tidak untuk saat ini."

Gadis tersebut bertapak anggun menginvasi panggung orkestra, meninggalkan kedua pemuda yang berdebat itu tercenung menalar ramuan kata berkonten enigma.

Mereka melihat pemilik mahkota surai oranye kecoklatan itu bersejingkat masuk ke dalam, menilik tensi situasi dan kondisi sepasang pemuda yang dudk di bangku depan piano, lantas ia menegakkan tubuh dan menderit kayu yang mengalasi tapaknya.

"Aku mendengar lulabi yang sangat indah."

Satu pemuda pasti telah menyadari kehadirannya—menoleh dengan wajah stoik yang jika tidak Chelsea kenal baik ia pikir orang ini pasti tengah murka dan bukannya berduka, satu lagi nyaris jumpalitan kaget karena kedatangannya.

"Versi revitalisasi." Chelsea melepaskan lolipop yang dikulumnya. Remple rok hitamnya melambai sering putaran langkah riangnya dan senyum manisnya. "Kurasa akan sangat bagus kalau dimasukkan jadi salah satu dari daftar lagu-lagu pernikahan."

Alisnya tertaut melihat kelibat gulana melintasi dua pasang mata yang menatapnya. Ini tidak seperti dugaannya. Kemarau akan trik menyepuh keceriaan pada suasana, gadis tersebut balas memandangi keduanya—dan salah satu di antaranya menyiratkan hal yang hanya dimengerti olehnya.

"Omong-omong, aku menemukan lagu bagus untukmu." Chelsea menyorongkan gulungan kertas pada Akashi seraya menyesap lagi lolipop kesukaannya. Dia mengedipkan sebelah mata pada pemuda yang tampak mendengus—kentara meragukannya.

"Kau bisa berterimakasih padaku karena telah menemukan ini, Akashi-kun. Takao-kun bilang lagunya kuno, tapi aku berhasil meminta Midorima-kun akan memainkannya—mungkin juga menyanyikan lagu ini."

Akashi membuka gulungan kertas tersebut, tak menyembunyikan nada skeptis terluncur dari seutas tanya, "Kaupaksa Midorima dengan apa mau melakukan itu, hm?"

Chelsea impuls tertawa riang—tidak sadar tawanya itu melegakan didengar oleh sepasang pemuda di depannya. "Hanya bernegosiasi dengannya."

"Kau mengancamnya," tandas Akashi sembari meratakan gulungan kertas yang diberikan Chelsea padanya.

Gadis itu mundur dari bangku yang diduduki sepasang pemuda di hadapannya. Dia menautkan kedua lengan di belakang punggung, di sela ceceran helai-helai auburn-nya. Ekspresinya tidak bisa diidentifikasi oleh Akashi maupun Furihata.

"Well, aku hanya menanyakan apa dia tidak tersiksa tidak bicara jujur." Skipping ringan itu sehalus nada suaranya. "Ketidakjujuran membuat seseorang tersiksa."

Akashi yang tersenyum asimetris atas respons gadis tersebut. Dasar Chelsea—gadis sial yang terlalu banyak tahu dan terlalu peka. "Kejujuranmu brutal, pedang bermata dua. Belajarlah mengendalikan itu."

"Kau membuatku terdengar seolah aku ini mengalami retardasi mental atau semacamnya." Chelsea mengerling pada Akashi—dan pemuda yang memiringkan kepala pertanda bingung tak memahami mereka.

Furihata berani bersumpah melihat gelimang afektif yang disiratkan Chelsea pada pemuda di sisinya—berbeda dari yang berpendar di matanya untuk Akashi, tapi observasinya tidak membantunya menahan refleks gigi mencapit bibir mendapati Akashi melunak memandang gadis yang tersenyum tipis.

"Lebih baik daripada aku mengatakan kau naif."

Furihata terkejut melihat biner fuschia itu meredup dan airmuka seraut wajah cantik itu menyendu kendati bibirnya menguntai senyum tak berharmonisasi dengan matanya.

"Aku jadi pelampiasan, eh? Kau bahkan mengatakannya tanpa ekspresi begitu." Chelsea mendramatisir helaan napasnya. "Sama sekali tidak mirip dengannya, tahu."

"Lihat sekarang siapa yang dijadikan pelampiasan." Akashi menyeringai arogan—layaknya sedia kala.

"Aku tidak menjadikanmu pelampiasan, Tuan Akashi Seijuurou," desis Chelsea sinis. Terkadang, di saat seperti inilah dia mengintrospeksi diri mengapa dia memilih Akashi untuk jadi salah satu orang terdekat dalam hidupnya.

Sebelum obrolan keduanya dapat dimengerti Furihata, tim orkestra Shutoku berduyun-duyun masuk lagi ke kavling kekuasaan mereka. Menyebar pada instrumen yang jadi tanggung-jawab mereka dan memeriksa kualitas suara alat musik masing-masing.

Midorima yang menjinjing beberapa map berisi partitur membukanya di meja podium yang dinaikinya. Sesekali mengetuk tongkat yang mencerminkan harkatnya, lantas men-tapping kacamatanya selagi menanti kru-kru Shutoku mempreparasi alat musik dan partitur masing-masing.

Hanya Takao seorang yang menyeret kursi untuk duduk di sisi podium Midorima, memangku gitar akustik, menggetar senar-senar seraya menyetemnya dengan presisi nada luar biasa.

Furihata sempat melihat kedua ace musikus shutoku itu sekilas bertukar kerlingan. Midorima mengatakan sesuatu pada Takao yang dibalas dengan kernyitan oleh pemuda tersebut. Dilihatnya Midorima turun lagi dari podiumnya dan bergerak mendekat pada Takao.

Wedding Planner tersebut memiringkan kepala—kala itu bahunya bersandar pada sanggaan kokoh—mengintip apa yang dilakukan pianis sekaligus dirigen kebanggaan Shutoku tersebut pada pengiringnya. Didapatinya jari-jari panjang Midorima menunjuk beberapa senar—kunci nada, Takao menggeleng sembari terkekeh tidak menyetujuinya.

Midorima tampaknya mendengus kesal. Diraihnya tangan kiri Takao, ditempatkannya jari-jari pemuda bermata setajam elang itu pada beberapa kunci nada, tangan satu lagi membimbing tangan kanan Takao menyetrum gitar.

Tidak bisa dikonklusikan apa Midorima terkategori sebagai golongan gagal peka melihat Takao sejenak terhenyak karena perlakuannya. Namun gitaris itu mengamuflasekan yang sesungguhnya ia rasakan dengan menyeringai tertahan sembari melontarkan sesuatu pada Midorima—menyebabkan pianis itu menatapnya jengkel.

"Oh, dua orang itu benar-benar—"

Furihata nyaris kelepasan berteriak kaget karena Chelsea telah berjongkok memeluk kedua lutut di bawahnya, ikut mengamati interaksi Takao dan Midorima.

"—tidak bersama."

Furihata bergidik dengan suara yang sedekat ini lagi serta terpaan deru hangat di telinganya. Baru disadarinya kepalanya tersaruk ke bahu Akashi—yang juga memerhatikan pada sepasang cahaya dan bayangan di orkestra ini. Lekas dia menegakkan kepalanya—tidak mungkin di tempat seramai ini ia bersandar pada Akashi.

Mustahil juga ia bisa bersandar lagi pada Akashi yang sudah bukan siapa-siapa lagi di hidupnya.

Ootsubo menghimpun atensi pada dirinya dengan menyerukan bahwa persiapan mereka telah selesai dan meminta Midorima memimpin mereka menggaung simfoni agung dari yang sering dibumbung pada hari pernikahan.

"Pertama, Bridal Chorus dengan orkestra," terang Takao pada ketiga tamu di Shutoku.

Menyimak perkataan Takao pada kustomer istimewa mereka,Midorima mengumbar aba-aba tanpa suara, hanya ketukan komandonya.

Serentak seluruh instrumen yang ada menggaung nada-nada sakral bertempo perlahan. Menyerupai langkah-langkah elegan pengantin wanita yang berjalan menuju altar. Furihata tersenyum tipis pada diri sendiri menyadari ini adalah lagu yang telah puluhan kali didengarnya di upacara sakral seumur hidup itu.

Usai lagu Bridal Chorus didendangkan, Midorima mengetukkan tongkatnya. Aba-aba berikutnya setelah anggota orkestranya memulihkan sistem respirasi mereka sesudah bermain seserius yang dikehendaki dirigen mereka. Lagu berikutnya, Wedding March, dikumandangkan hingga suara melesaki seantero ruang kedap terlapis karpet tersebut.

Ada sesuatu yang berbeda dari cara kedua lagu ini digaungkan.

Furihata tidak mengerti apa itu perbedaan yang signifikan, selain terdengar lebih khidmat kendati timbre dan vibrasi intrumen-instrumen musik saling timpal-menimpali.

Mungkin aransemen garapan konduktor sejenius Midorima? Mungkin karena yang mengharmonisasi simfoni agung ini adalah orkestra terbaik di ibukota negara sakura? Atau mungkin mengontra semua yang biasanya Furihata punya—perasaan bahagia dan lega karena berdedikasi menyelenggarakan upacara pernikahan untuk para pengantin?

—karena kali ini Furihata tahu, sebagaimana lagu tiba di penghujung, tepat ketika pengantin wanita tiba di jalan buntu berupa karpet merah bertabur bunga, dan seseorang yang absolut tidak diinginkannya berdiri di altar, ironisnya malah akan berdiri di sana dengan uluran tangan hangatnya untuk sang pengantin wanita.

Begitu lagu selesai dimainkan, hanya Chelsea yang terpukau mengapresiasi permainan Shutoku dengan tepuk tangan meriah.

Takao terkekeh sepintas, berbaik hati bertepuk tangan untuk dirinya dan teman-teman segrup orkestranya. Pertanyaannya mengarahkan perhatian teruah pada wedding planner penggarap pernikahan dengan biaya tiada batas.

"Bagaimana menurutmu, Wedding Planner-san?"

Furihata tampak kikuk ditatapi oleh semuanya. Mengerti yang dimaksud Takao sama seperti sekeping estimasi yang dijejalkan padanya—lagu mana yang harus dipilih, Furihata termenung menimbang keputusan kemudian samar melirik untuk siapa lagu ini harus ia pilih.

Dia tahu mana lagu yang paling cocok melatari royal wedding dalam visi rancangannya. Lagu yang paling sesuai, perlambang keagungan, untuk calon pengantin terbaik yang akan meniti destinasi di sepanjang karpet merah lalu akan ada seseorang yang samar ia kerling berdiri menanti.

Mungkin dengan senyumnya yang selalu melelehkan hati. Setidaknya, itu selalu berlaku bagi Furihata Kouki.

Takao menyadari kontak mata itu tapi berpura-pura tidak tahu. Midorima dalam mode profesional mengakomodasi sempurna pandangannya pada pemuda yang diperhatikan semua orang. Chelsea seksama mengamati, selalu berada di tengah membuatnya cermat menelisik banyak hal.

Akashi menyadari dirinya dikerling Furihata, tapi sebagaimana kemudian Furihata membuang pandang pada tingginya langit di ruang imitasi panggung sandiwara itu, kemudian menelisik berlarik lirik dari lagu yang diberikan Chelsea padanya.

"Le-lebih cocok Wedding March."

Satu jawaban Furihata itu tidak mengejutkan. Bahkan telah kalangan tertentu—dan mereka yang mempunyai paradigma berbeda—menyangka demikian. Bukan hal tak terduga. Hanya lagu itu yang cocok untuk royal wedding seorang Akashi Seijuurou.

"Fiks, Akashi?"

Hanya Midorima dan tingkat profesionalisme (atau kegagalpekaan yang bahkan Takao sendiri—selalu di sisinya, selalu kena imbas—akui tak tersanggahkan) yang dimilikinya saja, dapat bertanya tenang pada salah satu teman terdekatnya.

"Ya." Anggukan tenang. Perhatiannya tak terusik sama sekali.

Yang dalam ruang pandang Furihata, Akashi seperti hidup dalam pandora dunianya sendiri. Impresi ini melesak sesak dirinya. Tidakkah mengagumkan seseorang memiliki dunianya sendiri ketika ada begitu banyak pengaruh orang lain dalam hidup satu individu?

Takao berseru penuh semangat pada orkestra Shutoku, "Yosh, ayo kita pilih lagu berikut—"

"—sebentar."

Seluruh batang leher bergemertak kaku pada suara dingin yang absolut meringkus mereka. Menawan dalam gerak-gerik elegan sosok yang mengempas otoritas tidak tergulingkan itu.

Guratan ketidakmengertian terefleksi di kening Midorima yang tertutupi anakan rambut sehijau flora musim panas, tatkala Akashi berdiri, menyambangi Midorima lalu menunjuk lembaran partitur yang sejak tadi ditekuninya.

"Mainkan dan nyanyikan lagu ini sekarang," titahnya dingin dengan nada absolut tak menghendaki dibantah siapa pun, "sisa lagu yang dibutuhkan untuk pernikahan, biar Kouki dibantu Chelsea memilihkan."

Midorima melebarkan mata. Tidak menyangka lagu klasik—terlalu klasik untuk era globalisasi mereka—berhasil mengirik atensi Akashi dan memicu intensi yang kini bergemerlap di biner homokromatik magenta itu. Dikiranya lagu ini hanya rekomendasi—akal-akal nakal—Chelsea saja.

Ah, gadis itu memang mengerikan. Lebih baik lagi, bila dia tidak selamanya berada di sisi Akashi, pikir Midorima—karena kombinasi keduanya memungkinkan dunia tergusur pada petaka.

"Akashi-kun," Chelsea beranjak mendekat, dia memiringkan kepala menatap pemuda yang tengah memunggunginya itu, "tidakkah lagu itu cocok jadi high-light?"

Itu nada perhatian yang Chelsea gunakan—gadis ini lagi-lagi mengerti. Entah harus bersyukur atau kesal dengan intelijensi dilandasi atensi yang menyakiti hati, Akashi beranjak menjauhi keduanya. Sejenak mata mengitari seisi ruang lapang tapi tidak ada lagi kursi untuk ia duduki—

"La-lagu apa?" tanya Furihata bingung.

"Tous le visages de l'amour."

Furihata memandang punggung Akashi yang menjawab untuknya kian menjauh darinya. Dia ingin bertanya apa artinya, tapi kelu melihat Akashi bahkan tak menatapnya—tak tergapai olehnya.

"Lagu ini dibuat pada tahun seribu sembilan ratus tujuh puluh empat dan yang Akashi-kun sebutkan adalah judul pertamanya. Artinya, All the Faces of Love. Chelsea tersenyum kendati kelopak matanya turun setapak, mengalihkan perhatian Furihata agar tidak melihat Akashi yang memilih untuk tidak duduk lagi di sisinya.

Akashi bertapak. Langkah mengeriyap dalam senyap, tak sadar membuat orang-orang tergemap tatkala ia mendudukkan diri di tepi punggung. Merasakan lampu sorot menghunjamnya, tapi matanya menelisik siluet kursi demi kursi dan tidak menemukan apa pun di sana yang akan balas menatapnya—dengan intensi mengelupas isi benaknya.

"Lagu kuno—sakit, Shin-chan!" Takao merengut ketika Midorima menyambit punggung lengannya dengan tongkat dirigen kesayangannya.

Midorima menatap punggung yang tegap di bibir panggung.

Akashi melipat tungkai kiri dan lengan kiri tersangga di lutut, sementara kaki kanan terjulur ke bawah dan tangan kanan merogoh saku baju untuk mengeluarkan ponsel. Ada bunyi tombol imajiner dari ponsel layar sentuh dipijit.

Musik permainan. Game catur.

"Ya, Chelsea. Lagu ini high-light. Terima kasih sudah menemukannya," kata Akashi apresiatif.

Chelsea menatap punggung yang terlengkung—tetap terlihat tegak mengimpresi tegar. Menghela napas panjang, ia tidak tahu apa yang tadi terjadi, jadi dia tetap menjadi dirinya yang seperti biasa: tulang pipinya ditinggikan dan bibirnya melini senyum lembut, kendati kata-katanya jenaka seperti sedia kala.

"Aku tahu kau tidak akan menolaknya, Akashi-kun."

Midorima tahu pianonya sudah benar di-tuning, tapi tetap ia menekan beberapa tuts mendenting serangkai melodi. Dia mulai berdeham, tidak mengucap terima kasih ketika Takao menyorongkan segelas botol air mineral untuk ia tenggak sebelum mengeksekusi titah mutlak Akashi. "Kau tahu bayaranku tidak murah, Akashi."

Yang sedang tenang memainkan aplikasi permainan catur itu menanggap, "Masukkan itu ke dalam tagihanmu dan berikan pada Wedding Planner-ku."

Di sisi lain, Chelsea melihat Furihata tercenung bingung. Tidak tahu harus melakukan apa. Tidak mengerti apa yang orang-orang bicarakan.

Jika atmosfer tidak dilesak sesak, mungkin Chelsea akan memuji betapa Furihata terlampau ekspresif dan emosinya tercermin di ekspresinya yang masih begitu naif. Lagi-lagi mengingatkannya tentang seseorang, dan dirinya sendiri.

Ketika piano yang dipijaki jemari Midorima mendenting selantun bait melodis bernada magis, Chelsea mengerling Furihata dengan senyuman manisnya seraya berkata, "Yang akan dimainkan Midorima-kun adalah versi revisi lagu ini di tahun seribu sembilan ratus sembilan puluh sembilan, dalam bahasa Inggris, berjudul: She."

Tepat setelah itu, bukan hanya orkestra Shutoku yang terbelalak. Terkejut bukan kepalang mendengar vibrasi bariton Midorima berharmonisasi dengan iringan melodi.

Bahkan Takao terperangah melihat partner-nya yang dalam keseharian hanyalah tsundere terdingin yang kadang tak berhati, insensitif , keras kepala, dapat memaknai lagu itu dengan penghayatan yang terdendang dari suara menyayat pedih hati orang-orang di ruang tersebut.

Furihata bukan orang yang menguasai bahasa asing. Artikulasi fasih Midorima dan bahasa yang dilantunkan itu bukanlah yang akan membuat Furihata balik kanan. Hanya satu-dua kalimat. Namun dia disiksa dengan arti kata-kata bermelodi yang ia mengerti.

Jika saja ia tidak mengerti, akankah semua lebih baik?

Chelsea, di samping menyimak lagu—dan punggung distan seseorang yang mengundang untuk ditendang, membisu memerhatikan Furihata mematung kaku. Ceruk mata terliuk. Alis tertekuk. Menggigit bibir. Tangan bergetar dikepal meremat baju.

Atensi yang memedih hati masih saja tertarik ke satu titik.

Seakan Akashi Seijuurou, di hidup Furihata Kouki, adalah (masih) pusat graviasi.

Mungkin Akashi dengan wajah kelam, ironi dari betapa lampu sorot yang harusnya menyorot sang maestro kini mencercahnya, menorehkan kesan ketenangan—ketegaran—yang amat dingin dari bahasa tubuhnya yang memunggungi semua orang.

—tapi sepertinya, pikir Chelsea sambil mengulum senyum pilu, mungkin kali ini Furihata luput melihat semua itu dan tetap tidak bisa tahu apa yang sesungguhnya Akashi mau.

Nice one, Akashi-kun.

.

Dia

Mungkin satu-satunya wajah yang tidak bisa kulupakan

Jejak dari kenikmatan atau penyesalan

Mungkin harta karunku atau harga

Yang harus kubayar

.

.

.

Elaklah. Sepasang netra auburn memicing atas sorot penyangkalan—dan harapan—yang tergores pedih di mata berpupil mungil kolong langit yang meretak, retak, tak solid. Elaklah sebanyak apa pun yang kaumau.

Ketika semua orang tergetar, terkesima dengan vibrasi bariton Midorima yang beresonansi hingga ke hati, netra auburn itu meredup pada pemuda yang tergugu dideru pilu—lalu pada pemuda lain yang mengatup mata sembari lutut dijadikan tumpu untuk menopang dagu.

Akashi menyisipkan jemari ke saku baju mendengar lagu haru-biru yang menghunus harga dirinya. Mungkin juga hatinya. Tersenyum tipis—mengkhianati redup di jendela hatinya yang blur, entah bagaimana caranya nanti mengapresiasi aksi Midorima setelah ini.

Ootsubo mengode pada semua anggota untuk mendukung Midorima. Semua anggota refleks memainkan alat musik mereka. Mengaransemen lagu ini untuk klien hingga melebihi ekspetasi adalah yang ace mereka, sang dirigen, kehendaki.

Takao lupa, harusnya ia merasa miris—dan bukan tulus terpesona pada Midorima.

.

.

Dia

Mungkin cinta yang tidak bisa diharapkan hingga akhir

Mungkin datang padaku dari bayangan masa lalu

Tapi akan kuingat

sampai hari aku mati nanti

.

.

Lagu itu bukan untukku.

Furihata ingin sekali berimajinasi ada seseorang dari masa lalu individu yang dengan angkuh—atau apa pun, mungkin rapuh karena mangkir tanpa coda akhir seperti alunan sumbang Clementine yang mereka mainkan bersama—memunggungi mereka semua .

Mungkin untuk ibunya.

Toh, she adalah kata ganti untuk "dia" perempuan. Kalau bukan ibunya, siapa—

—oh. Dia akan menikah. Untuk calon pengantinnya.

Terlebih, Furihata bukan cerminan jutaan mimpi dari apa yang seorang entitas didekapi perfeksi itu mungkin mimpikan.

Namun Furihata sempat menahun bersamanya, apa pernah ada seorang perempuan lain yang pernah begitu dicintainya selain ibunya? Seseorang dari masa lalunya? Dicintai dengan kenikmatan dan penyesalan? Yang tidak bisa diharapkan olehnya untuk dicintai sampai akhir?

... asumsikan itu dirinya ... Akashi mencintainya dengan penyesalan?

(Memintanya menyiapkan pernikahan.

Memilih tempat ketika mereka pernah bersama.

Selalu memilih apa yang dirinya suka.

Rosario dengan desain itu.

Jam tangan pilihannya masih dipakai sampai sekarang.

Kecupan di sudut matanya diiringi bisikan maaf.

Iritasi melihat kedekatannya dengan yang lain.

Menyelimutinya dengan blazer agar tidak kedinginan.

Menggandeng—pergelangan—tangannya dengan jemari membelai lembut punggung tangannya.

Perhatiannya akan hal-hal kecil—seperti setiap ia tersedak.

Menyuapinya.

Belaian lembut jemari di pipinya ketika ia pura-pura tertidur.

Memeluknya erat ketika ia menangis, menariknya—menyelamatkannya dari kutuk buruk duka kehilangan, dengan sorot mata lembut dan senyumnya yang melelehkan hati.

Caranya menyentuh, memandang, mendekat.

Di antara semua itu, tersisip tindak-tanduk dingin. Terasa distan. Terkadang, sesekali dalam kecemburuan yang sangat ia imaji, terlihat indignan.

Ekspresi perihnya ketika mungkin tak sengaja mendengar bisikan di makam sang ibunda.

Roman wajahnya yang memedih melihat cincin di jari manisnya.

Suaranya yang menyimpan keretakan mengucapkan selamat untuk pernikahan.

Segalanya.)

Furihata dilesak sesak.

Apa maumu, Akashi?

.

.

Dia

Mungkin alasan aku berjuang

Alasan tujuan dan mengapa aku hidup

.

.

Furihata disentak oleh overtune Midorima yang tanpa pitch, dan dihentak mozaik memori percakapannya dengan pemuda itu.

.

"Tapi, meskipun kau tidak mengatakannya pada Akashi, dari penderitaannya hidup di Inggris setelah kau memutuskannya, aku yakin Akashi mengerti intensimu melakukan hal itu."

.

"Kalau tidak karena kau—dan intensimu saat itu merelakannya pergi tanpa terbebani oleh hubungan kalian, Akashi tidak akan menjadi seperti sekarang."

.

"Furihata Kouki, jangan katakan padaku bahwa kau tidak tahu berkat dirimu, Akashi Seijuurou kini—"

.

"—adalah Duta Besar termuda di Jepang—ah, tidak. Mungkin di dunia—untuk saat ini. Dia adalah Dubes Jepang untuk Inggris."

.

"Dari wajahmu itu, aku akan heran kalau kau justru tahu. Aku juga tidak tahu detailnya, tapi dari prestasinya sejak kuliah hingga bekerja yang tidak henti diberitakan oleh dunia saat ini, kurasa itu bukti sewaktu di kuliah di Inggris, dia benar-benar belajar keras agar cepat lulus dan cepat bekerja."

.

"Aku hampir yakin, Akashi bersikeras berjuang sekeras itu karena ingin—dimanapun kau berada—kau mengetahui semua yang telah dilakukannya demi dirimu."

.

"Mungkin selama hidup jauh darimu, dia akhirnya mengerti kau melepaskannya karena tidak ingin kau membebaninya. Akashi mengerti kau ingin dia jadi yang terbaik, seseorang sempurna yang seharusnya berdiri tegak menghadap publik memukau dunia dengan segala talenta yang dimilikinya. "

.

"Akashi menerima beasiswa semata di Oxford, Hubungan Internasional, bukan hanya karena titah Ayahnya, tapi karena itulah yang kauinginkan—yang katanya, tulus kauharapkan untuknya."

.

"Aku tidak tahu otakmu akan memahami ini atau tidak, hatimu akan menerima ini atau tidak, atau Akashi sudi mengakui ini atau tidak. Tapi, aku—kami, alumni tim Kiseki no Sedai—mengerti, bagi Akashi, kau sama sekali bukan kerikil yang menghalangi masa depannya untuk menjadi seseorang yang terbaik."

.

"Tepat di hari dia pergi ke Inggris—sebelum kami meninggalkan kalian berdua saja dan kau mengantarnya pergi sendirian—Akashi bilang padaku, kau selalu menginginkan yang terbaik untuknya."

.

"Dia biasa jadi yang terbaik—dan dituntut untuk selalu seperti itu, tapi—katanya—kau yang selalu begitu tulus menginginkan yang terbaik untuknya, membuatnya merasa itu adalah apresiasi akan sesuatu yang pantas diterima dan dihargai olehnya dengan cara abnormal menghangatkan hati."

.

"Akashi pernah bilang kau menyelamatkan hidupnya saat peristiwa itu terjadi sementara kau juga berpikir begitu, tapi kurasa yang terjadi sebenarnya adalah kalian menyelamatkan satu sama lain."

.

"Menggelikan, tidak ... sungguh menyedihkan melihat betapa hidup dan perjuangan setengah mati Akashi selama ini hanya untuk orang sepertimu. Kau, Furihata Kouki, seseorang yang naif berpikiran eksistensimu di hidupnya hanya kerikil kecil yang menghalangi kesempurnaan Akashi Seijuurou."

.

Furihata tertunduk dengan lakrimal serasa terbakar. Sudah berapa kali matanya ditandas semacam adas sepanas ini?

Suara Midorima merasukinya, seakan vibrasi bariton itu menjelma tenor magis yang lembut membisikinya—hingga hatinya pedih mendengar larik terakhir lirik yang mustahil disenandung langsung hanya untuknya.

.

.

Arti dari hidupku adalah dia.

Dia ...

.

.

("Kau … benar-benar ingin berpisah dariku, Kouki?")

.

.

... dia.

.

.

Sensasi panas dan deraan perasaan mengerikan atas sebuah pemahaman, tiba-tiba Furihata mengangkat kepala dan menatap punggung menyiratkan kesepian itu. Dia memejamkan mata, mencelos dengan kesadaran akan apa intensi Akashi yang sebenarnya.

Menjernihkan pikiran dan keruh hatinya, dengan kenyataan semua yang Akashi lakukan padanya setelah mereka bertemu lagi, kelibatan akan sumpahnya waktu itu yang tampaknya tidak Akashi ingat, tindakannya yang melebihi sekadar gula kata-kata, semuanya seperti puzzle acak yang kini ia susun satu per satu.

Furihata mencengkeram tepian bajunya, merambat ke jantungnya yang berdegup terlalu menyakitkan. Mungkin, Akashi sesungguhnya ...

Namun kalaupun benar hal itu yang Akashi rencanakan lakukan sekarang ini, apa yang bisa Furihata lakukan ketika Furihata sendiri sesungguhnya berencana melakukan hal yang sama buruknya?

Sebelum sempat siapa pun memberikan apresiasi meriah untuk orkestra Shutoku dan vokalis random yang luar biasa, sebelum Furihata mengukuhkan konklusi, seseorang yang dari tadi hanya memejamkan mata menghayati lagu itu bangkit, mengusik atensi.

Mereka tidak dapat melihat ekspresi sesungguhnya pemuda itu yang diblokir helai-helai magentanya. Gelap. Tersembunyi. Tak diketahui. Namun bibirnya yang memulas lengkung tipis itu, akhirnya memverbakan yang sedari-tadi menahta benaknya.

Mengungkapkan yang benar-benar diinginkannya. (Yang menyesakinya)

"Jadikan lagu itu sebagai lagu yang dimainkan dan dinyanyikan saat dansa pertama di pernikahanku."

Setelah bertitah, absolut tidak ingin dibantah, Akashi Seijuurou berjalan meninggalkan ruangan—membiarkan yang lain mengurus sisanya.

Ada lagu selain Love Sorrow yang merefleksi intuisi dari intensi sejati.

.

#~**~#

.

Mungkin ini hanya perasaan saja. Miyaji merapat pada kedua kawannya, berbisik kenapa mendung merundung studio musik mereka sejak klien penting ini bersama mereka.

Namun terpujilah sang ace, usai menyanyikan lagu itu dia berujar—sengak dan membuat mereka kembali mempertimbangkan untuk membanting pecah Kerosuke—datar untuk menyerahkan tugas pemilihan lagu dari A sampai Z pada Takao dan mereka semua, kemudian melengang—siluet hilang di balik pintu.

Mungkin mencari Akashi.

Takao sebenarnya berniat untuk membuntutinya, bukannya ia berasumsi sinting bahwa ada sesuatu terjadi antara Midorima dan Akashi—tepatnya, sesuatu memang menautkan mereka dalam sebuah relasi yang selama ini terjalin baik tanpa intimasi berlebih—tapi dari semua yang terjadi tidak lolos dari pantauan mata rajawalinya, ia makin tidak mengerti yang sebenarnya tengah dan akan berlangsung nanti.

Karena itulah, Takao memilih tetap tinggal dan bertingkah seperti biasa—merangkul Furihata yang tampangnya mengenaskan mirip korban romusha (Takao tidak kuasa bertanya apa hati orang ini sudah kebal atau nalarnya tumpul atau dia mati rasa) dan berseru menyemangati semuanya untuk memilih lagu-lagu terbaik demi royal wedding si emperor sialan satu itu.

Mereka menyibak banyak berkas. Bundle lagu yang telah disortir kini mesti mereka pilih lagi dalam tahap pencarian lebih selektif. Petunjuk mereka akan lagu royal wedding ini hanyalah lontaran opini gadis yang kini selalu di sisi Akashi, diafirmasi dengan persetejuan sesederhana ya atau tidak dari si Wedding Planner.

Sisa anggota orkestra lain menahan diri untuk tidak berkomentar, royal wedding macam apa ini kenapa lagu-lagu pengiring yang dipilih, mulai dari sakral sampai resepsi, lebih banyak lagu yang dapat dinikmati jika sedang sakit hati ketimbang selebrasi tentang kebahagiaan yang hakiki dari sebuah seremoni.

Saat mereka tiba di pertengahan, tepat ketika semua melihat pena Furihata (diapit jemari yang bergetar) berhenti mencatat usai menuliskan lagu yang merupakan rekomendasi Chelsea dan memenangkan persetujuan Akashi ditempatkan sebagai lagu pertama pembuka sesi Dansa Pertama, pintu berderit terbuka.

Midorima muncul kembali.

Takao dapat melihat pandangan Midorima terlabuh pada sang wedding planner yang tergugu menatapi catatan barunya, sepersekian detik lebih lama (dan sedetik kilatan simpati di balik kacamatanya), barulah menghampiri dengan tenang—berkata ia diminta Akashi untuk mengecek progress kerja mereka.

"Shin-chan, jangan malas-malasan! Ayo bantu kami!"

"Siapa bermalas-malasan, nanodayo!"

Keduanya mulai berdebat, ditimpa kata-kata dari senior tim inti mereka dan anggota orkestra yang lain. Sekali-dua kali mencoba sebuah lagu, akan selalu ada momen di mana Takao dengan komikal memarodi lagu bernada lara menjadi lagu yang meletuskan tawa.

Midorima akan menyergah jengkel, dan memilih mengaransemen dengan sempurna—toh tetap akan ada campur tangan Takao di sana karena mengerti benar selera Midorima terlalu klasik untuk ukuran Royal Wedding Akashi Seijuurou.

"Ano saa."

Mereka menoleh pada Chelsea yang tersipu. Gadis ini manis saat berekspresi anomali seperti itu, dan beberapa orang menyayangkan karena hati gadis ini sudah ada yang punya—dan itu bukan mereka.

"Di mana toilet?"

Takao yang pertama tertawa. Tanpa prasangka, menjawab, "Keluar dari ruangan ini dan kembali ke lobi. Dari arah pintu masuk, ada lorong ke sebelah kiri dekat meja resepsionis, di situ tempatnya."

"Terima kasih." Chelsea bergegas bangkit. "Maaf aku ke toilet dulu, Furihata-kun. Aku akan segera kembali," katanya, suara tersisip sesal.

Furihata menggeleng. Tersenyum sebisa yang ia mampu. "Tidak apa-apa, Chelsea-san."

"Perlu kutemani—aduh, kenapa hari ini kau galak sekali padaku, Shin-chan?!" Takao yang hendak mencandai Chelsea kali ini terkena sabet setumpuk lebar partitur di tangan Midorima.

Pemuda tsundere itu men-tapping kacamatanya, dingin lebih dari biasanya. "Kerja yang benar, nanodayo."

Furihata menatap mereka, tulus merasa senang melihat kehebohan cahaya-bayangan orkestra terbaik ibukota itu tanpa terganjal iri di hati. Melihat keduanya, seperti embun merintik hatinya. Menggelitik, sejuk, menenangkannya. Mereka masih punya banyak waktu.

Chelsea terkikik geli, sebelum—dengan senyuman surut seutuhnya menjelma kekhawatiran usai berbalik memunggungi semuanya—bergegas melangkah pergi.

.

#~**~#

.

Ini adalah satu dari sekian banyak momen yang selama ini tersembunyi. Tirai kenyataan dilenyap oleh keduanya sedikit tersingkap.

"Tuan Menyedihkan, mobil sport-mu ini terlihat tampan karena kau bersandar padanya dengan tampang kekalahan."

Akashi, sesuai dengan deskripsi satir dan liuk nada sinisme pretentif yang diujar padanya—dengan geli yang dicemari kelegaan, tidak memutar kepala untuk tahu siapa satu-satunya orang yang berani bicara selancang itu padanya.

Menghela napas karena tidak ditanggapi oleh Akashi—yang saat ini dari toreh hampa di matanya saja—karena ia tahu pemuda itu tenang terhanyut dalam kotak pandora, dunia yang ada dalam dirinya sendiri.

Akashi diam saja ketika ada sepasang telapak tangan hangat menangkup pipinya, memutar lehernya hingga wajahnya diturunkan sedikit menghadap wajah interuptornya dari sekat pikirannya sendiri.

Akashi benci melihat ekspresi yang kini terpampang di ruang pandangnya—empati, persis seperti kali pertama Chelsea mengetahui distopia paling rahasianya.

Jarak mereka mungkin hanya tersisa sejengkal jari. Netra auburn menelusuri biner magenta—yang mirip murung cuaca musim gugur hari ini. Jemari berkuteks yang dikelupasi sebelumnya, kini menepuk-nepuk keras tanpa menyakiti pipi Akashi yang dikecupi dingin.

"Hei," bisik bibir dipoles lipgloss sewarna sakura itu lembut, "aku benci melakukan ini tapi aku sudah berjanji padamu."

"..."

"Semua ini sudah terlanjur—tidak bisa dihentikan."

"..."

"... kau tahu, seringkali ada banyak hal yang tidak kita inginkan selalu terjadi dalam hidup. Bukankah hal-hal semacam ini menyebalkan? Mereka datang tanpa peringatan, seperti burung yang memupukkan tinja ke kepala seseorang, dan seseorang itu tidak bisa menggapai burung yang lalu terbang tinggi tak terjangkau—tidak bisa menolak tinja itu tidak diberikan padanya selain harus membersihkan tinja sialan itu."

Senyum miringnya terbit. "Analogimu sangat menjijikkan."

"Tapi benar, 'kan, Tuan Aku-Selalu-Benar?"

"Benar—dan benar-benar terdengar sangat konyol."

"Kekonyolan akan kebenaran analogiku toh membuatmu, setidaknya, tidak berekspresi semenyedihkan tadi."

"Bisa hentikan brutal-honesty-mu itu?"

"Sejak kapan kejujuranku mudah menyinggungmu, hm?"

"Apa kau mengerti analogi menabur garam, menumpah alkohol, atau mengucur cuka pada luma lama yang terbuka kembali?"

"Kaupikir otakku sedangkal apa tidak memahami analogi tentang betapa menyedihkanmu saat ini, hm?"

"Pernah ada yang bilang kau ini perempuan terkutuk karena terlalu banyak tahu?"

"Oh, itu sinisme paling ringan yang pernah kudengar. Terlalu banyak tahu itu sudah jadi tugasku, A-ka-shi-kun."

"Hidup berada dalam kegelapan dan bayang-bayang membuatmu tidak bisa tahu apa baiknya yang mesti kaulakukan saat ini untukku?"

"Baiklah, baiklah. Biar kuingatkan lagi, kau membuatku berjanji padamu dan kuharap aku tidak perlu memaksamu dengan segala cara yang membahayakan nyawamu, hanya agar kau tetap konsisten dengan keputusanmu."

"..."

"Kau absolut tidak boleh mundur sekarang. Kecuali kau menyerah mewujudkan hasrat konyolmu itu."

"..."

"Aaaah, sudah, 'kan? Di sini dingin sekali. Sebaiknya kita masuk ke dalam sekarang. Kecuali kau mau jadi patung es menyedihkan dipajang di sisi Galardo."

Ketika kepala itu akhirnya akhirnya menatap kelabu yang bergerumul di arakan awan—dan batin menertawai hasrat diri mengapa ia ingin melihat coklat kayu manis menggeliat di langit, diraihnya jemari lentik yang bermain-main menusuk pipinya—menyentaknya pelan karena tidak suka diperlakukan usil begitu.

Denting tawa kecil individu di hadapannya ternyata membuat Akashi menyadari ia tidak merasa marah—pada gadis di hadapannya.

Akashi menatap lurus seseorang yang kini jadi tempatnya bersandar. Tatapan lurus nan amat serius. "Aku harap semua ini segera berakhir."

Dengus geli. "Aku juga berharap begitu." Helaan napas panjang. "Menurutmu, apa yang kaulakukan sia-sia?"

"Kenapa sia-sia?"

"Melakukan semua ini ... tidakkah sia-sia? Kau ... kau lihat cincin di jarinya, 'kan?"

"..."

"..."

"Ada tidaknya cincin itu tidak akan menyia-nyiakan apa yang kita lakukan."

"Haaaah. Tuhan memang Maha Adil. Seseorang yang sempurna tidak berarti memiliki hidup yang sempurna."

"Aku tidak sempurna, jangan mengontra diksi kata-katamu sendiri."

"Bagiku dan bagimu, kau tidak sempurna. Bagi orang lain dan dia—tentunya, belum tentu. Kau tahu, bagi mereka yang memiliki pola pikir konservatif, mereka tidak mengerti mengapa kesempurnaan itu sendiri selalu bersanding dengan ketidaksempurnaan."

"Hm. Ketidaksempurnaan adalah anomali bagi kesempurnaan. Dan tadi, kita hanya sedikit terbawa suasana tak terduga—melihat betapa sempurnanya ketika ketidaksempurnaan dan ketidaksempurnaan saling bersanding."

"Jika benar-benar hanya sedikit terbawa perasaan, tidak akan membuatku menangis." Suara feminin itu menyerak. Tangannya tergerak menepuk-nepuk bahu tegap tak tegar pemuda di hadapannya. "Kau terlihat makin menyedihkan karena mengakui mereka sempurna saat bersama, Akashi-kun."

"Tidak bisakah kau mencari sinonim selain menyedihkan? Miskin sekali kosakatamu."

"Mis—kin?! Oh, baiklah ... apa yang tepat untukmu, hm ... tragis? Naas? Sial? Mengenaskan?"

"Menyedihkan, kau bahkan tidak mampu menemukan padanan kata yang lebih elegan."

"Kau hanya cari cara untuk balas mengatakan aku menyedihkan."

"Tuduhanmu invalid."

"Ketiadaan bukti? Benar, intuisi wanita bukanlah bukti yang memvalidasi impresi. Realitanya, sekarang, kita harus cepat masuk sebelum mati membeku di sini. Agar jadi karma atas apa yang kaulakukan."

"... aku sudah kena karmanya."

"... bukan hanya kau—aku juga."

Tangan itu tidak menyerah, menarik Akashi dari jurang—sekat tergelap pikiran dan rananya, mengingatkan Akashi di pagi hari tadi ia pun menarik seseorang yang dulu memenuhi hatinya dari balik naungan pohon kerontang—dari ringkukan kegelapan dan guguran kesedihan.

Chelsea menariknya untuk berhenti membiarkan angin menggesekkan diri padanya, dan mencoba mati rasa atas sergapan dingin konotatif di hatinya sendiri.

"Nanti ceritakan lagi apa yang terjadi, ya?" Senyum dan kedip jenaka yang biasa. "Saat kalian berdua tadi."

"Coba kurang kebiasaan selalu ingin tahumu itu." Jeda sejenak. Suaranya melunak. "... tapi, terima kasih, Chelsea."

"Harus selalu banyak tahu, memang sudah tugasku sebagai penyi—astaga! Kaubilang apa?"

"Terima kasih."

"... apa?!"

"Lain kali, bersihkan telingamu dengan benar."

"Aku serius, Akashi-kun!"

"Terima kasih ... karena kau ada di sisiku."

"..."

"..."

"..."

"... jangan buat aku merinding, Akashi-kun."

"Aku serius, Chelsea."

"..."

"..."

"... seseorang seegois dan sejahat aku, tidak pantas mendapatkan apresiasi tertinggi seperti ini darimu."

"Tidak ada yang salah dari keinginan untuk bersama orang yang dicintai, Chelsea."

"..."

Akashi berdecak pelan. Diulurkannya tangan untuk menyeka guguran airmata di pipi memerah itu. "Hei ... jangan menangis."

Chelsea tertawa serak, menghapus habis jejak tangis. "... aku ... hanya terbawa perasaan. Sedikit."

"Hmph. Dasar naif."

"Apa hubungan—ah. Berhenti menggodaku!"

Tangan Chelsea yang mungil ketimbang milik seseorang yang padanya Akashi selalu menyatukan tangan mereka dalam genggaman, menggamitnya. Menjelma jala yang menariknya ketika Akashi tenggelam ke dasar—menyeruak ke permukaan realita dan yang telah dicanang tetap harus dieksekusi.

Tepat ketika angin yang menggiring dedaunan musim gugur nyaris menabrak pintu kaca yang otomatis terbuka untuk kedua siluet—

.

.

.

"Akashi-kun."

"Ya?"

.

.

.

.

.

"Kau taruh di mana hatimu selama ini saat melakukan semua itu hanya untuk Furihata Kouki?"

.

#~**~#

.

"Akhirnya selesai juga!"

Takao bergelimpang di tengah panggung diikuti hela panjang kelelahan dan kelegaan yang lain. Midorima yang terduduk di sisinya dan bersandar ke kursi piano pun mengembus napas panjang dan merapikan partitur yang berserakan.

"Terima kasih untuk kerja keras kalian semua!"

Seruan itu diucapkan satu sama lain pada semua kru yang terlibat untuk pemilihan lagu. Mereka bahkan melewatkan jam makan siang karena terlalu serius bekerja dan menggarap proyek iringan musik untuk royal wedding ini.

Karena itulah Chelsea—entah bagaimana caranya lagi-lagi gadis itu yang beberapa jam lalu pamit ke toilet dan kembali lagi dengan Akashi Seijuurou, meminta pemuda itu untuk serius memilih lagu, yang akhirnya turut ikut serta, walau hanya orang-orang tertentu menyadari kemuraman yang meliputinya dan si wedding planner—berhasil membujuk Akashi untuk mengapresiasi kerja keras semua orang dengan membelikan makanan.

"Aku membayar mereka untuk ini, Chelsea."

"Kaulihat semuanya sudah bekerja keras untukmu, Akashi Seijuurou-sama. Tolong belikan! Royal wedding saja unlimited budget, aku tahu kau tidak akan jatuh miskin hanya memesan makanan dari Maji Burger saja untuk kita semua."

"Oh, jadi kau mau sesuatu dari Maji Burger? Bilang saja."

"Kau mau belikan untukku?"

"Tidak. Untuk apa aku harus membelikan seseorang yang juga tidak akan jatuh miskin kalau dia dermawan sedikit membelikan semua yang ada di sini makan siang, hm?"

"Furihata-kun, kaumau makan apa?"

"Hei, Chelsea. Jangan mengalihkan pada Kouki."

"Err, a-aku—"

"Aku mau double cheeseburger dengan kentang dan large size gelas cola!"

"Siapa bilang Akashi akan membelikan kita semua, Bakao?!"

Setelah satu sesi perdebatan yang akhirnya ditengahi oleh pimpinan tertinggi Shutoku, ditutup dengan babak argumentasi yang alot—dan Chelsea dengan kikik licik yang manis berkata kartu AS sang emperor bisa saja ia beberkan, akhirnya Akashi mengalah (ia tidak kalah, tidak juga menyerah, ia benar-benar mengalah) dan merelakan salah satu kartu ATM-nya dipakai untuk membelikan makanan seluruh anggota orkestra Shutoku.

Akashi pergi membeli dengan Midorima, sementara yang lain tetap tinggal di graha Shutoku serta merapikan panggung teater merangkap studio musik tersebut.

Chelsea memerhatikan Furihata tengah duduk menghadap laptop milik Miyaji di atas meja kopi. Khidmat mendengar satu per satu lagu yang diputar dalam playlist. Wajah pekerja Seirin itu menyendu di beberapa lagu dan konstan termangu.

Ada kesendirian dibangun dari kesunyian yang entah kenapa menyentuh hati Chelsea kala melihat Furihata seperti itu.

"Furihata-kun."

Tidak terusik kendati dipanggil, begitu merasa bahunya dijawil, Furihata melepas headset dan menoleh pada Chelsea yang duduk di kursi dekat dengannya seraya tersenyum ceria.

"Sudah fiks semua lagunya?"

"Kata Akashi-sama, untuk sementara daftar lagu ini saja. Untuk nanti, bila ada perubahan lagi, akan segera diinformasikan olehnya."

Kelopak mata auburn itu menurun sekian mili inci melihat redup di mata wedding planner tatkala menyebut nama kliennya.

Di satu sisi, Chelsea mengerti mengapa Akashi berkata demikian. Di sisi lain, ia tidak ingin melihat pemuda di hadapannya kembali dirundung murung, karena itulah ia kini bertopang dagu seraya menatap Furihata lekat.

Chelsea lekas menukas dengan senyum manis terulas, "Apa kau keberatan berbagi cerita denganku tentang pengalamanmu sebagai Wedding Planner mumpung kita sedang menunggu makanan datang?"

Furihata terperangah menatapnya.

"Itu berbeda jauh dari duniaku, jadi ... aku ingin tahu." Chelsea melunakkan tatapan pada pemuda di hadapannya. "Kecuali jika kau masih ada pekerjaan atau ingin beristirahat—"

"—ah, oh. Tidak, tidak."

Furihata bergegas mematikan playlist dan mematikan laptop seraya menggeleng cepat-cepat.

"Aku tidak keberatan—lagipula aku juga sudah lelah, tapi ..." Nada ragu tersisip di setiap katanya, "kurasa pekerjaanku tidak semenarik itu. Memang sejauh apa perbedaan pekerjaanku dan Chelsea-san?"

"Hmm ..." Chelsea memiring kepala ke samping sembari merogoh tas kecilnya untuk meraih lolipop kesukaannya lagi, mengembus pendek menyadari stok lolipopnya menipis.

"Kau punya profesi untuk mewujudkan kebahagiaan, sementara aku sebaliknya, Furihata-kun. Pekerjaan yang dalam mengerjakannya kau bisa merasa senang, dan aku sebaliknya. Tapi tipe profesi kita mungkin sama, sama-sama berada di belakang layar."

Profesi macam apa itu? Furihata tidak bertanya. Ada sesuatu dari cara Chelsea bicara yang mencegahnya untuk mempertanyakan profesi apa yang gadis itu geluti, karenanyalah Furihata mengelu lidah.

Hingga yang berserak di benak tak sengaja terucap.

"Pada kenyataannya, ternyata tidak setiap waktu saat aku bertugas mewujudkan kebahagiaan, aku sendiri juga akan merasa bahagia, Chelsea-san."

Chelsea terpaku mendengarnya.

Furihata gelagapan seorang diri.

"Ma-maksudku, kadang aku lelah. Ya, ya, ma-maksudku sering sekali. Apalagi saat tenggat waktu makin dekat, ada banyak sekali hal yang mesti diselesaikan. Belum lagi masalah di lapangan dan selalu saja ada yang membuatku kesal ... semacam itu."

Furihata tertawa canggung, entah penjelasan apa yang ia paparkan. Mana mungkin ia menceritakan bahwa ini pertama kalinya ia begitu merasa tidak ingin mewujudkan kebahagiaan terbaik dalam salah satu upacara sakral seumur hidup yang harusnya paling membahagiakan?

"Aku tidak tahu bagaimana dengan Wedding Planner yang lain, tapi aku sendiri merasa kebahagiaan para pengantin saat mereka menikah dengan pernikahan impian mereka itu. Kemudian ketika mereka mengungkapkan terima kasih padaku, adalah apresiasi tertinggi dan jadi kebahagiaan untukku."

Furihata tersenyum tipis mengingat klien-klien yang pernah bekerja dengannya. Senyumnya bersikeras dipertahankan tidak menurun begitu mengingat klien royal wedding pertamanya ini justru yang paling ingin ia berikan segala yang terbaik.

"Aku jadi ingat. Ada juga salah satu klienku yang deadline pernikahannya tinggal sebentar lagi. Yang tadi aku bilang, mereka pasangan yang sering bertengkar, tapi entah kenapa pertengkaran itu juga terasa seperti kemesraan mereka. Pasangan itu sering menyebabkan aku sakit kepala karena makan waktu menentukan banyak hal, selera mereka bertentangan—"

Selagi wedding planner itu memapar tentang suka-duka profesinya, Chelsea sesekali berkomentar menanyakan hal-hal yang begitu berbeda jauh darinya. Semakin banyak ia mendengar dari Furihata, matanya kian meredup walau liuk bibirnya meninggi dengan senyuman.

Ironis.

Furihata memiliki resolusi yang semasokis ini, berjuang keras mewujudkan kebahagiaan orang lain, seakan semua itu adalah kompensasi bahwa mungkin relasi yang dia miliki tidak mungkin dipersembahkan ke altar untuk direalisasi dalam upacara tersakral.

"Ma-maaf, aku jadi bercerita seorang diri. "

"Tidak apa-apa. Hanya saja ..." ucapan ditoreh sesal itu mengimpuls Chelsea untuk menggeleng, menyebabkan helai auburn terkibas halus. Dia menatap lembut Furihata. "Kau yang bercerita seantusias ini ... mengingatkanku pada seseorang."

Furihata lurus menyela netra auburn yang menguncup inci per inci. Apa jangan-jangan ceritanya sebegitu membosankan sehingga Chelsea diantuk kantuk? Tapi ini pertama kalinya ia melihat Chelsea begitu letih, tersenyum getir lalu berkata dengan kasual,

"Aku mencintainya."

Furihata tergemap sesak dengan pernyataan penuh remukan perasaan dari Chelsea.

"... tapi, dia mencintai orang lain, Furihata-kun."

Senyap hanya mendekap mereka, tidak menangkup acapella dan band Shutoku berlatih ringan untuk tampil di pagelaran teater minggu mendatang.

Beberapa anggota tertawa menyoraki Takao dengan julukan suara soundtrack film dan anime. Takao membungkuk hormat dan menarik kursi untuk menyambut band Shutoku walau Shin-chan-nya tidak ada.

Sementara sepasang muda-mudi bersitatap hingga pengap, Furihata nanar menatap gadis di hadapannya yang pertama kali terlihat tidak tegar. Ada retak entah di bagian mana dirinya yang sampai dari tatapan nelangsanya pada Furihata. Pemahaman—atau Furihata pikir begitu—menghajar ketahanannya di tengah ruang yang terlalu hingar-bingar.

Furihata melirih perih, "Ma- ... maaf."

Chelsea menggeleng, tangannya lekas terangkat menepuk-nepuk punggung tangan pemuda di hadapannya. "Aku yang minta maaf."

Tangan satu lagi mengangkat tangan yang lain, kilat menghapus jejak guliran dari matanya. "Ma-maafkan aku, Furihata-kun," bisik Chelsea dengan suara yang terperih yang tidak kira ia miliki.

Tangannya menggenggam punggung tangan Furihata yang kasar dan mendingin. "... ta-tapi, aku, a-aku ..." Gadis itu tersedan pelan, "... i-ingin be-bersamanya."

Furihata tidak sanggup balas menggenggam tangan Chelsea. Kepalanya yang menurun menyebabkan anakan rambutnya terhambur menutupi ekspresi eksplisitnya. Tubuh digeletar dengan panas dan dingin tidak terjelaskan. Matanya memanas, perih sekali sampai pandangannya berkabut.

"Ti- ... tidak ada yang salah dengan keinginan ... untuk ... untuk bersama orang yang dicintai."

Terkesima.

Sepasang mata sewarna semu senja itu membeliak, seakan berontak dari rongganya, sebelum meredup, dan terpejam rapat karena lakrimalnya bergetar hebat akan bayang-bayang seseorang yang baru saja beberapa waktu lalu mengatakan hal serupa padanya.

Betapa Chelsea merasa dirinya sedemikian hina dan keji pada kedua pemuda yang merupakan korban dari keegoisannya belaka.

Suara serak Furihata Kouki jauh lebih tegar walau eksplisit bergetar gentar di tiap silabel yang terucap. Chelsea menaruh tangkai permen yang telah dikulum habis ke meja, lalu membekap mulutnya sendiri—isakan terhambur pada dekap tangannya. Tangis itu sama sekali tidak terkedap.

Furihata tidak bisa menarik napas secara normal. Ia tidak bisa menarik napas tanpa terembus dengan meluruhkan yang mengabuti visinya.

Ada apa dengan hari ini?

Sudah sejak pagi tadi, Furihata repetitif dirundung dengan peristiwa yang menghantamnya keras-keras, sampai menggeletar lakrimalnya hingga rasanya terjadi hematoma di matanya. Tapi mungkin pembengkakan semacam itu jauh lebih baik dikomprasi dengan realita yang terjadi. Itu hanya luka fisik, bukan menggurat hatinya dengan luka fasik.

Sekarang ini ... nanti apalagi?

Furihata membiarkan gadis itu menggenggam tangannya dan ia menggeser kursi, melindungi gadis dari intai mata duniau agar tidak terlihat keceriaan yang selama ini ditampilkan bertransformasi lara yang sama sekali tidak terjelaskan. Tidak mungkin dijelaskan.

Selama satu durasi tiga setengah menit band Shutoku yang digawangi Takao Kazunari mempersembahkan performa terbaik kendati bukan gladiresik. Ketika orang-orang berkoor untuk lagu yang bukan klasik—mengkhianati preferensi Ace mereka yang cenderung suka musik klasik, suara itu tidak energik seperti performa pertama—justru berbanding terbalik.

Baru ketika lagu berganti, Chelsea menerima uluran kotak tisu di meja yang Furihata berikan untuk menutupi wajahnya. Kali ini gadis itu tertawa walau kembali tersenyum, tipis, tapi apresiatif.

"Yang tadi ..." –pembicaraan kita ini, dan Furihata mengerti isyarat itu, Chelsea mengedip sebelah mata redup—sebulir air terakhir melunturkan sapuan bedak tipis di wajahnya, "... jangan bilang Akashi-kun, ya?"

Furihata tidak mampu tersenyum, tapi ia mengangguk seakan rahangnya patang patah, remuk, lebur seketika usai melakukannya. Saliva pahit nan lamat terteguk. Dia terbatuk menyamarkan ganjal janggal di tenggorokannya.

Sampai di titik ini, Furihata tidak tahu apa terkaannya benar atau tidak, enigma yang ia punguti dan rengkuh baik-baik dalam hati, maupun enigma yang Akashi simpan sendiri.

Namun, jika ia bisa mengaku, bila ada momen yang mendekati definisi seperti hampir mati, adalah ketika setelah sekian lama dengan gugutan rindu yang selama ini berhamburan di setiap helaan napas beratnya, yang hidup dan bernapas dan akhirnya pulang setelah Furihata pesimis berpikiran takkan pernah kembali lagi, seseorang yang memegang kunci itu menyembul seperti keajaiban dalam hidupnya.

Seperti saat ini; tatkala pintu ruang orkestra terbuka, masuklah entitas enigmatis yang baru kembali dan ketika pandangan mereka tak sengaja bertemu.

Furihata tergugu tatkala memahami roman wajah seseorang yang tersendat. Hatinya tak merasa hangat, hanya tersayat-sayat.

Di depan pintu, orang itu terpaku.

.

Would you come back?

If I could hear your voice or your breath again
Probably I cannot say anything

.

Midorima ingin menegur mengapa Akashi berhenti hingga mendengar vokal yang selalu terngiang di ruang pendengarannya. Disadarinya langkah Akashi terhenti di pintu bukan karena lantun merdu partner menyanyinya yang penuh hayat hingga menggema menyayat hati pendengarnya.

Akashi terpaku, pandangannya menyendu dengan pengertian akan tatapan terluka yang (lagi-lagi) Furihata hunjamkan padanya.

.

Midorima tidak akan menyalahkan Takao untuk lagu yang dinyanyikan. Tidak walau itu bukan dengan kompleksitas melodi yang membahanakan agungnya lagu klasik.

Kalau benar yang Akashi ungkapkan padanya saat mereka membeli makan malam untuk semua orang ini benar, maka mungkin Furihata Kouki ingin lagu ini akan jadi salah satu lagu di pernikahannya. Mungkin dansa kedua, prosesi melempar bunga, atau entah apa.

Untuk beberapa saat, Midorima berdiri diam. Membiarkan kedua pemuda yang bertatapan dilesak sesak, diperdaya kehendak yang terlalu mutlak dan takkan bisa mereka tolak.

.

.

(And if you come back to me,)

... probably I cannot do anything.

.

#~**~#

.

"Urgh."

"Tidak sopan bersendawa sembarangan, Bakao."

"Aku kekenyangan makan, Shin-chan."

"Siapa memintamu kalap memakan empat porsi sekaligus?"

"Siapa suruh mereka bertiga malah tidak mau makan?"

Dalam naung malam yang masih semuda gelap langit oranye tua di horizon, kedua pemuda itu yang tetap tinggal memerhatikan galardo tersebut yang terisi tiga orang mengarungi taburan cahaya perkotaan dan marak kehidupan malam.

"Itu pilihan mereka."

"Yeah."

Takao menyakukan tangan ke dalam jaketnya. "Sepertinya Chelsea-chan tadi habis menangis."

"Gadis seperti itu bisa menangis?" Midorima melontar lirikan sangsi pada partnernya.

Takao menoleh, ternganga dengan pertanyaan murni penasaran tapi sangat kurang ajar itu, lantas ia tertawa. "Bisa, Shin-chan." Dia mengedikkan bahu kasual. "Tadi saat band berlatih, kulihat dia bicara dengan Furihata. Dia menangis saat itu."

"Apa yang bisa membuat perempuan seperti itu menangis? Furihata Kouki?" dengus Midorima pendek.

Pemuda yang merupakan vokalis utama dalam sub-grup Shutoku, band , itu mengangkat bahu sekali lagi. "Bisa jadi. Atau perasaan sentimentil karena melihat apa yang ada di buku catatan wedding planner itu, lalu—"

Midorima menyela dengan atensi terfokus pada Takao, "Memang apa yang ada di buku catatan Furihata Kouki?"

Ketika Takao menjawab apa yang ia lihat, Midorima mendengus sekali lagi—hal ini benar-benar mengingatkannya pada sekeping enigma yang ia intip dari Akashi.

"Mereka menyedihkan." Midorima dingin mengemukakan kenyataan tersebut.

Keduanya bercakap tentang percakapan yang mereka lakukan dengan masing-masing dari kedua pemuda tersebut, lantas senyap menyergap mereka dengan realisasi mengerikan akan kemungkinan-kemungkinan yang sebenarnya terjadi.

Takao mendesah, berujar lelah, "... kasihan."

Dia mengeluarkan satu tangan untuk memijat hidung yang dikulum suhu terperosok ke titik beku. "Kukira tadi aku bersimpati pada Furihata, tapi ... kurasa aku tidak mengerti apa yang terjadi—terlebih lagi memahami intensi Akashi melakukan semua ini."

Midorima berekshalasi dalam. Baritonnya memvibrasi ketegasan sekaligus keenganan, "Bukan urusan kita. Biarkan mereka selesaikan sendiri."

Kaki kanan dijadikan pivot memanuver putaran, balik badan dari pelataran parkir yang kosong satu spot. Tidak ada jejak corak ban galardo di sana.

"Shin-chan."

"Hm?"

"Apa semua pasangan seperti mereka berdua ... akan berakhir seperti mereka sekarang ini, Shin-chan?"

Tangan berjemari diperban itu menggenggam dingin gagang besi pintu. Mengerat seperti ruang hati yang mengetat. Dia terlalu sempurna mendeteksi kakofoni dari nada kata-kata yang dilisankan partner-nya.

"Semua ini belum berakhir."

Dua pasang mata berkesinambungan di kaca bening yang merefleksi sosok keduanya. Tanpa menoleh, jemari lain meraih tangan dingin yang sedari tadi mengusapi hidung memerah akibat ciuman cuaca—tidak merasa jijik sedikit pun.

"Kita sama sekali belum tahu akhir mereka seperti apa sebenarnya."

.

To be continue

.

XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX

.

High-light song:

1). Lirik lagu yang ditulis dalam bahasa Indonesia, diterjemahkan dari lagu yang diciptakan Charles Aznavour dan Herbert Kretzmer di tahun 1974. Awalnya diciptakan untuk BGM TV Series di Inggris berjudul Seven Faces of Woman, direkam juga dalam bahasa lain dengan judul Tous les visage de L'Amour, atau All the Faces of Love. Lagu ini kemudian di-cover oleh Elvis Costello dengan judul SHE pada tahun 1999 untuk soundtrack film berjudul Notting Hill.

2). Lirik lagu bahasa Inggris merupakan soundtrack lagu berjudul Can You Hear Me dinyanyikan oleh Jooyoung dalam drama Korea berjudul Remember War of the Son.

.

Mungkin untuk yang ingin lebih tahu spoiler plots fic ini (berhubung saya minta dicekek banget update-nya lama tak karuan) bisa cari arti kedua lirik lagu di atas, ditambah Apalah Arti Aku Menunggu – Raisa, Kimi Sora Kiseki – Egoist, Graypaper – Yesung Super Junior (O.S.T That Winter the Wind Blows), On My Own – Ai Ninomiya (O.S.T Kekkai Sensen).

Patokan utamanya, tetep lagu SHE – Elvis Costello. Lagunya memang jadul banget, imo menyentuh hati. Tapi cocok banget sama AkaFuri di fic ini: "She, maybe the reason I survive." *peluk Akashi*

Awalnya, saya berniat membongkar satu dari sekian rahasia di pandora Akashi itu chapter pas pra-wedding photo, ternyata slip-out di chapter 8 dan luput dari editan saya. Begitu sadar apa yang sudah saya lakukan, saya uring-uringan sendiri karena seceroboh ini, dan akhirnya saya pilih buka sebagian identitas asli Akashi di sini. *sigh*

Ya, Akashi adalah dubes termuda di dunia, representator Jepang untuk Inggris, dalam setting fic ini. Apa hubungan permata, klien, dan Akashi Seijuurou yang adalah Dubes, itu ... dijelaskan nanti lagi. :)

Untuk Readers yang tanya tentang Mine, nah, Mine dibaca seperti kata Mine dalam bahasa Inggris yang berarti "Milikku". Mine adalah karakter perempuan tsundere di anime/manga Akame Ga Kill. Tatsumi adalah salah satu protagonis dalam anime/manga yang sama.

Terima kasih untuk yang sudah selalu membaca A/N panjang saya.

Sekali lagi, jika Anda tidak menyukai angst, tragedy, hurts, semua elemen menyakitkan dalam fanfiksi ini, saya sama sekali tidak memaksa untuk lanjut membaca. Dan saya tidak membuat dengan sengaja berbahagia menyiksa apalagi berintensi membuli AkaFuri atau salah satu karakter tertentu dari pair ini.

Untuk yang tetap bersedia setia membaca sampai akhir, saya mohon maaf karena update fic saya so kampretly sporadik karena keterbatasan fasilitas OL. Saya nggak bisa bilang yang sudah terjadi di fic ini kelanjutannya akan lebih baik lagi, nah, nggak sama sekali. Ini turning point. :") /jujur/ tapi saya ingat mengatakan pada kalian ending fic ini berbeda dari Saigo ni Iezu ni Ita.

Saya belum akan aktif, karena OL sekali sehari aja nggak bisa. Seperti biasa, untuk yang ingin menanyakan, "Light, kapan update?" ... saya mohon tidak perlu ditunggu, karena saya nggak bisa menjanjikan tepatnya kapan. :") Fanfiksi yang belum update, berarti sedang direvisi oleh saya.

Jika berkenan, silakan mampir juga ke fic saya yang lain, LeChi-tachi! ;)

.

And see you latte~

.

Terima kasih sudah menyempatkan untuk membaca. Kritik dan saran yang membangun sangat saya harapkan. ^_^

.

Sweet smile,

Light of Leviathan a.k.a LoL