Paranormal expedition.

Summary: Naruto dan teman-temannya menguak misteri aneh yang ada di sekolah mereka.

Rate: M for horror and thrilling content.

Disclaimer: Naruto © Masashi Kishimoto-san. This fic is purely mine.

Warning: ABSOLUTELY OOC. Typo(s), abal, alay, gaje, horror dan humor gagal, tidak memenuhi kaidah Bahasa Indonesia yang baik dan benar. Don't like, please click back.


Ino merenung, menatap ponselnya yang sedari tadi tidak mendapat jawaban dari sang kekasih. Biasanya mereka tidak saling telepon ataupun voice note. Ino bilang suara Kiba seram, serak dan berat ketika di telepon atau voice note sementara Kiba bilang ia bisa begitu terangsang mendengar suara sang ketua cheers yang lembut dan begitu feminim. Entah kenapa, hari ini Ino begitu rindu pada Kiba. Padahal mereka setiap pagi jogging bareng sebelum berangkat sekolah. Kelas mereka pun bersebelahan sehingga Ino seringkali berpapasan dengan Kiba, lalu mengobrol selama beberapa saat. Pulang sekolah, Ino akan memberikan privat gratis matematika untuk Kiba atau cowok berambut cokelat itu akan balik mengajari Ino yang lemah dalam Bahasa Inggris. Kiba punya nilai yang bagus dalam mata pelajaran Izumo-sensei tersebut.

Sampai jam 8, masih tidak ada jawaban. Dengan gegabah, Ino mengambil jaketnya dan keluar kamar untuk mencari sang quarterback. Entah kenapa, hati kecilnya mengatakan kalau ia harus bertemu Kiba sekarang. Tidak bisa tidak.

"Oy, Ino! Mau kemana malam-malam begini?"

Gadis berambut pirang itu menoleh. Asuma-sensei selaku kepala asrama putri tengah merokok dengan santai di lobby asrama lantai 2. Segelas kopi panas dan acara kompetisi lawak menemaninya. Ino tersenyum tipis dengan wajah bersemu, malu mengungkapkan apa tujuannya.

"Mau pacaran, ya? Sama si Inuzuka itu?" Asuma-sensei menyeringai.

"Sensei!" seru Ino dengan wajah yang lebih merah. "Aku...aku..."

"Nggak apa-apa, kok. Aku juga pernah muda." Asuma-sensei tertawa. "Asal jangan hamil duluan sebelum lulus, ya!"

Ino memanyunkan bibirnya kesal.

"Khusus untukmu, batas pulang asrama sampai jam 10.45." Asuma-sensei menghampiri Ino dan mengusap-usap rambutnya. "Hanya hari ini saja, ya?"

"Makasih." Ino tersenyum manis pada ayah asramanya tersebut.

Asuma-sensei merogoh sakunya dan memberikan Ino selembar seribu Yen yang masih baru dari kantongnya. Gadis berambut pirang panjang itu hanya menatap uang yang diberikan Asuma-sensei dengan pandangan bingung.

"Buat beli kondom. Kalo-kalo kau dan bocah Inuzuka itu nggak tahan mau begituan." Asuma-sensei menyeringai.

Ino menggeplak lengan Asuma-sensei dengan wajah merah padam. Namun si kepala asrama putri itu menolak saat Ino mengembalikan uangnya tersebut.

"Simpan saja buat jajan. Hati-hati, ya!" Asuma-sensei melambai-lambai ketika Ino mulai pergi meninggalkan asrama.

Asrama putra dan putri dipisahkan gedung sekolah yang gelap dan sepi. Malam hari membuat gedung sekolah itu terlihat muram dan mengerikan. Tak jauh dari lobby sekolah, Ino melihat sosok mungil berambut merah yang berjalan dengan kruk. Di tangannya terdapat sebuah binder. Ah, mungkin saja Gaara hendak siaran drama audio Sleepy Hollow. Ino ingin menyapa Gaara dan menanyakan apakah ia melihat Kiba atau tidak. Tetapi pertanyaan itu sudah dijawab oleh keberadaan tiga siswa lusuh dan seorang guru yang merupakan idola sekaligus public enemy number 1, yang Ino akui adalah om-om paling ganteng di Shadow Leaf High School-siapa lagi kalau bukan si guru musik Akasuna Sasori-sensei.

"Dasar bodoh!" hardiknya seraya melayangkan tamparan ke wajah tiga siswa lusuh itu. "Tidak ada lagi kasus begini! Kalau kalian masih berkelahi, kuadukan pada Ibiki-sensei! Sana pulang!"

Laki-laki itu masuk ke dalam sekolah begitu saja. Ino mendekat dan mendapati bahwa ketiga siswa itu adalah Naruto, Kiba dan Sasuke. Ketiganya terluka, nyaris babak belur. Bibir Sasuke pecah dan mengeluarkan darah. Ada bekas tergores juga di wajahnya. Naruto banyak menderita luka beset, nafasnya masih memburu bercampur amarah. Kiba masih mengepalkan tangannya kuat-kuat. Pundak kanannya tampak membengkak.

"Kiba! Naruto!" Gadis itu berlari menghampiri ketiga siswa itu. Ino mengusap wajah Kiba dengan penuh kasih. "Ada apa? Kau berkelahi?"

Kiba terdiam sejenak. Ia mengusap punggung tangan Ino dengan kepalan tangannya yang terluka dan kaku tak bisa terentang.

"Kau terluka." lirihnya. "Ayo, kuantar kalian berdua ke asrama."

Ino merangkul Naruto dan Kiba, setengah memapah keduanya menuju asrama putra. Ia mengantarkan kedua cowok rusuh itu sampai pintu depan. Tetapi saat sampai di lobby lantai 1, Naruto melepaskan rangkulan Ino dan menghambur masuk dengan penuh amarah. Tinggallah Kiba dan Ino berdua saja.

"Kau mau cerita, kenapa kalian berdua dan Sasuke jadi hancur begini?" Ino menggenggam kedua tangan Kiba, berusaha melemaskan tinjunya agar sepasang tangan besar itu bisa terentang dengan normal.

Kiba diam saja. Matanya hanya memandangi jemari lentik Ino yang mengusap-usap buku-buku jarinya yang penuh memar dan berlumur darah kering. Setelah kesepuluh jari sang quarterback itu kembali normal, Ino menghambur memeluk kekasihnya. Kemeja Kiba terasa lembab, tercium wangi body spray bercampur keringat, dan samar-samar terendus debu juga. Kiba dengan ragu balas memeluk Ino, kemudian melepaskannya.

"Kau janji mau menelponku. Aku kangen, sialan!" Ino menepuk-nepuk dada Kiba. "Bodoh!"

"Maaf." bisik Kiba.

"Nggak apa. Yang penting sekarang sudah ketemu." Ino tersenyum. "Mau kubelikan sesuatu di dorm store?"

Kiba mengggeleng. "Aku capek. Mau tidur saja."

Ino merengut kecewa. "Nggak mau ngobrol dulu? Sebentar saja..."

"Maaf."

"Ya sudah." Ino melenguh pasrah. Ia mencium dagu Kiba penuh sayang dan melangkah pergi. "Istirahatlah."

Kiba menaiki tangga dan hilang. Ino berjalan lunglai menuju asrama. Rasa kesal dan kecewa tentu saja ada. Tetapi ia paham keadaan Kiba sekarang. Ia tidak boleh egois. Hari esok kan masih ada, tentu saja besok masih bisa ketemu, kan?

Tapi...tapi...

Airmata Ino menetes. Gadis itu pulang ke asrama putri sambil menahan sedu sedan.


"Aku mau pulang, ah."

Gaara membereskan semua barang-barangnya dari meja, meninggalkan kesan bingung di wajah kedua saudaranya, dan juga Iwa Deidara dan Hoshigaki Kisame yang merupakan anggota voice actor lain dalam drama Sleepy Hollow. Mereka bahkan belum on air sama sekali.

"Gaara, ayolah." Kankuro melirik kursi yang tadinya diduduki Gaara. "Aku tahu PR-mu banyak. Tapi tenang saja. Kami semua sudah pernah jadi anak kelas 10 sepertimu."

"PR-ku..." Gaara menggumam.

Kali ini Temari yang memberikannya tatapan sengit. Gaara dengan berat hati kembali duduk dan membuka naskah yang akan mengudara hari ini. Rencananya Sleepy Hollow akan ditamatkan pada episode terakhir ini sesuai naskah yang sudah digarap Gaara. Mulai minggu depan, mereka akan memainkan audio drama yang berjudul Scarlet Willow. Drama kedua ini masih bernuansa kelam, digarap oleh Kankuro dengan bantuan Sasori-sensei dalam beberapa hal.

"Aku punya perasaan tidak enak." gumam Gaara. "Tapi sudahlah. Nah, bagaimana kalau kita mulai?"

Semuanya mengangguk menanggapi ucapan Gaara. Deidara menyalakan mikrofon dan beberapa speaker yang lampu hijaunya masih menyala, tanda bahwa listrik di ruangan tersebut belum dimatikan. Tak luput pula speaker sentral kedua asrama.

"Sound-nya sudah beres, un." Gumam Deidara. "Mau on-air sekarang?"

"Mana naskahnya?" Gaara menadahkan tangannya.

Kankuro memberikannya satu buah naskah yang agak tipis, dan Gaara membacanya sekilas. Ia mengerenyit dan menatap kakak keduanya dengan pandangan tidak yakin.

"Bagus, kan?" Kankuro menyeringai bangga.

"Terlalu seram. Efek adrenalin yang disajikan alurnya terlampau berat untuk sekedar sebagai audio drama." balas Gaara.

"Kau ini buat novel atau gimana?" Komentar Kisame.

"Aku sudah berusaha sebaik yang kubisa." Kilah Kankuro kecewa.

"Aku tidak bilang jelek dan harus diganti, kan?" Gaara tersenyum tipis. Ia mengambil stabilo berwarna dan mewarnai bagian percakapan Grosvenor dan karakter lain yang ia mainkan.

"Jadi digarap, ya." Temari menyimpulkan. "Kisame, tolong tangani opening. Gaara dan Deidara bisa on-air setelahnya. Kankuro, tolong kau siapkan sound effect, soundtrack dan dekorasi musik yang lain, ya?"

"Baiklah."

Kankuro mulai bermain dengan laptopnya dan sound system equalizer, merampungkan efek suara yang sudah diciptakannya. Gaara yang semula tengah asyik menginterpretasikan ketakutan Grosvenor menoleh, menyadari ada sesuatu yang semakin lama semakin mengganggu batinnya. Ini bukan soal PR sebenarnya. Gaara berbohong soal itu. Ada suatu hal yang agak rumit untuk dijelaskan.

"HEY, SHUKAKU! KELUARKAN AKU DARI SINI!"

Gaara menoleh. Ia mendengar sesuatu yang terdengar begitu mengerikan, bersuara serak dan menggelegar di telinganya, memekik bagaikan sedang disiksa. Lalu Gaara mendengar suara lain di kepalanya.

"Kaukah itu, rubah bodoh? Apa yang kau lakukan sehingga kau bisa terlepas dari wadahmu? Dasar lemah...khukhukhukhu."

"BERISIK! SEKARANG KAU HARUS MENGELUARKAN AKU DARI TEMPAT BUSUK INI! AKU DITENDANG KELUAR OLEH WADAHKU."

Gaara menaikkan sebelah alisnya. Apa maksud ditendang keluar wadah?

"Siapa pelakunya?"

"BOCAH DARI KLAN DEWA API."

"Tidak bisakah kau keluar dengan kekuatanmu sendiri? Kudengar kau kuat sekali."

"BOCAH SIALAN ITU MENYEGEL DAN MENYERAP KEKUATANKU..."

"Rubah jelek? Oy?! Kurama!?"

Gaara mengerenyit. Ia mendengar gesekan dua buah logam yang begitu memekakkan telinganya di dalam kepalanya, seakan suara itu berasal dari imajinasinya.

"CEPAT SATUKAN AKU DENGAN WADAHKU LAGI!"

"Dimana wadahmu? Aku tidak tahu apapun."

" CEPATLAH, OHOK! OHOK! SAKIT SEKALI! OHOOOK! GROAAAARR!"

"...raa..."

"...ik saja?"

"Gaara!"

Gaara tersentak. Seluruh voice actors memandangnya dengan tatapan heran. Agaknya ia terlihat melamun tadi.

"Kau melamunkan apa?" Tanya Temari khawatir. "Apa ada yg sakit?"

"Aku sedang agak malas hari ini, maaf." Gaara tersenyum tipis. "Ah, ayo. Diedara, berikan aku dialognya dan Grosvenor pada halaman 3 dialog 2."

"Un..."

"Stop!" Temari mematikan speaker. "Gaara, sudahlah. Percuma saja kalau kau sedang malas. Apa yang sebenarnya sedang kau pikirkan? Ayo, beri tahu kakakmu."

Gaara mengerenyit. "Temari, ayolah. Aku berusaha professional."

"Aku berusaha professional." Temari membeo ucapan Gaara. "Kalau begitu tegakkan pundakmu, kumpulkan semangatmu dan hidupkanlah karakter-karakter sialan itu!"

Temari menarik pundak Gaara agar lebih tegak dengan sekali sentak. Si bungsu Sabaku itu meringis kesakitan dan melenguh lega ketika mendengar bunyi keretak di punggungnya. Kankuro mulai menghidupkan lagi speaker dan memulai narasi pembuka. Gaara menginterpretasikan perasaan gundahnya dalam karakter Grosvenor yang ia suarakan. Aura ketakutan salah satu karakter protagonis itu kental sekali sampai-sampai suara Gaara sendiri bergetar dibuatnya. Temari bergidik pelan sebelum akhirnya memberikan tanda cut pada Kakuro. Kini giliran bagian Kankuro dan Temari, sebuah adegan cekcok mulut yang makin lama makin panas karena didasari oleh karakter Temari yang begitu tegas dan Kankuro yang kadang-kadang suka ngeyel. Pada saat adegan pertengkaran itu masih berlangsung, Gaara keluar dengan kruknya untuk pergi ke toilet. Ia ingin sekedar mencuci muka atau mencari udara segar. Lima orang berjejal di ruangan 4x3 meter bisa membuatmu sesak nafas juga kalau terlalu lama.

Gaara menyanggakan kruk di kedua ketiaknya dan mulai berjalan. Terkadang masih tersisa rasa nyeri saat kakinya yang luka itu menyentuh lantai. Jarak dari ruang siaran dan toilet lumayan jauh, mungkin sekitar 30 meter. Gaara berusaha berjalan dengan normal sembari menarik nafas dalam-dalam, antara menahan amarah atau menghilangkan fakta kalau ia tidak pernah sendirian.

TOK. TOK.

BRUK!

Seorang wanita dengan badan patah—bisa diindikasi dari posisi merangkaknya yang tidak normal, jatuh dari lantai dan merangkak menembus pintu ke sebuah ruang kelas.

TOK. TOK.

"Halo. Bocah kepala merah."

Gaara melirik arah suara merdu itu dan menemukan gadis dengan kimono tradisional lengkap dengan riasan. Wajahnya sepucat kapas dan bibirnya semerah apel ranum. Sepasang matanya yang sipit menatap Gaara dengan pandangan nakal.

"Selamat malam." Ucap Gaara tenang.

Gadis berkimono itu mengangguk. Ia mohon diri dan menghilang begitu saja di dalam bayang-bayang.

TOK. TOK.

Gaara mendongak. Ia mendapati dirinya berada di depan pintu toilet laki-laki. Namun di depan pintu itu ada sesosok bayangan besar tanpa kaki. Bentuknya mirip dengan yeti, hanya saja sekuruh tubuhnya seakan terbuat dari api hitam yang berkobar perlahan. Kedua matanya yang merah memelototi Gaara.

"Minggir, dasar kau makhluk rendahan!"

Sebuah cakar besar berwarna kuning kecoklatan pudar mencengkram sosok bayangan itu hingga ia tercerai berai, berubah menjadi kepingan-kepingan tidak jelas yang menggeliat dan melesat pergi begitu saja. Gaara menepuk-nepuk debu pasir yang jatuh di bahunya akibat proteksi dari Shukaku.

KRIET.

ZRAAAASSSHHH!

Sepasang mata berwarna jade pudar itu membelalak ketika menemukan ada orang di dalam toilet laki-laki itu yang tengah mencuci tangannya yang melepuh kemerahan.

"Selamat malam." Bisik Gaara.

Sosok itu menoleh. Kedua matanya yang lebar berwarna cokelat muda seperti selai kacang. Tatapan itu dalam namun tak bernyawa, tapi sekonyong-konyong mendatangkan bau aneh yang refleks membuat Gaara menutup hidungnya.

Bau mayat.

"Selamat malam, artis sekolahan." Balas Sasori-sensei. "Mau ke toilet?"

"Iya." Balas Gaara. Ia berjalan ke salah satu urinarium.

"Perlu kubantu?"

Gaara menatapnya dengan pandangan ketakutan. "Tidak pernah ada orang yang menawariku bantuan untuk buang air kecil."

Tawa Sasori-sensei meledak. Ia menunjuk sepasang kruk yang ada di ketiak Gaara. "Maksudku dengan benda itu."

Gaara mengangguk. Ia memberikan kedua kruknya pada Sasori-sensei dan mulai buang air kecil. Setelah selesai, sang guru musik mengembalikannya pada Gaara. Saat lengan kanan Sasori-sensei terulur, Gaara menyadari dari mana bau mayat itu berasal.

"Anda tahu, seorang guru tidak sepantasnya punya tattoo." Gumam Gaara.

"Ah, ini?" Sasori-sensei menunjukkan sebuah simbol yang baru saja Gaara lihat tadi. "Cuma coba-coba buat body painting. Besok atau dua hari lagi juga hilang."

"Begitu." Gaara mengangguk.

SRRRRRSSSSSHHH!

GREB!

BRUAK!

Sasori-sensei meringis ketika kepalanya menghantam dinginnya lantai kamar mandi. Cakar besar Shukaku mencengkram seluruh tubuhnya dan dengan mudah membantingnya ke lantai dan menerkamnya untuk tetap disana. Gaara hanya terdiam. Wajahnya tenang dan pasti. Gaara mengatupkan tangan kanannya seperti sedang memeras sesuatu. Cakar Shukaku makin kuat mencengkram tubuh si guru musik. Sasori-sensei menjerit tertahan sesaat sebelum bunyi keretak patah seluruh tulangnya terdengar. Matanya terbelalak lebar, lalu kepalanya terkulai lemas. Cengkraman Shukaku melonggar dan cakar besar itu buyar menjadi butiran pasir yang bergerak dengan pelan, bagaikan sapuan ombak, kembali ke bawah dimana kaki Gaara berpijak.

"Laki-laki ini berbau seperti orang mati dan kerak neraka. Sama saja seperti bocah Uchiha itu." geram Shukaku kesal.

"Tidak, dia berbeda, Shukaku." Bantah Gaara. "Baunya lebih kuat. Seakan-akan tubuh itulah mayatnya."

"Khukhukhu...dangkal sekali pola pikirmu, cerpelai pasir!"

DRAK! DRAK! DRAAAK!

KRETRAAAAAK!

TEPP!

Sasori-sensei, yang seharusnya secara fisik sudah remuk redam, kini kembali berdiri tegak seakan tidak terjadi apapun kepadanya. Bunyi derak tulang tadi ternyata adalah salah satu proses rekonstruksi tubuh dirinya yang telah dihancurkan Shukaku itu.

"Aku, bahkan membayar mahal sekali agar tubuhku tidak bisa mati." Jelas Sasoi-sensei. "Sejak bertahun-tahun lalu."

Simbol-simbol bahasa Ibrani mendadak meliuk lembut dan terpatri di kulit Sasori-sensei bagaikan tattoo ular. Gaara merasa gravitas membesar, hawa sekitar menjadi berat seakan-akan hampir menghancurkan paru-parunya. Suara denging keras menyerangnya, memecahkan kaca dan lampu, dan bahkan beberapa buah kloset. Sebuah kubah pasir secara refleks menyelimuti Gaara. Di dalam kegelapan kubah pasir tersebut, ia bisa merasakan dentum-dentum serangan yang berasal dari luar. Dentuman itu terasa makin besar dan makin kuat. Gaara menyilangkan tangannya di depan wajah dan kubah pasir itu menjadi beberapa kali lebih keras dan lebih padat dari sebelumnya.

Lalu hening.

Cukup lama.

Gaara tetap bersiaga namun hanya sunyi yang didapatnya.

"Fuuuuh." Gaara menghela nafas lega dan melonggarkan pertahanan kubah pasirnya.

GREP!

BRUK!

"Uaghhh!"

"Dapat kau, bocah pasir!"

Sepasang tangan lentik yang terlihat begitu jahat milik Sasori-sensei mencengkram leher Gaara. Pemuda bermata jade itu meringis, mulutnya terbuka mencari udara. Badannya menggelinjang ketika cekikan Sasori-sensei menguat. Cakar-cakar Shukaku menghujamnya, namun cakar-cakar itu runtuh kembali menjadi pasir tak berdaya saat bibir kecil Sasori-sensei merapalkan sesuatu yang terdengar begitu kuno, begitu rumit sekaligus begitu jahat. Pandangan Gaara memudar. Ia mulai merasa panik ketika merasakan tubuhnya kejang hebat, seakan ada korsleting parah di kepalanya. Semakin kejang tubuhnya, Gaara merasa kesadarannya terus memudar. Ia sempat mendengar auman Shukaku yang begitu murka sebelum semuanya berubah menjadi gelap total.


KRIET.

Sasuke merebahkan tubuhnya setelah mandi dan berpakaian ke ranjang. Entah kenapa, hari ini ia merasa senang sekali, bagaikan anak bocah yang baru saja diajak ke taman ria. Jugo tidak ada, dan memang biasanya ia menginap di kamar teman-temannya sesama kelas 12. Sasuke kadang merasa kamar ini miliknya sendiri. Ia memiringkan badannya ke kanan dan ke kiri. Selelah apapun tubuhnya, ia tidak merasa mengantuk sama sekali. Malahan matanya terasa segar. Ia menatap telapak tangannya dan meraba wajahnya. Tidak ada yang aneh untuk itu semua. Semuanya terasa normal baginya.

Namun untuk lebih memastikan, ia berjalan ke cermin dan memandangi paras tampannya yang masih berekspresi stoic terlihat masih sama seperti beberapa jam dan beberapa hari yang lalu. Kebetulan ia hanya mengenakkan celana piyama, jadi ia bisa bebas memeriksa tubuhnya yang bertelanjang dada. Tidak ada yang aneh. Sasuke berputar-putar di cermin dan menemukan sesuatu yang belum pernah ada sebelumnya, di lekukan antara leher dan bahunya, sedikit ke arah tengkuk.

Tiga buah tomoe hitam.

"Merasa lebih tampan, Sasuke?"

Di dalam cermin ia melihat Orochimaru-sensei tengah duduk di meja belajarnya. Airmuka Sasuke mendadak berubah murka karena merasa privasinya di usik. Namun saat menoleh, tidak ada seorang pun yang duduk di sana. Sasuke melihat kembali ke cermin dan mendapati Orochimaru-sensei melambai ke arahnya.

"Kau...bagaimana bisa...?!" Sasuke terpekik kaget.

"Ssh." Orochimaru-sensei mendesis lembut. "Jangan teriak-teriak. Sudah malam."

Sasuke membungkam mulutnya seketika.

"Kau ini benar-benar berbakat, Sasuke. Aku tidak menyangka kalau akan ada bocah yang setega itu mengorbankan dua orang teman sebayanya untuk dijadikan tumbal bagi kekuatan yang kurasa...tidak perlu, untuk anak seusiamu."

"Kau tidak mengerti." Ketus Sasuke. "Aku memang menginginkan kekuatan ini sejak kecil."

"Aku mengerti." Orochimaru-sensei menyeringai. "Kau hanya iri karena tidak berbakat, bukan?"

Sasuke refleks melempar sebuah gelas terdekat ke arah dimana Orochimaru-sensei duduk, namun gelas itu hanya menghantam tembok dan pecah. Tidak ada yang gelas itu hantam selain tembok, dan lagi-lagi Orochimaru-sensei tak ada disana seperti dalam pantulan cermin.

"Aw, aw. Kasar sekali." Orochimaru-sensei terkikik. "Aku ini wakil kepala sekolah, tahu."

"Aku tidak peduli." Gumam Sasuke kesal. "Cepat tunjukkan padaku tahap selanjutnya untuk menyempurnakan kekuatan ini."

"Sabar, anakku. Sabar." Orochimaru-sensei terkikik geli.

Kini posisi sang pria berkulit pucat itu ada di ranjang Sasuke, duduk sambil menyilangkan kaki. Ia menyeringai ketika melihat wajah terkejut Sasuke. Telunjuknya menunjuk pintu, meja belajarnya sendiri dan kasurnya dengan ekspresi kebingungan.

"Bagaimana aku masuk itu tidak penting." Orochimaru-sensei mengibaskan tangannya. "Ragamu butuh waktu beberapa lama untuk menyesuaikan diri. Itu satu kekuatan yang besar."

"Aku tahu. Aku bisa merasakannya di tubuhku." Balas Sasuke ketus namun antusias.

"Saat kurasa kau sudah siap, aku akan menghubungimu lagi via Sasori."

Sasuke membuang muka ketika mendengar nama tersebut.

"Ada apa?" Orochimaru-sensei menatapnya penasaran.

"Masalah kecil." Balas Sasuke acuh.

Orochimaru-sensei tertawa. "Hanya karena Sasori meniduri gadis yang kau incar?"

"Sudah kubilang ini masalah kecil." Tegas Sasuke.

"Memang." Orochimaru-sensei kemudian berdiri. "Karena itu hanya masalah kecil, jadi bersikaplah professional. Aku akan membiarkanmu istirahat. Dan seperti yang tak bosan-bosan aku ingatkan, bersabarlah."

Sasuke mengangguk. Dan dalam satu kedipan mata, Orochimaru-sensei menghilang.


PIIIIP

PIIIIP

PIIIP

PIIIP

"Uungghh..."

Silau.

Itulah yang Gaara rasakan pertama kali. Silau sekali. Hawa dingin dan bau alkohol desinfektan menguar begitu ia membuka mata. Segalanya putih, namun lambat laun terbentuklah visual yang jelas dan lumayan mengejutkan. Ia melihat sosok ayahnya tengah menggenggam semacam tasbih dan berkomat-kamit, duduk di kursi di sebelah ranjangnya. Dan mata jade- nya melebar ketika melihat Shukaku dalam bentuk utuh, berukuran mungkin dua kali lipat lebih besar dari beruang kutub, tengah melingkar di bawah tempat tidurnya. Tubuhnya luka-luka, dan suara dengkurannya terdengar berat dan menyakitkan telinga. Ekor tunggal Shukaku berada di pangkuan ayahnya.

"A...ayah..."

Sabaku Rasa, ayah Gaara, menoleh dan menarik kursinya mendekat. Suara derit kursi sempat menyentak Shukaku bangun. Namun makhluk astral itu kembali mendengkur manis.

"Gaara?" bisik Ayahnya. "Sabaku Gaara."

"Sa...baku Gaa.. dari Shukaku, cerpelai berekor satu. Anak... yang di...ber...kahi dengan pasir suci dan cinta kasih seorang ksatria." Bisik Gaara membalas panggilan ayahnya. Hal ini dimaksudkan untuk memastikan bahwa Gaara tidak kerasukan. Rasa mengajarkan hal itu semenjak Gaara kecil.

Rasa tersenyum. "Bagaimana keadaanmu?"

"Buruk sekali." Bisik Gaara. Ia sudah mulai mendapatkan sebagian besar kesadarannya. "Aku tidak menyangka akan berakhir di sini."

"Kakak-kakakmu khawatir, lalu mencarimu. Mereka menemukanmu kejang-kejang di lantai, lalu menelpon ambulans. Mereka bilang kau hanya terkena gegar otak ringan."

Gaara memutar bola matanya kesal. Gegar otak ringan tidak butuh kata 'hanya' karena masih termasuk cedera berat. Dan cedera fisik karena serangan makhluk semi-astral bukanlah sesuatu yang lucu.

"Aku sudah mendengar ceritanya dari Shukaku." Ucap Rasa seraya mengusap rambut Gaara dengan lembut. "Aku sudah menghubungi para Laskar Keadilan untuk mencari temanmu itu. Dan membasmi hal terjahat yang selama ini kita cari."

"Ayah Naruto...juga Laskar Keadilan." Ucap Gaara. "Minato."

Sabaku Rasa mengangguk-angguk. "Istrinya, Kushina, adalah seorang intercessor. Sama sepertimu."

Gaara masih diam, siap mendengar cerita selanjutnya.

"Mereka adalah pasangan yang luar biasa. Kau tahu, seorang intercessor wanita tidak bisa menikah karena mereka akan mengandung dan melahirkan anak. Setiap makhluk astral seperti Shukaku hanya diperuntukkan bagi satu nyawa."

"Apa karena alasan itu...ibu..."

Rasa dengan berat hati mengangguk. "Kau terlalu lemah, lahir dalam keadaan prematur. Ibumu bersikeras agar aku melepaskan segel penahan Shukaku di tubuhnya agar kau bisa lahir. Namun kondisi kalian berdua parah. Ibumu begitu ingin kau hidup...maka..."

Setitik airmata menuruni pipi Rasa. Ia menopang kepalanya dan menarik nafas, namun isak tangis kecil tetap tertangkap telinga Gaara. Ia mengulurkan tangannya dan dengan lemah menghapus airmata di wajah ayahnya.

"Aku tahu. Kau telah memberikan begitu banyak kebahagiaan dalam hidupku, Ayah." Bisik Gaara. "Tegarlah."

Rasa menarik seulas senyum kecil.

"FUAAAAH!"

Shukaku menggeliat, kemudian terbangun sepenuhnya. Ia duduk dan menepuk-nepuk perutnya. Sekilas ia terlihat lucu dan menggemaskan. Kedua ayah-anak itu tertawa dibuatnya.

"Selamat pagi, cerpelai manis. Tidurmu nyenyak?" goda Rasa.

"Sialan. Laki-laki mayat itu hampir saja mengisap seluruh energi kehidupanku." Rengek Shukaku. "Untung saja kau ada di sini, Rasa."

"Sama-sama." Rasa mengusap ekor Shukaku di pangkuannya. "Kau bisa beristirahat. Aku akan menjaga kau dan Gaara."

"Terima kasih, Rasa. Tapi kurasa kau tidak akan kuat menjaga dua makhluk ini sendirian."

SRAAK!

Tirai putih tersibak. Terlihatlah sosok laki-laki berambut putih panjang dengan sorot muka mantap. Di belakangnya kodok-kodok bercorak oranye-biru sebesar lemari mengawal. Mereka mengenakkan aksesoris bervarias. Ada kodok yang mengenakkan kimono dan memiliki pedang di pinggang. Ada juga yang mengenakkan baju zirah khas samurai. Laki-laki itu menatap Gaara dan menyeringai.

"Bocah radio? Dibalik badanmu yang lemah itu, ternyata kau menjaga Shukaku, ya?"

Gaara memanyunkan bibirnya kesal. "Aku tidak minta kondisiku begini, Jiraiya-sensei."

"Maaf, maaf. Kupikir semua intersessor memiliki perawakan tangguh seperti Kushina dan almarhumah Karura. Tapi ajaibnya, kau jauh lebih tangguh dari yang kukira."

Gaara menatap Jiraiya-sensei dengan dahi berkerut.

"Maksudku, kau bisa selamat dari serangan seorang necromancer." Jiraiya-sensei mengacungkan telunjuknya. "Tidak semua orang bisa."

"Necromancer?"

Rasa melirik Jiraiya-sensei. "Aku dan ibunya memang anggota Laskar Keadilan. Tapi Gaara tidak."

"Ah, aku lupa. Baiklah. Biar kujelaskan."

Jiraiya-sensei duduk di ranjang Gaara dengan nyaman dan mulai bercerita.

Sejak jaman dahulu kala, di setiap negara dan di setiap agama, ada hukum yang tegas melarang untuk mencampur-adukkan urusan kehidupan dan kematian. Yang dalam arti harafiahnya—menghidupkan yang sudah mati. Beberapa orang melakukan praktek necromancy (ritual pemanggilan jiwa astral menggunakan medium mayat) untuk memperoleh kekuatan astral. Namun praktek necromancy memiliki efek yang mengerikan. Selain dapat menghancurkan keseimbangan dunia manusia dengan dunia astral, banyak makhluk astral jahat yang dapat menerobos keluar dunia mereka dan mengganggu kehidupan manusia.

"Jadi, manusia-manusia yang punya kemampuan melihat dan berkomunikasi dengan arwah bisa dibilang efek dari seseorang lain yang melakukan necromancy?" tanya Gaara.

"Tidak. itu bakat. Beberapa orang, bahkan beberapa klan, disukai oleh makhluk astral istimewa seperti Shukaku. Gamabunta dan Gamatatsu, beri salam pada intersessor Shukaku."

Kedua kodok yang mengawal Jiraiya-sensei melambai-lambai dengan senyum manis.

"Tapi, tapi, makhluk astral seperti kami hanya bisa menempati satu jiwa saja." jelas Gamabunta. "Sebagai manusia yang punya raga fisik, kau bisa menampung beberapa makhluk astral. Namun satu makhluk astral mustahil untuk menjaga dua manusia."

"Kenapa begitu?" Gaara mengusap dagunya, perlahan-lahan ia mulai mengerti.

"Karena saat seorang manusia memutuskan untuk membentuk satu ikatan dengan makhluk astral—yang biasanya orang-orang itu disebut intercessor, mereka berbagi dunia, berbagi kesadaran, berbagi kekuatan material dan lain sebagainya. Bahkan dalam mimpi sekali pun, kau bisa berkomunikasi dengan mereka secara fisik. Makanya mustahil makhluk astral membangun ikatan dengan dua manusia sekaligus. Itu berarti kau seperti akan punya dua kepribadian yang berbeda. "

"Apa dengan begitu, kau juga seorang intercessor¸ Jiraiya-sensei?"

Jiraiya-sensei menggeleng. "Aku yang menemui dua kodok manis ini. Menjadi seorang intercessor itu agak sedikit berbeda. Makhluk astral itulah yang harus memilihmu."

Gaara menggaruk lembut ekor tunggal Shukaku. Ia tersenyum manis dan menyadari bahwa setidak-sukanya dirinya terhadap hal-hal berbau dunia astral termasuk eksistensi Shukaku, Shukaku selalu saja melindunginya.

Laki-laki berambut keperakan itu menepuk pundak Gaara lembut. "Bersyukurlah, bahwa selain dicintai dunia fisik, kau dicintai pula oleh dunia astral."

Remaja berambut merah itu tersenyum. "Jiraiya-sensei, yang terpenting, kita harus menyelamatkan Naruto."

"Naruto? Memang ada apa dengan Naruto?"

"Shukaku diberi tahu kalau Naruto dalam bahaya. Lebih tepatnya, sesuatu yang seperti Shukaku yang memberitahu."


Hari ini Neji merasa sedikit malas. Jadwal kelasnya banyak yang dikosongkan karena absensi para guru menjelang ujian akhir kelas 12. Ia hanya mendengarkan musik saja melalui earphone di dalam kelas, tidak seperti beberapa teman-teman kelasannya yang keluar masuk kelas. Namun sebagai bocah SMA yang terkadang dirundung rasa penasaran, Neji mematikan playlist-nya dan berjalan keluar. Ia berjalan menuju kantin, lalu ke toilet untuk sekedar mencuci muka. Di perjalanannya kembali ke kelas, ia bertemu dengan Shikamaru and the gank, yang tak lain dan tak bukan adalah komplotan geng heboh yang ia temani dalam aksi uji nyali bodoh beberapa minggu lalu itu. Shikamaru melihat Neji dan mengajaknya hi five, begitu pula dengan Chouji. Kiba menjejalkan kedua tangannya ke dalam saku celana dan menunduk, raut wajahnya seperti tengah menyimpan dendam. Sementara Naruto hanya terdiam, tertunduk menatap layar ponselnya dengan wajah kosong. Sekilas tampak ia sedang berkutat dengan media sosial atau semacamnya. Neji kemudian duduk kembali dan memilih membereskan mejanya saja.

"Kau merasakan sesuatu yang aneh, ya?"

Neji menoleh. Rupanya Shino bergumam.

"Soal jadwal kita?" tanya Neji.

"Bukan. Soal anak-anak itu." balas Shino muram. "Kiba. Dan Naruto."

"Sedikit." Balas Neji.

"Kau baru bertemu mereka hari ini, kan?"

Meskipun mereka semua satu asrama, Neji tetap saja jarang keluar kamar dan bertemu mereka karena dilanda tugas dan Lee yang sedang mengikuti kejuaraan gimnastik seringkali meminta bantuan Neji dalam latihan pribadinya di kamar mereka. Neji mengangguk pelan.

"Entah apa yang terjadi...dengan Kiba dan Ino." Balas Shino.

"Mereka mungkin bertengkar atau semacamnya." Timpal Neji.

"Dan juga...aku dari kemarin tidak mendengar suara Naruto."

Neji meringis. Yah, seluruh penghuni lantai 4 bisa mendengar suara Naruto di sepanjang koridor karena letak kamarnya yang paling ujung dan suaranya yang berisik. Ia dalam hati menaruh respect yang besar pada Gaara atas ketabahannya menjadi roommate Naruto.

"Mungkin dia juga punya masalah."

"Atau bisa jadi...dialah masalah itu."

Putra keluarga Hyuuga itu memicingkan mata menatap Shino. "Apa maksudmu?"

"Seperti yang kubilang tadi." Gumamnya.

Neji masih saja menatapnya dengan pandangan tidak mengerti. Shino menoleh, dan memperjelas kata-katanya.

"Aku merasa...Kiba yang tidur sekamar denganku kemarin, bukanlah Kiba yang sesungguhnya."


Wuaaaa akhirnya seneng banget bisa update!

Maafin author ya minna, author baru bisa update karena disibukkan kuliah yang juga penuh akan jadwal praktek. Terlebih lagi laptopnya ditinggal di Jakarta, dan juga masalah author mengalami kesalahan teknis nggak bisa buka jadi...jadi susah gitu deh update-nya #ngeles. Tapi setelah itu akhirnya bisa setelah download ZenMate. Horeeee~~~~

Oh iya, by the way semenjak aku lama nggak update, sense of horror -ku jadi agak melempem. Makanya untuk membangkitkan semangat, tadi siang aku nonton Haunting in Connecticut yang pertama dan ASLI EDUN ETA SEREM TEUING! (btw author emang cemen banget, baru nonton sekitar 30 menit langsung di close streaming-an filmnya karena nggak kuat takut banget). Kalo readers semua juga bertanya kenapa chapter ini agak lebih pendek dan yang sebenernya pendek banget dibanding chapter yang lain, itu semata-mata karena author hanya sedang melakukan pemanasan bagi chapter-chapter sebelumnya. Author janji kok bakal berusaha update lebih cepet lagi.

Dan untuk mengakhiri bacotan saya yang semakin nggak penting, Author dengan rendah hati ramah tidak sombok #ey meminta review dari anda sekalian, para readers. Karena semata-mata hanya review kalian sajalah yang membuat saya terus memproduksi fanfic-fanfic sampai sekarang ini.

Thanks for reading :)

Fajrikyoya.