Di salah satu rumah disebuah desa tak jauh dari ibu kota

"Ada apa ini? Kenapa tubuhmu bersinar kebiruan? Apa kau makan sesuatu yang aneh lagi?" omel seorang ibu pada anak laki-lakinya yang baru saja menginjak usia dewasa.

"Ap– ? Aku tidak– " Anak itu mengerinyitkan alisnya, memandang bingung ke arah ibunya. Melihat ibunya membalasnya dengan menunjuk ke arahnya, anak itu segera menunduk melihat badan dan kedua tangannya. "Uwaaahh!" pekiknya sambil refleks melompat ke belakang. "Ibu. Apa yang terjadi padaku?!"

Di sebuah perkebunan

"Heii! Aki-san! Aki-san! Hei! Tubuhmu bersinar, apa yang terjadi?" sahut seorang pria paruh baya pada temannya yang terlihat seusianya.

Pria yang dipanggil Aki-san langsung menghentikan kegiatannya memetik hasil kebunnya dan dengan gerakan pelan membuka sarung tangannya. Seketika cahaya kebiruan yang berasal dari tangannya membuatnya menyipitkan kedua matanya. "Aah! Ini! Ini bukan apa-apa! Tidak usah khawatir, Ino-san!" sahut Aki-san. Sepertinya aku harus bergegas sekarang.

Di salah satu koridor kelas di sebuah sekolah di ibu kota

"Kau ingin makan apa? Katanya, hari ini menu utamanya adalah kare! Aku jadi tidak sabar!" ucap seorang gadis perempuan sambil menarik tangan seorang temannya menuju ke arah kantin sekolah. Karena tidak mendengar balasan dari temannya, gadis itu langsung menggembungkan pipinya dan berbalik ke arah temannya. "Heeii –"

"Maaf, Beni-chan. Aku tadi melamun," sahut gadis bersurai biru pucat yang saat ini ditatap khawatir oleh temannya. "Beni-chan?" panggil gadis itu mencoba menyadarkan temannya entah dari apa.

"Yu-Yuki-chan. A-apa kau sakit?" tanya Beni gugup sekaligus cemas. Gadis yang dipanggil Yuki menggeleng pelan sambil menatap heran ke arah temannya. "Yu-Yuki-chan, tubuhmu bersinar aneh."

"Ap–?" Yuki segera melihat kedua tangannya yang entah kenapa bersinar. Dia lalu mengedarkan pandangan ke sekelilingnya dan seketika panik melihat semua orang di sekitarnya kini menatapnya. Dia segera melepas tarikan tangan Beni dan berjalan mundur perlahan. "Beni-chan, maaf," ucap Yuki kemudian berlari meninggalkan Beni.

"Yuki-chan?!"

Di sebuah fasilitas penelitian

"Hei! Apa yang kau lakukan?! Jangan membawa cahaya terang tiba-tiba di tempat ini! Subjek percobaannya bisa rusak!" tegur seorang wanita yang memakai kacamata berlensa tebal.

"Ke- Ketua. Kami tidak membawa cahaya apapun," sahut salah seorang pria yang berdiri didepannya.

"Ha?!"

"Ka-kami tidak membawa cahaya apapun tapi…." Pria itu terlihat menelan ludah gugup. "Tapi tubuh anda bersinar, Ketua."

Wanita yang merupakan ketua dari tim penelitan itu segera mengalihkan pandangannya dari subjek penelitian yang sedang dipegangnya dan mengedarkan pandangan menatap satu persatu bawahannya. "Kalian bicara apa–" ucapannya berhenti saat melihat bagian bawah kakinya – yang hanya tertutup sepatu boots sebatas betis – bersinar kebiruan. Wanita itu seketika terkesiap dan meletakkan subjek percobaannya ke atas meja di dekatnya. "Aku harus keluar, kalian lanjutkan sisanya!" titahnya kemudian keluar dari ruangan.

Di sebuah situs penambangan

"Heeiii! Matikan lampunyaaaa! Aku tau ini sudah pagiii, tapi kita baru bisa tidur dua jam yang lalu kannn. Ini di dalam guaaa, jadi tolong matikan lampunyaaa!" ucap seorang pria paruh baya dengan suara yang cukup keras dan nada suara yang sedikit mengantuk.

Beberapa menit berlalu tanpa ada jawaban.

"Heeii! Kalian mendengarku kan?! Matikan lampunya! Sekarang!" titah pria itu yang ternyata adalah bos para pekerja.

"B-Bos…" panggil seorang pemuda pelan.

"Hm. Loki kah? Kebetulan, cepat matikan lampu yang mengganggu ini. Pekerja yang lain tidak ada yang mendengarkanku. Benar-benar.."

"B-Bos, aku…" sahut Loki masih dengan suara pelan.

"Ada apa? Dan tolong matikan dulu lampunya!"

"Bos, tubuhku…. Tubuhku…"

"Ada apa dengan tubuhmu?"

"Tubuhku bersinar."

Jeda beberapa detik sebelum pria paruh baya itu membuka lebar kelopak matanya. "APA?!"

Di sebuah desa yang cukup sunyi

"Tetua! Tetua!" Panggil seorang pria sambil berlari terburu-buru memasuki sebuah rumah. "Tetua! Terjadi keanehan! Seluruh penduduk desa tiba-tiba bersinar!" lapor pria itu sambil berusaha menghirup oksigen sebanyak-banyaknya. Setelah nafasnya sudah agak teratur dia segera menengadahkan pandanganannya dan menatap seorang pria tua yang duduk diam di kursinya. Pria itu menatap tidak percaya, "ya ampun! Anda juga!".

Seorang wanita tiba-tiba berjalan mendekat dari dalam rumah. Tubuhnya juga bersinar kebiruan. "Ayah, apa ini artinya…" ucapnya sambil menatap wajah pria tua yang duduk di depan pria tadi.

"Ya. Beliau masih hidup," ucap pria tua itu sambil menghela nafas kemudian tersenyum lega.

Wanita tadi juga memasang senyum yang sama, "benarkah?! Benarkah itu, ayah?!"

Sambil mengangguk pria tua itu seketika berdiri, tubuhnya ditopang oleh tongkat kayu yang sejak tadi dipegangnya, "kumpulkan semua penduduk!" titahnya. "Kita harus bersiap-siap. Beliau akan datang segera."

Senyum lebar menghiasi wajah wanita yang kini mulai berjalan ke dalam rumah. "Aku harus memberi tahu anak itu. Dia pasti sangat senang!"

_Healers_


HEALERS

Kuroko no Basket © Fujimaki Tadatoshi-sensei

Story and OCs belongs to Miho Haruka

Rated: T+

Pairing: AkaKuro, etc.

Warning: BL, OOC, typo(s), gaje, OC, abal-abal, etc.

Genre : Adventure, Supernatural, little bit Romance

Summary: Kuroko hidup di hutan terpencil bersama beberapa orang yang memiliki nasib yang tidak seberuntung dirinya. Setelah berhasil mencapai ketenangan yang selama ini diimpikan oleh orang disekitarnya, tiba-tiba Kuroko menerima tamu yang tidak diduga di desa kecilnya. Kuroko di hadapkan oleh pilihan berat, belum lagi kepingan masa lalunya yang terus saja menghantuinya. Mampukah Kuroko melewati rintangan didepannya dan menemukan seseorang yang selama ini terus dicarinya?/Badsummary/BL/First Publish in FFn/


_Healers_

Rombongan Kuroko dan Akashi baru saja memasuki sebuah desa yang berada di sebelah selatan ibu kota. Saat memasuki desa itu, Kuroko merasakan firasat aneh. Sebenarnya firasat anehnya mulai muncul saat Kise dan Midorima menentang keras rombongan mereka melewati desa ini beberapa menit yang lalu. Tetapi karena saat Kuroko bertanya tentang alasan mereka menentang, Kise dan Midorima hanya diam tanpa ada niat untuk menjawab, Kuroko tetap memutuskan untuk melewati desa yang ternyata lebih mirip desa terabaikan itu. Keputusan Kuroko didasari karena menurut penjelasan Aomine, mereka akan lebih cepat sampai jika mengambil rute melewati desa ini.

Semakin memasuki desa, Kuroko semakin merasakan keanehan meski wajahnya tidak menunjukkan hal itu. Kuroko tiba-tiba menghentikan kudanya. "Kise-kun," panggil Kuroko. "Sekarang aku semakin penasaran dengan alasanmu dan Midorima-kun menolak melewati desa ini. Bisa kau jelaskan sekarang?" Kuroko melirik Kise yang saat ini sibuk mengalihkan pandangannya. Merasa Kise tidak berniat menjawab pertanyaannya, Kuroko mengalihkan pandangannya pada Midorima yang kini menyibukkan diri berbicara dengan kepala pasukan. Dia lalu mengedarkan pandangannya dan berhenti pada sosok bersurai merah di sampingnya.

"Ada apa, Tetsuya? Kau bisa bertanya apapun padaku," ucap Akashi. Samar-samar Kuroko bisa melihat seringaian tercetak jelas di wajah sang pangeran mahkota kerajaan itu.

Kuroko memilih mengalihkan pandangannya. Semburat merah perlahan mulai menghiasi kedua pipinya meski samar-samar. Saat ini dia merasa sedikit canggung berbicara dengan Akashi karena setiap melihat wajah pemuda bersurai merah menyala itu, otak Kuroko secara otomatis memutar memorinya tentang kejadian dua hari yang lalu.

Saat itu, Kuroko tidak biasanya bangun kesiangan. Dirinya sendiri pun tidak mengerti. Yang jelas, saat dia membuka mata hal pertama yang dilihatnya adalah wajah Akashi yang sedang tersenyum. Senyumnya tidak begitu lebar, tetapi entah kenapa di mata Kuroko wajah Akashi pagi itu terlihat sangat tampan. Semburat merah di pipi Kuroko datang tanpa diundang. Akashi kemudian menyapanya dan kembali tersenyum melihat wajah Kuroko hampir memerah sepenuhnya sekarang. Kuroko baru tersadar saat Akashi tiba-tiba mengelus surai baby bluenya pelan. Dia segera melepaskan kedua tangannya yang ternyata sejak tadi memeluk pinggang Akashi erat. Tanpa menunggu lama lagi, Kuroko segera bangkit keluar dari tendanya dan berlari menuju sungai yang berada tidak jauh dari lokasi kemah mereka. Kuroko tidak peduli lagi dengan reaksi Akashi saat dirinya dengan cepat keluar tenda, yang ada dipikirannya sekarang adalah menghilangkan semburat merah yang dipastikan menyelimuti wajahnya.

"Baiklah," putus Kuroko setelah terdiam cukup lama. "Aomine-kun, Kagami-kun. Tolong selidiki desa ini sekarang. Aku akan menunggu kalian disini," pinta Kuroko.

"Oke!" sahut Aomine dan Kagami bersamaan kemudian bersiap memacu kudanya.

"Tunggu Kuroko!" cegat Midorima cepat. Membuat Aomine dan Kagami yang sudah bersiap langsung menghentikan gerakannya.

"Ada apa, Midorima-kun?" tanya Kuroko kalem.

Midorima melirik ke arah Akashi yang tidak menunjukkan perubahan ekspresi atau niat untuk menghentikan Aomine dan Kagami. "Aku tidak menyarankan kalian melakukan hal itu nanodayo."

"Bisa jelaskan alasannya, Midorima-kun?" tuntut Kuroko.

Midorima terlihat ragu, "aku tidak bisa mengatakannya nanodayo."

Alis Kuroko berkedut samar. Sepertinya dia mulai kesal dengan tindakan pemuda bersuarai hijau ini. "Aku mengerti," ucap Kuroko membuat Midorima da Kise menghela nafas lega. "Aomine-kun, Kagami-kun. Selidiki desa ini hingga ke perbatasannya."

"Itu mudah!" sahut Aomine.

"Serahkan padaku!" ucap Kagami.

Ekspresi wajah Midorima dan Kise seketika menegang. Tadinya mereka mengira Kuroko akan mengubah rencananya dan memilih langsung melanjutkan perjalanan. Otak mereka akhirnya dipaksa cepat membuat keputusan.

"Akan aku jelaskan-ssu! Akan aku jelaskan-ssu!" pekik Kise sebelum Aomine dan Kagami benar-benar memacu kudanya. Kise berharap setelah mendengar penjelasan darinya, Kuroko akan mengerti dan benar-benar mengubah rencananya.

Tanpa sepengetahuan yang lainnya – minus Akashi tentunya –, Kuroko tersenyum puas dalam hati, berbanding terbalik dengan wajah Kise yang saat ini menunjukkan ekspresi nelangsa. "Seharusnya sejak tadi kau melakukan itu, Kise-kun."

Kise hendak mencibir tetapi langsung dihentikannya karena merasa ada aura menyeramkan dari pemuda bersurai merah terang sedang mengintainya saat ini. Kise menghela nafas. Berusaha menampilkan ekspresi serius di wajahnya. "Kuroko-cchi. Aku yakin Kuroko-cchi pasti sudah merasa ada yang aneh dengan desa ini sejak tadi kan-ssu?"Kuroko hanya membalas dengan mengangguk. "Sebenarnya ada sesuatu yang dirahasiakan di desa ini-ssu. Dulu desa ini seperti desa lain pada umumnya-ssu. Tetapi itu terjadi sampai beberapa tahun yang lalu saat kabut tebal dilaporkan mendekati ibu kota dari desa disebelah selatan-ssu. Karena merasa ada yang tidak beres, beberapa pasukan kerajaan diarahkan ke desa ini untuk menyelidiki apa yang terjadi-ssu. Tetapi menurut laporan dari seorang prajurit yang bertugas membawa pesan, desa ini diserang kawanan serigala-ssu. Dan setelah kabut tebal itu menghilang, tidak ditemukan seorangpun warga desa-ssu. Sejak saat itu, penduduk kerajaan tidak disarankan mendekati apalagi melewati desa ini-ssu." Kise mengakhiri penjelasannya. "Makanya, sebaiknya kita tidak berlama-lama berada di desa ini-ssu!"

Kuroko terdiam beberapa detik, terlihat sedang berpikir. "Kalau alasannya seperti itu, berarti tidak ada masalah." Kise dan Midorima menatap heran mendengar ucapan Kuroko. "Aomine-kun, Kagami-kun, temukan keberadaan serigala-serigala itu sekarang," titah Kuroko. Tanpa menunggu lama, Aomine dan Kagami segera bergerak. "Momoi-san, lakukan yang seperti biasa."

"Aku mengerti, Tetsu-kun," sahut Momoi kemudian turun dari kudanya dan berlari menuju pinggir jalanan. Seorang prajurit berinisiatif menarik tali kekang kuda Momoi agar tidak pergi.

Melihat ketiga temannya sudah bergerak, Kuroko segera turun dari kudanya dan membawa kudanya ke pagar sebuah rumah lalu mengikat tali kekangnya disana. Dia lalu mengalihkan pandangannya pada Kise, Midorima, dan Murasakibara yang sepertinya tidak punya bayangan tentang apa yang ingin dilakukan Kuroko dan yang lainnya.

"Kise-kun, Midorima-kun, ku sarankan kalian menunggu di perbatasan desa menuju ibu kota bersama pasukan kalian. Aku tidak bisa menjamin keselamatan kalian jika tetap berada disini." Kuroko lalu mengalihkan pandangannya pada Murasakibara." Murasakibara-kun, ikutlah bersama Kise-kun dan Midorima-kun. Kami akan menyusul setelah ini selesai."

"Apa yang ingin kalian lakukan nanodayo?" tanya Midorima.

Kuroko memilih mengabaikan pertanyaan Midorima dan memantapkan hati menatap wajah Akashi. "Akashi-kun, ku harap kau mengerti dan ikut menunggu di perbatasan bersama Kise-kun dan yang lainnya." Tanpa menunggu balasan Akashi, Kuroko segera berbalik dan berjalan ke arah Momoi. Dalam hati dia bersyukur mampu mengendalikan rona wajahnya di depan Akashi meski hanya beberapa detik.

"Momoi-san, aku akan –" ucapan Kuroko terhenti karena Akashi tiba-tiba memanggilnya.

"Aku akan membantu," sahut Akashi. Kuroko menatap wajah Akashi. Dari matanya, Akashi bisa menangkap Kuroko sedang bingung dengan ucapannya. Tersenyum samar, Akashi kemudian turun dari kudanya. Senyumnya semakin jelas saat manik dwiwarnanya menangkap rona merah yang samar di wajah Kuroko. "Kau akan melakukan hal yang sama dengan yang kau lakukan di desamu beberapa hari yang lalu, kan?" ucap Akashi. "Aku akan membantu."

Tanpa Kuroko sadari, Akashi kini berdiri disampingnya.

"Ryota, Shintarou. Lakukan apa yang Tetsuya katakan, aku akan menyusul bersama Tetsuya dan yang lainnya."

"Tapi–" sahut Midorima.

Akashi mengalihkan pandangannya pada Midorima. Tatapannya membuat Midorima bungkam.

"Aku mengerti nanodayo. Kise, kita ke perbatasan sekarang nanodayo," ucap Midorima setelah menghela nafas, pasrah.

"Tapi-ssu!" sahut Kise tidak setuju.

"Tidak ada tapi-tapian nanodayo. Kita berangkat!" titah Midorima pada pasukan di belakangannya.

Saat barisan belakang pasukan Akashi mulai menghilang dari pandangan. Aomine dan Kagami datang dari arah yang berlawanan.

"Kami menemukan mereka," lapor Aomine.

Kuroko menarik nafas, bersiap. "Akashi-kun, apa kau yakin?" jawaban yang diterima Kuroko adalah anggukan mantap dan tidak lupa seringai yang entah kenapa membuat Kuroko kesal. "Oke. Kita mulai sekarang."

_Healers_

"Apa kau yakin kita tidak perlu mencari mereka-ssu?" tanya Kise sedikit memekik. Sejak tadi dia terus berjalan mondar-mandir didepan Midorima yang tenang berdiri. "Ini sudah hampir sore dan mereka belum menyusul kita-ssu! Kau yakin kita boleh hanya menunggu disini-ssu? Kalau terjadi sesuatu bagaimana-ssu?! Kalau –"

"Diamlah, Kise," tegur Midorima. Sepertinya kesabarannya mulai habis menghadapi rekan pirangnya yang satu ini. Tangannya menggenggam erat tangkai bunga iris yang menjadi lucky itemnya hari ini. "Tenanglah nanodayo. Mereka akan kembali sebentar lagi nanodayo."

Mendengar ucapan Midorima, Kise menghentakkan kakinya tepat didepan Midorima. "Kau sudah mengatakan hal yang sama sejak sejam yang lalu-ssu! Dan kenyataannya mereka belum kesini-ssu!" ucap Kise sedikit emosi. "Memangnya kau tidak khawatir-ssu?"

Midorima menghela nafas, lelah dengan kelakuan rekannya. "Kita tunggu beberapa menit lagi nanodayo. Jika mereka masih belum datang, kita akan mencari mereka nanodayo," ucap Midorima sambil menaikkan ganggang kacamatanya." Bukan berarti aku khawatir nanodayo."

"Tapi bagaimana jika kita terlambat dan mereka–"

Ucapan Kise terhenti karena suara derap langkah kaki kuda terdengar mendekat. Kise lalu mengalihkan pandangannya ke arah asal suara. Dia segera berlari menghampiri rombongan kuda dan penunggangnya saat manik kuningnya menangkap siluet beberapa orang yang dikenalnya.

"Akhirnya kalian datang-ssu!" pekik Kise sambil memeluk Kuroko yang baru saja turun dari kudanya.

"Kise-kun, lepaskan," ucap Kuroko saat dirinya mulai merasa kekurangan oksigen.

Kise mengabaikan ucapan Kuroko dan semakin mengeratkan pelukannya. Kise tidak bisa menahan dirinya. Soalnya sejak berpisah dengan rombongan Kuroko dan Akashi beberap jam yang lalu perasaannya tidak enak dan beberapa adegan buruk terputar seenaknya didalam kepalanya.

"Ryota," panggil Akashi. Sepertinya dia sedikit kesal karena tindakan Kise. Kening Akashi berkedut saat beberapa detik berlalu dan Kise masih memeluk Kuroko. "Ryota!"

Baru setelah mendengar namanya dipanggil oleh Akashi untuk yang kedua kalinya, Kise tersadar dan segera melepaskan pelukannya dari Kuroko. Kuroko terbatuk pelan.

"Maaf, Kuroko-cchi," ucap Kise merasa bersalah telah membuat asupan oksigen Kuroko berkurang.

"Tidak masalah, Kise-kun," ucap Kuroko sambil menghela nafas pelan.

"Apa yang terjadi nanodayo? Bukan berarti aku peduli nanodayo," tanya Midorima sambil berjalan mendekati Kuroko dan Akashi yang kini berdiri disamping kuda mereka.

Kuroko melirik Aomine, Kagami, dan Momoi yang juga turun dari kudanya. "Sesuai dugaanku, penduduk disini sama seperti penduduk desa Yasushi."

"Apa maksud–" sahut Kise dan Midorima bingung.

"Kami sudah mengobati mereka. Dan mereka sudah kembali seperti semula. Tapi beberapa orang belum sadarkan diri. Akashi-kun sudah memberiku izin untuk meminta beberapa prajurit untuk tetap disini dan membantu penduduk desa. Jadi aku mohon kerja sama kalian, Kise-kun, Midorima-kun."

Midorima mengalihkan pandangannya pada Akashi, meminta penjelasan lebih. Tapi karena Akashi tidak menunjukkan tanda-tanda akan berbicara, Midorima akhirnya kembali menghela nafas. "Aku mengerti nanodayo. Aku akan memerintahkan pasukanku untuk tetap disini dan membantu penduduk desa nanodayo."

Kuroko tersenyum samar sekaligus lega. Dia berhasil menyelamatkan beberapa nyawa lagi setelah sekian lama. Meski Kuroko yakin efek negatif kekuatannya – menurut Kuroko sendiri – akan muncul, tapi untuk saat ini dia berusaha melupakannya dulu.

Melihat Kuroko sudah mulai bersikap seperti biasa, Akashi kembali menunggangi kudanya. "Karena masalah disini sudah beres, sebaiknya kita segera ke istana."

_Healers_

"Nanami-sama! Nanami-sama!" panggil seorang pemuda sambil menghampiri kuda berbulu hitam yang sedang ditunggangi seorang gadis bersurai baby blue. Karena gadis itu tidak merespon panggilannya, pemuda bersurai hitam itu langsung mengarahkan kuda tunggangannya ke samping kuda gadis itu. "Nanami-sama!" panggilnya lagi.

Gadis yang dipanggilnya akhirnya mengoleh ke arah pemuda itu. "Mou! Izuki-kun! Sudah ku bilang kan berhenti memanggilku dengan imbuhan '-sama' kalau yang lainnya tidak ada!" tegur Nanami sambil mengerucutkan bibirnya, kesal.

Izuki hanya bisa membalas dengan senyum dipaksakan. "Tapi Nanami-sama–" satu delikan tajam dari Nanami membuat Izuki terdiam seketika. "Oke. Nanami," ucap Izuki akhirnya. Nanami membalasnya dengan senyuman manis.

"Ada apa, Izuki-kun?" tanya Nanami masih dengan senyuman manisnya.

Izuki menoleh ke sosok pemuda lain dibelakangnya. "Kau lupa ada Himuro-san disini."

Seperti baru menyadari sesuatu, Nanami segera menoleh ke arah Himuro yang sedang tersenyum maklum dan berada tepat di belakangnya. Nanami berdehem. "Dia pengecualian," ucapnya. Izuki memandangnya dengan alis naik sebelah. Nanami berdehem lagi. "Itu saja yang ingin kau katakan, Izuki-kun?"

"Ah! Bukan! Itu, kurasa…. Sepertinya, tubuhmu bersinar lagi, Nanami," jawab Izuki sambil menunjuk kedua tangan Nanami yang sedang memegang erat tali kekang kuda.

Nanami segera mengalihkan pandangannya ke kedua tangannya dan tersentak kaget melihat kulitnya kembali bersinar. "Sejak kapan–?"

"Kurasa sejak beberapa menit yang lalu." Himuro menjawab pertanyaan Nanami. "Apa anda baik-baik saja, Nanami-sama?"

Nanami terdiam masih dengan menatap kedua tangannya yang bersinar. "Ini gawat," gumamnya pelan.

"Nanami?" panggil Izuki. Melihat ekspresi Nanami saat ini, Izuki bisa menyimpulkan sesuatu yang buruk mungkin akan terjadi.

"Himuro-kun, berapa lama lagi kita akan mencapai istana kerajaan?" tanya Nanami cepat.

"Setelah melewati desa di depan, dan berjalan sejauh satu kilo meter, kita akan sampai di Ibu Kota. Setelah itu, aku bisa menunjukkan rute tercepat sampai ke istana jika anda menginginkannya," jawab Himuro.

Nanami kembali terdiam, terlihat sedang berpikir keras. "Kita harus bergegas. Jika tidak, semuanya akan terlambat." Setelah mengucapkan itu, Nanami langsung memacu kudanya menuju desa yang dimaksud Himuro.

Izuki dan Himuro yang tidak diberi kesempatan untuk bertanya tentang apa maksud ucapan Nanami hanya bisa ikut memacu kudanya mengikuti kuda hitam Nanami yang sudah membuat jarak cukup jauh dengan kuda mereka.

_Healers_

Rombongan Kuroko dan Akashi berlajan memasuki sebuah gerbang besar dengan berbagai ornamen hiasan yang memubuat gerbang itu semakin terlihat megah. Saat masih asyik mengamati keadaan disekitarnya, sayup-sayup Kuroko mendengar teriakan seseorang.

"Pangeran dan rombongannya sudah kembali! Pangeran dan rombongannya sudah kembali!"

Kuroko langsung mengalihkan pandangannya pada pemuda bersurai merah menyala yang sejak tadi berjalan bersisian dengannya.

Merasa sedang diperhatikan, Akashi menoleh ke arah Kuroko. Kedua pasang manik mereka saling mengunci satu sama lain sampai Kuroko mengalihkan pandangannya dan menatap gedung megah di depannya. Akashi tersenyum samar melihat tingkah Kuroko. Apalagi saat manik dwiwarnanya menemukan semburat merah kembali menghiasi wajah datar itu, senyumannya semakin tercetak jelas di wajahnya dan semakin lama berubah menjadi seringaian. "Ada apa, Tetsuya?" Akashi memutuskan bertanya meski dirinya sudah tau apa yang ingin dikatakan pemuda bersurai baby blue yang masih berusaha mengalihkan perhatiannya itu.

"Hm?" gumam Kuroko pura-pura bingung. "Tidak ada apa-apa, Akashi-kun."

Akashi mendengus pelan sambil kembali tersenyum, dalam hati baru menyadari ternyata sosok pujaannya ini bisa bersikap seperti ini juga. "Kalau kau merasa baru saja disadarkan oleh kenyataan bahwa aku benar-benar pangeran kerajaan ini, tenang sa–"

"Aku tidak mengerti maksudmu, Akashi-kun," elak Kuroko cepat. Malu mengakui ucapan Akashi memang benar.

"Kau tidak perlu malu, Tetsuya," balas Akashi. Ada nada menggoda dari suaranya.

"Ap–! Aku tidak–" Kuroko gelagapan sementara semburat merah semakin memenuhi wajahnya.

Saat masih sibuk memikirkan kata-kata untuk mengelak dari tuduhan Akashi – dan berusaha menghilangkan semburat merah di wajahnya –, seorang pelayan pria paruh baya mendekati kuda Kuroko dan Akashi yang ternyata sudah berada di depan pintu masuk istana.

"Selamat datang kembali, Seijuurou-sama," sapa pelayan itu sambil menundukkan tubuhnya dihadapan Akashi. Pelayan itu kemudian menegakkan tubuhnya dan menghadap ke arah Kuroko. "Selamat datang, Tetsuya-sama," sapa pelayan itu sambil melakukan hal yang sama seperti yang dilakukannya pada Akashi.

Kuroko memandang pelayan itu dengan wajah datar. Semburat merah yang tadi menghiasi wajahnya sudah hilang tak berbekas. Akashi menangkap tatapan bingung dari kedua manik biru langit Kuroko.

"Tetsuya, perkenalkan. Dia Masato, pelayan pribadiku," ucap Akashi.

"Domo, Masato-san," sapa Kuroko sambil menunduk sopan.

Saat Kuroko sedang sibuk menyapa Masato, Akashi turun dari kudanya dan berjalan menghampiri sisi kiri kuda Kuroko. Setelah Kuroko menyapa pelayan pribadinya, Akashi mengangkat kedua tangannya ke arah Kuroko dan memberi kode pada Kuroko untuk turun dari kudanya.

Tanpa menunggu lama dan seperti sudah biasa, Kuroko menyambut uluran tangan Akashi untuk membantunya turun tanpa ada rasa canggung sama sekali.

"Punggungmu baik-baik saja? Kau tidak kesakitan kan, Tetsuya?" tanya Akashi dengan suara lembut sambil mengelus pelan punggung Kuroko.

"Aku baik-baik saja, Akashi-kun," balas Kuroko dengan wajah yang menunduk. Semburat merah lagi-lagi menghampiri wajahnya meski tentu saja samar-samar.

Beberapa pelayan yang ikut menyambut kedatangan Akashi bersama Masato didepan pintu istana tercengang menyaksikan sikap Pangeran mereka pada pemuda bersuarai baby blue yang baru pertama kali mereka lihat.

"Setelah ini aku harus menghadap Otou-sama terlebih dahulu," ucap Akashi masih memperhatikan Kuroko. Mencoba mendeteksi apakah Kuroko berbohong padanya.

Mendengar Akashi akan bertemu ayahnya, Kuroko langsung menengadahkan kepalanya. "Aku ikut!" sahut Kuroko cepat.

Akashi terdiam beberapa saat. "Tidak," putusnya.

Kuroko tidak segera membalas tapi pandangannya menyiratkan ketidaksetujuan.

"Tugasmu sekarang adalah istirahat, Tetsuya," titah Akashi.

"Tapi–" Kuroko masih terlihat tidak terima.

"Tetsuya," panggil Akashi sambil memaku manik biru langit didepannya. Mereka saling bertatapan cukup lama tapi tidak ada satupun yang memberi tanda akan menyerah. Kuroko ternyata lebih keras kepala dari yang Akashi bayangkan. Jika saja Masato tidak sengaja berdehem untuk mengalihkan perhatian keduanya, mungkin Akashi dan Kuroko masih akan saling menatap sambil mempertahankan pendapat mereka masing-masing hingga waktu yang tidak diketahui sampai kapan. "Masato," panggil Akashi akhirnya.

Paham dengan maksud tuannya, Masato segera menoleh ke barisan pelayan wanita yang berada dibelakangnya. Seorang wanita tiba-tiba melangkah maju dari barisan paling belakang. Dia lalu berhenti tepat di samping Kuroko. Kuroko yang menyadari ada sosok lain disampingnya segera menoleh dan memandang bingung ke arah pelayan wanita yang bersurai hitam itu.

"Dia Yukine. Mulai saat ini dia bertugas sebagai pelayan pribadimu," ucap Akashi.

"Salam kenal, Tetsuya-sama," sapa Yukine sambil membungkuk hormat.

"Ap–?!"

"Yukine, segera antar Tetsuya-sama ke kamarnya untuk berisitirahat," titah Masato.

"Ha'i," sahut Yukine.

Kuroko menatap Akashi tidak mengerti. "Apa? Pelayan pribadi? Kenapa?" ucap Kuroko semakin tidak mengerti.

"Kau akan membutuhkannya, Tetsuya," balas Akashi.

"Aku tidak–" kalimat Kuroko terputus karena dirinya baru menyadari satu hal. "Tunggu. Kemana Aomine-kun, Kagami-kun dan Momoi-san?" tanya Kuroko saat sadar tiga sosok teman masa kecilnya tidak terlihat.

"Kau tenang saja, Tetsuya. Shintarou dan Ryota yang akan mengurus mereka." Setelah mengatakan itu, Akashi berjalan memasuki pintu istana diikuti Masato dan beberapa pelayan wanita lainnya. Meninggalkan Kuroko yang terdiam masih dengan perasaan campur aduk dan Yukine yang setia berada disampingnya.

Melihat tuannya masih terdiam di tempatnya tanpa ada tanda-tanda akan beranjak, Yukine mengambil inisiatif. "Tetsuya-sama, ke arah sini," panggilnya sambil menunjuk koridor yang cukup megah disebelah kanan pintu masuk istana.

"Kita akan kemana?" tanya Kuroko. Kini ekspresi datar andalannya telah kembali terpasang di wajahnya.

Yukine menunduk sopan, mempersilahkan Kuroko untuk berjalan duluan. Setelah Kuroko melangkah Yukine mengikuti dari belakang. "Kita akan ke ruang istirahat milik Tetsuya-sama yang sudah disiapkan oleh pelayan istana."

Mengangguk mengerti, Kuroko mengikuti semua arahan yang diberikan Yukine padanya. Saat dirinya melewati koridor yang dihiasi berbagai macam tanaman herbal di sekelilingnya, Kuroko merasakan perasaan nostalgia.

"Tempat ini terasa tidak asing," gumam Kuroko pelan sambil memperhatikan beberapa tumbuhan herbal yang sudah sangat dikenalnya. Langkah Kuroko terhenti ketika manik biru langitnya menangkap sebuah lukisan yang sangat tidak asing. Dia lalu berjalan menghampiri lukisan itu. "Kenapa lukisan ini ada disini?" tanya Kuroko.

Yukine yang tidak mengerti alasan tuannya tiba-tiba bertanya seperti itu hanya bisa mengkerutkan kening. "Maaf, Tetsuya-sama. Sepengetahuan saya, lukisan ini sudah dipajang di tempat itu sejak dulu."

"Benarkah?" sahut Kuroko tidak percaya. Yukine hanya membalasnya dengan mengangguk. Sekarang Kuroko yang mengkerutkan alis – meski samar dan tidak tertangkap oleh sepasang manik hitam milik Yukine–, seingatnya lukisan ini hanya ada satu dan Akashi telah memberikan lukisan itu padanya saat mereka masih kecil dulu.

"Tetsuya-sama?" panggil Yukine saat lagi-lagi Kuroko tidak menunjukkan tanda-tanda akan bergerak dari tempatnya berdiri. Yukine merasa sudah cukup lama tuannya itu berdiri sambil memandang lukisan di depannya.

Kuroko berkedip beberapa kali saat mendengar panggilan Yukine. Sepertinya sejak tadi dia tenggelam didalam pikirannya sendiri. Dia lalu menoleh memandang Yukine yang salah satu tangannya mengarah lurus ke depan, tanda jalan yang sekarang harus diambil Kuroko adalah koridor di samping kirinya.

"Aku mengerti. Maaf membuatmu menunggu," sahut Kuroko kemudian melangkah menuju arah yang ditunjuk Yukine.

_Healers_

Akashi kini memasuki ruangan kedua terluas dari semua ruangan di istana. Setelah melewati pintu, Akashi masih harus berjalan beberapap puluh meter lagi agar sosok yang ingin ditemuinya tertangkap manik dwiwarnanya. Suasana ruangan itu masih sama sejak Ratu kerajaan ini mendadak tidak sadarkan diri karena penyakitnya. Benda-benda yang menghiasi ruangan itu juga tidak ada yang berubah.

"Kau sudah kembali, Seijuurou." Suara seorang pria yang penuh wibawa terdengar saat Akashi berdiri tepat didepan singgasana Raja.

Akashi menunduk sejenak, memberi hormat pada ayahnya. "Ha'i, Otou-sama."

Sang Raja terlihat tersenyum samar. "Sepertinya aku tidak perlu bertanya tentang misi yang ku berikan padamu, Seijuurou."

"Tetsuya sekarang sedang berada di kamarnya, Otou-sama," lapor Akashi.

Akashi Takahiro, ayah Akashi Seijuurou sekaligus raja kerajaan ini, mengangguk pelan. Dia lalu mengalihkan pandangannya pada kedua mentrinya yang bersurai hijau lumut dan bersurai kuning. "Dia sudah datang. Percepat persiapannya. Sepertinya kita tidak punya banyak waktu lagi," titah Takahiro.

"Segera kami laksanakan/ -ssu!" sahut Midorima Satoya – ayah Midorima Shintarou, dan Kise Naoki – ayah Kise Ryota.

"Yang Mulia, kami mohon undur diri," pamit Satoya yang dibalas dengan anggukan setuju dari Takahiro.

Setelah Satoya dan Naoki meninggalkan ruang singgasana raja, fokus Takahiro kembali pada putra semata wayangnya yang masih tetap berdiri tegak beberapa meter didepan singgasananya.

"Otou-sama, ada yang ingin ku bicarakan," ucap Akashi sambil memandang wajah ayahnya serius.

Takahiro sedikit banyak paham apa yang sedang dipikirkan anaknya saat ini. Tetapi sebelum mendengarkan apa yang ingin dikatakan penerusnya itu, ada satu hal yang perlu dia lakukan. Takahiro lalu mengarahkan telapak tangannya ke arah anaknya, mengisyaratkan Akashi untuk menunggu sebentar. Sepasang manik merahnya menatap Masato yang sejak tadi setia berdiri dibelakang Akashi. "Masato, siapkan susu vanila dan kudapan untuk Tetsuya dan bawakan ke kamarnya. Aku yakin dia pasti kelelahan." Takahiro melirik anaknya, "apalagi setelah menempuh perjalanan yang tidak direncanakan sebelumnya."

Akashi hanya memandang datar tanpa ekspresi meski ayahnya jelas-jelas menyindirnya secara halus.

Masato mengangguk mengerti, "Baik, Yang Mulia." Setelah menunduk pamit, sosok Masato menghilang dengan cepat dari pandangan Takahiro.

"Apa yang ingin kau katakan Seijuurou?" tanya Takahiro akhirnya.

Akashi kembali memandang wajah ayahnya. Setelah terdiam beberapa detik, Akashi menghela nafas pelan. Di dalam kepalanya sudah tersusun kalimat yang ingin disampaikan pada ayahnya sejak awal bertemu Kuroko. "Otou-sama, aku–"

"Mohon izin, Yang Mulia," sahut seorang prajurit penjaga pintu ruang singgasana raja tiba-tiba, membuat Akashi terpaksa menelan sisa kalimatnya.

Akashi mendelik ke arah prajurit itu dengan aura yang luar biasa gelap menyelimutinya. Prajurit itu langsung bergidik takut dan menangkap dengan jelas pesan tersirat yang disampaikan Akashi lewat tatapan matanya.

'Kau cari mati?!'

Prajurit itu terlihat mulai gemetar ketakutan. "Mo-mohon maafkan kelancangan hamba," ucap prajurit itu sambil berjongkok dengan salah satu lutut menyentuh lantai dan kepala ditundukkan sedalam-dalamnya.

"Hentikan itu, Seijuurou," titah Takahiro sambil menatap anaknya. Mendengar perintah ayahnya, Seijuurou langsung mengalihkan pandangannya dari prajurit yang semakin gemetar ketakutan itu. "Ada apa?"

Sebelum menjawab pertanyaan rajanya, prajurit bersurai coklat itu terlihat menelan ludah. "Ha'i. Lapor Yang Mulia. Seorang gadis bersurai baby blue dan dua orang pengawalnya datang untuk menemui anda. Katanya dia ingin berbicara sesuatu yang sangat penting dengan Yang Mulia."

Raut terkejut sejenak tercetak di wajah Takahiro. Sedangkan Akashi hanya mengkerutkan alisnya, bingung.

Nanami?, batin Akashi.

"Persilahkan dia masuk," titah Takahiro.

"Baik, Yang Mulia." Setelah menunduk pamit, prajurit itu segera berlari menuju pintu ruang singgasana.

Takahiro kini memandang putranya. Menanyakan tindakan Akashi selanjutnya lewat tatapan mata.

"Aku tetap disini, Otou-sama."

Semenit kemudian, sosok gadis bersurai baby blue dan dua sosok pemuda tertangkap dalam pandangan Raja dan Putra Mahkota.

"Apakah anda Takahiro-sama?" tanya gadis itu cepat tanpa memberi salam pada sang raja terlebih dahulu.

Dalam hati Akashi sedikit memuji tindakan gadis itu yang sepertinya tidak takut ataupun tunduk pada ayahnya.

Takahiro sedikit terganggu dengan sikap gadis muda didepannya ini pada dirinya. Tetapi melihat kedua manik biru langit yang memandangnya lurus itu, Takahiro langsung menangkap maksud kedatangan gadis itu bukan karena hal sepele.

"Ya, benar. Aku Takahiro, Akashi Takahiro," balas Takahiro.

Setelah mendengar balasan Takahiro, gadis itu langsung menunduk hormat diikuti dua pemuda dibelakangnya. "Salam, Takahiro-sama. Saya Kuroko Nanami, anak Kuroko Tsuyoshi dan Kuroko Miyu, serta adik dan pelindung Kuroko Tetsuya-sama dari Klan Kuroko."

Takahiro mengangguk mengerti. Dia lalu memandang dua pemuda yang masih berdiri diam di belakang Nanami.

Izuki dengan pandangan tidak percaya terus memandang ke depan, ke arah singgasana Ratu yang berada disebelah singgasana Raja sementara Himuro sejak tadi terus menunduk memandang lantai di bawahnya. Sepertinya mereka berdua masih tidak menyangka akan bertemu Raja secepat ini.

Paham maksud dari pria paruh baya di depannya, Nanami segera menyenggol tubuh Izuki dan Himuro, meminta mereka memperkenalkan diri. Tetapi sepertinya kenyataan yang ada didepan mereka tidak bisa diolah dengan cepat oleh otak mereka, mereka hanya bisa diam dan mengabaikan kode yang diberikan Nanami.

Menghela nafas, Nanami berdehem pelan. "Mohon maaf atas sikap kedua pengawal saya, Takahiro-sama. Sepertinya mereka masih belum percaya bisa melihat sosok anda dari dekat. Izinkan saya memperkenalkan mereka." Nanami mengarahkan tangan kirinya pada Izuki. "Dia Izuki Shun dan dia," kali ini tangan kanan Nanami mengarah pada Himuro, "Himuro Tatsuya. Keduanya adalah pengawal saya dari Desa Yosei."

Takahiro mengangguk. Dia lalu kembali memaku pandangannya pada Nanami. "Jadi kau Nanami, ya. Aku sudah mendengar semuanya dari Tsuyoshi. Kau bisa serahkan sisanya padaku."

Ucapan Takahiro membuat Akashi lagi-lagi mengkerutkan alisnya, bingung. Apa yang direncanakan kedua orang ini?, batin Akashi kesal. Baru kali ini ada sesuatu yang diketahui ayahnya tetapi tidak diketahuinya. Terlebih lagi sesuatu itu sepertinya menyangkut Tetsuya-nya.

Nanami tersenyum mendengar ucapan Takahiro. "Senang mendengarnya, Takahiro-sama."

"Hm." Takahiro membalas senyuman Nanami meski samar-samar. Dia kembali memandang Nanami lekat. "Setelah kuperhatikan, kau benar-benar mirip dengan Miyu, Nanami. Apalagi kedua matamu itu. Aku jadi bertanya-tanya apakah kakakmu mirip dengan Tsuyoshi…."

"Saya tersanjung anda mengatakan saya mirip dengan Okaa-san. Tetapi untuk Onii-san, saya ragu dugaan anda sesuai, Takahiro-sama," balas Nanami.

Tanpa diduga-duga, terlebih lagi oleh Akashi, Takahiro tertawa setelah mendengar ucapan Nanami. "Aku jadi semakin tidak sabar bertemu dengan kakakmu. Oh, iya. Aku yakin kalian pasti lelah." Takahiro mengalihkan pandangannya pada pria tua yang ternyata sejak tadi berdiri di samping salah satu pilar ruangan, tertutup oleh bayang-bayang pilar. "Tanaka, siapkan ruangan untuk tamu-tamuku ini," titah Takahiro.

"Siap, Yang Mulia," sahut Tanaka.

"Ikuti Tanaka dan kalian akan menemukan ruangan nyaman yang bisa kalian gunakan untuk beristirahat," ucap Takahiro sambil menatap Nanami dan dua pengawalnya. Dia lalu melirik ke arah Akashi yang sepertinya mulai kesal. "Aku masih harus berbicara dengan Putra Mahkota."

"Terima kasih, Yang Mulia," sahut Nanami lalu mengikuti Tanaka yang sudah menunggunya beberapa langkah menuju pintu ruang singgasana.

Setelah Nanami, Izuki, Himuro, dan Tanaka keluar dari ruangannya, Takahiro menarik nafas, bersiap berbicara sesuatu yang serius – sepertinya – dengan anak semata wayangnya. "Jadi, apa yang ingin kau bicarakan Seijuurou?"

_Healers_


Thanks for your review, follow and fav. It's supporting me.

Yak! Saya disini membawakan chapter terbaru~
Saya harap chap ini memuaskan minna-san to senpai tachi ^^

Tetap ikutin FF ini ya….

So, mind to review?

TBC