Mungkin hanya angin yang mampu membelai dua hati yang terpenjara sepi

.

.

.

Kamus Besar Bahasa Shinobi―

sepi /se•pi/ adj. 1 sunyi; lengang; 2 tidak ada orang; tidak banyak tamu; tidak ada kegiatan; tidak ada apa-apa; tidak ramai; 3 dianggap tidak ada apa-apa; tidak dihiraukan sama sekali.

kesepian /ke•se•pi•an/ noun. 1 keadaan sepi; kesunyian; kelengangan; 2 perasaan sunyi (tidak berteman dsb);

.

.

.

Oranye kemerahan.

Itu warna langit Konoha sekarang. Pendar-pendar magis yang menandakan tibanya waktu senja. Matahari baru saja terbenam dan hari sudah semakin gelap. Lampu-lampu mulai dinyalakan, bersiap menyambut malam yang akan tiba.

Di salah satu jalanan Konoha, tampak seorang kunoichi berseragam jounin tengah melangkahkan kaki ringan. Menyusuri sudut-sudut desa yang tak begitu ramai seorang diri.

Angin bertiup perlahan, menerbangkan helaian lembut berwarna pirang pucatnya yang dikuncir ponytail. Kunoichi itu mengeratkan rompi jounin-nya. Udara menjelang malam terkadang bisa membuatnya menggigil kedinginan.

Gadis itu mendongakkan wajah. Menyesap aroma senja yang entah sejak kapan telah menjadi sahabat terbaiknya. Sepasang aquamarine-nya terbuka, menatap langit di barat sana.

Warna oranye ini ... mengingatkannya pada kostum seorang pemuda legendaris yang kini menjadi selebriti paling populer di seantero dunia shinobi. Ya, sosok bernama Uzumaki Naruto yang dielu-elukan sebagai salah satu pahlawan Perang Dunia Shinobi Keempat.

Gadis bersurai pirang itu tiba-tiba menggelengkan kepalanya. Ia tidak begitu berminat mengingat-ingat hal yang tak menyenangkan untuk dikenang. Sepasang bola mata birunya terpejam. Mencoba mengusir bayangan tentang perang yang menyisakan kepingan patah-patah bagi seorang Yamanaka Ino.

.

.

.

.

Perang dunia shinobi memang telah berlalu. Situasi berangsur aman dan seluruh dunia pun terus berbenah.

Kakashi telah diangkat menjadi Hokage menggantikan Putri Tsunade. Di sana-sini, Desa Konoha juga tak henti membangun diri. Well, menjadi lebih modern dengan bangunan dan gedung-gedung yang menjulang tinggi. Ino ragu, apakah ini akan masih dapat disebut Desa Daun Tersembunyi atau Desa Daun Tidak Lagi Tersembunyi. Hahaha.

Ehm! Sebaiknya ia menghentikan pemikiran anehnya jika tidak mau arwah Hokage pertama atau Uchiha Madara menghantui tidur malamnya. Lagi pula keadaan sudah jauh lebih aman dan damai. Tak ada musuh berarti sejauh ini.

Dan gadis itu selalu berharap demikian.

Ino sendiri sudah bergabung dengan Divisi Intelijensi, mengikuti jejak sang ayah. Jam kerjanya dimulai dari siang hingga malam hari. Pagi hari, ia masih sempat membuka toko bunganya sampai jam sebelas, kemudian bersiap-siap. Jam satu siang ia sudah masuk kantor. Jam tujuh malam terkadang ia sudah bisa pulang. Tapi terkadang pula ia masih berkutat hingga tengah malam.

Namun kali ini, ia pulang lebih awal.

Usai mengunjungi makam ayah dan gurunya yang selalu rutin ia lakukan sepulang kerja, kunoichi blonde itu berjalan tak tentu arah. Sementara di atas sana, langit sedang cerah. Bintang-bintang bertaburan.

Hari sudah benar-benar malam.

.

.

.

.

Ino terduduk lesu. Ia sudah berputar-putar mengitari desanya dan berakhir dengan terduduk lemah di bawah sebatang pohon yang cukup rindang.

Angin malam berembus perlahan. Seperti akan mengiris-iris hatinya.

Gadis itu menunduk. Belakangan ini, terasa ada yang mengusik di benaknya. Ini pula yang membuatnya melakukan hal-hal konyol seperti berkeliling desa tanpa tujuan dan berakhir dengan terduduk seperti ini.

Ia tahu, sangat tahu malah. Semua ini tidak seperti dirinya yang biasanya.

Yah. Bagaimana ia bisa menjadi seperti biasanya jika setiap kali ia membuka mata dan menghirup udara, dirinya selalu terkenang pada mendiang ayahnya—dan gurunya?

Ia hanya sedang sedih. Siapa bilang Yamanaka Ino tidak boleh mellow dan bersedih? Juga rindu, teramat sangat rindu pada ayah serta gurunya.

Tapi ia cukup gengsi untuk menunjukkan sisi lemahnya di hadapan orang lain. Ohoho, harga dirinya tak mengizinkan itu. Maka, berjalan-jalan seorang diri selepas jam kantor seolah menjadi rutinitas favorit keduanya setelah mengunjungi makam ayahnya.

Seluruh penjuru dan sudut-sudut desa selalu mengingatkannya pada kedua figur yang amat berarti baginya. Ia pikir, ia akan dapat menghapus kekosongan di dadanya dengan berjalan-jalan seperti tadi. Tapi ... kenapa perasaan hampa itu tak jua lenyap?

Ino mendesah keras.

Gadis itu teringat lagi kenangan-kenangan masa lalunya ketika ia tidak pernah merasakan perasaan asing seperti ini. Terutama saat dirinya berada dalam satu tim bersama Shikamaru dan Chouji, juga saat mereka menerima misi, berlatih bersama-sama, pun saat mereka begitu kompak menjalankan formasi ino-shika-chou dengan Shikamaru sebagai pengatur strategi, juga saat―Ino tidak mampu mengingat lagi saking banyaknya.

Sekarang, masing-masing dari mereka telah tumbuh dewasa dan memiliki kehidupan sendiri-sendiri. Shikamaru disibukkan dengan urusan-urusan pemerintahan yang tentu sangat merepotkan. Chouji disibukkan dengan rentetan misi ke negara-negara tetangga. Percaya atau tidak, dia sudah seperti seorang diplomat sekarang.

Ino senang dan bangga dengan pencapaian kedua sahabatnya. Tentu saja Ino senang, bahkan sangat senang. Tapi terkadang, perasaan sedih dan rindu sialan ini menelusup ke sudut-sudut hatinya.

Kheh. Bahkan semenjak dirinya masih di akademi, ia tidak pernah seperti ini. Ada banyak hal yang bisa dilakukannya dibanding duduk terdiam dan melamunkan hal tak jelas. Sejak dulu, ia selalu punya banyak teman dan melakukan beragam hal bersama mereka. Berlatih dan mengulang pelajaran akademi, menggosip banyak hal, atau berbagi suka dan duka.

Ah, ia jadi teringat pada Sakura. Bagaimana awal mula mereka berteman, lalu bertindak bodoh dengan menjadi saingan gara-gara pemuda Uchiha—ugh, menyebutkan nama ini membuat perasaan Ino jadi tidak nyaman—hingga kemudian keduanya kembali berteman akrab.

Sakura kecilnya sudah benar-benar mekar sekarang.

Bibir gadis pirang itu melengkung. Ia tersenyum. Tapi Sakura-nya itu juga semakin sibuk dengan urusan medis dan rumah sakit―gadis pink itu menjadi salah satu penanggung jawabnya sekarang. Dan tentunya, Sakura juga disibukkan dengan urusan orang itu.

Ino tersenyum lagi. Namun sedetik berikutnya, menghela napas.

Yah, dia sendirian sekarang.

Ino benci mengakuinya.

Ia sendirian. Dan kesepian. Hei, bukankah Yamanaka Ino paling tidak bisa kesepian?

Gadis itu mengubah sikap duduknya dan mencoba bersikap seperti biasanya. Ia menggeleng beberapa kali mencoba mengusir kegundahan hatinya.

Sejurus kemudian, ia mulai mengedarkan pandang. Ia tidak begitu memperhatikan ke mana kakinya melangkah tadi. Sekarang, sepasang aquamarine-nya menelisik lebih teliti sedang di mana ia berada.

Gadis Yamanaka itu segera tersadar.

Heh? Ini kan―

Astaga!

Ia berjengit.

―lapangan tempat latihan Tim Tujuh!

Ada baaanyak tempat strategis di Konoha untuk sekedar duduk melamun seperti tadi, tapi mengapa ia malah kemari? Ke tempat ini? Malam-malam begini?

Hei, dia tidak ke sana hanya gara-gara alam bawah sadarnya terkenang pada Sasuke kan? Gadis itu segera merutuki dirinya saat perasaan tak nyaman kembali muncul hanya karena menyebutkan nama pemuda Uchiha itu.

Tidak.

Tidak boleh.

Sialnya, perasaan sedih dan kesepian itu semakin menghantam dadanya.

Ino mengepalkan tangan. Menguatkan diri sendiri. Ia meraih sekepal batu. Dengan kekuatan penuh, dilemparnya batu tersebut sekuat mungkin ke dalam hutan, bermaksud melepas kemelut hatinya.

Saat itulah tiba-tiba—

Bletak!

"Aaakh!"

—terdengar suara beruntun yang mencurigakan.

Kunoichi pirang itu terkejut dan mengerutkan kening.

Hah? Siapa di sana?

Dengan gerakan cepat, Ino segera bangkit dan memasang kuda-kuda, sementara sebelah tangannya merogoh kantung shuriken-nya. Meski ini masih di dalam wilayah Konoha, namun sebagai kunoichi ia harus selalu waspada.

Namun kerutan itu hilang tatkala ia melihat sosok bayangan yang perlahan muncul dari balik kegelapan malam. Tampak seorang pemuda rambut eboni yang tengah meringis memegangi kepalanya.

Heh?

"Kau—"

.

.

.

.

.

BREEZE (Angin sepoi-sepoi)

Naruto milik Masashi Kishimoto

CANON SETTING POST WAR
OOC, TYPO, EYD, RUSH

Sebuah fiksi untuk kamu
Sai x Ino

ditulis hanya untuk hiburan
tidak untuk keuntungan apa pun

.

.

.

.

.

Ino mengerjap sesaat.

Sai?

Gadis pirang itu segera mengembalikan shuriken-nya ke kantung semula dan cepat mendekat dengan raut khawatir. "Astaga! Maaf, maafkan aku. Kau tidak apa-apa?"

Hoho, Ino memang ceroboh dan suka seenaknya. Tapi tak disangka, kali ini pun tingkahnya memakan korban.

Sai hanya tersenyum meringis, "Tidak apa-apa, err ... Ino-san."

Ino mengerutkan dahi mulusnya lagi—sedikit merasa aneh mendengar pemuda mantan Anbu itu mengucapkan namanya. "Kau benar tidak apa-apa?" tanyanya lagi. Insting medic-nin membuatnya terbiasa memastikan jika korbannya benar tidak kenapa-kenapa.

Gadis Yamanaka itu bisa melihat Sai mengangguk dengan ringisan kecil di bibirnya. Yah, mungkin dia memang tidak kenapa-kenapa.

Namun melihat ekspresi polos pemuda itu, tiba-tiba saja Ino jadi ingin mengomel. Seolah mendapat tempat untuk mencurahkan beban yang sedari tadi menggerogoti benaknya, kunoichi cantik itu mencerocos panjang lebar, "Lagi pula kau ini, apa yang kau lakukan malam-malam begini di tempat ini? Bisa-bisanya terkena lemparan batu kunoichi sepertiku. Kau itu ninja atau bukan sih?"

Sai menggaruk kepalanya perlahan. Ia terlihat sedikit bingung mendapat omelan tiba-tiba. Namun masih dengan senyum standarnya, pemuda itu menjawab, "Aaa, aku memang sering kemari."

Baiklah, Ino segera melupakan tindakannya dan lebih tertarik mendengar jawaban pria berambut eboni itu barusan. Ia mengerutkan dahi lagi dan bertanya dengan nada penasaran, "Are? Kau sering kemari? Apa yang kau lakukan di sini?" Gadis Yamanaka itu segera melihat perabotan yang dibawa pemuda kulit pucat itu. "Wow, kau ... melukis? Malam-malam begini?"

Sekali lagi, Sai hanya mengangguk. "Ino-san sendiri sedang apa di tempat seperti ini malam-malam begini?"

Eh?

Punggung Ino menegak.

Sial. Sedang apa dirinya? Daripada mengomeli Sai, bukankah sebaiknya kau bercermin dulu, Ino? jerit inner-nya.

Ino berdehem, "Yah, aku hanya berjalan-jalan saja mengelilingi Konoha dan—tak sengaja lewat sini." Gadis Yamanaka itu memasang senyum. Walau ia tahu, senyumnya terlihat hambar.

"Hm, begitukah?"

Suasana hati yang sedang buruk membuat Ino jadi lebih cepat kesal mendengar respons Sai. Ia berujar jengkel, "Hm! Memang harusnya bagaimana?"

"Aaa ... maaf. Karena tadi kulihat Ino-san hanya duduk saja di bawah pohon. Kupikir Ino-san sedang memikirkan sesuatu."

Heh? Dia melihatku tadi? Sial, dia tidak melihatku menangis juga, kan? batin Ino mulai rusuh.

"Y-yah, aku capek jadi aku duduk sebentar mengistirahatkan tubuh," Ino segera mengambil alih pembicaraan. Ia tidak mau terus-terusan dicecar cowok mirip Sasuke ini. "Kau sendiri? Melukis apa di tempat seperti ini, kalau aku boleh tahu?"

"Itu hanya lukisan biasa." Tanpa beban, Sai menunjukkan goresan di kertas sketsanya.

Err, Ino tak yakin itu lukisan apa. Dan sepertinya gadis itu harus menyalahkan pemuda kulit pucat yang membuatnya banyak mengerutkan kening malam ini. Astaga, padahal kerut kan musuh kecantikan!

Ino kemudian mengalihkan tatapannya pada Sai.

Ajaibnya, sebelum ditanya, Sai menjelaskan, "Ini hanya pemandangan hutan sebelah di saat malam."

Ino manggut-manggut. Pantas saja ia tidak tahu. Memangnya apa yang kauharapkan dari gambar hutan malam hari?

Sai merapikan kembali gulungan kertas sketsanya. Kemudian, ia menatap Ino, masih dengan tatapan polosnya, "Daripada itu, apakah kecapekan bisa membuat seseorang menitikkan air mata?"

Eeeh?

EEEEEEHH?

Ino berjengit.

Sial, ternyata Sai benar-benar melihatnya menangis! Padahal Ino paling tidak suka dilihat orang lain menangis. Benar-benar tidak suka. Sangat tidak sukaaaaaa.

Tapi untuk saat ini mau bagaimana lagi? Akan lebih konyol jika ia berpura-pura kelilipan debu, atau berdalih jika yang dilihat Sai hanya permainan cahaya bulan, atau mengatakan alasan-alasan tak masuk akal lainnya.

Ino menarik napas. Lalu balas menatap Sai lurus. Ia memaksakan senyum sedikit. "Hm, yah," gadis itu memutuskan jujur, "sebenarnya tadi aku sedikit teringat pada ayah, juga guruku. Makanya aku sempat menitikkan air mata. Sedikit sedih memang, tapi sekarang tidak lagi."

Gadis Yamanaka itu memang tidak mengharapkan respons berarti dari pemuda yang terkenal tak mengenal emosi tersebut. Namun ia sedikit terkejut mendengar tanggapan Sai.

"Maaf, seharusnya aku tidak menanyakannya," tutur pemuda berambut hitam itu dengan nada rendah. "Aku turut berdukacita untuk ayah dan gurumu."

Ino lagi-lagi tersenyum. "Terima kasih, tapi aku sudah tidak apa-apa. Lagi pula, bukan hanya aku. Shikamaru juga kehilangan ayahnya."

"Shikamaru teman setimmu?"

"Hm."

"Belakangan ini kulihat, ia lebih sering bersama Temari-san."

Hah? Benar juga. Ino baru memikirkannya. Shikamaru yang malas itu punya 'seseorang' untuk berbagi dan mungkin bisa membantunya melupakan rasa kehilangan dan kesepian.

Lalu aku? Ino melihat dirinya sendiri.

Sekali lagi ia menggelengkan kepala. Tidak, tidak. Seperti bukan dirinya saja bermuram durja segala.

Namun kalimat Sai selanjutnya membuat gadis Yamanaka itu terdiam.

"Aku tidak tahu rasanya punya ayah. Jadi tidak begitu mengerti bagaimana rasanya kehilangan ayah. Tapi pasti menyakitkan sekali bukan?"

Ino termenung.

Tidak pernah punya ayah?

Ino tidak tahu, siapa yang lebih beruntung di sini. Apakah dirinya yang sempat punya ayah lalu kehilangan. Ataukah pemuda di sampingnya yang tak sempat merasakan punya ayah jadi tak perlu merasakan sakitnya kehilangan?

Untuk beberapa saat, keheningan yang aneh mengambil alih pembicaraan mereka.

Sai terlihat sedang berpikir. Beberapa saat kemudian, ia mengeluarkan suara, "Bukankah Sakura-san dan Ino-san bersahabat? Jika seseorang sedang bersedih, bukankah temannya akan menghiburnya?"

Well, Ino merasa dirinya harus siap terkejut kapan saja. Dibanding saat-saat dulu, Sai memang terlihat jauh lebih hati-hati dalam berbicara. Tapi tetap saja, banyak hal tak terduga yang tiba-tiba terlontar dari pemuda di depannya ini. Entah dari mana pula Sai mendapat pemikiran seperti itu, dan entah mengapa pula menanyakan pada Ino di saat seperti ini.

Namun gadis Yamanaka itu memilih tak memusingkannya. Ia berkata, "Aku baik-baik saja. Lagi pula Sakura sedang dipusingkan dengan urusan-urusan medis dan aku tak ingin merepotkannya."

Ya, selain tidak suka dilihat menangis, seorang Yamanaka Ino juga tidak suka dikhawatirkan orang lain.

Hening kembali.

Ino terpekur lagi. Tiba-tiba ia merasa terheran mendapati dirinya bercakap-cakap sedemikian rupa dengan salah satu teman satu tim Sakura.

O-oke. Ia baru menyadari betapa awkward-nya situasi mereka saat ini. Namun gadis itu segera membantah dalam hati. Hei, ini bukan hal aneh sebenarnya. Ingat, dia supel bukan? Sebelumnya mereka juga pernah ngobrol, walau hanya sepintas lalu.

Ino berusaha tidak mengingat saat-saat di mana ia pernah bersikap begitu genit di hadapan pemuda kulit pucat ini. Tapi sepertinya Sai tidak ingat?

Baiklah. Sebaiknya ia segera mengganti tema pembicaraan.

"Kau sendiri? Kenapa sering kemari? Apa melukis pemandangan hutan di malam hari sudah menjadi hobi barumu saat ini?" Ino mencoba sedikit berkelakar.

Namun sedetik kemudian ia merasa selera humornya begitu buruk ketika melihat raut wajah Sai yang tiba-tiba terlihat sedikit—sangat sedikit—sedih?

"Aku kemari karena tak ada tugas yang harus kulakukan." Sai kembali menatap Ino, "Ino-san benar. Sakura-san sepertinya sedang sibuk, aku jadi tidak berani mengganggunya. Lagi pula ada seseorang yang harus lebih diperhatikan olehnya."

Ino mengerutkan kening lagi―oh, sudah berapa kali dia melakukan ini?—mendengar Sai tiba-tiba menyebutkan nama rekan setimnya yang juga sahabat Ino.

"Sedangkan Naruto selalu sibuk latihan atau menerima misi. Jika tidak dalam misi, ia akan merenung dan menyendiri yang mana sebenarnya tidak cocok untuk ninja bersemangat sepertinya. Sesekali, dia terlihat pula sedang bersama Hinata-san. Aku juga tidak enak mengganggu."

Ino mulai bisa menduga arah pembicaraan ini. Gadis itu berdehem ketika Sai tidak lekas meneruskan kalimatnya. "Naruto sudah lebih dewasa sekarang," komentarnya.

Sai mengangguk kecil. "Kakashi-sensei juga disibukkan dengan tugas Hokage-nya."

Itu benar sekali. Jika Ino terkadang berkunjung ke kantor Hokage, ia bisa melihat tumpukan dokumen yang menunggu untuk diselesaikan dengan wajah mengantuk Kakashi di baliknya. Tapi, jangan salah, tumpukan yang berada paling dekat dengan pria Hatake itu adalah icha-icha series. Huh, dasar Hokage mesum!

"Ketua Yamato dan Taro-senpai sibuk dengan susunan ANBU yang baru. Sedangkan Danzo-sama ... beliau sudah tiada."

Ino tidak begitu mengenal Ketua Yamato dan orang-orang dari ANBU. Dan ya, sebejat apa pun Danzo, Sai tetap menganggapnya orang tua sekaligus gurunya, tapi Danzo pun sudah tiada.

Ino menyimpulkan, "Jadi ... kau juga kesepian?"

Sai menolehkan kepalanya ke arah gadis blonde itu dan memandangnya dengan tatapan tanya, "Kesepian? Apa yang seperti ini dinamakan kesepian?"

Spontan, Ino tertawa kecil. Setengahnya karena merasa lucu dengan kepolosan pemuda kulit pucat itu yang tidak mengakui jika dirinya sedang merasa kesepian. Separuhnya lagi, ehm, jujur, Ino merasa sedikit lega karena ternyata tidak hanya dia saja yang merasa kesepian. Ups, ia terdengar jahat sekarang.

Tawa Ino mereda. Tak disangka, berbincang-bincang dengan pemuda ini membuatnya melupakan sejenak kegundahan hatinya.

Tiba-tiba gadis itu mengerutkan kening. Selintas ide terbersit begitu saja di benaknya. Bukankah mereka berdua sama-sama kesepian?

Kalau begitu ...

"Hei."

Sai menoleh lagi.

Ino mengulurkan tangannya dengan senyum hangat di bibir. "Bagaimana kalau kita berteman?"

Sai menatap Ino dengan sepasang bola mata oniks-nya. Sesaat, Ino merasa sedikit terganggu karena warna bola mata itu mengingatkannya pada seseo―ah lupakan.

Pemuda kulit pucat itu masih memandangi Ino. Kemudian bibirnya bergerak, "Teman?"

Ino baru tahu, ternyata Sai suka mengulang kalimat lawan bicaranya. Gadis itu mengangsurkan tangannya lebih dekat. "Hm, kau sedang kesepian. Dan kau tahu, aku juga kesepian. Aku bisa jadi temanmu. Kita bisa berteman, supaya tidak merasa sendirian lagi seperti ini."

Gadis Yamanaka itu seperti merasa salah lihat ketika wajah pemuda di hadapannya yang biasanya tanpa emosi, kini terlihat sedikit lebih cerah. Tanpa banyak kata, Sai langsung menyodorkan tangan pucatnya.

Keduanya bersalaman.

Oke, ini mulai terlihat aneh. Dan untuk mengusir keanehan itu, Ino berujar, "Sekarang kita teman." Tak lupa, sebaris senyum tulus mampir di bibirnya.

"Terima kasih, Ino-san."

Ino tertawa kecil, "Panggil Ino saja."

Entah teringat buku yang pernah dibacanya atau apa, Sai tiba-tiba bergumam, "Ino-chan ... ." Kemudian ia menolehkan kepalanya ke arah Ino dengan tatapannya, "Boleh memanggil begitu?"

Wow.

Ino cukup speechless dengan sikap clueless pemuda ini. Tapi ia tahu, Sakura sering bercerita jika Sai sering tidak begitu mengerti arti dari tindakannya di mata orang lain.

Gadis itu lalu mengibaskan tangan dan berkata riang tanpa beban, "Boleh saja." Ia lalu menjentikkan jarinya, "Asal kau tahu, dulu kau pernah memanggilku Nona Cantik."

Raut wajah Sai berubah. Ia terdiam dan kelihatan berusaha mengingat-ingat.

Melihat itu, Ino tertawa lepas.

Wuusssss.

Angin malam tiba-tiba berhembus. Ino menghentikan tawanya. Gadis itu segera menundukkan kepala sambil memegangi rambutnya agar tidak berantakan. Namun, beberapa helai pirangnya tetap saja ada yang beterbangan.

"Ugh, aku tidak begitu suka angin malam," gadis Yamanaka itu menggerutu kecil dan menunduk lebih dalam.

Namun begitu ia mendongak, ia mendapati sesuatu yang membuatnya tak peduli lagi pada angin malam.

Di depannya, seorang pemuda berkulit pucat tengah menatapnya dengan tatapan takjub. Saat aquamarine Ino balas menatapnya, tiba-tiba saja pemuda itu tersenyum tulus dengan bibir melengkung, membuat sepasang oniks-nya menyipit nyaris tak terlihat.

Dan Ino semakin tak peduli pada angin malam ketika telinganya mendengar sekali lagi kata yang sama dengan yang diucapkan pemuda itu beberapa tahun lalu.

"Indah ... ."

.

.

.

.

Ada banyak hal dalam hidup ini yang bisa membuat seorang Yamanaka Ino tersenyum.

Saat ia mendapat peringkat pertama di akademi, lalu saat ayahnya menghadiahinya satu set kunoichi kit paling fashionable karena lulus akademi dengan nilai terbaik, juga saat ia mendapat kupon belanja gratis di toko baju Konoha, pun saat bunga tulip kesukaannya mekar.

Ia juga tersenyum lebar saat sahabatnya Shikamaru dinyatakan lulus ujian chuunin, saat Chouji akhirnya sembuh dan keluar dari rumah sakit, saat ia merayakan selesainya misi bersama Tim 10, saat memasangkan pita merah di rambut pink Sakura, saat pertama kalinya ia berhasil merangkai seratus bunga dalam sehari, dan masih banyak lagi.

Tapi, ia tidak menduga.

Saat melihat Sai tersenyum seperti ini padanya, membuat gadis Yamanaka itu ingin balas tersenyum juga.

.

.

.

TBC

.

.

.


A.N:

YES! I'm Ino-cent, SaiLover, and InojinAddict! Totally-helplessly-deeply-madly-crazy-in-love-with-this-lovely-family :*

Penasaran tingkat akut gimana asal-usul munculnya bocah se-cute Inojin ke dunia! Tapi hint pasangan unyu ini dikit banget di manga. Jadinya malah berimajinasi begini. Anggap aja di sini Ino sudah tak punya ayah-ibu (plak)

Maafkan aku telah mem-publish imajinasi absurd dan penuh kekurangan ini. Terima kasih banyak jika ada yang menyempatkan membaca, ataupun berminat menumpahkan unek-unek di kolom review :D

God bless you :)

.

.

.

.

.

words meaning taken from kbbi-web-id—