"Karena 'ku tak ingin menyanyi lagu lagu sedih.
Karena 'ku tak ingin menyanyi lagu.. Lagu sedih."
Disclaimer:
Boboiboy milik Animonsta
Era cuma pinjem chara-nya doang kok~
Daan... Fanfiction ini dibuat hanya untuk kesenangan saja~
Soundless Voice, Proof of Life and Endless Wedge by Kagamine Len and Kagamine Rin
The Story is mine! XD
Warning : Sho-ai! (Kalau tidak suka silahkan tekan tombol back. Be a smart reader, okay? *smile*), typo (maybe), AU, chara-death, chara KnB nyempil dikit~ (si Midorin~ buat jadi dokternya~) buat self-challenge crossover Chara~ jadi mohon dimaklumi~ Arigatou! *ojigi*.
Pairing : Boboiboy x Fang / Fang x Boboiboy (terserah sudut pandang para readers sekalian..)
Genre : Romance, Hurt / Comfort, Tragedy and of course Humor!
Disarankan untuk mendengarkan lagu Endless Wedge dari Kagamine Len selagi membacanya~
.
This Endless Wedge
"I just want to hold you one more time, to feel your hand within mine
Although I know that where you are is somewhere I can't find
But still this little piece of, just a single word of "regret" in my mind
It will be holding me apart
Like a wedge inside my heart"
.
Kenapa gelap sekali? Dimana aku? Apa aku sudah mati? Pertanyaan itu beputar-putar di kepala bermahkota ungu miliknya itu. Kepalanya serasa dicengkram dengan kuat. Rasanya mau pecah.
Tarik nafas pelan-pelan. Keluarkan. Ulangi kembali.
Kepalanya sudah tidak sesakit tadi. Sekarang, pekan-pelan buka mata. Fang memberi komando untuk dirinya sendiri.
Pertama kalinya ia membuka mata, yang ia lihat hanya putih dan ia bisa mencium bau bau menyengat dari obat obatan. Ia masih hidup. Ia masih bernafas. Ia masih bisa bergerak. Ia masih bisa melihat. Ia masih bisa mendengar. Ia sudah tau semua itu.
"Hei! Akhirnya kau sadar juga! Perkenalkan aku Gopal! Yang pakai kaca mata itu Ying! Yang pakai kerudung itu Yaya! Salam kenal! Oh iya! Siapa namamu?" Suara berat seorang laki laki menyapa indera pendengarannya. Itu bukan suara Boboiboy, suaranya tidak mungkin seberat itu. Menggeleng pelan, berusaha melupakan kejadian paling berat di hidupnya itu. Menoleh ke arah kanan dan menemukan tiga orang–satu laki laki dan dua perempuan–berusaha mengingat kalimat panjang itu. Pemuda berbadan besar itu pasti Gopal, gadis berkaca mata itu pasti Ying, lalu gadis berkerudung merah jambu itu Yaya.
"Halooo, boleh kita tau siapa namamu?" Tanya Gopal sambil melambai lambaikan tangannya di depan wajah Fang, menyadarkannya dari lamunannya.
"...Fang." Mulutnya bergerak, tapi tidak ada suara yang keluar.
"Maaf, kami tidak bisa mendengarmu." Kini giliran Yaya yang angkat bicara.
"Namaku... Fang." Ia tidak dapat lagi mengeluarkan suara. Ia sudah tidak bisa berbicara lagi. Ia tidak tahu hal itu.
Eh? Suaraku kenapa tidak mau keluar? Tangannya perlahan bergerak ke lehernya, menyentuh tempat dimana pita suaranya disimpan. Mencoba mengatakan beberapa kata-kata sederhana. "Aa.." Masih tidak keluar. Pita suaranya tidak bergetar. Apa yang terjadi?! Kenapa tiba-tiba suaraku tidak bisa keluar?!
"Ah su-sudah! Jangan memaksakan diri! Akan kupanggilkan dokter!" Pemuda bernama..siapa tadi? Gopal? Iya, Gopal, berlari keluar memanggil seorang dokter. Sedangkan dua gadis yang lainnya, kalau tidak salah namanya Ying dan Yaya, menatapnya dengan tatapan kasihan. Tatapan itu membuatnya muak. Melihat kesekeliling, Fang menemukan sebuah notes kosong dan pulpen di meja yang ada di samping ranjangnya. Disambarnya kedua benda malang itu, menuliskan sebuah kalimat di atas kertas notes itu lalu menunjukkannya ke arah Yaya dan Ying.
'Tidak perlu mengasihaniku begitu. Jadi, berhentilah menatapku dengan tatapan seperti itu.' Terkesan kasar memang, tapi itu memang ciri khasnya.
"A-ah, maaf, aku tidak tahu.." Setelah Ying mengatakan hal itu, kedua gadis itu mencari kesibukan masing-masing.
Keadaan di ruangan itu jadi sepi–
BRAAAKK
–sebelum pintu itu dengan kurang ajarnya dibuka oleh pemuda bekulit gelap berbadan gendut tadi.
"AKU BAWA DOKTERNYA!" Teriakannya juga luar biasa keras. Kalau punya suara malah dibuang-buang seperti itu, lebih baik kasih aku saja. Fang membatin, berusaha sekuat tenaga untuk tidak mencekik pemuda tambun itu. Di belakang Gopal, ada dokter berambut hijau lumut dengan tangan kiri yang...diperban atau diisolasi? Entahlah. Dokter itu mengenakan pakaian layaknya dokter pada umumnya.
"Siapa namamu–nanodayo?" Apa tadi? Nanodayo? Yang keluar di kepalanya hanya permen dengan rasa yang aneh itu. Eh? Itu Nano-nano. Oke, lupakan.
Dengan gesit, tangannya menuliskan beberapa alphabet di atas notes-nya, lalu menunjukkannya ke dokter berambut lumut itu. Di kertas itu tertulis dengan huruf kapital nama-nya 'FANG'
"OOOHH! JADI NAMAMU FANG?!" Ditatapnya si gembul berisik itu dengan wajah yang kelewat datar lalu mengangguk singkat. Ingin rasanya ia kemposi (?) badan gendut Gopal itu.
"Hmm.. Fang, apa yang kau rasakan?"
'Kesal. Aku tidak bisa bicara lagi seperti sebelumnya. Memang apa lagi?'
"Baiklah.. Ayo ikut aku ke ruang terapi. Disana akan ada psikiater yang akan memeriksamu." Setelah berkata seperti itu, dokter lumutan (?) itu beranjak pergi dari tempatnya semula.
Tunggu sebentar, sepertinya ada yang mengganjal.
Ditariknya dengan agak kasar jas putih milik dokter berbulu mata lentik itu, membuat sang empu berbalik. "Ada apa–nanodayo?"
Suara gesekan di atas kertas terdengar. Setelah selesai menulis, Fang menunjukkan notes-nya yang berisi pertanyaan yang ingin dia tanyakan semenjak dokter itu masuk.
'Kenapa celana dokter warna-nya pink dengan motif polkadot merah begitu?'
Semua mata menuju objek yang ditanyakan. Memang, sang dokter mengenakan atasan seperti dokter yang lainnya jangan lupakan jas panjang putih yang memang adalah jas milik dokter tapi...kenapa celananya pink polkadot merah?!
"Oh.. Ini... Ini lucky itemku hari ini–nodayo."
Krik
Krik
PFFFFTTT...
Semua orang yang ada di ruangan itu menahan tawanya.
"Ya sudah, ayo cepat ke ruang terapi–nanodayo!" Fang mengangguk lalu dengan patuh mengikuti dokter ber-klorofil itu.
.
Setelah hampir SATU jam diperiksa, akhirnya Fang diperbolehkan untuk beristirahat. Sampai di kamarnya, Fang langsung teringat perkataan dokter berkacamata tadi.
"Tidak ada masalah dengan pita suara-mu... Tapi, alasan kenapa kau mendadak bisu itu masih belum diketahui pasti.. Sebaiknya kau banyakkan istirahat, mungkin saja ada keajaiban. Percayalah pada takdir-mu, berjuang keras lah, pasti akan ada jalan keluarnya. Dan, jangan lupa bawa lucky itemmu–nodayo."
Oke, yang terakhir itu tidak perlu.
Gopal, Yaya dan Ying sudah izin untuk pulang. Mereka berjanji besok akan kembali bersama dengan guru mereka. Siapa namanya? Ah, entahlah, kepalanya sudah mulai berdenyut sekarang. Lebih baik dia beristirahat dulu.
Setelah membuat dirinya senyaman mungkin di ranjangnya, ia mencoba menutup matanya–dengan maksud ingin tertidur. Tapi sayang, bukannya membawanya ke alam mimpi, ia malah teringat kembali kejadian saat Boboiboy meregang nyawa tepat di depan matanya dan ia tidak bisa melakukan apapun. Perlahan namun pasti, ia merasa bulir-bulir air matanya mulai mengalir. Kenapa aku menangis lagi? Ia menghapus air matanya dengan lengannya. Keinginannya untuk tidur sudah tidak ada lagi. Ia turun dari kasurnya, mengambil notes dan pulpen di atas meja lalu berjalan keluar.
Setelah ia berada di luar kamarnya, ia mengamati sekeliling, dalam satu lorong panjang kira-kira ada 20 pintu dan 1 kamar mandi di pojok kanan. Di pojok kiri ada tangga yang ia yakini akan menuju atap rumah sakit. Ia mulai melangkahkan kakinya ke sembarang arah. Di pikirannya sekarang ada berbagai macam pertanyaan. Jika aku disini, dimana Boboiboy sekarang? Apa masih di ruang otopsi atau... Sudah dikuburkan di pemakaman umum?
Rentetan pikirannya itu berhenti saat ia sadar kalau sekarang ia sudah ada di taman rumah sakit. Kelopak bunga berjatuhan dengan lebat. Saat mendongakkan kepalanya, ia dibuat terpana dengan pemandangan yang disuguhkan –mungkin lebih tepatnya pada bunga White Periwinkle yang berguguran.
–"Fang! Di kepalamu ada kelopak bunga white periwinkle!"
"Hah? Mana? Tolong ambilkan..."
"Ini!"
"Terima kasih..."
"Ne, ne, Fang! Kau tahu tidak makna dari white periwinkle sendiri?"
"Hah? Memangnya apa?"
"White Periwinkle itu sendiri berarti—"
'Memori yang membahagiakan. Bersamamu, membuatku melupakan segalanya'
Dengan senyum getir di bibirnya, ia memutuskan untuk segera kembali ke kamarnya sambil berusaha melupakan kenangan itu. Tanpa menyadari adanya sosok tak kasat mata sedang menatapnya sendu dengan sebuah senyuman tipis. 'Maafkan aku, Fang'
.
Dengan terpaksa, Fang membuka matanya karena cahaya yang masuk terlalu terang. Mengerjap pelan, membiasakan matanya dengan cahaya yang masuk sambil menggeliat pelan.
"Ah, selamat pagi–nanodayo. Apa aku membangunkanmu–nodayo?" Fang menggeleng pelan sambil terus memperhatikan gerak-gerik dokter yang kemarin memakai celana pink dengan motif polkadot berwarna merah yang katanya adalah lucky item cancer hari itu. Ngomong-ngomong soal lucky item, Fang jadi penasaran dengan lucky item sang dokter hari ini. Diambilnya notes dan pulpen yang ada disana lalu menuliskan sebuah kalimat dan menunjukkannya pada dokter di depannya.
'Jadi.. Lucky item dokter hari ini apa?'
"Lucky item cancer hari ini adalah..." Dokter hijau itu membungkuk, mengambil suatu barang lalu mengangkatnya di depan Fang. "...Ini."
Krik
Krik
Krik
WHAT THE— SNIPER?!
Fang hanya mengangguk ragu, tidak yakin ingin membalas apa. 'Harusnya aku nggak tanya tadi...'
"Ah iya, lucky item Aries hari ini adalah kamus. Bla bla bla..." Dokternya malah nyerocos sendiri. Ingin sekali Fang menghentikannya, tapi apa daya, suaranya saja tidak keluar.
"Dan ingat, kau harus menjauhi orang orang dengan zodiak—"
BRAAAKK
"PAGI FAAANG!" Akhirnya... Rasanya ingin sekali Fang melompat dari kasurnya lalu menerjang Gopal dan memeluk si gendut itu erat.
Tapi Fang hanya mengangguk pelan. Jika ia benar-benar melakukannya, hancur sudah harga dirinya. Bisa-bisa Boboiboy akan menertawakannya dengan sangat keras sampai mengeluarkan airmata.
"Ya sudah, kalau begitu aku permisi dulu–nanodayo."
"Oke! Terima kasih dok!"
Hening. Setelah sang dokter yang kelebihan klorofil itu pergi, tidak ada yang mengangkat suara. Sebelum Fang mengangkat notes-nya.
'Ada apa?'
"Ah, iya! A-apa kau mau ikut kami sebentar?" Tanya Yaya.
'Kemana?'
"Sudah! Ikut saja!" Si gembul itu membantunya turun lalu menuntunnya ke suatu tempat yang entah ia tahu kemana.
.
Dan disinilah dia, di depan sebuah kuburan dengan batu nisan bertuliskan namanya. 'Boboiboy'
Mungkin ia harus mensyukuri wajahnya yang selalu datar. Karena jika sekarang Gopal, Yaya dan Ying melihatnya menangis, mau ditaruh kemana harga dirinya nanti?
Tapi yang tidak nyaman... Tatapan ketiga orang itu. Ingin rasanya ia mengambil gunting lalu mencongkel tiga pasang mata yang sedari tadi mengamatinya itu. "Fa-Fang? Kau baik-baik saja?" Tanya satu-satunya gadis berkerudung disitu. Dengan cepat dibalas oleh Fang dengan anggukan.
Segera ia membalikkan badannya memunggungi batu nisan itu lalu menulis pada note yang ia bawa dari rumah sakit. 'Ayo pulang. Badanku masih sakit semua.'
"A-ah, iya! Ayo! Lewat sini, Fang!"
.
Akhirnya penderitaannya selesai. Fang bisa beristirahat dengan tenang di kamar rawatnya.
'Jadi... Boboiboy benar-benar sudah mati ya?'
Helaan nafas panjang keluar dari bibirnya. 'Mungkin kah jika aku merindukannya? Aku hanya ingin tertawa bersamanya seperti dulu lagi..'
'Apa aku bisa melakukannya lagi?' Pikirannya dipenuhi pertanyaan-pertanyaan yang sama sampai akhirnya ia memasuki alam mimpi untuk yang kedua kalinya dalam hari ini.
Tanpa ada siapapun yang tahu, ada sesosok bayangan berbaju putih tersenyum pahit melihat keadaan Fang. 'Maafkan aku Fang. Tapi aku yakin kau pasti bisa bangkit lagi dari keterpurukanmu...'
.
Jika dihitung dari kejadian itu, sekarang sudah hampir satu tahun dan Fang belum bisa mengembalikan suaranya karena dokter lumutan itu keburu pindah ke fandom sebelah buat jadi pemain basket.
Karena yang namanya kebosanan itu sepertinya sudah sangat membencinya, Fang terpaksa harus mencari kegiatan baru untuk dilakukan agar dia tidak mati kebosanan.
Seperti sekarang ini... Membantu para suster di rumah sakit mengawasi sekumpulan pasien kecil yang nakalnya minta ampun.
Tapi khusus hari ini, dia tidak bisa berkonsentrasi mengurusi calon-calon mafia kecil (itulah julukan yang selama ini ia gunakan untuk pasien kecil yang ditanganinya.) yang sedang asik mengerjai dokter baru mereka. Kenapa? Karena hari ini... Sudah genap satu tahun ia dirawat di rumah sakit ini... Itu artinya... Sudah genap setahun pula Boboiboy meninggalkannya...
"—Fang?"
Merasa namanya dipanggil, Fang menoleh ke arah suara yang memanggilnya. 'Ternyata Ying toh...'
'Ada apa?'
"Kau kelihatan banyak pikiran... Sebaiknya kau istirahat saja. Biar aku dan Yaya yang urus anak-anak."
Mengangguk singkat sambil menggerakkan bibir untuk mengucapkan sebuah 'Terima kasih' yang tak mungkin bisa didengar oleh lawan bicaranya. Dengan segera ia meninggalkan Ying bersama calon-calon mafia kecil itu dan juga dokter barunya.
Tapi bukannya kembali ke kamarnya, Fang malah naik ke atap rumah sakit. 'Hitung-hitung untuk menenangkan diri lah..'
Sesampainya disana, ternyata Fang tidak sendirian. Ada lima anak—kembar?—sedang bersantai sambil bermain-main disana. 'Boboiboy?! Tidak-tidak! Itu tidak mungkin!" Menggeleng pelan, Fang berusaha menghilangkan pikiran anehnya itu. Setelah beberapa menit tidak disadari keberadaannya, akhirnya anak berbaju merah-hitam itu menoleh ke arahnya. Iris ungu Fang bertubrukan dengan iris merah menyala anak itu. Mereka saling bertatapan selama beberapa detik.
—Sampai kembarannya yang beriris biru muda mengamit lengan si anak berwajah judes yang beberapa detik lalu saling adu tatap dengannya.
"Ada apa, kak Hali? Kenalanmu?" Anak yang dipanggil 'Kak Hali' menggeleng, lalu kembali mengamati Fang yang berjalan mendekat tanpa sepatah katapun—tentunya.
"Ada apa?" Tanya anak yang lainnya pada Fang. Kali ini kembaran yang beriris emas menatapnya dengan penuh selidik. Fang tidak menghiraukannya, ia kembali berjalan sampai kepagar pembatas lalu bersandar disana sambil mengamati lima anak ajaib di depannya yang sedang menatapnya dengan tatapan sadis (?)
Fang menghela napas pelan lalu mengambil sobekan kertas dan sebuah pulpen. "KAK AIR! DIA KIRA, KAK! HATI-HATI!" Tiba-tiba anak yang beriris oranye berteriak kesetanan (?) lalu menerjang anak yang disebut 'Kak Air' olehnya—Sambil menghujani Fang dengan tatapan ganas tentunya. Sedangkan 'Kak Air' sendiri hanya menghela napas lalu menjitak pelan kepala si iris oranye (?) "Blaze, berhentilah menonton anime itu.. Ah, lepaskan aku. Dan berhenti memanggilku 'Air', aku punya nama." 'Blaze' hanya mendengus kesal lalu dengan berat hati melepas pelukannya.
—Baiklah, kembali ke lajur awal cerita. Dari mana tadi? Ah iya...
Menghiraukan teriakan aneh bin ajaib si 'Blaze', Fang mulaii menuliskan sesuatu di kertas itu.
'Aku pasien disini.. Dan.. Aku disini ingin mencari udara segar.. Itu saja...'
Setelah yakin semua anak itu sudah membaca apa yang ia tuliskan, Fang menulis sesuatu di kertas itu lagi.
'Dan... Aku bukan 'KIRA' yang kau katakan tadi. Aku punya nama, namaku Fang.'
Pernyataan itu ditujukan untuk anak yang tadi dipanggil 'Blaze' oleh 'Air'. Sedangkan 'Blaze' hanya tertawa renyah.
'Kalian siapa?'
"Ah iya! Perkenalkan! Kakak bisa memanggilku Gempa." Ujar si iris emas.
"Namaku Halilintar, Kak Fang." Kali ini si judes yang tadi adu tatap dengannya angkat suara.
"Kak Fang! Perkenalkan! Namaku Taufan!" Sekarang anak beriris biru yang tadi memanggil Halilintar dengan sebutan 'Kak Hali' memperkenalkan diri dengan penuh semangat.
"Namaku Blaze, kak Kira! Eh, maksudku Kak Fang!" Kalau ini Fang sudah tahu.
"Namaku Ice, Kak. Bukan Air seperti yang Blaze tadi bilang.." 'Jadi namanya Ice... Bukan Air...'
"Kak Fang... Kenapa kakak menulis di kertas itu? Apa kakak..."
'Benar. Aku bisu, Gempa.'
"Ah! Ma-maaf!" Fang menggeleng pelan sambil tersenyum tipis.
'Kalian juga... Kenapa disini?'
"Ah... Itu..."
"Karena ayah kami meninggal. Sekarang kami semua yatim piatu." Ucapan Gempa terpotong akibat ucapan Halilintar. Seketika, terpancar kesedihan di mata anak-anak itu.
Fang hanya diam—pastinya. Dia tidak akan meminta maaf karena menanyakannya. Toh dia sekarang juga MASIH berduka. Ia mulai menuliskan sesuatu yang membuat perhatian kelima anak itu tertuju padanya.
'Sama dong.'
"Eeehh? Maksud kakak?!"
"Apa kakak juga yatim piatu?!"
"Apa orang tua kakak juga meninggal?!"
Dan sebagainya...
'Kalau yatim piatu sih dari dulu.' Fang menuliskannya dengan wajah yang kelewat datar. 'Tapi bagian orang yang paling berharga dan paling dikasihi meninggal itu sama... Tapi bedanya, dia yang aku kasihi sudah meninggal tepat setahun yang lalu.' —'Membawa pergi setengah hatiku dan juga suaraku bersamanya.'
Urkh... Klise sekali...
'Wajah dan sifatnya juga sangat mirip dengan kalian...'
Hening..
Hening..
Masih hening...
Tak ada perubahan...
Lebih hening lagi...
Sampai-sampai dunia shiningami jadi berwarna pink..
Oke itu ngaco.
Tiba-tiba Taufan tersenyum. "Berarti kita samaan dong kak! Wajah dan sikap orang yang kakak kasihi mirip kami. Sedangkan wajah dan sifat ayah kami mirip sekali dengan kakak! Mungkin takdir yang mempertemukan kita kak!"
'Eh?'
"Taufan, jangan ngaco—"
"Kak Taufan benar! Blaze setuju! Mungkin takdir ingin kita selalu bersama! Berarti sekarang kami teman sekaligus keluarga kakak!"
"—Kalau kak Fang mau sih..." Gempa menambahkan sambil menatap Fang takut-takut.
'Apa yang kau bicarakan? Tentu aku mau!' Fang tersenyum lebar ke arah kelima anak yang berhamburan ke arahnya lalu memeluknya.
'Boboiboy... I want to live.. A little bit more in this world...'
'Wait for me... More patiently, okay?'
.
Tanpa Fang ketahui, Boboiboy sedang mengamatinya dengan pancaran kebahagiaan di matanya. Sedikit demi sedikit air mata membasahi pipinya. 'Aku tahu kau pasti bisa, Fang.'
'Terima kasih...'
'Dan selamat tinggal, Fang...'
.
O - WA - RI~
Krik.. Krik... Krik...
Banyak sekali yang nyempil disini yah? Hahaha... Haha... Hahaha... Ha.. Ha... Ha... Ha.. *dilempar kursi*.
Yaaayyy!~~ Setelah satu tahun terabaikan akhirnya fanfiksi ini selesai~~ Terima kasih atas supportnya, minna-sama! *bow*
See you next time! ((Hopefully in a short time hehe~~))
With sincere and love.
—Casstella Millatea.
