A/N
Sai adalah masa lalu, Shindou adalah masa depan. Jadi Akira tidak perlu mengejar bayangan, karena Hikaru siap berjalan disisinya untuk menemukan langkah dewa.
X
X
x
Summary:
Shindou Hikaru tidak pernah tahu kapan mimpi itu di mulai. Sejak ia bisa mengingat, mimpi-mimpinya selalu diisi oleh jenis permainan aneh di atas goban. Hikaru menyadari jika Sai bukan sekedar mimpi, Sai adalah dirinya seribu tahun yang lalu. Ia mengira mimpi itu akhirnya akan berhenti, tapi sekali lagi ia memimpikan seorang anak. Anak itu bernama Kuwabara Torajirou. Dalam mimpi tentang Shusaku inilah Hikaru mengenal tentang Langkah Dewa. Ia ingin menemukan langkah dewa seperti Sai dan Torajirou dan ia tahu perlu menemukan lawan yang sepadan untuk mencapai tujuannya. Ia masih mengingat bagaimana rasanya berhadapan dengan lawan yang kuat. Hikaru ingin merasakannya lagi, seperti saat ia melawan kakek Kuwabara.
X
X
x
Chapter 1
Shindou dan Kuwabara Honinbou: Siapa si genius itu?
xxXxx
Shindou Hikaru tidak pernah tahu kapan mimpi itu di mulai. Sejak ia bisa mengingat, mimpi-mimpinya selalu diisi oleh jenis permainan aneh di atas goban. Sama seperti permainan yang sering dimainkan kakeknya. Batu hitam dan putih di letakkan dengan cara yang ahli, menawan, hampir menghipnotis. Ia tidak bisa mengingat siapa orang yang duduk di seberangnya, yang ia ingat hanyalah rangkaian kacau biji go. Dalam mimpinya, ia selalu bermain kapanpun, dimanapun; setelah ia bangun, saat sore hari atau bahkan saat ia dalam perjalanan.
Hikaru mengetahui jika anak laki-laki dalam mimpinya bernama Fujiwara no Sai, nama yang sangat kuno. Mimpi itu datang hampir tiap malam dan Hikaru ikut belajar permainan itu sama seperti saat Sai pertama kali bermain. Sai dilahirkan dalam klan Fujiwara, ia adalah anak terakhir dari tiga saudara laki-laki dan empat saudara perempuan. Tiga suadara laki-laki lebih dari cukup mewakili nama keluarganya dalam lingkup kehidupan bangsawan, membuat Sai hampir bebas dari tuntutan bahkan terkadang hidupnya menjadi terlalu membosankan. Lalu, saat usianya sepuluh tahun, Sai menerima tawaran tinggal bersama pamannya, seorang kepala pendeta kerajaan, dan disana Sai mulai serius belajar permainan Go. Tidak ada hari tanpa ia menyentuh biji go, dan pengetahuannya dalam permainan itu ia bagi dengan Hikaru.
Pada usia tiga belas tahun, Hikaru tahu jika Sai hidup di jaman Heian, 1000 tahun yang lalu. Ia tahu setelah Sai mulai bekerja sebagai seorang pengajar go bagi Kaisar, nama Kaisar itu ada dalam buku pelajaran sejarahnya. Tapi pada waktu itu, ketertarikannya untuk memegang biji go-nya sendiri masih jauh dari benaknya. Sampai suatu malam ia bermimpi; Tsuyujima yang juga merupakan pengajar go bagi Kaisar, menyarankan pada Kaisar untuk cukup memiliki satu guru saja. Untuk melihat siapa yang terbaik, ia meminta dibuat sebuah pertandingan. Sai yang menghargai Tsuyujima sebagai sesama guru, yang memiliki kebanggaan dan kecintaan pada permainan go, menerima tawarannya sebagai sebuah tantangan untuk melihat siapa yang lebih baik.
Sai melihat Tsuyujima bermain curang.
Ketika Sai akan bicara, Tsuyujima malah balik menuduhnya. Sai dipermalukan di depan kaisar, pada permainan yang amat dicintainya.
Malam itu Sai meninggalkan Kerajaan, pergi jauh ke pedalaman hutan dengan hati hancur dan nama tercemar.
Dua hari kemudian, Sai menenggelamkan dirinya ke dalam sungai.
Pagi itu, Hikaru terbangun dengan pipi basah. Masih terisak oleh kesedihan yang tersalurkan padanya melewati masa seribu tahun. Ia menyesali pilihan yang diambil Sai dan betapa naifnya dia. Seandainya Sai tetap diam, dan tidak mengumumkan kecurangan itu, dengan kemampuan yang dimilikinya, Hikaru yakin Sai masih mampu mengalahkan Tsuyujima.
Pagi itu Hikaru menyadari jika Sai bukan sekedar mimpi, Sai adalah dirinya seribu tahun yang lalu.
Mimpinya terus membebani pikirannya sepanjang hari. Sepulang sekolah ia langsung menuju ke rumah kakeknya. Menantangnya bermain go.
Kakeknya kaget bukan kepalang karena sebelumnya pria tua itu sudah berkali-kali mencoba mengajari cucunya bermain Go dengan sia-sia, Hikaru terus menolak, menyebut go permainan kakek-kakek.
"Nigiri!" seru Hikaru dengan keras kepala sambil duduk di salah satu sisi goban.
"Kau bisa bermain go, Hikaru? Sejak kapan?"
Hikaru memutar bola matanya, "Apa itu penting?"
"Apa ada teman yang mengajarimu, Hikaru?"
"Nah... aku belajar sejak aku lahir, sekarang Nigiri!"
Kakeknya mengerjap, mendesah keras sebelum menegakkan punggung dan menyerah, "Baiklah-baiklah," tapi ia tidak bisa menyembunyikan senyum senang apapun alasannya, akhirnya ia bisa bermain dengan cucunya, "Letakkan lima biji."
"Kau memberiku handicap!?" seru Hikaru kesal. "Aku tidak mau handicap darimu pak tua!"
"Tentu saja aku memberimu handicap, bocah. Memangnya kau pikir siapa aku?! Hah? Aku pernah juara tiga turnamen antar kota! Pemenang ke 8 Grand prix Go."
"Kau selalu bilang begitu," gerutunya. Hikaru menghela napas, "Begini, bagaimana kalau permainan pertama tanpa handicap? Setelah itu kau bisa memutuskan perlu memberiku handicap atau tidak pada pertandingan selanjutnya?"
"Pertandingan pertama?" seru kakeknya bersemangat, "Baiklah kalau begitu!"
"Tapi sebelum itu. Jika aku memenangkannya, belikan aku goban!"
"Apa? Berani menantangku, hah! bocah?! Nigiri!"
Hikaru memenangkan hitam. Ia mengambil biji go dengan jari bergetar, untuk pertama kalinya ia memegang biji go, merasakan teksturnya. Hikaru menutup mata, 'Aku memainkan permainanmu Sai', ia berusaha meniru cara Sai memegangnya, tapi jari-jarinya tidak mau menurut. Itu membuatnya frustasi.
"Hikaru?" kakeknya melihat ekspresi di wajahnya. "Hikaru? Jika kau tidak bisa memegangnya, Kau bisa memegangnya dengan cara biasa."
Hikaru mengigit bibir, lalu meletakkannya di 17-4 pojok kanan 'Komoku'. Pachi!
Seluruh tubuh Hikaru bergetar. Ia melihat ke arah goban, lalu ke tangannya. Berbagai emosi melandanya, membuat Hikaru sendiri tidak mampu memilahnya. Tapi jelas ada rasa rindu, ia sangat merindukan suara biji go di kayu Kaya. Hikaru menghela napas dan berkonsentrasi pada langkahnya selanjutnya. Tidak lama, sampai kakeknya memandangnya dengan tatapan tidak percaya. "Hikaru... kau..."
"Kakek, kata-kata mantranya," ia menyeringai.
"Aku menyerah."
"Terima kasih permainannya."
"Terima kasih," ia memandang cucunya tidak percaya. Dibalik tangan yang tidak bisa mengenggam biji go dengan baik, tersembunyi monster!
"Jadi, goban?"
"Hm... kupikir aku akan membelikanmu goban," katanya sambil mengusap dagu.
"Aku mau yang ada kakinya."
"Ap—apa?!" ia menyisingkan lengan baju, "Jika kau menang melawanku!"
"Nigiri."
Hikaru memenangkan semua pertandingan, dan selama pertandingan itu, caranya memegang biji go menjadi makin baik.
Pada awalnya Shindou Heihachi tidak percaya jika cucunya benar-benar punya kemampuan. Ia tidak pernah melihat Hikaru tertarik dengan go apalagi memainkannya. Tapi apa yang ada di atas goban tidak bisa berbohong, dan kemampuan seperti ini tidak mungkin kebohongan. Ia melihatnya sendiri, cucunya jauh melampui dirinya. Kekuatannya seakan melihatnya dari atas, hanya sedikit memperlihatkan apa yang sesungguhnya berada di baliknya, dan Hikaru masih sangat muda.
Ia tidak pernah menyangkan anak dan menantunya bisa memberinya cucu yang begitu menawan, tidak hanya bocah ini tumbuh menjadi sosok yang sangat menarik—Hikaru memiliki wajah yang bisa membuat iri perempuan, tapi ia juga menunjukkan permainan yang tidak kalah cantiknya.
"Hikaru. Aku akan membelikanmu goban, yang ada kakinya."
"Benar! Hore! Terima kasih, kakek!" Hikaru melompat ke halaman dan menari-nari senang dengan kaki telanjang.
"Tapi Hikaru. Kau harus berjanji kalau aku membelikanmu goban, kau akan mencoba jadi pro."
"Pro?"
"Profesional go."
"Apa itu semacam pekerjaan?"
"Tentu saja! Kau akan dibayar selama bermain go."
Hikaru membelalakkan mata, "Ada pekerjaan semacam itu? enak sekali dibayar karena bermain."
"Nah, tapi jalanmu masih panjang. Apa kau tidak ingin mencoba menjadi insei?"
"Insei?"
Kakeknya mendengus, "Mereka yang ingin jadi pro biasanya mendaftar dulu jadi insei. Disana tempat anak muda berkumpul mempersiapkan diri ikut ujian pro."
"Heeh..." ia menelengkan kepala dengan imut, "Apa untuk jadi pro sangat sulit?"
"Tentu saja, kau perlu mengikuti pertandingan panjang dan hanya tiga orang yang diterima setiap tahun."
"Menarik. Apakah harus jadi insei dulu untuk jadi pro?"
Kakeknya mengerucutkan bibir, "Tidak juga. Banyak yang mengikuti ujian pro tanpa jadi insei. Tapi sangat jarang amatir bisa melebihi insei."
Hikaru mengeringai, "Menurutmu aku tidak bisa?"
Kakeknya menggeleng-gelengkan kepala, "Kau perlu menemukan lawan sepadan dulu untuk berlatih. Baru kau bisa mengukur kekuatanmu." Hikaru akan memikirkan hal itu.
"Mou, Hikaru!" suara kesal anak perempuan membuat mereka terlonjak.
"Akari! Apa yang kau lakukan disini?"
"Kau membuat orang tuamu cemas, Hikaru! Aku pergi mencarimu!"
"Oh, sial. Sebaiknya aku pulang, kakek. Jangan lupa janjimu."
"Hikaru!"
Cucunya berhenti, menoleh kembali padanya, "Siapapun orang itu, gurumu, dia pasti orang yang sangat hebat."
Hikaru memandangnya dengan tatapan aneh—Ya, pamannya 1000 tahun yang lalu memang orang yang sangat hebat. Tapi ia tidak belajar dari pamannya saja, ia juga belajar dari dirinya yang lain, SAI—Heihachi melihat senyum sedih Hikaru, ia menjawab, "Ya. Tentu saja," lalu berlari pulang, menimbulkan rasa penasaran pada kakeknya, 'apa yang sudah dilihat anak tiga belas tahun yang membuatnya tersenyum semacam itu?'
Malam setelah kepulangannya dari rumah kakeknya, Hikaru bermimpi lagi. Ia mengira mimpi itu akhirnya akan berhenti, tapi sekali lagi ia memimpikan seorang anak. Anak itu bernama Kuwabara Torajirou. Torajirou tidak sama seperti Sai, ia tidak memiliki rambut hitam panjang yang diikat, atau pakaian lebar dan berat seperti bangsawan. Torajirou mengikat rambut panjangnya dan menggulungnya tinggi seperti anak laki-laki kebanyakan. Ia memakai kimono biasa. Kulitnya sewarna madu seperti Hikaru. Tapi sama seperti Sai, ia mengenal go sejak kecil dan bagus dalam permainan ini, juga memiliki mata tajam yang sama saat berada di depan goban.
Torajirou, berbeda dengan Sai, ia menjalani hidupnya lebih lama, sepuluh tahun lebih lama, dan selama itu ia menghadapi lawan-lawan yang kuat. Gaya permainannya memiliki sentuhan seperti Sai, seakan berasal darinya dan berkembang selama melawan pemain-pemain yang tangguh. Dalam perjalanan hidupnya, permainannya menjadi tersohor, dan ia menganti namanya menjadi Shusaku, dan pada usia 14 tahun ia menjadi pemain go nomor satu dan namanya menjadi Honinbou Shusaku. Permaianan penuh stategi yang dilihatnya setiap hari saat ia berhadapan dengan lawan-lawannya yang tangguh mengalir pada Hikaru. Dalam mimpi tentang Shusaku inilah Hikaru mengenal tentang Langkah Dewa.
Tapi pada usia ke 34 tahun, Torajirou meninggal karena terserang penyakit Kolera. Pada detik-detik kematiannya, Hikaru merasakan kesedihan Torajirou karena tahu sebentar lagi ia tak kan bisa memegang biji go lagi. Hikaru ikut menangis saat Torajirou membisikkan kata-kata terakhirnya, bahwa ia menyesal belum menemukan Langkah Dewa.
Hikaru terbangun tengah malam, dan menangis lama karena kesedihan yang mengalir deras padanya. Menangis karena walau Hikaru belum mampu memahami hasrat pria itu, tapi ia tahu betapa besar kesedihannya. 'Sai dan Torajirou' pikir Hikaru. "Honinbou Shusaku," bisiknya. Jika Torajirou terkenal, ia pasti punya catatan permainannya. Hikaru memutuskan, besok pagi ia akan mencari kifu Torajirou.
Sepulang sekolah, Hikaru menyelinap sebelum Akari menemukannya. Ia tidak ingin temannya tahu jika ia pergi mencari kifu Torajirou dan mengejeknya karena memainkan permainan orang tua. Ia pergi ke toko buku, langsung menuju kumpulan rak yang menjual berbagai macam buku tentang go. Tapi matanya mencari kata Shusaku. Saat menemukan bukunya, Hikaru menariknya dari dalam rak dengan riang gembira. Ia membuka halamannya dengan cepat. Bau buku baru menguar dari lembaran-lembarannya. Ia tidak sadar saat itu ada mata yang mengawasinya.
Telunjuknya menyentuh dengan perasaan nostalgia pada lembaran-lembaran yang ada disana. Kertas baru itu mengabadikan permainan lama, membisikkan kebesaran Shusaku di masanya. Tak diragukan lagi, Torajirou adalah Sai dan dirinya yang lain.
Ia akan pergi ke kasir saat melihat harga buku itu. Tiba-tiba rasa pahit memenuhi mulutnya, dengan sedih ia akan mengembalikan buku itu ke dalam rak saat suara tua mengejutkannya, "Apa yang membuatmu begitu sedih, bocah? Apa kau sangat menginginkan buku itu?"
Hikaru menoleh pada pria tua beruban yang rambutnya panjang hingga menyentuh punggung. Hikaru tidak menjawab dan hanya menatapnya dengan penasaran, buku itu masih di tangannya, terasa berat untuk dikembalikan.
"Kau memilih buku yang cukup unik untuk seorang anggota klub go, bocah. Shusaku, heh? Apa kau mengerti apa yang ada di dalamnya?"
Hikaru mengerjapkan mata, beberapa detik berusaha memproses pertanyaan itu, "Aku bukan anggota klub go, kakek tua, dan ya, aku paham apa yang ada di dalamnya, bukankah itu mengapa aku ingin membelinya. Hanya saja harganya terlalu mahal, uangku tidak cukup."
"Hm... paham permainan Shusaku katamu." Ia memandangnya sambil menilai. "Bagaimana jika kau menemaniku main go sebentar? Di lantai satu ada salon go."
"Kenapa aku harus setuju?"
"Hm... bagaimana jika aku akan membelikanmu buku itu jika kau menang melawanku, bocah."
Hikaru mengerutkan dahi, tapi tak memakan waktu sampai ia setuju.
Salon di lantai satu sedang sepi dan hanya ada beberapa pria dan seorang wanita muda yang menjaga konter. "2000 yen untuk orang dewasa dan 500 yen untuk—Kuwabara-sensei!" seru wanita muda itu saat tahu siapa pelanggannya. Nama itu mendengungkan rasa penasaran lain, tiba-tiba semua orang menoleh ke arah mereka. Hikaru bergerak-gerak gelisah, terkejut dan heran pada pria tua yang dipanggil sensei. 'sepertinya ia cukup terkenal. Mungkin seorang sensei di dunia go seperti Sai, walau ia ragu ada orang lain sehebat Sai atau Torajirou.'
"Nah, aku hanya ingin menghabiskan waktu dengan bermain-main sebenar dengan bocah ini."
"Tentu saja sensei."
"Nah, bocah. Siapa namamu?"
"Hikaru, Shindou Hikaru."
"Hikaru, berapa handicap yang kau inginkan?"
Kenapa semua kakek tua ingin memberinya handicap. "Uh, jika kau tidak keberatan kek, aku tidak ingin handicap."
Seruan terkejut terdengar di sekelilingnya, tapi ia tidak peduli.
"Hooh... menarik. Jangan menyesal, bocah. Nigiri?"
"Onegaizimasu."
"Onegaizimasu."
Hikaru meletakkan biji pertamanya seperti biasa. Kakek tua itu melihatnya dengan tatapan tertarik. Bergumam sendiri, "Tidak mengherankan untuk penggemar Shusaku, menarik."
Mereka melanjutkan permainan. Awalnya Kuwabara bersandar santai di kursinya, tapi lama kelamaan pria tua itu duduk tegak dan mencondongkan sedikit badannya ke arah goban. Matanya tampak berkonsentrasi. Mungkin ia baru sadar jika lawan mudanya tidak bisa dihadapi dengan gampangan.
Di lain pihak, Hikaru tidak berniat meremehkan lawannya, itu salah satu hal yang ia pelajari dari mimpinya. Mereka bermain dengan tajam, tiap langkah adalah hasil pemikiran yang dalam. Segera Hikaru menyadari jika kemampuan lawannya jauh di atas kakeknya, mungkin setara dengan musuh-musuh Torajirou paling kuat.
Sampai pada akhirnya, Hikaru mengambil biji go dari wadahnya dan menjatuhkannya kembali. "Aku menyerah." Ia tahu akan kalah sebanyak lima setengah moku jika permainan terus dilanjutkan. Hikaru sadar, Kekalahannya jelas karena kurangnya pengalaman memakai gayanya sendiri melawan pemain kuat. Toh gaya bermainnya berbeda dari Sai atau Torajirou. Permainan Hikaru lebih pantas disebut gabungan dari keduanya, dengan sentuhan modern, tentu saja.
"Bocah."
Hikaru mendongak.
"Sudah berapa lama kau bermain go, melihat umurmu—14-15 tahun? Tentu belum lama, huh?"
"13. Nah, aku sudah bermain sejak aku lahir."
Pria itu tertawa keras, "Aku serius bocah. Tapi walau kau bermain sejak baru lahir, itu belum separuh dari usiaku! Kau tidak akan menang melawanku. Pengalaman adalah segalanya."
Hikaru mengangkat bahu, "Aku baru bermain dua kali."
"Nah, aku tidak percaya. Dengan kemampuanmu ini, kau bilang baru bermain setahun pun hampir membuat orang tidak percaya. Bah, dua kali kau bilang?"
"Uh..." Hikaru tidak berniat meyakinkannya. Toh itu tak berarti apa-apa baginya.
Setelah berdiam lama, akhirnya pria tua itu berkata, "Kemarikan tangan kananmu."
"Huh?"
"Tangan, bocah."
Hikaru mengulurkan tangannya dengan ragu-ragu, dan Kuwabara menariknya, membuka kepalan tangannya untuk memeriksa jari-jarinya. Jari tuanya menelusuri seakan mencari sesuatu dan ekspresinya terkejut saat ia tidak menemukan kapal yang biasa dimiliki pemain go. Hikaru menarik tangannya sambil berseru, "Apa yang kau lakukan!"
Kuwabara tampak berpikir dalam. Lalu ia berkata, "Ikut aku bocah."
"Kemana?"
"Kau ingin kifu Shusaku, kan?"
"Tapi aku kalah."
"Huh, anggap saja hadiah dariku," katanya sambil berjalan pergi tanpa menunggu Hikaru. Tentu Hikaru tidak menyia-nyiakan kesempatan ini. Ia mengikuti pria itu dengan langkah bersemangat, sedikit waspada karena tidak bisa menebak apa yang ada dalam benak kakek itu. "Ano," wanita penjaga konter memanggilnya.
"Ya?"
"Ini, ada brosur Children go Tournament. Jika kau tertarik kau bisa melihat-lihat."
Hikaru tersenyum sambil menerimanya, "Terima kasih," lalu mengikuti kakek Kuwabara.
Di ambang pintu, seorang anak muda menyapa, "Kuwabara-sensei?"
"Oh, Touya muda." Hikaru balas mengangguk pada bocah laki-laki seumurannya itu. Mata Touya beralih dari Kakek Kuwabara kepadanya dengan penasaran. Mungkin baginya mereka adalah pasangan aneh—pria tua dan anak muda berambut separuh pirang. Dimanapun itu bukan perpaduan yang cocok. Kuwabara berkata, "Aku menghabiskan waktu dengan temanku satu ini di salon Meijin," ia menyeringai, "Titip salam untuk ayahmu. Sampai jumpa, Touya muda."
"Ah," anak bernama Touya membungkukkan badan dengan sangat sopan. Hikaru melirik kakek tua di sampingnya dengan curiga, berpikir apa yang membuat orang tua mengerikan ini mendapatkan perlakuan yang demikian sopan dari bocah bermana Touya.
Touya melihat kepergian mereka sebelum masuk ke salon ayahnya hanya untuk mendengar dengungan dan bisikan penuh penasaran dari pelanggan.
"Siapa anak itu?"
"Dia kalah, tapi permainannya sangat kuat."
"Apa anak itu murid Kuwabara-sensei?"
"Kupikir tidak, tadi aku dengar Kuwabara-sensei menanyakan namanya."
"Semua tahu kalau Kuwabara-sensei tidak pernah mengangkat murid."
"Ada apa Ichikawa-san?" tanya Akira pada penjaga konter.
"Oh, Akira-kun. Semua sedang membicarakan permainan Kurabawa-sensei dengan bocah yang dibawanya. Semua bilang anak itu kuat."
Touya Akira menghampiri pusat kerumunan. Ia mengintip dari sela-sela para pria yang masih berdiskusi, lalu terbelalak dengan mulut menga-nga melihat apa yang tertinggal di atas goban. Permainan itu jelas tidak memakai handicap, apalagi shido-go. Setiap langkahnya dijalankan dengan solid dan pemahaman mendalam. Permainan semacam ini biasanya hanya di temukan pada permainan sesama pro, bukan bocah seusia dengannya. Jelas gaya permainan biji putih adalah milik Kuwabara-sensei, tapi biji hitam itu... "Siapa yang bermain hitam?"
"Oh, Touya-kun!"
"Selamat siang."
"Kau melihatnya? Anak yang dibawa Honinbou? Yah... dia benar-benar hebat, walaupun dia kalah, tapi aku bahkan bisa bilang permainannya solid. Lagi pula siapa amatir yang bisa mengalahkan Kuwabara-sensei. Ia pemegang gelar dan bahkan para pro juga kewalahan saat menghadapinya."
"5.5," bisik Akira.
"Huh?"
"Dia kalah karena menyerah. Dia sudah tahu jika mereka menyentuh Yose, ia akan kalah 5.5 moku." Pengetahuan untuk mengetahui kapan harus menyerah ini biasanya hanya dimiliki seorang pro!
"Yah... 5.5 termasuk kemenangan yang tipis untuk amatir melawan Honinbou!"
"Menurutmu begitu? Apa dia pro?"
"Aku tidak yakin. Aku dengar anak itu baru bermain dua kali."
Akira menyentak kepalanya, "Dua kali?!"
"Yah, anak itu memang aneh. Saat Kuwabara-sensei bertanya sejak kapan dia mulai bermain, dia bilang sejak lahir. Kupikir dia tidak benar-benar berkata jujur?"
"Bermain sejak lahir tapi baru memainkan go dua kali?" katanya terhenyak. "Siapa dia?"
"Oh, dia menyebutkan namanya! Coba kuingat, Shisio Hikaru?"
"Shindou Hikaru," sahut Ichikawa. "Namanya Shindou Hikaru."
"Shindou Hikaru," bisik Akira. "Aku ingin bermain dengannya..."
Di toko buku tak jauh dari sana, Kuwabara Sensei memberikan buku kifu Shusaku pada Hikaru, "Nah, Hikaru."
"Terima kasih," Hikaru terdiam saat pria itu menyodorkan lipatan kertas. Ia menerimanya, melirik diam-diam sebelum membaca tulisan berupa alamat disana. Ia melemparkan pandangan tanya.
"Alamat rumahku, jika kau ingin belajar go lebih serius."
"Oh... kakek, kau punya nama yang sama dengan Torajirou Honinbou."
Pria itu tertawa keras, "Cukup pintar untuk seorang bocah preman."
Hikaru mengerucutkan bibir, "Apa kau mengomentari gaya rambutku, kakek tua!"
Pria itu terkekeh sambil melambaikan tangan, meninggalkannya berdiri sendirian di depan kasir. Sungguh pertemuan yang aneh, pikir Hikaru.
Malam itu, Hikaru mengulang permainan Torajirou dari yang tertera di buku. Sebenarnya ia mengingat lebih banyak karena tidak semua permainannya ada di dalam buku. Tapi buku itu cukup membantu untuk memahami alasan tiap langkah. Hikaru baru beranjak tidur saat ibunya menengoknya yang masih berada di depan goban.
"Hikaru! Cepat tidur, apa kau mau terlambat sekolah besok! Kalau kau tidak belajar, cepat tidur! Terus bermain go tidak akan memperbaiki nilaimu, Hikaru. Hikaru!"
"Mou~ Oka-san, kau tahu nilaiku tidak seburuk itu..." ya, sejak ia mulai bermimpi soal Torajirou dan Sai, ketertarikannya membuat nilai sejarahnya naik, dan sepertinya berusaha mengingat setiap permainan Sai dan Torajirou membuat benaknya semakin tajam. Ia juga semakin baik dalam hitungan karena go memaksanya untuk selalu memprediksi berapa muko yang ia dapatkan. Yang tidak berubah adalah nilai bahasa Inggris.
"Uh... tapi aku khawatir nilai-nilaimu akan jatuh lagi jika kau tidak bisa mempertahankannya. Kau harus mengatur pola hidupmu, Hikaru."
"Uh, nilaiku akan baik-baik saja, Oka-san..." akhirnya wanita itu meninggalkannya setelah Hikaru berjanji untuk beranjak tidur.
Di atas tempat tidur, Hikaru masih mengamati kertas berisi alamat dan nama Kuwabara-sensei. Orang macam apa yang menyebut dirinya sendiri sensei, batin Hikaru. Tapi mungkin untuk pria tua itu wajar-wajar saja. Hikaru belum memikirkan masalah pro ini sejak kakeknya mengutarakannya. Ia ingin menemukan langkah dewa seperti Sai dan Torajirou dan ia tahu perlu menemukan lawan yang sepadan untuk mencapai tujuannya. Ia masih mengingat bagaimana rasanya berhadapan dengan lawan yang kuat. Hikaru ingin merasakannya lagi, seperti saat ia melawan kakek Kuwabara. Hikaru berguling-guling dan membenamkan mukanya ke bantal. Tak lama ia jatuh tertidur dan bermimpi sekali lagi tentang masa kanak-kanak Torajirou. Kali ini ia tahu ini bukan bagian dari memorinya, ini hanya mimpi dari mimpi.
xxXxx
Hem...
