Mood: Well... aku kembali! Yuuhuuu (enjoy)

Muse: I'm Outta Time (Oasis) and If Time Is All I Have (James Blunt) sungguh depresiiii

A/N (karena panjang, bagi yang malas baca dan merasa ini buang2 waktu, silakan melewatinya. Authornya sendiri juga gak ngerti kenapa kok nulis panjang lebar, gak malah langsung nulis cerita?)

Hitsuzen: bagi para reader yang bertanya2 apa aku masih hidup atau apa aku baik-baik saja? Untunglah, aku baik-baik saja dan masih bernapas...! :D hanya sekedar terkena kram otak, mengalami tragedi komedi dan menghadiri sesi terapi. Jadi aku memutuskan break sebentar, dari pada aku melalukan pemerkosaan otak yang malah membuat jalan cerita berubah jadi cerita horor. Salahkan saja kesibukan. Pasti kalian pernah mengalaminya, kan? Dipaksa mengerjakan sesuatu yang dibenci tapi tidak bisa dihindari (kebanyakan pasti pelajar, karyawan lembur atau ibu muda baru punya anak yang sudah gak tidur 3 hari 3 malam—kata survei). Sekali lagi aku berpikir, seandainya hidup bisa diperlambat dan dipercepat sesuka hati seperti menulis fanfic :V

Bagi reader yang setia mengoreksi, mengeritik cerdas, memuji atau yang baru jadi readernya Hitsuzen atau yang hanya sekedar coba2 nulis review, maaf tidak bisa membalas secara pribadi. Kuharap dengan ini saja cukup? (lagi pula lebih penting baca ceritanya, dibandingkan baca Author Note kan? /mulai kehilangan kepercayaan diri/) tapi tetap saja, membaca review kalian membuatku jadi ingin menulis lagi! jadi jangan pernah capek review, sekalipun aku lebih cemas kalian capek nunggu update-ku.

Hikaru: Tentu, kamu bakal ditinggal readermu kalau terus2an bikin alasan padahal sebenarnya hidupmu hanya bolak balik fandom Death Note ke Natsume Yuujinchou ke Hikaru no Go atau XXX Holic, main Combo Caos sambil ngemil dan menghabiskan sisa umur dengan menghambur-hamburkan waktu buat acara nggak penting seperti download anime (bukan Yaoi-lho ya, bukan!), nulis Author Note dan ikut arisan ibu2.

Akira: Ssst! Hikaru! Nanti dia suruh kamu pakai baju cewek lagi lho!

Hitsuzen: (padahal situnya seneng)

Hikaru: Mati aja sana author yang namanya ada Hitsuzennya!hmbercxzdvg (akira berusaha membungkam Hikaru)

Hitsuzen: Ehem...! (gak peduli :P lagian aku yang berkuasa) Nah, para reader, kalian lebih percaya omongan authornya dibandingkan omongannya Hikaru, kan? Semua tahu kalo omongannya Hikaru itu bulsh*t!

Hikaru: !#$T%&U&I Bah! Yang jelas Hitsuzen gak punya apa-apa dan gak ambil apa-apa dari cerita ini. Dan dia sama sekali gak punya KUASA selain merusak cerita asli dan menghina sisi maskulinku!

Akira: ... Dia juga gak punya aku, tapi kehormatan bagiku ikut project ini. Psst [aku gak protes karena dipasangkan sama Hikaru, ini rahasia. Aku bakal protes keras kalo Hikaru dipasangkan sama Ogata.]

Hikaru: Apa? gak kedengaran?! Kamu bilang apa?

Akira:... smirk

Hikaru: aku tadi kok sepertinya dengar nama Ogata. Jadi ingat, aku ada janji buat main go sama Ogata-Pedo

Akira: Ogata-Pedo Hikaru?! sejak kapan kau memberi nama panggilan buat Ogata!

Hikaru: Apaan sih, Akira. Baaaaka!

Akira: Aku nggak Baka!

Hikaru: Baka!

Akira: Nggak!

Hikaru: Iya

Akira: Ngg—

Hitsuzen: [cedera otak] dengan otak yang masih tersisa ¼, langsung aja!

Enjoy it, my dears!

X

X

X

Summary:

Go baginya sesuatu yang menjembatani perasaan Sai dan Torajirou. Itu sudah menjadi bagian dari dirinya, mengalir begitu kuat dan menjadi perasaannya sendiri. Mau tak mau itu mempengaruhi Hikaru. Terkadang, ia merasa seolah tak diberi pilihan untuk masa depannya sendiri; seolah salah memilih sesuatu yang bukan go. Tapi sekeras apapun ia mencoba beralih, go selalu kembali padanya. Mungkin ini obsesi, mungkin kutukan, tapi sekarang Hikaru sudah belajar menerimanya. Jika para dewa bersusah payah membuatnya jadi manusia seperti ini, mungkin ada tujuan dibaliknya.

Sangat disayangkan, bakat dan jiwa muda harus disia-siakan untuk permainan tidak jujur. Seandainya mereka tahu, hanya nasib buruk yang menanti pada permainan curang. Pengalaman Sai dan kematian tragisnya masih menjadi duri di jiwa Hikaru; membuatnya memiliki rasa benci pribadi pada kecurangan dalam permainan go. Ia bisa merasakan darahnya mulai mendidih, tapi ia mencoba menahan semua itu untuk melihat sejauh mana kecurangan ini berlangsung.

X

X

X

Chapter 7

Shindou dan para pemain curang = Jalan menuju dunia pro

xxXxx

Di salah satu bagian rumah Kuwabara-shishou, ada sebuah ruang favorit Hikaru. Ruang itu tidak besar, tapi bertatami dengan tempat membaca berupa seiza dengan meja rendah yang menghadap jendela tinggi. Jendela itu menghadap ke arah halaman dengan kolam ikan koi dan pepohonan momiji. Jika musim panas, Hikaru bisa menyalakan AC, tapi ia lebih suka membuka jendelanya lebar-lebar dan membiarkan semilir angin masuk. Tapi bukan itu yang menjadi daya tarik utamanya, melainkan koleksi peninggalan Honinbou Shushaku. Rak-rak tingginya menyimpan banyak kifu yang bahkan tidak dimiliki oleh musium di Inoshima. Bahkan ada rak yang berisi banyak keramik koleksi Torajirou, juga disalah satu bagian temboknya terpampang lukisan setengah badan Torajirou beserta kaligrafinya. Ada goban tua dengan bercak darah tak jauh dari meja baca. Tidak pernah dipakai bermain, tapi tidak dibiarkan kotor. Hikaru menyentuh benda itu dengan sayang, mengingatnya sebagai goban terakhir miliknya di kehidupannya yang lama.

Hikaru menghela napas sebelum beranjak menuju salah satu rak untuk mengambil catatan kifu. Ia tidak punya masalah membaca kifu cetakan baru. Tapi ia merasakan perbedaan yang menyenangkan jika bisa menyentuh kifu asli. Hikaru membalik halamannya perlahan dengan penuh rasa hormat. Walau ia mengingat semua kifu yang ada di tempat ini, bukan berarti ia tidak menikmati membuka catatannya sendiri. Rasanya seperti membuka diary lama yang ditulis waktu kecil, bedanya, catatannya ini hanya terpaut beberapa ratus tahun dari diary-nya.

Saat benaknya tenggelam dalam bacaannya, seseorang mengetuk pintu. "Shindou-kun," seorang pria muda bersetelan jas berdiri ragu-ragu di ambang pintu. Di belakangnya wanita muda berdiri sambil tersenyum padanya.

"Shiroe-san! Dan Hanae-san!" Shiroe dan Hanae adalah pro dan-5. Sekalipun tidak mengejutkan mereka datang kemari karena banyak yang ingin belajar dari Kuwabara-shishou walau pria tua itu dengan jelas menolak mengangkat murid, sebelum Hikaru tentu saja, tapi jika mereka berdua menemui Hikaru, berarti mereka tidak ingin belajar dari Shihou. Yang artinya, "Kami ingin bermain denganmu, Shindou-kun," kata Hanae, disertai dengan anggukan Shiroe, "Jika tidak menganggu."

"Tentu saja, Shiroe-san, Hanae-san,"Hikaru memberi isyarat pada mereka untuk masuk. Keduanya mengambil seiza yang di tumpuk dekat pintu masuk sebelum sama-sama duduk di depan salah satu goban.

Hikaru menyembunyikan senyum geli melihat ada begitu banyak pro yang ingin bermain dengannya. Biasanya mereka para pemain muda yang mengidolakan Kuwabara Honinbou. Pamor Hikaru tersebar luas diantara mereka seperti kacang goreng. Walau belum ada yang benar-benar bertemu muka dengannya secara langsung karena Kuwabara sangat posesif mengenai Hikaru. Jika pro itu tidak benar-benar punya masa depan cerah, atau tidak mengenal Kuwabara lama, maka mereka tidak diijinkan bermain dengan Hikaru. Semua itu lebih untuk menyelamatkan mereka dari rasa putus asa dan minder, dibandingkan demi Hikaru. Sebab, menurut Kuwabara tidak ada diantara mereka yang sebanding dengan Hikaru. Ia bilang, bahkan banyak pro Dan tinggi tidak sebanding dengan Touya Akira! Mengejutkan karena mereka bahkan belum pro. Hikaru tidak protes karena ia masih bisa bermain di NetGo, dan ia juga tidak suka jadi sorot perhatian. Sudah cukup pengalamannya menjadi photo model dadakan.

Hikaru mengangkat Ojii-san, kucing Kuwabara-shishou, yang tidur di atas goban dan memindahkannya ke pangkuannya. Kucing itu bernama Kuro karena bulu hitam legamnya. Tapi Hikaru memanggilnya Jii-san atau Ojii-chan karena wajahnya mirip Kuwabara! Semua itu hanya untuk menggoda gurunya. Jelas shishou sebal dengan nama panggilan baru kucingnya itu, karena bahkan Maeda juga memanggilnya begitu. Sepertinya itu dijadikan cara penghuni rumah ini untuk melampiaskan rasa stress mereka pada Kuwabara Honinbou.

Mereka bermain bergantian. Pertama-tama Shiroe melawan Hikaru, lalu Hanae melawan Hikaru. Saat Shiroe dan Hanae bermain, Hikaru akan duduk sambil mengamati dan memberikan pendapatnya di akhir permainan. Saat Hikaru bermain, ia akan bermain dengan seluruh kemampuan. Itu yang sejak awal dilakukannya atas permintaan mereka. Pada awalnya Hikaru takut kemampuannya akan membuat kedua pro muda ini putus asa. Kenyataan membuktikan tidak banyak yang berhasil melewati tembok tinggi, apalagi jika lawannya remaja 14 tahun. Tapi mengejutkan saat tahu mereka kembali lagi esoknya dan kembali lagi di hari selanjutnya. Pada saat itu Hikaru mengerti mengapa Kuwabara mengijinkannya bermain dengan kedua pro ini, dan beberapa pro muda lainnya seperti Yamada-san dan Higuchi-san.

"Makemashita," kata Shiroe-san yang dibalas dengan gaya biasa oleh Hanae-san. Disaat yang sama Maeda-san melongok dari ambang pintu.

"Hikaru-sama?"

"Maeda?"

"Ada gadis muda yang berkeliaran di depan pagar mengaku temanmu. Dia menyebutmu Hikaru, jadi aku mengira kalian teman dekat. Aku membawanya masuk. Kau mengenalnya?"

"Huh? Akari?" Gadis muda yang dimaksud keluar dari balik punggung Maeda, berdiri dengan sorot gugup Fujisaki Akari.

"Kau mengenalnya? Atau dia salah satu stalkermu?"

"Ah... dia salah satu stalkerku—"

"Hikaru!" seru Akari kesal.

"—sejak aku umur lima tahun."

Maeda tertawa. "Baiklah. Aku akan meninggalkan kalian." Bersamaan dengan itu Shiroe dan Hanae juga ikut berpamitan.

Akari masuk sambil mengamati ruangan itu seakan sedang berhadapan dengan alien.

Menahan geli, Hikaru bertanya sambil membersihkan goban, "Apa yang membawamu kemari, Akari?"

"Oh, Hikaru... aku berusaha menghubungimu sejak lama. Tapi ibumu bilang kau tidak akan pulang sampai menjelang musim dingin? Kenapa?"

"Ah... Aku akan memberimu nomor ponselku."

"Kau punya ponsel!?" Hikaru menyerahkan kertas berisi angka pada Akari.

"Karena aku jarang pulang, ibu membelikanku ponsel supaya aku bisa meneleponnya kapanpun. Dan ya, aku tidak akan pulang hingga menjelang musim dingin untuk mempersiapkan diri menghadapi ujian pro. Letak sekolah lebih dekat dari sini dibandingkan dari rumah."

"Oh... benar... kau ikut ujian pro..." Akari tampak sedih.

"Kenapa?"

Gadis itu menghela napas, "Sebenarnya aku ingin minta bantuanmu untuk menjadi salah satu anggota tournament go musim panas ini. Kaga-senpai mungkin tidak akan mau membantu lagi karena sibuk dengan tournamet sogi. Aku masih berusaha mencari anggota tambahan. Jadi, paling tidak jika kau mau ikut..." Akari menangkap ekspresi Hikaru. "Tapi sepertinya tidak bisa, ya?"

Hikaru menggaruk kepalanya. "Jadwalku akan sangat padat Akari... tapi aku akan membantumu mencari anggota." Hikaru melirik jam tangannya. "Sudah hampir makan malam. Ayo. Aku akan mentraktirmu ramen. Kebetulan aku juga perlu ke Nihon-Kiin untuk mengembalikan formulir pendaftaran ujian, aku bisa mengantarmu pulang setelah itu."

"Tentu."


Waya Yoshitaka baru saja keluar dari lift sendirian. Biasanya ia selalu bersama teman, Nase atau Isumi-san. Tapi tidak kali ini, walau Ochi mengikuti di belakangnya, anak itu tidak dihitung teman. Saat itulah ia menangkap sosok Shindou Hikaru, yang memang menonjol, di lobi depan; sedang menyerahkan formulir pendaftaran ujian pro sepertinya. Anak itu memakai pakaian normal, tidak berkimono seperti biasanya, tapi celana jins dan kemeja pucat. Rambutnya masih di kepang seperti biasanya dan disampirkan di salah satu bahunya. Ia membeku ditempat beberapa detik, membuat Ochi melemparkan pandangan tanya yang diabaikannya. Lalu, ia berjalan langsung menuju anak itu. "Shindou Hikaru." katanya dengan nada serius.

Anak itu tampak terkejut, tapi bisa mengendalikan ekspresinya dengan baik dan melemparkan senyum lebarnya. "Waya-kun!" sapaan akrab itu membuat Waya sedikit kehilangan pegangan. Shindou memang punya karakter riang, tapi ia tidak menyangka anak itu akan menyambutnya dengan akrab setelah kejadian kemarin. Saat itu Waya menyadari jika ia tidak benar-benar bisa membenci Shindou. Anak itu jauh dari karakter Touya Akira yang selalu membuatnya sebal, walau mereka sama-sama jenius.

"Aku ingin bermain melawanmu."

Hikaru mengerjap beberapa detik, lalu tersenyum lembut. "Kenalanmu Hikaru?" suara feminim menyadarkan Waya jika ada gadis yang berdiri di dekat Hikaru. Ia sangat cantik dan terlihat akrab dengannya.

"Perkenalkan, Waya Yoshitaka, Insei. Waya, ini sahabatku sejak kecil, Fujisaki Akari." Sahabat? Tentu saja. Jika ia juga jadi saksi mata kepopuleran Hikaru di kalangan perempuan, ia tidak menjamin seperti apa reaksinya.

"Konnichiwa."

"Konnichiwa."

Setelah mereka bertukar salam, Hikaru bertanya pada sahabatnya, "Kau ada waktu untuk beberapa ronde pertandingan, Akari?" melihat gadis itu mengangguk, Hikaru beralih padanya, "Oke. Kita bisa mencari salon terdekat. Kuharap kau sudah makan malam."

"Tidak perlu mencemaskanku," gumamnya sambil mengikuti mereka.

Mereka pergi ke salah satu salon go yang belum pernah didatangi Hikaru. Dia tidak ingin Waya bertemu kehebohan para penggemarnya di Heart of Stone dan jadi semakin membencinya. Juga, pastinya Waya bukan salah satu orang yang senang di ajak ke Salon go Meijin.

Salon go itu berada di baseman salah satu toko di daerah pertokoan padat, tempat yang dekat dengan kedai ramen dan Nihon-Kiin. Tampaknya mereka sama-sama belum pernah kesana, melihat Waya tampak penasaran dengan salon yang sepi dan hanya punya sedikit pengunjung itu. Penjaga konternya seorang lelaki tua yang tampaknya tidak terlalu peduli dengan keadaan sekitarnya. "500 yen untuk anak-anak," katanya setelah melemparkan pandangan sekilas pada mereka sebelum kembali pada koran yang dibacanya. Hikaru meletakkan 1000 yen, "Hanya kami berdua yang main," katanya. Ia menatap Waya sambil menyeringai, "Biar kuteraktir." Waya hanya mengerdikkan bahu sambil berkata, "Trims." Ia bukan tipe orang yang menolak keberuntungan walau ia yakin Hikaru bersikap baik karena rasa bersalahnya. Toh ia tidak benar-benar marah pada Hikaru, mungkin hanya sedikit terusik, benar, terusik.

Saat itulah Waya menangkap perhatian Hikaru beralih pada hal lain.


Hikaru mengamati dengan penasaran pada seorang remaja yang sedang bermain go dan masih memakai seragam. Sungguh pemandangan ganjil melihat anak muda berada di salon go, dan melihat reaksi Waya, sepertinya dia bukan insei. Hikaru berjalan mendekati meja itu untuk melihat pertandingan mereka. Dan dahinya berkerut saat melihat lembaran uang 10.000 yen di sisi samping goban. Taruhan?

Pachi. Pachi. Pachi. Hikaru membelalakkan mata saat melihat gerakan ringan jari-jari anak itu menggeser biji go lawannya. Dan lebih mengejutkan lagi saat lawannya membalas dengan cara yang sama. Hikaru mengerutkan kening, gerakan itu sangat halus dan sangat sulit untuk dilihat jika lawannya seorang amatir. Tapi Hikaru bisa melihatnya, keduanya saling bermain curang. Tapi kemampuan curang anak itu jauh dibandingkan lawannya, dan Hikaru bisa merasakan punggung tegangnya dan keringat yang mulai menetes di dahinya. Hikaru sudah bisa menebak bagaimana akhirnya. Sangat disayangkan, bakat dan jiwa muda harus disia-siakan untuk permainan tidak jujur. Seandainya mereka tahu, hanya nasib buruk yang menanti pada permainan curang. Pengalaman Sai dan kematian tragisnya masih menjadi duri di jiwa Hikaru; membuatnya memiliki rasa benci pribadi pada kecurangan dalam permainan go. Ia bisa merasakan darahnya mulai mendidih, tapi ia mencoba menahan semua itu untuk melihat sejauh mana kecurangan ini berlangsung.

Mereka sedang menyentuh yose. Hikaru membuka kipas dan menyembunyikan wajahnya di baliknya, mengamati dengan tajam saat Mitani menarik sebuah biji go diam-diam dan mengambilnya. Dia curang juga di seichi, dasar rakus. Dia sengaja memindahkan batu untuk memindahkan wilayahnya dan mengurangi wilayah musuh. Hikaru yang merasakan Waya akan bicara, melemparkan tangan untuk menahannya sambil menggelengkan kepala. "Tapi dia curang!" bisiknya.

Hikaru tersenyum miring, "Tidak juga, coba lihat." Di saat yang sama, lawannya melakukan hal yang sama. "Keduanya bermain curang!" seru Waya tertahan.

"Kau masih mau bermain, nak?" kata pria itu.

Anak itu menggertakkan gigi.

"Ah... benar. Kau tidak akan tahu hasilnya sampai di akhir pertandingan."

Pada akhirnya anak itu kalah 12.5 moku. "Dikurangi komi, jadi 12 moku," kata pria itu sambil menghembuskan asap rokok.

"Sial!" anak itu memukul meja.

"Ne, kau," kata Hikaru. "Kau memakai seragam SMP Haze, kan?"

"Apa maumu?!"

"Siapa namamu? Kelas berapa?" kata Hikaru tanpa menurunkan kipasnya.

"Memangnya kenapa?!"

Waya tidak tahu apa yang dipikirkan Hikaru, tapi ia bisa merasakan anak itu merencanakan sesuatu. "Jawab saja!" seru Waya jengkel. Semakin cepat ini berakhir, semakin cepat ia bisa bertanding dengan Hikaru.

Melihat anak yang lebih tua dan tampang garang Waya, Mitani menjawab, "Uh... Mitani Yuki... kelas satu."

"Heeeh... jadi satu angkatan denganku. Mitani-kun, namaku Shindou Hikaru. Aku cuma ingin mengajukan penawaran, jika aku bisa mengalahkan paman itu, apa kau mau ikut bergabung klub go dan berjanji tidak akan main curang?" Mitani tampak bingung. "Sepertinya kau juga butuh banyak uang, aku juga bisa mengembalikan uangmu. Bagaimana?" Saat Mitani tak mengatakan apa-apa, Hikaru menekankan. "Aku tidak bisa disini selamanya, kau tahu? Aku juga ada pertandingan lain," katanya sambil melirik Waya. "Bagaimana?"

Saat Mitani mengangguk lemas, Hikaru menurunkan kipasnya, menunjukkan seringai puas. "Bagus! Nah, paman. Siapa namamu?"

"Dake. Apa maumu bocah?"

"Namaku Shindou Hikaru. Main denganku. Apa kau tidak berani? Aku akan mengalahkanmu, mengambil uangmu dan menendangmu dari sini jadi kau tidak akan pernah lupa namaku!"

"Hikaru!" desis Akari ketakutan, tampaknya tampang garang Dake membuatnya cemas. Berbeda dengannya, Hikaru dan Waya tidak perduli dengan tampang garang itu, mereka sudah terbiasa dengan jibunan orang-orang tua.

"Bocah, berani juga kau."

"Hikaru?" bisik Akari, merasakan sikap Hikaru yang tidak biasa.

"Nigiri?" kata Hikaru dengan santai. Lalu mereka melakukan standart joseki. Di tengah permainan, pria itu berkata, "Heeh... bisa kulihat permainan kunomu. Apa kau salah satu penggemar permainan go dari zaman bodoh itu?"

"Zaman bodoh?"

"Zaman Shusaku kakakakaka!"

Hikaru menurunkan kipasnya, memandang pria itu dengan mata membara. Hilang sudah sikap santainya, digantikan kemarahan karena pria itu tidak hanya bermain curang, tapi juga menghinap pemain besar yang seharusnya ia hormati. Terutama dia sudah menghina Hikaru! "Kalau begitu, akan kuperlihatkan kau permainan Shusaku yang sebenarnya!"

Pria itu tertawa, "Menggelikan semua orang mengaku setara dengan shusaku, huh!"

6-17, pachi! Pachi! Pachi!

Mitani berbisik pada Waya, "Apa dia bisa menang? Dake bermain curang."

Waya mengerutkan kening, teringat perkataan Ogata. "Aku rasa dia bisa. Jika dia seperti apa yang dirumorkan, permainan curang rendahan macam itu tidak akan bisa mengalahkannya."

Mitani menelan ludah saat melihat Hikaru memotong jalan apapun yang akan digunakan Dake untuk menyerang ataupun bertahan. Mitani berada jauh dibawah level Shindou Hikaru, tapi ia bisa melihat jika anak itu sama sekali tidak menahan diri. Bisa dilihat, matanya... seandainya tatapan mata bisa membunuh...

"Siapa dia? Apa dia insei?" bisik Mitani.

Waya menggeleng, "Bukan. Bukan Insei, seandainya saja ia insei... aku pasti bisa bermain dengannya setiap hari..."

"Kau insei?"

Waya mengangguk.

"Dan kau ingin bertanding melawannya. Berarti dia hebat?"

"Entahlah. Itu juga yang berusaha kucari tahu."

Bingung harus bagaimana menanggapi jawaban Waya, Mitani memutuskan untuk kembali melihat pertandingan. Saat itu Waya bergerak mendekati goban dengan tatapan tak percaya. Houninbou Shushaku?! Waya pernah melihat gaya ini, jelas dipengaruhi oleh Shushaku dan hanya ada satu orang yang ia tahu bermain sepertinya; SAI.

Disaat yang sama, Dake menatap goban dengan kepala tertunduk, "Ma...makemashita..."

"Arigatou gozaimasu."

"Bagaimana mungkin... Honinbou Shusaku..."

"Dengan begini, 10.000 yen," ia mengambil uang di meja dan mengembalikannya pada Mitani sambil memasang seringai lebar. "Sesuai janji, mulai besok kau ikut kegiatan klub go. Kau akan ikut tournament bersama Fujishima Akari disana yang juga kelas satu," mereka berdua saling mengangguk. Pada Akari, Mitani bertanya, "Apa dia selalu memaksa seperti ini?" yang dibalas dengan kekehan pelan dari gadis itu. Hikaru tidak memperdulikannya, dan malah menambahkan, "Aku akan menantimu di klub go sepulang sekolah besok." Sambil berkata begitu ia berjalan menuju pintu keluar. "Ah... Waya-san... sebaiknya kita ganti tempat bermain. Apa kau tahu salon lain dekat sini?"

"Sudah terlalu malam. Aku bawa papan lipat."

"Ah... tentu. Kita bisa main di kedai ramen."

"Ramen lagi Hikaru?!"seru Akari tidak percaya.

Saat mereka berjalan menuju kedai ramen, Waya bertanya dengan mata berapi-api, "Permainanmu... apa kau SAI?"

Hikaru berhenti berjalan. Mengerjap menatapnya, "SAI di NetGo maksudmu?"

Waya mengangguk.

Hikaru menyeringai, "Apa karena permainanku yang mirip Shusaku? Kupikir semua pemain yang mengidolakan Shusaku akan mengadaptasi cara bermainnya. Jadi, tidak hanya Sai yang punya kemampuan hebat."

"Ya. Tapi tidak seluruhnya. Mengejutkan memang karena aku menemukan hanya satu pemain yang selama ini tidak hanya mengadaptasi permaian Shusaku, tapi bermain persis sepertinya. Dan seakan itu tidak cukup mengejutkan, aku menemukan ada satu lagi."

Hikaru menelan ludah, "Kau tahu... aku bukan hantu di NetGo. Permainanku tidak sepenuhnya sama dengan Shusaku."

"Aku tahu. Permaian Shusaku perlu diupdate 140 tahun. Karena itu aku bertanya, apa kau SAI. Karena permaianmu dan permainannya sama; bergaya Shusaku dengan sentuhan modern. Kau tidak bisa mengelabuiku."

"Waya-san... "

"Aku yakin permainanmu sebelumnya masih belum menggugah seluruh kemampuanmu? Aku tidak bisa membayangkan bagaimana jika kau melawan pemain yang benar-benar tanguh."

Akari menyaksikan argumen itu dengan wajah cemas. Berharap ada sesuatu yang menghentikan mereka. Seakan para dewa mendengar doanya, tiba-tiba ponsel Hikaru berdering. Ia mengangkatnya dan mendengar sambil memberikan jawaban singkat. Setelah menutup panggilan itu, ia berkata pada Waya, "Sayang sekali, sepertinya kita tidak bisa bermain kali ini, Waya-san. Aku ada urusan penting..."

Waya mengangguk, tapi kerutan masih belum hilang dari dahinya. "Tidak masalah. Aku bisa membuktikannya saat ujian pro go. Aku menantikanmu disana, Shindou Hikaru."

Hikaru melemparkan senyum sedih sebelum berpamitan dan setengah menyeret Akari menuju stasiun terdekat.


Hikaru sedang berada di rumah Shishou, lebih tepatnya berandanya yang menghadap taman dengan rambut terurai yang sedang dikepang oleh Fubuki. Di sebelahnya, Akira makan semangka sambil membaca buku. Tapi kaki mereka bersinggungan, jempol melawan jempol; adu kekuatan. Kini rambut Hikaru sudah melebihi pinggang, membuatnya menyapu saat ia duduk. Untungnya, dengan penuh rasa syukur pada dewa-dewa, Fubuki menawarkan diri merawatnya dengan berbagai produk kecantikan yang dimilikinya; memberikan jam-jam seperti di neraka. Sebenarnya Hikaru sedikit menikmatinya karena biasanya dilengkapi dengan pijatan kepala—dan siapa yang menolak kenikmatan dunia setelah berjam-jam di depan goban melawan monster tak terkalahkan 25 tahun memegang gelas Honinbou?

Semua itu adalah gambaran biasa yang bisa ditemui di rumah Kuwabara-sensei sekarang, bagi mereka yang biasa berkunjung kesana. Jadi, wajar jika Shiroe tidak kaget begitu ia datang berkunjung, berbeda dengan teman yang dibawanya; Kadowaki Tsutsuhiro. Pria itu tampak tak bisa berkata-kata melihat seorang Touya Akira makan semangka di rumah seorang Honinbou yang terkenal sangat misterius.

"Shindou-kun!"

"Yo, Shiroe-san. Apa yang membawamu kemari? Apa kau mau dibantai?"

"Uh..."

"Cuma bercanda Shiroe-san... atau kau lebih suka shido-go."

"Shindou-kun~" setelah tampak bisa menguasai diri, pria itu memperkenalkan temannya, "Ini Kadowaki Tsutsuhiro."

"Konnichiwa," sapa pria itu.

"Ah! Aku tahu kau!"

"Kau tahu?"

"Hem hem... kau cukup kuat di NetGo. Aku bisa mengenalimu karena kau punya nama yang sama," tidak seperti Kuwabara-shishou yang bernama Honinbou 4ever, itu sangat menggelikan!

"Ah... jadi kau juga bermain di NetGo... kalau aku boleh tahu, kau memakai nama apa?"

Akira melemparkan tatapan tajam penuh peringatan. "Uh... em... kau masih ingin bermain NetGo sedangkan kau bisa bermain sambil bertatap muka denganku?" jawab Hikaru memakai manuver cerdas. Di sudut matanya ia melihat Akira menghela napas lega. Ia melayangkan pandangan peringatan agar Hikaru tidak sampai terpeleset lidah.

"Jadi kau mau bermain melawanku?"

"Tentu. Kenapa tidak," kata Hikaru sambil mengajaknya menuju goban. Untungnya disaat yang sama Fubuki sudah menyelesaikan pekerjaannya. "Kau ikut juga Akira?"

"Tentu. Aku belum punya kesempatan melawanmu seharian ini."

Hikaru menikmati pertandingan mereka. Kadowaki cukup kuat, walau ia bukan Insei ataupun pro. Pria itu berencana ikut ujian pro tahun ini, tapi setelah melawan Hikaru, ia bilang akan menunda ujiannya. Hikaru akan protes saat pria itu menjelaskan, "Tidak. Aku mundur bukan berarti aku menyerah. Aku hanya ingin lebih mempersiapkan diriku." Dengan begitu ia berpamitan, meninggalkan Hikaru dan Akira yang tampak tidak tahu harus berbuat apa. Ada sisi di persaannya yang menyayangkan keputusan Kadowaki, tapi Hikaru tahu lebih dari itu, bahwa mungkin keputusan itu tepat karena jelas Kadowaki tidak akan bisa mengalahkannya atau Akira.


Suara serangga menengahi teriakan siswa dan bola yang dipukul dari lapangan sekolah. Hikaru mengipasi dirinya memakai lembaran kifu sembari mengamati pertandingan sepak bola lewat jendela klub go di lantai dua. Ia masih punya ketertarikan pada olah raga itu, saat SD ia sempat menjadi anggota reguler di tim sepak bola sekolahnya. Ketertarikan itu sama seperti ketertarikan Torajiro pada keramik atau ketertarikan Sai dengan flute-nya. Semua kegiatan itu bisa memberikan rasa antusias, walau tidak sebesar saat bermain go. Sayang sekali ia tidak bisa lagi bermain bola bersama mereka, tidak jika mereka menginginkannya serius. Teman-temannya bermain bola dengan dedikasi yang sama seperti saat ia bermain go. Bagi mereka sepak bola tidak hanya hobi, melainkan impian dan masa depan. Mereka tidak menginginkan seseorang yang tidak akan bisa serius seperti Hikaru dalam tim.

Akari dan Tsutsui tampak asik dengan permainan mereka. Klak, klak suara biji go membuat pikirannya melayang pada kilasan mimpi tentang Torajirou. Go baginya sesuatu yang menjembatani perasaan Sai dan Torajirou. Itu sudah menjadi bagian dari dirinya, mengalir begitu kuat dan menjadi perasaannya sendiri. Mau tak mau itu mempengaruhi Hikaru. Terkadang, ia merasa seolah tak diberi pilihan untuk masa depannya sendiri; seolah salah memilih sesuatu yang bukan go. Tapi sekeras apapun ia mencoba beralih, go selalu kembali padanya. Mungkin ini obsesi, mungkin kutukan, tapi sekarang Hikaru sudah belajar menerimanya. Jika para dewa bersusah payah membuatnya jadi manusia seperti ini, mungkin ada tujuan dibaliknya.

Sebab itu ia tidak pernah merasa normal. Hidup sebagai bocah yang selalu memimpikan kehidupannya di masa lalu membuat Hikaru merasa berbeda dari anak kebanyakan. Ia memiliki kedewasaan dimana anak lainnya perlu waktu untuk mencapainya, sementara Hikaru belajar dari pengalaman Sai dan Torajiro. Tentu ia masih punya sikap kekanak-kanakan, seperti benaknya yang belum cukup dewasa untuk memproses sebagian kenangan Torajirou dan Sai. Ia masih anak laki-laki yang berpikiran pendek dan frontal, tapi ia tahu kapan harus berhenti dan mundur sejenak. Ia berusaha membuat orang berpikir ia seperti remaja kebanyakan dengan masalah seperti remaja kebanyakan. Sayangnya tidak sepenuhnya benar, karena ia adalah jiwa tua di tubuh yang masih muda.

Hanya satu orang yang tahu, paling tidak, melayangkan pandangan curiga, jika Shindou Hikaru lebih dari apa yang diperlihatkannya. Orang itu Kuwabara Honinbou. Pria tua itu adalah orang pertama yang ditemuinya, orang pertama yang bermain serius dengan dirinya yang lama. Pria itu punya insting yang bagus, dan sialnya termasuk bagus dalam membaca gelagat Hikaru. Hikaru tahu pria itu menyadari sesuatu di setiap permainan mereka, bahwa lawannya bukan sekedar anak 14 tahun.

"Konnichiwa..." suara sapaan dari ambang pintu menyentak pikiran melayang Hikaru. Seperti janjinya, Mitani datang ke klub go.

"Mitani-kun!" seru Akari girang. "Kau sungguh datang."

"Halo, Mitani," sapa Hikaru yang hanya dibalas anggukan.

"Konnichiwa... aku Tsutsui Kimihiro, ketua klub go. Terima kasih sudah bergabung. Hikaru sudah menceritakan banyak hal tentangmu." Mitani melemparkan pandangan pada Hikaru yang dibalasnya dengan bisikan, "Tenang saja, aku tidak mengatakan kalau kau bermain curang," lalu mengedipkan mata. Mengejutkan melihat Mitani tiba-tiba merona. Ia mengira hanya akan mendapatkan reaksi macam itu dari Akira saja.

"Jadi... kita bertiga akan ikut tournamen go?"

Tsutsui menjawab cepat, "Tidak. Tidak dengan Shindou-kun. Yang ikut tournament go hanya kita berdua dan Kaga dari klub sogi. Shindou-kun harus ikut ujian pro."

Mitani tampak terkejut. "Kau bukan insei, kan? Dan kau percaya diri ikut ujian pro?"

Hikaru tersenyum geli. Kali ini Akari yang menjawab, "Pada dasarnya Hikaru memang bukan anggota klub go."

"Aku ingin bermain melawanmu," kata Mitani dengan ekspresi serius.

"Tentu saja. Nigiri?"

"Onegaishimasu."

"Onegaishimasu."

Pachi. Pachi. Pachi.

"Kenapa kau memakai kifu sebagai kipas, dan bukan kipas lipat di tanganmu?"

"Huh?" Hikaru menyeringai. "Karena kipas lipat gampang rusak kalau terlalu sering dibuka, dan aku tidak mau membuatnya rusak." Melihat reaksi Mitani, Hikaru menambahkan, "Kipas ini terlalu berharga untuk digantikan yang baru. Kuberitahu, kipas ini berusia 1000 tahun. Orang pertama yang memilikinya adalah bangsawan dari klan Fujiwara."

Mitani memutar bola matanya.

"Bukankah Fujiwara adalah nama gadis ibumu, Hikaru?"

"Kau tahu?"

Akari mengangguk, "Aku tidak gampang lupa cerita seru. Aku masih ingat karena ibumu bercerita tentang perang perebutan wilayah di ibukota dan dia bilang Fujiwara adalah klan kesatria dan termasuk keluarga kaisar."

Hikaru berdehem, bergerak-gerak gelisah ditengah tatapan tajam Mitani. "Ini shido-go, kan?" katanya, tampak kesal.

"Hem?"

"Kau tidak bermain serius!"

Akari menyahut, "Tentu saja itu Shido-go. Hikaru selalu bermaian Shido-go melawan siapapun sejauh yang aku tahu. Dan aku masih tidak percaya seorang Hikaru pandai main go..." kalimat terakhirnya ia bisikkan dalam gerutuan.

"Yeah," setuju Tsutsui, "Aku belum pernah melihatnya bermain serius, bahkan tidak di tournament go."

Mengabaikan komentar itu, Hikaru berkata pada Mitani, "Kau ingin aku bermain serius?" kau benar ingin melawanku saat aku serius? kalimat itu tidak diucapkan, tapi bahkan Mitani bisa membayangkan Hikaru mengatakannya.

Mitani menelan ludah dan mengangguk.

Hikaru tersenyum, menyembunyikan seringai, "Baiklah. Kita mulai dari awal lagi?"

"Nigiri."


Nakatsu Nakamura adalah seorang reporter majalah go. Dia bingung sendiri takdir apa yang membawanya ke tempat ini, ditengah-tengah wartawan majalah seni dan budaya. Ia menyelinap untuk mencari temannya yang menjadi biang-kerok dan menemukannya sedang berbicara dengan pelukis yang menjadi tema utama malam ini. Marcus North, pelukis dari Amerika yang sedang memamerkan lukisannya keliling dunia. Mengejutkan melihatnya memilih tema oriental, terutama Jepang dan membuat pameran di Tokyo sebagai puncaknya. Mereka berkenalan sebentar sebelum pria itu membawa mereka mengamati lukisannya.

Orang bilang, para maniak go pasti bisa mencium bau go hingga sejauh 1 km dan bahkan matanya akan otomatis segera menemukan sesuatu yang berhubungan dengan go. Awalnya ia menganggap itu pikiran yang lucu. Tapi setelah malam itu, ia takut akan mempercayai mitos itu. Di depannya, apa yang disebut Marcus sebagai lukisan utama, terpampang model yang sedang naik daun, yang beberapa bulan ini wajahnya menghiasi majalah, koran, tv bahkan seluruh Shibuya. Tapi bukan itu yang menarik perhatiannya. Yang lebih menarik perhatiannya adalah biji hitam dan putih yang terangkai di goban yang sedang dimainkannya. "Ano... mr Marcus... apakah permaian itu nyata?" itu pertanyaan memalukan sebenarnya, karena ia bisa melihat jika itu memang nyata! Dan hanya ada satu orang yang ia tahu bisa memainkannya—"Tentu saja itu nyata. Aku bertemu dengannya di Amerika saat ia mengikuti Kuwabara Honinbou, kau tahu kan murid Kuwabara-sensei? Kalau tidak salah namanya Shindou Hikaru."—SAI, bersamaan dengan itu pikiran Nakatsu membisikkan nama Hantu dari NetGo.


A/N

Aku tahu! Aku tidak bisa dimaafkan karena menghentikannya tepat di tengah misteri! Kalian bisa membunuhku, tentu jika kalian tidak ingin tahu cerita selanjutnya :P

Maafkan aku! Disini tidak ada banyak interaksi AkiraxHikaru. Tapi aku janji akan memberikan banyak fans servis di chapter selanjutnya. Jika kalian bisa bersabar!

Selanjutnya adalah Ujian Pro!