Rasa sakit memilukan itu terus berkecamuk di dada Arturia. Gadis cantik berambut pirang itu terus menangis. Membasuh paras eloknya dengan air mata. Mata Artur terpejam. Tak kuasa menatap peristiwa berdarah yang tercipta oleh ayunan pedangnya. Tentu ia merasa terguncang. Ia tidak pernah menginginkan hal ini terjadi. Ia ceroboh karena memilih Shirou sebagai masternya.

Bukan hal yang baru memang bagi Arturia melihat pertumpahan darah. Pada masanya, ia sering kali melihat orang terbunuh. Jika kurang beruntung, maka ia akan melihat jasad orang-orang itu dengan kondisi mengenaskan, seperti anggota tubuh yang tak lagi utuh. Tapi kasus itu sungguh berbeda dengan sekarang. Mereka yang ia bunuh adalah orang-orang yang tidak bersalah.

Merupakan suatu penyesalan terbesar dalam hidupnya karena ia sudah mengabaikan semua peringatan dari Archer. Ia terlalu serakah dan berambisi mendapatkan Grail, sebuah benda yang mampu mengabulkan permintaannya. Ia sampai tidak mengindahkan prasangka buruknya atas kenaifan lelaki itu. Arturia tidak pernah memperhitungkan kalau Shirou tega menukar dirinya dengan orang yang sama sekali tidak ada andilnya dalam kesuksesan pertempuran Holy Grail War. Pikiran gadis itu dikabuti ambisinya. Kini hanya ada penyesalan yang terpendam di benak. Tidak banyak yang dapat ia lakukan sekarang. Seluruh pergerakannya terbatas sebagaimana Caster menguasai tubuhnya. Sekarang ia hanya dapat berharap keajaiban akan datang padanya sesegera mungkin.

'

'

'

"Arturia..." Sahutan kalem itu mendadak membuat Arturia membuka matanya lebar-lebar. Gadis itu terperanjat kaget melihat sosok lelaki berambut pirang berdiri angkuh dihadapannya dengan melipat kedua tangan di depan dada. Bukan masalah ia bersikap angkuh seperti itu. Karena pada dasarnya, pria itu memang berperangai demikian. Tapi eksistensi pria itu membuat Arturia keherenanan. Bagaimana bisa Gilgamesh berada disini kalau posisi archer sudah ditempati servant milik Tohsaka?

"Ba-bagaimana bisa?" Arturia tergagap. Mimik wajahnya yang menampilkan ekspresi keheranan mengundang tawa bahana Gilgamesh ke seluruh penjuru ruangan.

"Hahaha! Kenapa kau harus heran seperti itu? Kau kaget aku ada disini? Bukan kah ini suatu anugrah bagimu menyadari calon suamimu ternyata masih hidup?" Kelakar Gilgamesh sambil berkacak pinggang.

"Ini bukan saatnya untuk bercanda!" Arturia melebarkan jarak diantara kedua kakinya, mengambil kuda-kuda untuk mengantisipasi segala kemungkinan buruk yang akan terjadi dengan kehadiran Gilgamesh. Ia menambahkan, "aku mungkin tidak tahu bagaimana caramu kembali hidup di dunia ini, dan aku juga tidak mau tahu. Namun, kehadiranmu disini merupakan suatu ancaman bagiku."

"Wow wow, tunggu dulu! Kau terlalu sensitif, Artur. Aku tidak punya niat untuk bertarung denganmu. Setidaknya untuk sekarang. Aku tidak ingin bertarung dengan boneka Caster seperti dirimu yang sekarang. Bahkan kau nampak kelelahan karena ini semua. Aku tidak yakin kau akan mengerahkan seluruh tenagamu untuk melawanku sekarang." Sindirnya dengan mata yang berpedar seantaro ruangan. Ruangan ini dipenuhi bercak darah mayat-mayat manusia yang Artur habisi nyawanya beberapa waktu lalu. Bahkan cipratan darahnya mencapai langit-langit ruangan. Itu semua Artur lakukan demi memulihkan mana Caster yang kerap kali kehabisan mana.

"Ba-bagaimana caranya kau tahu kalau Caster mengambil alih diriku?" Arturia menautkan kedua alisnya.

"Hahaha! Jawabannya mudah saja, aku tidak mungkin tidak mengetahui kabar calon istriku sendiri." Jawab Gilgamesh enteng sembari mengendikkan bahunya.

Arturia memicingkan matanya, "Jadi kalau bukan untuk bertarung denganku. Lantas apa tujuanmu kemari?" Tanya sang gadis dengan nada tegas. Ia tahu persis, sifat licik melekat erat pada diri Gilgamesh. Bukan tidak mungkin, Gilgamesh akan menyerang dirinya kalau ia lengah. Maka, tidak ada alasan untuk membuat celah dihadapan pria itu.

Gilgamesh berdecih, membuang ludahnya kesembarang arah. Ia yang awalnya tampak santai kini menunjukkan muka seriusnya. "Tujuanku disini?" Suara Gilgamesh meninggi. "Tentu saja untuk merebut kembali apa yang sudah menjadi milikku."

"Apa? Aku tidak mengerti maksud ucapanmu!" Miliknya? Apa yang sudah menjadi miliknya? Apa dia bermaksud menclaim bahwa Holy Grail adalah miliknya? Kalau itu maksud perkataannya. Maka Arturia tidak akan segan-segan menyerang lelaki itu tanpa ampun.

"Nanti juga kau akan mengerti, tapi apa kau tidak ingin mengucapkan salam perpisahan padaku?"

"Dengar, kalau yang kau maksud Holy Grail adalah milikmu. Maka kau salah besar. Kita akan tentukan pemiliknya setelah kita bertarung disini, King of Heroes!" Tandas Arturia. Ia mengacungkan pedangnya kearah pria itu.

"Ck, bukan itu yang kumaksudkan, tapi kau. Tidak kah kau ingat kalau kau telah menjadi milikku sejak sepuluh tahun lalu? Kejam rasanya jika kau sampai melupakan itu." Kali ini Gilgamesh merenggut. Raut mukanya menunjukkan bahwa ia seolah-olah tengah terluka. Tidak ada raut ketakutan ataupun getir akibat ancaman Arturia.

Arturia tidak mengindahkan omongan lelaki itu, "Aku tidak suka berbasa-basi terus menerus seperti ini dan aku juga tidak pernah merasa bahwa aku pernah menjadi milikmu, hal itu takkan pernah terjadi! Jika kau memang menginginkan pertarungan, maka hadapilah aku sekarang!" Diiringi perkataannya, Arturia mengambil langkah seribu untuk melakukan serangan pertama pada sosok itu. Namun dewi fortuna sepertinya sedang tidak berpihak padanya. Belum sempat ia mengayunkan pedangnya, Gilgamesh lebih dulu melakukan sesuatu padanya.

"Wah, sayang sekali ya kalau begitu... Kau nampaknya tidak pernah belajar dari pengalamanmu menghadapiku 10 tahun lalu." Lirih Gilgamesh. Ia membentuk sebuah seringaian.

'Sial!' Batin Arturia mengumpat. Apa yang ia khawatirkan kini berubah menjadi kenyataan. Gilgamesh memang sudah mempersiapkan segalanya untuk menjebak gadis itu. Sebab seiring dengan umpatannya, sebuah benda tumpul meninju belakang leher si gadis hingga kesadarannya lumpuh. Gadis itu limbung. Namun tidak sampai membuat kepalanya menyentuh permukaan. Tubuhnya lebih dulu tertahan oleh rantai yang membelit tubuh rampingnya.

"Bajingan kau, Gilgamesh!" Desis Arturia dengan sisa-sisa kesadarannya sebelum akhirnya pandangan gadis itu menggelap buram dan matanya terkatup rapat.

"Terima kasih atas pujiannya, sayang." Senyum penuh kemenangan tercetak di bibir Gilgamesh. Tidak sulit baginya melumpuhkan seorang Saber. Pada dasarnya, ia memang tidak pernah berniat melukai gadis pujaan hatinya itu. Bahkan dulu saat ia menyiksa Arturia di ballroom. Semata-mata karena Arturia mendesaknya melakukan hal itu. Ia benci mendapat penolakan. Di sepanjang sejarah hidupnya, Gilgamesh selalu mendapatkan apa yang ia inginkan. Harta, tahta, dan kejayaan selalu dikuasai olehnya. Tanpa terkecuali untuk urusan percintaan. Ia harus mendapat gadis yang dicintainya. Oleh karenanya, ia juga merasa perlu melakukan hal ini. Ia berniat menculik Arturia dan merebutnya dari genggaman Caster.

Tidak berhenti sampai disitu, Gilgamesh mengulurkan tangannya. Mulutnya merapal suatu mantra hingga sebuah cahaya keemasan berbentuk bundar terbentuk di hadapan Arturia. Bersamaan dengan hal itu, secara perlahan tubuh Arturia tertarik ke dalamnya. Gilgamesh berniat melempar Arturia ke dimensi lain. Bermaksud agar Caster tidak dapat mengaktifkan command spellnya sampai ia membunuh Caster, Gilgamesh akan mengurung mempelai wanitanya disana.

"Istirahat yang cukup, King of Knight. Karena begitu aku mendapatkan Grail, kita akan hidup bersama dalam keabadian." Gumam lelaki itu. Ia melebarkan seringaiannya.

'

'

'

"Ibu!"

Untuk kesekian kalinya, aku mendengar suara itu lagi. Suara seorang anak laki-laki. Aku tidak mengenali suara itu. Tapi, aku merasa suara itu sangat familiar denganku.

"Ibu, lihat ayah bu, dia melakukan itu karena dia sangat mencintaimu."

Kali ini suara itu dikumandangkan oleh seorang anak perempuan. Lagi, aku merasa sangat familiar dengannya.

Tiba-tiba sekelebat cahaya putih memenuhi pandanganku. Mengusir setiap kegelapan yang menyelimuti iris mataku sejak lama sekali. Mataku terasa sangat perih karena lama sekali aku tidak merasakan sebuah cahaya dalam pandanganku. Dari cahaya itu, terbentuk sebuah benda berwarna emas. Aku tidak tahu benda apa itu. Tapi lagi-lagi aku merasa sangat familiar dengan benda tersebut.

Tak lama kemudian, pandanganku berangsur menjelas. Benda tersebut ternyata berada dalam genggaman seseorang. Genggaman sebuah tangan kekar. Seseorang yang mengenggam benda itu merasa sangat bangga. Terbukti ketika ia mengangkat tinggi-tinggi benda itu ke angkasa. Lalu ia berbisik pelan, aku tidak tahu apa yang ia katakan. Suaranya tampak redup. Namun yang kutahu pasti, orang itu menyebut namaku dalam bisikannya.

Seiring dengan hal itu, pandanganku tiba-tiba berputar. Aku seakan-akan tersedot oleh pusaran air. Terus begitu sampai aku berdiri di sebuah ladang yang membentang luas. Sejauh mata memandang hanya terdapat hamparan rerumputan ilalang dan sebuah pohon rimbun yang berdiri kokoh ditengah-tengahnya. Disana tampak seorang pria dewasa yang sedang diapit dua anak kecil. Pria itu mengulurkan tangannya padaku. Dan entah bagaimana, tanpa diperintah tanganku menyambut uluran tangannya. Disaat itu juga, dua anak kecil itu memeluk kedua kakiku dengan sangat erat.

"Aku sayang kalian semua."

Jantungku seolah ingin melompat keluar. Karena ucapan tadi, tak lain adalah ucapanku sendiri. Aku tidak mengerti maksud dari semua ini. Tapi belum sempat aku berpikir untuk memecahkan misteri ini. Semuanya sudah kembali gelap seperti sedia kala.

'

'

'

Terang. Sinar matahari yang agung itu menerobos masuk menusuk kelopak mata Arturia, gadis mungil dengan mata hijau zamrud yang memukau itu terbangun dari atas ranjang kebesarannya. Gadis itu melenguh sebentar sebelum akhirnya ia melakukan peregangan. Arturia mengedip-edipkan matanya sejenak untuk menghilangkan pandangan kabur. Seketika kepalanya terasa sakit. Kepalanya pening hingga ia meringis kesakitan dan meletakkan satu tangannya di atas kepala. Ia serasa habis terbangun dari masa hibernasinya.

Apa yang terjadi? Itulah pertanyaan yang langsung terbesit di kepala Arturia. Kepalanya terasa sangat sakit sampai ia tidak dapat merekam kembali ingatan terakhirnya. Namun tiba-tiba saja mata gadis itu membulat secara sempurna saat menyadari tubuhnya tidak terbalut sehelai benangpun. Jelas ia terkejut. Apalagi setelah ia menyadari bahwa ia tidak dapat mengenakan zirah bajanya dengan menggunakan sihir. Sebenarnya apa yang sudah dialami olehnya?

Tidak ada waktu untuk memikirkan hal itu. Arturia lantas berusaha bangkit dari ranjangnya. Ia ingin mencoba memahami keadaan sekitarnya dan segera mencari pakaian. Yang kini ia sadari ialah ia sedang berada di dalam kamar sebuah hotel mewah dengan kondisi tanpa busana. Arturia melangkah tertatih-tatih kearah jendela yang membingkai luas di ruangan itu. Entah mengapa, selangkangannya terasa sakit sekali sehingga membuat langkahnya terganggu.

Takjub. Kata itu lah yang dapat mendeskripsikan apa yang tengah dialami Arturia saat ini. Dari balik kaca jendela, ia dapat melihat panorama kota ketika menjelang fajar. Sungguh indah kota itu saat dilihat dari ketinggiannya. Dan ia dengan jelas dapat menafsirkan bahwa ia tidak sedang berada di Kota Fuyuki. Ini seperti Tokyo, atau memang sebenarnya ini Tokyo. Itu terbukti dari arah timur laut gadis itu berdiri terdapat replika menara Eiffel berwarna merah. Tidak seperti Kota Fuyuki, disini terdapat lebih banyak gedung pencakar langit. Semua itu tampak indah ketika matahari menyembul secara malu-malu dari balik gedung-gedung.

Sesaat setelah Arturia merasa selesai menikmati pemandangan indah itu. Tiba-tiba seseorang menyahut dari balik tubuhnya,

"Senang dengan apa yang kau pertontonkan?"

Arturia refleks membalikkan tubuhnya, menghadap ke sesosok pria berambut kuning emas yang menatapnya dengan alis yang mengkerut.

"Gilgamesh." Sebut sang gadis dengan penuh intonasi penekanan. Arturia menyipitkan matanya, tanda tak suka dengan kehadiran pria itu. Tentu ia berpikir kalau pria itu adalah dalang dibalik kejadian ini semua. Dan sekarang ia sedikit ingat kalau pria itu menculiknya beberapa waktu lalu.

Otak cerdas wanita itu mulai menalarkan pikirannya. Gilgamesh membawanya pergi jauh dari Fuyuki. Menjauhkannya dari pertempuran sengit disana. Pantas saja gadis itu tidak dapat menggunakan sihirnya. Nyatanya ia berada diluar jangkauan batas jarak penggunaan sihir. Begitulah sekiranya pikiran gadis itu.

"Apa yang sedang kau lakukan ditepi jendela? Kau sedang mempertontonkan tubuhmu untuk orang-orang diluar sana, hm?" Tukas pria itu sakartis sambil bersilang dada. Ucapannya itu kontan menyentakkan Arturia dari lamunannya. Ia yang tersadar segera menghampiri Gilgamesh dan melayangkan tinjunya tepat di pipi pria itu hingga terjatuh.

"Apa yang sudah kau lakukan padaku brengsek?! Dan kemana kau membawaku pergi?!" Geram Arturia gusar. Ia menindih tubuh Gilgamesh sembari menarik kerah baju pria itu. Gadis itu memang kehilangan kekuatan sihirnya, tapi bukan berarti kekuatan fisiknya pun ikut lenyap.

"Apa yang telah kulakukan padamu? Aku tidak melakukan apa-apa! Tentu saja kita sedang berada di hotel untuk menikmati malam pertama kita. Kita sedang berbulan madu, kau ingat?"

'Bulan madu?' Batin Arturia bertanya. Arrrrgghhh, kepala gadis itu mendadak digerayangi rasa sakit itu lagi. Sekelebat ingatan tiba-tiba saja terekam ulang di pikirannya. Ingatan yang menegaskan bahwa dirinya dan Gilgamesh adalah pasangan pengantin baru. Putaran ingatan itu juga menampilkan dirinya pada saat mengenakan gaun putih panjang dan berikrar janji sehidup semati dihadapan pendeta.

Tubuh Arturia lunglai, ia akhirnya terjatuh. Namun Gilgamesh dengan sigap menangkap tubuhnya ke dalam dekapan pria itu. Raut cemas jelas terpancar dari wajah Gilgamesh.

"Arturia! Kau kenapa? Ada apa denganmu?" Berkali-kali Gilgamesh menepuk-nepukan tangannya ke pipi Arturia. Namun 'gadis' yang kini sudah menjadi seorang 'wanita' itu tak kunjung menyahut. Deruan napas Arturia tidak teratur dan gerak matanya lemah. Itu membuat kadar intensitas kecemasan pada diri Gilgamesh bertambah.

"Arturia, Arturia, Arturia!" Teriak Gilgamesh memanggil nama istrinya. Sadar bahwa ia tidak bisa mengandalkan teriakannya saja untuk menyadarkan Arturia. Gilgamesh akhirnya memutuskan untuk segera mengambil tindakan.

Tangan kokoh pria itu dengan cekatan melingkar di leher dan lutut wanitanya, lalu diangkut olehnya tubuh Arturia untuk ia bawa dan letakkan diatas ranjang. Pria itu dengan gesit meraih ponsel yang terdapat disaku celananya. Ia hendak melakukan emergency call. Namun niatnya itu terpaksa ia urungkan ketika Arturia kembali bersuara,

"J-jangan melakukan apapun!" Titah Arturia seraya membangkitkan posisinya menjadi terduduk. Wanita itu menunduk untuk meredakan rasa pening dikepalanya. Ia serasa habis ditinju dengan kencang. Seolah-olah kepalanya akan pecah detik ini juga.

"Artur, sayang..." Gilgamesh mengulurkan tangannya, hendak mengangkat dagu istrinya agar ia mendapat perhatian penuh darinya. Namun tangan besar Gilgamesh segera ditepis oleh Arturia dengan kasar.

"Jangan sentuh aku!" Ketus Arturia dengan napas terengah-engah. Setelah jeda, "Sebenarnya siapa aku? Kenapa aku memiliki dua ingatan sekaligus di dalam memoriku?" Tanya Arturia bagaikan orang linglung.

"Dua ingatan? Apa yang terjadi denganmu?" Tanya Gilgamesh balik bertanya. Nadanya menyiratkan rasa khawatir atas kondisi Arturia. Setelah melihat ekspresi muka Arturia yang tampak sangat kesakitan itu. Gilgamesh kembali berkata, "Kita harus pergi ke dokter, sekarang juga!" Usul Gilgamesh seraya menarik tangan Arturia. Namun gadis itu kembali memberontak dengan menghentak-hentakan tangannya agar lepas dari cengkraman Gilgamesh.

"Tidak perlu, aku hanya ingin tahu siapa diriku sebenarnya."

Gilgamesh menggerenyitkan dahinya, "Bicara apa kau ini? Tentu saja kau adalah Arturia Von Einzbern, istriku yang kini sudah mengganti marganya menjadi Pendragon. Arturia Pendragon." Jelas Gilgamesh sambil melempar pandangan penuh curiga pada istrinya. Kini ia benar-benar dilanda perasaan cemas yang luar biasa.

Arturia mengepalkan tangan di pangkuannya. Ia tidak mengerti. Sebenarnya apa yang terjadi? Ia percaya bahwa pertempuran Holy Grail War bukanlah sebuah delusi belaka. Ia paham benar kalau itu terlalu nyata untuk menjadi mimpi. Tapi perkataan Gilgamesh bukanlah sebuah dusta. Terlepas tidak adanya celah kebohongan di kedua manik mata Gilgamesh, Arturia sendiri memiliki serpihan-serpihan memori kisah cinta mereka berdua.

Mulai dari perjuangan keras seorang Gilgamesh Pendragon untuk meluluhkan hatinya. Arturia ingat betul kegigihan Gilgamesh semasa pria itu masih pemuda. Seingatnya, mereka satu SMA dan berulang kali, Arturia menolak pernyataan cinta Gilgamesh semasa itu. Arturia ingat akan kenangan itu. Ia mengingatnya secara terperinci. Semua tampak jelas dan tampak begitu nyata. Ia tidak sanggup membedakan mana kenyataan yang sebenarnya disamping ia juga memiliki ingatan bahwa ia pernah menjadi Queen of Britain dan Heroic Spirit. Seharusnya pun ia tengah bertempur dengan servant lain. Tapi ini apa?

Arturia tidak bisa mengutarakan masalah ini pada Gilgamesh tentunya. Ia masih belum bisa mempercayai lelaki itu. Ia masih menyimpan rasa curiga kalau Gilgamesh adalah pihak yang bertanggung jawab atas semua masalah ini. Betapa tidak? Diingatan sebelumnya, Gilgamesh adalah salah seorang yang ingin ia hindari dalam hidupnya. Eksistensi pria itu merupakan suatu ancaman baginya. Tapi kini? Pria itu malah memerankan peran sebaliknya. Gilgamesh dalam dunia ini adalah suaminya sendiri.

Ini gila! Disatu sisi ingatannya, Gilgamesh adalah musuh terbesarnya. Sementara ingatan lainnya menyebutkan bahwa Gilgamesh adalah kekasih sejatinya, tempat mengutarakan keluh kesah dan tempat dimana ia bisa menyandarkan kepalanya.

"Kau melamun? Sepertinya kau memang benar-benar sedang tidak sehat." Gilgamesh menghela napas sebentar sebelum melanjutkan perkataannya. "Tapi, beristirahatlah kalau kau memang tak ingin pergi ke dokter. Mungkin aku terlalu 'keras' padamu semalam sehingga membuatmu menjadi seperti ini. Kudengar dari seseorang kalau gejala asing seperti ini wajar dialami seorang wanita seusai menjalani proses malam pertama pernikahannya." Pria itu secara perlahan membimbing tubuh Arturia agar berbaring. Arturia menurut saja, pikirannya sedang melayang-layang. Bahkan ia sendiri tidak mencerna kalimat serta ucapan pria itu, ia sibuk berpikir mengenai perihal tak lazim ini.

Tak menghiraukan lamunan istrinya. Gilgamesh berlalu dari tempat itu lalu lekas kembali beberapa waktu kemudian sambil membawa segelas air mineral.

"Aku akan menaruh ini disini." Gilgamesh menaruh gelas bawaanya keatas meja disamping ranjang. Ia menoleh kearah Arturia. Bertukar pandang sejenak dengan wanita itu lalu berkata, "Tidurlah sedikit lebih lama disini, aku akan pergi ke kamar sebelah dulu. Bertemu orang tuamu untuk membahas masalah ini. Barang kali orang tuamu lebih berpengalaman dalam mengatasi hal semacam ini." Ujarnya datar.

Arturia terdiam, tidak menanggapi perkataan Gilgamesh. Bahkan hingga pria itu lenyap dari pandangannya pun ia masih tetap diam. Orang tuanya katanya? Apa itu berarti Uther Pendragon ada disini? Tapi bagaimana caranya ia kembali hidup? Eh tapi tunggu dulu. Bukankah beberapa saat lalu Gilgamesh berkata kalau marga sebelumnya yang ia sandang adalah 'Von Einzbern'? apa itu berarti...

"Arturia, sayanggggg~ kau dimanaa?" Pekikan nyaring itu terkumandang sesaat setelah Arturia selesai mencerna kalimat Gilgamesh. Arturia terkesiap saat mata emeraldnya menangkap sosok wanita berambut putih keperakan datang menghampirinya.

"Ah kau disini rupanya. Oh astaga kau kenapa, sayang? Kau tampak tidak sehat."

"Dia memang sedang tidak baik-baik saja, Irisviel." Timpal Gilgamesh sambil menyandarkan sebelah bahunya di tembok ruangan.

"A-a a." Arturia tergagap. Mulutnya terlalu kelu untuk mengatakan sesuatu. Jelas ia terkejut. Setelah kematian menjadi tembok pemisah hubungan persahabatan Irisviel dengan dirinya sepuluh tahun lalu. Kini sosok wanita itu kembali lagi.

"Maaf aku tidak jadi pergi. Karena rupanya tanpa perlu aku datang kesana, Irisviel sudah berdiri didepan pintu sesaat setelah aku membukanya." Celetuk Gilgamesh cuek.

"Hei, sudah kubilang panggil aku ibu! Harus berapa kali aku mengatakannya agar kau mau menurut padaku?!" Ketus Irisviel murka. Lawan bicaranya hanya memutar bola mata rubynya dengan malas. Sementara Arturia yang tidak mengerti dengan sikap mereka hanya mengerjap-ngerjapkan matanya. Ingatan wanita itu masih remang untuk diingat. Sehingga ia tidak tahu apa harus ia melerai mereka atau tidak. Selepas dari hal itu, ada hal yang lebih penting untuk ia lakukan sekarang. Ia ingin memastikan sesuatu.

"Ibu?" Panggil Arturia lamat-lamat.

Irisviel yang memang memiliki pendengaran cukup tajam, lantas segera menyahut, "Eh iya? Ada apa sayang?" Tanya wanita itu lembut. Arturia tidak lekas menyuarakan mulutnya. Ia tidak mungkin bertanya 'apakah kau benar ibuku?' pada dirinya. Itu hanya akan menyeret dirinya ke situasi yang lebih rumit. Bukankah itu merupakan suatu hal yang keterlaluan apabila seorang anak sampai lupa siapa orang tuanya sendiri? Dengan hanya membalas sahutannya saja pun. Arturia sudah cukup yakin kalau di dunia ini, Irisviel adalah ibunya.

Ah ya, meskipun demikian, tentunya Arturia tidak akan mudah larut dalam situasi ini. Ia masih percaya bahwa ini adalah replika dari dunia nyata yang tak lain adalah dunia genjutsu. Maka dari itu, ia harus segera mencari tahu jalan keluarnya tanpa perlu bertanya apapun kepada siapapun. Ia harus lebih sering membungkam mulutnya. Sebab semakin sering ia bertanya, semakin sering pula ia dijejali ingatan absurd yang menggerogoti ingatan dan pikirannya. Begitulah asumsi gadis itu. Ia berpikir demikian karena sejak tadi, jika ia menanyakan dan berusaha mengingat sesuatu, pikirannya serasa disiksa. Arturia harus lebih berhati-hati. Terlebih pada Gilgamesh.


TBC


Halooo author dengan nick baru hadir disini, hahaha. sebenarnya saya sudah lama pingin publish fic di fandom ini :3 tapi waktu luang saya hanya sedikit jadi baru kesampean sekarang. Fic ini sebenernya terinspirasi dr film inception yg tipe mind blown gitu .-. tapi saya rasa saya sudah gagal membuat karya yang setara dengan inception sendiri hahahaha. bahkan jauh dari harapan, karya ini terkesan abal. tapi bila berkenan, saya minta review kalian dong agar kedepannya saya jadi lebih baik. untuk judul sendiri saya dapat dr soundtracknya bleach, sagisu shirou - incantation. saya dengerin lagu itu terus saat menulis fic ini haha.

Mohon Reviewnya ya!