'Srek, srek ...'

Onomatope di atas sudah pasti hasil dari pertemuan kaki pena dan muka kertas. Hari baru menginjak senja, namun perpustakaan Teikou sudah sepi dari penghuni. Hanya ada beberapa individu di sana, termasuk salah satu yang berjibaku di sudut dekat jendela, asal dari bunyi yang tadi disebutkan.

Pena terangkat, manik kembar sebiru langit ganti menilik ceceran huruf kana dan beberapa kanji yang telah ia toreh. Tidak ada pergerakan susulan hingga sepotong nafas terhembus dari bibir pucat si penulis.

'Pluk!'

Si kertas kini didaulat sebagai kegagalan dan telah berkumpul dengan rekannya di pojok meja yang suram sehabis dikepal menyerupai bola sebagai pelampiasan frustasi. Selesai itu, si penulis lantas meratapi buku catatan fisikanya yang semakin menipis karena berulang kali dirobek dalam risau.

Dengan ini, Kuroko Tetsuya resmi menyatakan dirinya gundah dirundung badai asmara yang bergejolak dalam nurani—atau yang gaulnya biasa disebut 'galau mau nembak gebetan'. Sungguh pemuda itu lebih memilih terjun bebas dari puncak Tokyo Skytree, daripada mellow diaduk-aduk perasaan sendiri.

Lagi-lagi karbon dioksida hasil respirasi melesat dalam bentuk helaan berat.

Jemari kurus si sky blue kembali menggerayang alat tulis yang tadi sempat terabaikan. Mencoba fokus, seluruh jaringan di kepala Tetsuya kembali dipusatkan pada si objek afeksi yang sejak satu jam lalu terus berputar-putar di hati bagai gangsingan.

Kagami Taiga.

Blush!

Hanya mengingat namanya saja sudah bisa membuat paras manis yang sebelas-dubelas dengan tembok itu dihujani sapuan merah. Cukup membayangkan sosok panas—berapi-api, bukan panas 'hot' yang itu—berambut merah-hitam dan semua kata-kata yang telah susah payah dijalin Tetsuya menguap tanpa bekas.

Satu lagi kertas yang mengimitasi bentuk onigiri—nasi kepal—setelah ilham si penulis tersendat di tengah tenggorokan.

'Kami-sama, apakah kasmaran itu serancu ini?' Tetsuya menelungkupkan muka pada telapak tangan, dilanjutkan dengan aksi mendenguskan sepotong nafas miris.

Setelah mengalaminya secara pribadi, barulah makhluk Tuhan yang hawanya paling transparan itu mulai menghargai perasaan gadis-gadis puber—yang dinilainya overacting—di FTV yang kerap ditonton maid-nya di rumah.

Tangan dilipat di atas meja, kepala dengan mahkota icy blue itu pun terkulai tak berdaya. Sepasang orb aqua beralih dari jajaran lemari buku menuju ke arah barisan jendela pada dinding di bagian barat perpustakaan. Kembali menghela nafas, Tetsuya galau.

Langit senja yang mulai dilukis garis lembayung menjadi primadona pemandangan di luar sana. Lampu-lampu di halaman sekolah kini berpendar, menggantikan tugas matahari untuk membimbing para murid pulang ke rumahnya. Barisan gedung olahraga yang terbentang di seberang jendela kini menjadi fokus tatapan Tetsuya.

"Kagami-kun pasti sedang bermain basket sekarang ..." gumam si baby blue pelan, matanya kini terpejam.

Dibuai lamunan, kotak imajinasi pemuda mungil itu pun mengelana, membayangkan bagaimana hebatnya sang pujaan hati saat menggulir si karet oranye. Bagaimana sepasang kaki jenjang itu akan melompat tinggi untuk melancarkan aksi dunk-nya yang memukau. Bagaimana wajah tan itu akan tertawa puas setelah berhasil mencetak angka.

Sekonyong-konyong, bibir sewarna buah peach itu pun menarik segaris senyum tipis.

"Daisuki desu, Kagami-kun ..."

Ujung pena kembali menari di atas kertas putih.


Kuroko no Basuke © Fujimaki Tadatoshi

Hengenjizai no Magical Star (Fic) © Furi Shirogane.

Hengenjizai no Magical Star (Title Song) © Granrodeo

Warning: OOC, AU setting, Typo(s), sho-ai, mulut Kagami, etc.

O tanishimi kudasai!


Chapter 1: Love Letter

Tetsuya tengah mengepak seperangkat barang bawaannya, ketika dua butir kepala bersurai kontras menyembul dari balik double-door perpustakaan.

"Tetsuya!" Salah satu pendatang baru yang memiliki helaian dark choco memekik gaduh dari arah pintu. Tatapan tajam dari para pengunjung yang terganggu sukses membuat nyali pemuda itu seketika mengkeret bak kerupuk basah.

"Jangan berteriak ketika berada di perpustakaan, Shigehiro-kun." Dahi si kepala teal berkerut karena kelakuan sahabatnya. Berjalan mendekat, lengan kurus Tetsuya kini mendekap tiga seri novel misteri setebal gigi kuda yang tidak muat diboyong masuk tas.

"Mau gimana lagi," Ogiwara Shigehiro menggembungkan kedua belah pipinya childish. "Kalau aku tidak teriak pasti akan sulit menemukanmu." Melihat raut keruh pada wajah yang lebih mungil, pemuda kokoa itu mengalah. "Iya. Iya. Aku minta maaf. Aku gak kan buat keributan kayak gitu lagi ..." si biang ribut menawarkan cengiran riang.

Kepala sewarna langit menggeleng pasrah. Mengesampingkan yang berisik, perhatian Tetsuya kini beralih pada satu lagi oknum yang mengekor kehadiran Ogiwara. "Otsukare sama deshita, Kagami-kun. Tumben baru selesai latihan jam segini."

Kagami mengangguk singkat. "Ini semua gara-gara si iblis merah sialan itu." Alis eksotis menukik tajam bersamaan dengan mulutnya yang mendesiskan kata 'iblis merah'. "Lagi PMS apa dia?! Mau latihan atau menggiring kami ke kuburan? Dasar Sadis! Do-S! Untung saja dia ada urusan hari ini."

Entah mengapa gelagat si marun yang senewen membuat Tetsuya geli sendiri. "Kalau Akashi-kun dengar kata-katamu tadi, kau bisa disembelih lho, Kagami-kun."

Bukan mau menakuti apalagi hiperbolis, namun memang itulah kenyataannya—bahkan Tetsuya yang bukan anggota klub basket saja tahu.

Karena memang kengerian kapten klub basket SMU Teikou—klub tempat Ogiwara dan Kagami bergabung—sudah terkenal gaungnya seantero sekolah. Sungguh bukan hal yang aneh lagi, jikalau ada satu atau dua jiwa inosen yang menangis trauma hanya karena bertatap langsung dengan yang bersangkutan.

"Benar, Kagami." Ogiwara tiba-tiba ikut serta. Lengan pemuda brownish itu mengalung manja pada leher Tetsuya dari belakang. "Kalau nanti kau binasa di tangan Akashi, aku ogah menggantikan giliranmu membersihkan gym. Repot." Osananajimi—sahabat dari kecil—Tetsuya ini benar-benar kurang empati pada rekan timnya sendiri.

Urat siku-siku berdenyut pada pelipis yang dibingkai oleh serabut dark red. Ogiwara yang menangkap adanya sinyal bahaya, segera membenamkan tempurungnya pada punggung Tetsuya sebagai bentuk perlindungan.

"Temee! Kau—"

"Tetsuya, selamatkan aku!"

"Sssssttt!"

Aksi kucing-kucingan antara Kagami dan Ogiwara harus terhenti lantaran dikirimi tatapan membunuh dari para penghuni perpus yang kesabarannya semakin menipis. Heran mereka semua, mengapa makhluk bising macam keduanya tidak segera angkat bokong dari area yang butuh ketenangan absolut itu.

Tetsuya anggap tingkah Kagami-Ogiwara sebagai angin. Sambil memapah muatannya sedikit kepayahan, yang paling pucat mulai melangkah menuju pintu keluar demi menghindari konflik lebih lanjut. Sadar dirinya ditinggal, yang lain pun dengan patuh segera membuntut pada punggung yang paling pendek layaknya anak ayam.

Kagami yang melihat tumpukan buku—yang tampak sekali bobotnya tidak ringan—dalam pelukan Tetsuya mendadak tercetus sebuah inisiatif heroik.

"Sini, biar aku saja yang bawakan." Tanpa menunggu respon dari empunya, si macan dengan gesit merenggut ketiga buku tersebut. Dengan perkasa, Kagami hanya butuh satu tangan untuk membopong semuanya sekaligus. "Ini pasti kelewat berat untukmu, kan? kalau keseringan bawa yang seperti ini kau akan selamanya pendek."

Meski hati tersentuh karena telah dibantu, batin Tetsuya tetap gonjang-ganjing tatkala kata tabu tadi melesat dari bibir si reguler Teikou. Sudah kodratnya sebagai kuudere, hal tersebut sama sekali tidak akan memberi impact pada raut Tetsuya yang datar bersaing dengan pantat teflon.

Dan poor Kagami, tidak dapat mendeteksi apa yang akan menimpanya.

"Aku tidak pendek—" Jab! Ulu hati Kagami digali oleh jari-jari Tetsuya dengan power yang tidak proporsional dengan tubuhnya yang kurus. "—hanya Kagami-kun saja yang kelebihan gizi hingga tingginya tidak manusiawi."

Kagami melenguh pilu dengan kedua lengannya mendekap ulu hati. Dunia si remaja crimson itu menghitam karena tidak kuat menahan sensasi perih yang sesaat tadi menjilat area abdomennya. "Kuroko temee ..." Si kepala merah kini menggeliat di tanah bagai cacing dengan bokong terangkat tinggi di udara.

Melihat teammate-nya menderita, Ogiwara lantas terbahak riang seolah menonton scene paling humoris dalam acara sitkom. Dilihat sepintas juga sudah jelas bahwa si brunette tidak memiliki niat apapun untuk meringankan derita sang kawan.

Kesal karena sakitnya ditertawakan, Kagami lantas mengecup ubun-ubun Ogiwara menggunakan sudut novel hard cover Tetsuya yang saking tebalnya, nyaris ilegal untuk menjabar jumlah halamannya secara total. Setelah sambitan, dibalas geplakan berakhir dengan lengan yang saling mengunci leher lawannya. Tak butuh waktu lama bagi kedua putra adam dengan surai gelap di sana untuk saling bergelung panas bak pegulat amatir.

Tetsuya mendengus melihat kedua temannya yang sekarang malah adu piting di tanah. Heran dia, makan apa sepasang remaja di sana hingga masih menyisakan banyak kalori untuk dibakar di penghujung hari seperti ini.

"Kalau tidak cepat aku tinggal lho, Kagami-kun, Shigehiro-kun."

******Kiseki*****

Ogiwara menyembur nafas lega seraya berucap syukur setelah lolos dari medan perang MajiBa di depan counter. Raut pemuda itu tak ubahnya pegawai kantor yang baru lolos menghirup udara bebas setelah sekian lama dipenyet dalam gerbong kereta. Tanpa membuang waktu, si bronis yang mandi peluh segera membuat bokongnya nyaman dengan mendarat mulus pada kursi di samping Tetsuya.

"Astaga. Antriannya itu lho, ngeri." Ogiwara mendramatisir. Satu tangannya mengoper gelas plastik berisi cairan vanila titipan si baby blue. Kedua orb coklat mengerling simpati ke arah Kagami yang masih terjebak di tengah antrian ganas MajiBa.

"Mau bagaimana lagi, sekarang sedang jam makan malam," Tetsuya menjawab flatly tanpa melepas kedua belah bibirnya yang kini mengapit sedotan.

Liquid manis yang melewati lidahnya terasa bagai oase penyegar setelah seharian penat menjelajah gurun ilmu di sekolah. Sambil syahdu menyeruput milkshake-nya, Tetsuya ikut menelusuri punggung Kagami yang telah berhasil mencapai kepala antrian. Raut cengo si pelayan sudah pasti akibat mendengar kuota badak yang dipesan oleh si surai marun.

"Sepertinya Kagami-kun akan lama ..."

Ogiwara hanya bisa mengangguk, tidak berani bercuap-cuap karena mulutnya tengah sibuk menggilas seporsi Chicken Fillet. Terakhir dia berbicara sambil mengunyah, Tetsuya langsung melayangkan sebuah garpu stainless steel ke arahnya.

'Menjijikan, Shigehiro-kun. Orang sepertimu harus lenyap dari MajiBa,' adalah alibi si pelaku saat itu.

Ogiwara kapok, tidak mau mengulang kesalahan yang sama hingga dua kali. Dia masih sayang nyawa dan tidak ada seorang pun yang menduga bahwa Tetuya ternyata masih satu silsilah dengan keturunan ninja. Karena di tangannya, sebatang garpu innocent akan melesat membelah udara bagaikan senjata shuriken yang mematikan.

Lama tak bersua, Kagami kembali dari medan perang sepanjang empat meter dengan setumpuk cheeseburger panas dalam dekapan. Seluruh umat Maji Burger serentak melongo saat melihat porsi Titan si remaja merah yang bombastis, melampau batas kewajaran kapasitas lambung orang normal.

"Kupikir aku tidak akan pernah keluar dari sana." Si crimson mendecak kesal. Nampannya dihempaskan dengan tidak santun, nyaris menggencet gelas soda Ogiwara yang protes. Harus terjebak antrian saat perut keroncongan tampaknya telah membuat Kagami sewot.

"Mau bagaimana lagi, sekarang sedang jam makan malam," Tetsuya copy-paste jawaban dari paragraf sebelumnya. Tidak hanya itu, sama seperti tadi sedotan putih pun masih setia menggantung di antara bibir.

"Sekali lagi ini semua gara-gara Akashi Seijuurou, si Kapten Tiran hasil cangkok silang antara iblis dan dedemit." Yang alisnya dobel menggerutu seraya melumat burger perdananya. "Bisa-bisanya dia menyuruh kami latihan hingga selarut ini. Di mana perasaannya? Apa dia tidak tahu, aku juga punya kehidupan di luar basket."

'Jika 'kehidupan' yang kau maksud itu adalah makan dan tidur, maka aku percaya padamu Kagami/Kagami-kun.' Inner Ogiwara dan Tetsuya berpadu dalam satu harmoni dalam menyahut kesaksian Kagami.

"Tapi aku setuju denganmu, Kagami." Selesai dengan fillet, Ogiwara kini sibuk mencomot kentang goreng ukuran jumbonya. "Gara-gara itu, kita jadi membuat Tetsuya menunggu lama." Alis dark choco mengkerut tidak suka.

Mendengar namanya disebut, perhatian Tetsuya terangkat dari surga duniawi yang disebutnya sebagai vanilla milkshake.

"Aku tidak keberatan," jawab yang biru miskin intonasi. "Aku bisa menunggu kalian dengan membaca buku di perpustakaan," dan menulis surat cinta tentu saja—namun sepotong kalimat terakhir biarlah hanya Tetsuya, Tuhan dan reader yang mengetahuinya.

"Kau itu, segitunya suka membaca ya?" Jidat Kagami mengernyit lepek. Bagi si power forward, membaca buku—apalagi yang setebal milik Tetsuya tadi—adalah hal yang tidak termasuk dalam daftar hal yang menyenangkan. Biarlah dia membaca—mengobok-obok—buku jika memang perlu saja.

"Ternyata memang, membaca bukanlah kegiatan yang bisa dicerna otak Kagami-kun." Tetsuya menghela nafas prihatin yang dipenuhi dusta dan olok-olok. Parasnya yang mengimitasi telenan membuat luka di hati kecil Kagami seolah ditabur garam seusai ditusuk belati deadpan.

"Kau ini ..." Kedua cabang crimson di atas mata Kagami berkedut. Pemuda semampai 190 cm itu mati-matian menahan diri untuk tidak memelintir leher tipis yang menyangga kepala biru pucat di sana. Sungguh tidak adil karena ternyata hati si kucing besar mempunyai belas kasihan pada Tetsuya hingga menghalanginya melakukan hal yang benar.

"Tokoro de ..." Ogiwara menerawang jauh seolah mengumpulkan kepingan agenda semu yang berserakan dalam ubun-ubunnya. "Kalau tidak salah, besok lusa kami ada ulangan fisika ..." Kalimatnya dibiarkan menggantung, setengah berharap sang sahabat menangkap maksudnya yang terselip.

Si pemilik manik cerulean menghela nafas. Tanpa kata, Tetsuya merogoh isi tasnya dan menarik keluar sebuah buku tulis bersampul biru gelap dengan label 'catatan fisika' di atasnya. "Shigehiro-kun harus mulai membiasakan diri untuk mencatat pelajaran di kelas."

"Hehe," Yang diperingatkan malah terkekeh seraya menimang item yang dia peroleh. "Iya, tahu. Lain kali aku akan—" Menyadari sesuatu yang ganjil, satu alis Ogiwara mengapung penuh tanya. "Sejak kapan buku fisikamu jadi setipis ini?"

Mendengar pertanyaan tadi, sontak manik Tetsuya membulat sesaat sebelum akhirnya kembali pada ukuran normal. Mustahil dia menjawab kalau berlembar halaman buku itu telah sirna karena digunakannya sebagai eksperimen menulis sepucuk love letter.

"Bukan urusanmu, Shigehiro-kun. Kembalikan saja kalau tidak mau."

Ditanggapi dengan ketus, bibir Ogiwara mengerucut. Didekapnya buku tulis itu lebih erat ke dada dengan hasrat posesif. "Iya. Iya. Tidak usah sensi begitu. Aku kan cuma bertanya."

"Melihat kalian, aku jadi ingat kalau aku juga ada tugas matematika." Kagami yang telah mencapai burger kesepuluh memanyunkan bibir. "Ah, tapi itu tidak masalah. Besok aku akan mencotek milik si Kawahara saja."

Dahi seputih susu berombak. "Kagami-kun, kau harus mencoba mengerjakan tugasmu sendiri," Tetsuya menasihati kalem.

"Kenapa aku harus mengerjakan sendiri kalau aku bisa mencotek?"

"Tetsuya benar, Kagami. Jangan mengadalkan orang lain." Ogiwara ikut menyumbang petuah dengan raut serius. Batin Tetsuya tertegun mendapati sahabatnya yang biasa merengek minta catatan itu ternyata bisa berkata demikian. Sepertinya kau harus berkaca dulu sebelum menegur yang lain, Ogiwara ...

" ... Karena mencotek pun, kalau dari Kawahara tidak akan ada bedanya dengan kau kerjakan sendiri. Paling sama-sama dapat nol ..."

Buah pikiran Ogiwara barusan langsung dihadiahi Kagami sebuah jitakan penuh cinta yang menyundut area di pucuk kepalanya.

"Bodo, ah. Aku capek. To hell dengan tugas. Habis ini aku mau langsung berendam di ofuro lalu tidur." Selesai ultimatum, Kagami memandang gunung junk food-nya yang kini tinggal beberapa biji di atas nampan. Tanpa peringatan, si merah menge-pass satu burger ke arah Tetsuya yang menangkapnya kikuk. "Untukmu. Segelas milkshake tidak akan membuatmu kenyang, kan?"

Tetsuya tampak ingin protes, namun mengurungkan niat dan lebih memilih untuk berterima kasih atas perhatian Kagami pada dirinya. Sudut pada bibir sewarna petal sakura itu pun ditarik ke atas.

"Doumo, Kagami-kun."

Deg!

Ungkapan singkat plus senyuman manis dari seorang Kuroko Tetsuya tampaknya telah menjungkir-balikkan seluruh kewarasan Kagami. Jantung si surai crimson seolah dicolek panah cupid, terasa ngilu sesaat lalu berdebar tak karuan. Entah sejak kapan, poker face di sana tampak begitu angelic dengan bunga-bunga khayalan bermekaran memenuhi setiap sudut MajiBa.

"D-Dasar! Itu kan cuma burger! Gak sah lebay gitu, napa!" Kagami salting. Wajah maskulin itu merona heboh hingga tampak menyatu dengan helaian liar yang tumbuh di atas kepalanya.

Senyum Tetsuya makin mengembang melihat reaksi si macan yang menurutnya menggelikan. Betapa dia menyukai kepolosan—dan kebebalan—Kagami yang bertolak belakang dengan perangainya yang bringas bagai macan lepas.

Ogiwara yang mendadak jadi obat nyamuk hanya bisa bungkam memandang interaksi picisan kedua teman merangkap sejoli-wannabe tersebut. Merasa terabaikan, alis berwarna kokoa itu menukik dengan telapaknya digebukan penuh nafsu di atas muka meja. "Kagami!" panggilnya membahana, menarik atensi konsumen yang lain.

Kagami yang sedang menelan makanan sebagai bentuk distraksi, nyaris saja tersedak akibat dihantam lengkingan sopran Ogiwara. Kedua kelereng merahnya menyipit tajam. "Apa maumu?!" Nyaris meregang nyawa karena hal konyol, Kagami naik darah.

"Kenapa kau tidak pernah membagi burgermu denganku?" Ogiwara terdengar merajuk.

"Hah? Kenapa aku harus melakukannya? Beli saja sendiri!"

"Tidak adil! Kau selalu membeli sebanyak itu tapi tidak pernah bagi-bagi! Kagami no kechi! Kualat baru tau rasa lho!"

"Aku tidak akan kualat hanya karena pelit burger padamu, boke!"

Tetsuya pilih diam sambil mengelupas pelapis pada burger yang baru saja dia terima. Ajang adu mulut antara kedua pemain reguler tadi nampaknya menjadi sebuah pertunjukan tersendiri untuk menemani acara makan malamnya hari ini.

Masih dipertanyakan, bagaimana orang yang tenang nan kalem seperti Tetsuya bisa kerasan dengan organisme berisik macam Kagami ataupun Ogiwara.

Baru akan menggigit, mendadak sebuah sensasi janggal mencolek alam bawah sadar Tetsuya perlahan. Kedua bibirnya terkatup rapat, alis pemuda itu pun mengkerut tipis karena was-was. Burger yang baru menempuh setengah jalan menuju mulutnya kini kembali mendarat di atas nampan.

'Apa aku melupakan sesuatu?'

******Kiseki******

Selesai mandi, Ogiwara serta-merta menghambur manja ke dalam dekapan ranjangnya yang menggoda. Sungguh bukan hiperbolis—apalagi lebay, apabila si brunette mendadak berubah puitis lalu berdiksi, 'segenap ligamenku menjerit linu dalam kebisuan'.

Ogiwara begitu malang hari ini. Tadi pagi dan sepulang sekolah dia harus menjalani latihan gaya romusha cetusan seorang Akashi. Kemudian pulang menjadi kacung dadakan Tetsuya dengan tajuk 'sahabat yang baik dan perhatian'.

Ya. Sebagai sahabat yang patut diteladani, pemuda karamel gelap itu begitu mulia membawakan tiga buku buldozer Tetsuya hingga masuk kamar si baby blue. Tidak pernah Ogiwara bayangkan, betapa berat ilmu pengetahuan itu hingga dia dipaksa menentengnya dengan kedua tangan ...

Meskipun begitu, Ogiwara ikhlas lahir dan batin. Karena bagaimana pun juga, dia tidak akan tega jika harus melihat Tetsuya memboyong semua itu dengan sepasang lengannya yang tidak jauh beda dengan roti wafer—terlampau tipis.

Bicara tentang pemuda bermarga Kuroko itu, remaja sewarna tanah itu lantas teringat dengan buku yang tadi dia pinjam.

Tidak mau membuang waktu, reguler bernomor 11 pun itu segera beranjak untuk me-review ulang materi yang sekiranya akan keluar dalam ulangan besok lusa. Sungguh ini adalah contoh konkrit dari pribahasa, 'sedia payung sebelum hujan, tidak peduli kalau hujannya terjadi dua hari kemudian ...'

Meski tampak cengengesan dan easy-going, bukan berarti Ogiwara lalai dalam edukasi. Buktinya, dia bisa bermain sebagai anggota reguler klub basket, tapi masih ajeg mejeng di kelas 1-B—kelas peringkat kedua tertinggi—SMU Teikou bersama Tetsuya.

Pluk.

Sesuatu yang tipis menyelinap jatuh dari balik lembaran buku bersampul biru milik Tetsuya. Ogiwara sejenak bengong memandang amplop berwarna cerulean yang tergeletak tanpa dosa di dekat kakinya, sebelum akhirnya berjongkok untuk meraih benda itu.

Sorot Ogiwara menyapu setiap inchi permukaan kertas di sana dalam aksen kepo yang menggebu-gebu. Menyadari sebuah fakta, sepasang kelereng sewarna daging sawo itu pun membulat dramatis. "Jangan-jangan ini ..."

Surat cinta.

Milik Kuroko Tetsuya.

Entah bagaimana Ogiwara bisa menyimpulkan demikian, mengingat amplop polos tersebut tidak sedikit pun memberikan petunjuk yang mengarah ke sana. Tidak ada embel-embel gambar hati ataupun aroma parfum yang biasanya menyatu dengan image surat cinta picisan pada manga-manga cewek.

Siapa tahu itu surat pribadi Tetsuya atau semacamnya, kan?

Katakan saja, insting seorang sahabat mampu menembus logika ...

Berbagai pertanyaan mulai berseliweran tanpa arah dalam batok kepala yang dikurung helaian sewarna lempung itu.

Tetsuya menulis surat cinta? Pada siapa? Sejak kapan? Bagaimana bisa dia bisa tidak mengetahui kalau sahabatnya itu tengah naksir seseorang? Kenapa Tetsuya tidak mengatakan apapun padanya? Kenapa dia baru tahu sekarang? Isinya seperti apa, ya?

Mengatur nafasnya yang berlarian, Ogiwara berusaha menenangkan badai tak kasat mata yang tengah berkecamuk girang dalam benaknya. Merasa bisa berpikir lebih rasional, pemuda itu pun membuat keputusan untuk menjalankan sebuah tindak anilisis.

—Bukannya Ogiwara kepo, dia hanya ingin memastikan bahwa Tetsuya tidak kesengsem pada orang yang reputasinya dipertanyakan seperti anggota geng motor atau tukang bully kelas. Tuh, kurang baik bagaimana dia? Terlebih, apa salahnya mengintip sedikit? Daripada nanti rasa curious-nya terbawa mimpi. Bisa tidur penasaran dia nanti.

Jelas sekali kalau Ogiwara Shigehiro tidak mempertimbangkan makna privasi, sekalipun 'privasi' itu menyundul bocah itu tepat di bagian pantat ...

Menelan ludah, pemuda coklat itu membuka penutup amplop yang tidak disegel dengan jari yang bergetar excited. Selembar kertas putih yang tampak begitu inosen mengintip dari celah di antara mulut amplop. Lepas dari bungkusnya, si surat kini telanjang untuk dilihat apa isi di dalamnya.

...

Sudah lama aku melihatmu namun baru sekarang aku memutuskan untuk menulis surat ini. Semangatmu dalam bermain basket adalah sebuah inspirasi untuk membuatku lebih berani. Bagiku yang selalu berada di dalam bayangan, sosokmu dengan rambut merah cemerlang adalah sebuah cahaya yang sangat terang, yang telah menarikku dari kegelapan. Aku sangat menyukaimu, semoga kau mau menerima perasaanku.

Kuroko Tetsuya.

Terdiam, Ogiwara tenggelam dalam pikirannya sendiri. Bahkan tanpa mendengar secara langsung pun, remaja brownish itu dapat merasakan betapa besar perasaan suka Tetsuya untuk si rambut merah yang di sebut dalam surat. Siapapun itu, dia adalah orang yang sangat beruntung menurutnya...

Satu hal saja yang saat ini terlintas di kepala yang dikurung hutan sewarna lempung itu. Sebagai sahabat yang baik, sudah sepantasnya dia mempermudah jalan Tetsuya untuk meraih cintanya.

Iya. Cinta ...

Betapa ironis, anak manis berambut sebiru es itu sekarang sudah tumbuh dewasa dan menemukan tambatan hatinya. Padahal rasanya baru kemarin—faktanya itu memang terjadi kemarin, Tetsuya menatapnya unyu sambil bertanya polos apa itu french kiss.

Sungguh, waktu berlalu terlalu cepat ...

Bagai seorang ayah yang akan melepas putrinya ke pelaminan, Ogiwara lantas sesengukan sambil menyeka bening cair imajiner pada sudut matanya penuh haru.

"Jangan khawatir, Tetsuya! Papa akan membantumu!"

Ogiwara telah membulatkan tekad sambil meninju udara kosong penuh determinasi. Tidak terbesit lagi dalam tempurungnya, kalau lusa bocah itu harus menghadapi segepok ulangan fisika.

Kembali menilik kertas di tangan, kedua manik Ogiwara menyorot intens pada beberapa bagian surat yang dirasanya sebagai petunjuk seputar sosok yang berhasil menarik minat sahabat—putri angkat—nya itu.

******Kiseki*****

Tetsuya berdiri gusar di atas jalan ber-paving yang menghubungkan gedung utama sekolah dengan area gym. Kedua manik icy blue pemuda itu tak pernah sekalipun lepas dari bangunan olahraga yang kini riuh oleh anggota klub basket.

Sambil mengulum daging ranum pada bibir bawah, Tetsuya resah membuka ponsel lipatnya yang masih menunjukan angka 06.45 di pagi hari. Masih lima belas menit hingga latihan di gedung seberang sana usai.

Menghela nafas, Tetsuya menutup ponselnya dan menelusupkan gadget biru muda itu ke masuk dalam saku celana. Kedua sorot biru itu kembali melekat pada gym, tempat sosok yang tengah dinantinya kini berada.

Sungguh Tetsuya ingin menggaplok dirinya sendiri karena teledor dengan keberadaan surat keramat yang ia selipkan di antara catatan fisika. Jika saja kemarin konsentrasi bocah biru itu tidak tersita oleh kehadiran sang pujaan hati ...

Sekarang yang ia bisa lakukan hanyalah berdoa agar sahabatnya tidak menyadari eksistensi surat itu di sana.

Semoga saja.

Sorot azure Tetsuya beranjak dari double-door gym Teikou menuju deret pepohonan birch yang memenuhi area halaman belakang sekolah yang terlampau lapang.

Tampak dedaunan dan rumput yang berkilauan karena masih digantungi oleh titik embun. Danau mungil di sana—salah satu fasilitas megah SMU Teikou, tengah memantulkan cahaya matahari yang baru naik sejengkal dari jatah shift kerjanya. Riuh kicauan burung dan lenguh kuda dari istal di seberang sana pun menjadi orkestra pelengkap untuk meramaikan suasana pagi ini.

Sungguh sekarang benar-benar masih terlalu pagi. Harusnya Tetsuya masih bergelung dalam kepompongnya yang hangat di atas kasur.

"Tetsuya!"

Jerit yang terlampau familiar itu memanggil seluruh kesadaran Tetsuya yang tadi sempat terseret oleh arus lamunan. Ogiwara yang masih berbalut celana pendek dan kaos oblong kini berlari kecil ke arah si cotton blue sambil mengibarkan lengannya dalam lambaian.

"Ohayou gozaimasu, Shigehiro-kun," sapa yang pendek tanpa nada seperti biasa.

"Nandai, Tetsuya? Tumben kau memanggilku saat latihan pagi." Si brownis harus mengambil jeda sejenak guna menangkap nafasnya yang memburu setelah digilas tanpa ampun oleh training pagi. Bukan hal wajar bagi Ogiwara saat melihat sahabatnya yang luar biasa kebluk itu sudah terjaga sepagi ini.

Tetsuya terdiam, berusaha merangkai kata-kata yang tepat tanpa membuka kartunya. Ditatapnya si sahabat was-was. "Shigehiro-kun ... Apa Shigehiro-kun menemukan barang milikku terselip dalam buku fisika semalam?"

"Barang?" Satu alis Ogiwara mengapung. Menangkap maksud si baby blue, satu tangannya mengepal dan dijatuhkan vertikal di atas telapaknya yang terbuka. "Ah, maksudmu amplop berwarna biru yang berisi surat cintamu itu?"

"Ya, benar—" Merasa ada yang janggal, logika Tetsuya mundur selangkah. Tadi apa dia bilang, surat cinta? "Shigehiro-kun membacanya?!" Wajah porselen itu dihujani kedutan tidak suka. Nada bicaranya yang biasa monotone mendadak naik satu oktaf.

Jangankan ditutupi, si dark-brown di sana bahkan sudah menggilas habis seluruh isi surat yang dimaksud.

"Aku tidak sengaja, Tetsuya ... Yah kau tahulah, amplopnya jatuh dan aku memungutnya dan ..." Ogiwara mulai memuntahkan serentetan alasan sambil nyengir tipis tanda penyesalan. Melihat ekspresi yang mungil, sungguh bukan kebetulan bila tengkuknya tiba-tiba merinding layaknya digelitik angin musim dingin.

Memijit pelipisnya yang mendadak pening, Tetsuya berusaha mengenyahkan imajinasi berdarah seputar pembalasan pada sang sahabat yang segitunya tidak paham apa arti privasi.

"Shigehiro-kun, percayalah aku sangat marah sekarang ..."

Ogiwara meneguk ludah sambil mengangguk horor. Sebagai orang yang tumbuh bersama Tetsuya, Ogiwara hafal betul gurat kemurkaan yang akan tercetak pada raut aspal di sana—yang tentu tidak akan bisa diterawang mata awam mengingat Tetsuya memang minim ekspresi.

"... Namun hal itu tidak penting." Kedua bening biru Tetsuya menghujamkan tatapan pisau yang menyayat nyali sang sahabat. Andai glare bisa mencabut nyawa, Ogiwara hanya tinggal nama saat ini. "Yang penting adalah, aku menginginkan surat itu kembali."

Mendengarnya, mendadak ubun-ubun yang dikurung helaian sewarna bumi itu banjir keringat. Godaan untuk angkat kaki dan melesat dalam jurus kaki seribu terasa begitu menggiurkan nurani bagi Ogiwara yang kini merasa nyawanya terancam.

"Soal itu ..." Garis pandang coklat Belgia berusaha mengelak dari sepasang cerulean yang seolah akan menembakan laser panas ke arahnya. "Surat itu sudah tidak bersamaku ..."

"Apa maksudmu?"

"..."

"Shigehiro-kun." Bukan perintah, namun cukup untuk membendung segala kuasa Ogiwara yang notabene fisiknya lebih mumpuni dari Tetsuya—andai dia ingin melakukan pemberontakan lalu kabur dari TKP. Sayang itu tadi hanya perumpaan karena plot cerita ini berkata lain. Yang coklat pun tunduk tanpa perlawanan berbonus gemetar ngeri.

"Aku sudah mengirimkannya pada orang itu, Tetsuya ..."

Entah itu hanya perasaan Ogiwara, atau memang dari pucuk kepala cerulean itu menguar aura hitam layaknya miasma yang begitu pekat? Dan sejak kapan pasokan oksigen di sana terasa begitu tipis hingga mencekik esofagus pemuda itu?!

"Shigehiro-kun, kau apa?"

"Aku sudah mengirimkan suratmu pada orang yang kau sukai itu?" Merasa ragu, jawaban Ogiwara justru meluncur dalam intonasi sebuah pertanyaan.

Murka si biru manis kini menyundul ubun-ubun. Sosok mungilnya entah sejak kapan berdiri semampai, mengurung figur Ogiwara yang mendadak ciut dalam ketakutan. "Kenapa kau melakukannya?"

"Aku hanya ingin membantu!" Ogiwara reflek mengangkat kedua tangan di udara bak kriminal yang sedang ditodong senjata oleh petugas.

"Aku tidak membutuhkan bantuan Shigehiro-kun untuk menyatakan perasaanku pada Kagami-kun!" Meski tengah kesal, paras tak beriaknya tetap merona bak udang rebus ketika menyebut nama si macan merah. Ogiwara begitu gonjang-ganjing ingin menggoda raut sahabatnya itu—bila tidak mengingat situasinya saat ini tentu saja ...

"Sebagai sahabat, kan aku—Tunggu!" Perkataan Ogiwara mendadak direm saat kepalanya menangkap suatu informasi yang menurutnya tidak relevan dengan kenyataan. Inilah bukti kalau Ogiwara itu memang individu yang pintar dan tidak lemot.

"Tunggu sebentar! Kagami?! Maksudmu yang kau suka itu Kagami?! Kagami-basuke-baka-Taiga yang itu?!"

Kedua telapak Ogiwara kini menangkup pipi dengan mulut membentuk huruf 'O' bulat. Besfren Tetsuya sejak berbalut pampers itu kini berada dalam sensasi histeria karena terkuaknya dua fakta yang menggemparkan.

Fakta pertama adalah kenyataan bahwa ternyata Tetsuya bisa naksir seorang Kagami Taiga—partner in crime Ogiwara di atas court atau si macan beralis ganda yang terkenal bebal jika menyangkut materi di luar si kulit bundar berwarna oranye.

Melihat keterkejutannya, kita layak bertanya ... bagaimana bisa Ogiwara tidak menyadari adanya sexual tension di antara kedua temannya itu, mengingat dia sendiri sering melihatnya on the spot. Mungkin benar kata Tetsuya kalau tingkat kepekaan Ogiwara Shigehiro itu memang setara dengan batu kali ...

Dan fakta yang kedua, tentu saja kenyataan bahwa dia sudah melakukan satu kesalahan yang sangat fatal.

Melihat reaksi sahabatnya, kelereng Tetsuya sontak melebar. Berbagai spekulasi hitam mulai bermunculan dalam benaknya yang semakin ricuh seiring berlalunya waktu. "Kepada siapa surat itu kau kirim, Shigehiro-kun?" Si baby blue bertanya dengan nada sengit.

"Aku mengirimkannya pada—ah! Mana aku tahu kalau si kepala merah yang bermain basket dalam suratmu itu adalah Kagami?!" Ogiwara panik. Kedua tangannya kalut mengacak helaian lempungnya karena frustrasi.

"Pada siapa, Shigehiro-kun?" Tetsuya mengulang pertanyaan sebelumnya. Awan mendung yang menyelemuti wajahnya datang bergulung-gulung pertanda badai besar yang akan segera tiba.

" ... pada Akashi Seijuurou ..."

Siapapun yang mengatakan bahwa Akashi adalah entitas paling menyeramkan sejagad Teikou, pasti belum pernah melihat kemarahan seorang Kuroko Tetsuya.

Ogiwara menelan ludah untuk yang kedua kali. Bulir-bulir keringat semakin deras menuruni pelipisnya. Kaki pemuda itu mulai bergerak mundur secara teratur seraya mencari celah untuk melarikan diri.

"Te-Tetsuya ... semua bisa dibicirakan dengan baik. Tidak perlu pakai kekerasan. Kita cinta damai kan?" Juga bukan salahnya, bila Akashi dan Kagami didesain sebagai karakter yang rambutnya sama-sama merah hingga menyebabkan kesalahan deduksi ...

Tetsuya tersenyum. Ogiwara ingin menjerit.

Melihat kurva ceria pada orang deadpan tidak pernah menjadi pertanda baik bagi Ogiwara. Karena saat itulah dia seolah bisa mendengar nasib tengah tertawa mengejeknya sambil berkata, 'semakin lebar senyum Tetsuya, semakin sakit penderitaan yang akan kau terima.'

"Shigehiro-kun ..." Tidak menggubris mimik penuh teror Ogiwara, Tetsuya berjalan mendekat masih dengan wajah yang sumringah oleh lekuk senyum. Paras bagai malaikat itu sungguh berbanding terbalik dengan siluet dewa kematian yang tengah menyeringai keji dari balik punggungnya.

"Boku wa omoshiroi hanashi o kiita koto ga arimasu ... 'Ikura naguraretemo, Baka wa shinanai' tte iu hanashi nandesu ..."

'Aku pernah mendengar sebuah cerita yang menarik. Katanya, dipukul berapa kali pun, orang bodoh tidak akan mati ...'

"GYAAA!"

.

.

.

"Sepertinya aku mendengar jeritan pilu Ogiwara ..." Sebutir kepala dengan surai mentega melongok dari balik pintu loker dengan satu alis terangkat. " Kedengarannya seperti dia sedang dijadikan sansak tinju oleh sahabatnya yang ilfil!"

Seorang remaja lain dengan helaian navy blue memberi si kuning tatapan aneh. "Kau ini bicara apa, Kise? Kalau mau membual, buat sedikit lebih logis agar bisa diterima kenyataan."

Pipi mulus milik remaja yang disebut sebagai Kise tadi membulat kesal. "Aku tidak membual, Aominecchi! Aku benar-benar mendengarnya-ssu!"

Aomine pasang raut cuek dan kembali menyesap pocari-nya. Rona kulitnya yang terlalu bersahabat dengan matahari—remang—tampak basah oleh keringat hasil dari latihan beberapa menit sebelumnya.

Merasa sebal diabaikan, perhatian Kise beralih pada si pucuk hijau di seberang ruangan. "Midorimacchi juga mendengarnya, kan?"

Midorima yang sejak tadi sibuk mengelus boneka rakunnya—lucky item hari ini, mendongak untuk bertemu sepasang topaz yang menatapnya penuh harap. "Kau berisik-nanodayo. Enyah sana, agar aku bisa membersihkan tanuki-ku dengan tenang," si kacamata menjawab ketus sebelum akhirnya kembali pada kegiatan semula.

Kise menahan tangis melihat sikap si klorofil yang segitunya senang menganiaya dirinya secara verbal.

"Kalau Murasakibaracchi." Si kuning mencoba peruntungan pada raksasa ungu yang tengah syahdu mengemut batang maiubo-nya. "Pasti kau juga—"

"Kise-chin berisik. Hineritsubusu yo~ Kalau tidak diam akan aku gencet sampai gepeng."

Disuguhi ancaman fatal di tengah kata-katanya, Kise sontak bungkam dengan air mata yang mengalir deras. Benar-benar bukan sebuah hal yang berlebihan bila si kepala kuning mengasumsikan dirinya sebagai objek penindasan para pelangi.

"Huwee, Akashicchi!" Kise merajuk pada kandidat terakhir di ruangan itu. Si surai strawberry matang yang biasanya menjadi penengah—penguasa, diktator, apapun itu—entah mengapa masih belum menyuarakan keabsolutannya yang mutlak. "Semuanya jahat-ssu! Akashicchi—"

Rengekan nyaring Kise lantas terhenti, bahkan sebelum sang kapten mengatakan apapun. Nyatanya bukan hanya si kuning belimbing, namun sisa warna yang lain serempak menghentikan kegiatan masing-masing saat melihat sikap sang kapten yang sejak tadi hanya berdiri diam di depan lokernya.

Masalahnya bukan karena Akashi tiba-tiba jadi pendiam, melainkan karena seringai lebar yang kini terukir pada paras rupawan pemuda itu.

Tidak mau mengurusi tatapan horor dari para budaknya, sepasang iris ruby Akashi masih terpaku pada sepucuk surat yang dengan miteriusnya telah bersedekap di dalam loker. Amplop biru terang yang tadi membungkus si kertas kini tergantung lemas di antara celah jari sang kapten.

"Menarik."

Hanya satu kata dan segaris seringai saja, tampaknya mampu membuat para jenius di sana dicecar oleh ngeri yang menggerayang raga hingga ujung jempol. Masing-masing warna mulai berdoa, berharap tidak ada jiwa inosen yang akan menjadi korban kesadisan Akashi Seijuurou, kapten mereka yang tercinta—tapi bohong.

- To be Continued -


Minna, nama saya Furi ... ^^ Orang baru dalam dunia fandom KuroBas. Douzo yoroshiku onegai itashimasu.

Arigatou.