Kau mengerjapkan kedua mata.
Ini hanya perasaanmu atau pandanganmu buram?
Kau menguap seraya menutup dan membuka kembali kedua mata.
Ah, tidak. Tadi pasti hanya kebetulan.
Kau pun beranjak mengambil posisi duduk, namun entah mengapa keseimbanganmu tak stabil hingga dirimu terjatuh kembali ke kasur.
Nafasmu terengah-engah, wajahmu memerah, dan badan serasa sangat panas.
Gawat.
Sepertinya kau demam parah.
My Stepsister!
*Chapter 5*
Story © alice dreamland
The Basketball which Kuroko Plays © Fujimaki Tadatoshi
Genre: Romance, Family, Drama, Humor
Warning: Typo(s), all in 2nd PoV, alur lambat/ngebut, AkashixStepsister!Reader, not really serious plot (ada fluff woi /plek), CH 4 EDITED
Akashi menguap seraya berdiri. Manik matanya menatap sekeliling—melihat kamarnya sendiri. Lelaki itu merengakan ototnya di udara dan segera bersiap tuk pergi ke sekolah.
Membasuh diri, memakai seragam, menggosok gigi, kemudian melangkahkan kaki menuju ruang tamu. Lelaki itu mengerjapkan kedua mata heran melihat tak ada siapapun di luar, meski ia temukan dua roti bakar kecil di meja.
Kedua alisnya bertaut heran.
Aneh.
Biasanya kau sudah ada di ruang tamu—dengan seragam lengkap dan duduk manis di meja.
Tapi kali ini...
Akashi menggelengkan kepala.
Ah, sudahlah.
Akashi memutuskan tuk tak memikirkannya seraya duduk di kursi dan mengambil sebuah roti tuk dimakan. Namun pendengarannya menangkap bunyi pintu dibuka samar.
Klek!
"Ah, Sei-niichan." Kau menyapanya dengan pandangan lesu. Akashi menoleh dan mendapatimu tengah keluar kamar.
Seragam rapi, rambut terurai, dan tas sekolah.
Lengkap—tapi entah mengapa ada yang salah.
Akashi menaikkan sebelah alis.
Wajahmu benar-benar merah dan pandanganmu tak secerah biasanya.
Lelaki itu meletakkan rotinya di piring—menghampirimu dengan kedua tangan terlipat di depan dada.
Dirinya langsung mengetahui apa yang salah dalam sekali lihat.
"Jangan masuk sekolah hari ini, keadaanmu buruk."
Oke.
Mengapa ia terdengar seperti kakak over protective sekarang?
Ah sudahlah, Akashi tak peduli.
Kau tersentak—wajahmu memucat karna Akashi menyadari kondisimu. "T-Tapi—"
"Kau mau melanggar perintahku?" potong Akashi sinis.
Dirimu meneguk ludah. "S-Sei-niichan! Kau tahu kan aku tidak boleh absen?! Nanti aku bisa tertinggal dari yang lain! Apalagi nilaiku sudah hancur!"
"Masalah nilai bisa dipikirkan nanti."
"Ta-Tapi kan tetap saja—"
"Kau mau aku menelpon otou-san dan okaa-san?" Sekali lagi Akashi memotong ucapanmu.
Kau melebarkan kedua mata. "Jangan bercanda, Sei-niichan! Aku tidak mau mengkhawatirkan mereka!"
"Kalau begitu turuti perintahku, tidurlah hari ini dan minum obat."
Kau masih tak terima. Akashi hendak kembali makan—meninggalkanmu terdiam di depan kamar. Namun dengan cepat menarik bagian atas seragam yang ia kenakan.
Otomatis Akashi yang tertarik sedikit pun menoleh sementara kau memajukan wajahmu—hendak kembali melontarkan argumen.
Tapi kata tak terucap taktala sebuah benda lembut menempel di bibirmu.
Manik matamu melebar horror dan kau lihat Akashi juga melebar meski samar.
Kalian berciuman.
Hanya tiga detik, namun cukup membuat detak jantungmu berpacu dan kepalamu pusing.
Kau pun segera mengakhirinya dengan mundur beberapa langkah—menutup mulutmu dengan kedua tangan. Kau benar-benar panik saat ini.
"H-Huwaaa! A-A-Aku ti-tidak b-bermaksud—"
Pandanganmu kembali memburam, lantai seakan menjadi tak rata sementara kakimu terus melangkah menjauhinya. "—me-menci-mencium... S-Sei-nii..."
Namun kelopak matamu telah tertutup sebelum kalimat terselesaikan—sementara tubuh jatuh mengikuti arah gravitasi bumi.
.
.
.
Akashi mendesah.
Kau pingsan tepat di hadapannya. Beruntung Akashi dapat menangkapmu sebelum dirimu menyentuh keramik atau terluka.
Kemudian teringat Akashi akan ciuman mendadak tadi—meski hanya sesaat.
Akashi sedikit geli mengingatnya.
Mungkin karena berciuman dengan adik sendiri—atau lebihnya adik tiri—sesungguhnya merupakan sesuatu yang mustahil?
Entahlah.
Dan Akashi mencoba untuk menepis jauh hal itu dari pikiran.
Lelaki itu mengangkat tubuhmu secara bridal style.
Wah, ternyata kau sangat ringan.
Akashi memang pernah merasa kau cukup ringan, namun tak seringan ini.
Ia pun menatap wajahmu yang memerah dengan kelopak mata tertutup. Dapat ia rasakan nafas hangatmu bertempo cepat.
Akashi mendesah seraya membawamu ke dalam kamar.
Lelaki itu membuka pintu kamarmu dengan sikut—karena sulit dengan kedua telapak tangan yang penuh.
Setelah beberapa kali mencoba, ia pun berhasil. Akashi menarik pintu dengan kaki dan meletakkanmu di ranjang.
Ia menyelimutimu dengan selimut bermotif bintang. Dirimu menggeliat pelan, namun kemudian terlihat tenang.
Akashi diam sejenak—menatapmu intens.
Jika dipikir kembali, tak ada alasan lagi dirinya tuk membencimu.
Toh ia sudah mengetahui rahasia senyumanmu—menyebabkan dirinya mengakui bahwa dirinya jauh lebih sempurna dibandingkan denganmu.
Lantas—
—mengapa setiap bersamamu ia kesal dan perasaanya seakan menjadi rumit?
Semua itu membuatnya bingung. Dan memikirkannya justru membuat Akashi emosi.
Lelaki itu menghela nafas.
"Sudahlah," gumamnya pelan seraya merogoh kantung—mengeluarkan ponsel—dan menekan tombol hijau tuk menelpon kedua orangtua kalian.
.
.
.
Kedua matamu mengerjap—menyesuaikan dengan cahaya lampu terang dalam ruangan. Kau merasa kepalamu berat, namun kau berusaha mengabaikannya.
Kemudian kau miringkan sedikit tubuh ke samping—melihat tembok serta beberapa interior yang tak lagi asing.
"Ah... Ini kan kamarku...?" Kau menggumam pelan. Otakmu masih berusaha bekerja, namun ingatan terakhir sebelum pingsan masih samar.
Namun beberapa detik kemudian kau kembali mengingat semuanya.
Saat dimana kau melangkah keluar kamar.
Bertemu kakak tirimu.
Kemudian berdebat mengenai masuk sekolah.
Setelah itu—
Manik matamu melebar mengingatnya. Segera, kau miringkan tubuhmu ke arah sebaliknya—mendapati seorang lelaki tengah bermain shogi dengan tatapan arogan khas miliknya.
"S-Sei-niichan? Sedang apa...?" Kau berusaha berucap seperti biasa, tapi hanya suara lesu yang keluar.
Akashi mendengar panggilanmu. Ia pun berbalik dan melipat kedua tangan di depan dada seraya berkata tajam.
"Menunggumu bangun."
Kedua matamu mengerjap heran.
Hooo, ternyata ada juga sikapnya yang perhatian seperti ini.
Kau pun menyinggung senyuman kecil. "Souka... Arigatou, Sei-niichan."
Akashi tak merespon. Ia kembali berbalik tuk fokus dengan papan shoginya.
Namun melihat seragam yang ia kenakan, kau menyadari sesuatu. "Tapi... Sei-niichan tidak sekolah?"
Akashi diam sejenak. Kau menunggu.
"Aku menelpon okaa-san dan otou-san." Lelaki itu memulai ucapannya tanpa menatapmu. "Mereka memintaku tuk menjagamu di rumah."
Kau mengepalkan kedua tangan seraya mengangguk kecil.
Sejenak suasana hening kembali. Kau sibuk dengan pikiranmu sementara Akashi bermain shogi melawan dirinya. Tapi semua berubah saat—
Kruyuukkk~
—suara perut kosongmu menggema minta diisi dengan makaanan.
Wajahmu memerah malu. Akashi berbalik dan menatapmu datar. Kau hendak memosisikan diri tuk duduk dan pergi mengambil bubur dalam panci—yang sempat kau masak pagi ini jika roti kurang untuk kalian berdua.
Tapi apa daya tubuhmu kembali terhempas di kasur. Wajahmu merah karena demam parah, sementara Akashi tak berkomentar.
Namun kemudian pemuda itu berjalan pergi ke luar ruangan—membuatmu sedikit heran. Lalu kembali membawa sebuah mangkuk berisi bubur panas lengkap dengan sendoknya.
Ia menyerahkannya padamu tanpa mengucapkan apapun.
Kau menatap bubur di tangannya dan wajahnya bergantian dengan heran. "E-Eh? A-Ah... A-Arigatou... S-Sei-niichan."
"Hn," jawabnya lalu kembali duduk berbalik menghadap papan shogi di permukaan meja belajar—memunggungimu.
Kau tak merasa terganggu, dan memutuskan tuk mendudukan diri perlahan—meski sulit—sembari memakan bubur pemberian kakakmu. Kau menyendok bubur dan meniupnya lembut.
Kemudian melahapnya—membuat rasa polos tanpa rasa terecap di lidahmu.
"Huwaaa, rasanya hambar!" batinmu dengan wajah tidak suka. "Mungkin lebih baik aku makan nanti saja..."
Tanpa kau sadari, Akashi mengamati setiap perilakumu—yang kini tengah mengengam erat mangkuk bubur tanpa memakannya.
Lelaki itu menghela nafas kecil seraya berbalik. Memang, jarak antara meja dan ranjang sangatlah dekat—sehingga lelaki itu hanya perlu berbalik tuk berhadapan denganmu.
"Makan," serunya tajam. Kau menatap Akashi heran.
"Apa...?"
"Kubilang makan sekarang juga."
Kau terdiam—tak merespon.
Sepersekian detik Akashi menunggu. Namun melihat keadaanmu yang tak baik, membuatnya mendesah.
Lalu merebut mangkuk bubur di gengaman tanganmu. Kedua matamu mengerjap heran namun memutuskan tuk tak mempermasalahkannya.
Lelaki itu mengaduk bubur sembari menatapmu dengan tatapan intimidasi khas miliknya. "Buka mulutmu."
Kau mengerjapkan kedua matamu—pandanganmu sayu, dan Akashi mengetahuinya. Faktor sakit memang membuatmu tak sesemangat biasanya.
Perlahan kau buka mulutmu dan Akashi langsung memasukan sesendok bubur ke dalamnya.
Manik matamu melebar merasakan rasa hambar kembali memasuki mulutmu. "E-Eh? S-Sei-niichan?"
"Cepat telan buburnya." Ia memerintah dingin. Kau merinding sejenak lalu mengangguk dan menelannya.
Wajahmu kembali menunjukkan rasa tak suka, namun Akashi tak peduli.
Beberapa detik setelah kau menelannya, ia kembali menyodorkanmu sesendok bubur lain. Kau pun dengan terpaksa memakannya. Dan seterusnya hal itu berjalan.
Kau tak dapat melawan, mengetahui keadaan fisik yang tak memungkinkan. Hingga tanpa sadar, mangkuk bubur itu tak lagi terisi.
"Em... A-Arigatou, Sei-niichan." Kau berucap pelan dengan rona merah tipis di kedua pipi.
Akashi meletakkan sendok bubur di mangkuk seraya melihat wajahmu yang kini terkena bubur di berbagai sisi. Kau menyadarinya, namun memutuskan tuk membersihkannya nanti—toh jarak kasur dengan kotak tisu cukup jauh.
Namun tanpa kau duga, helaian lembut tisu langsung menyapu pipi serta bagian sekitar bibirmu—membersihkan bekas bubur yang menempel.
Kau pun menatap Akashi yang kini berjarak hanya beberapa centi di depanmu. Tangannya dengan lihai membersihkan sisa makanan yang menempel. Kau sedikit memerah karena jarak—apalagi melihat bibirnya membuatmu kembali mengingat kejadian memalukan tadi.
Wajahmu memerah penuh—bahkan masih memerah saat Akashi telah selesai dan memperbesar jarak antara kalian.
Mengetahui pikiranmu, Akashi menghela nafas seraya meletakkan mangkuk bubur di meja. "Lebih baik kau lupakan masalah ciuman itu."
Kau terdiam—menatapnya sejenak. Lalu segera berbaring dan menutupi wajahmu dengan selimut.
"D-D-Datte... I-Itu kan f-first kissku... A-Aku tidak bisa melupakannya begitu saja!" Kau berucap cukup keras untuk didengar seorang Akashi Seijuuro.
Detak jantungmu sedikit berpacu.
Akashi diam sejenak—menatap lurus dirimu di balik selimut. "Aku... juga."
Entah karna apa dua kata itu meluncur dari mulutnya Akashi tak tahu, namun ia tak menyesal mengatakannya.
Telingamu melebar. Otomatis, kau membuka selimut seraya duduk dan menatap Akashi yang balik menatapmu biasa.
"He?! Memangnya Sei-niichan belum pernah pacaran?! Sei-niichan kan sudah kelas sebelas!"
"Pacaran hanya akan mengulur waktu belajar," respon Akashi dingin.
Kau menghela nafas berat. Punya kakak macam Akashi memang sulit untuk diajak bicara—terutama masalah percintaan.
Kemudian kau mengingat sesuatu yang bermasalah.
Kau mencuri ciuman pertama Akashi Seijuuro.
Akashi Seijuuro.
Seorang Akashi Seijuuro.
Kakakmu atau setan merah dengan gunting pemungkas.
Berarti ini—
—MASALAH GAWAT.
Mana mungkin lelaki itu membiarkannya lolos saat dirimu mencuri ciuman pertamanya?! Apalagi Akashi terkenal seseorang yang kejam di Teiko!
Keringat dingin meluncur deras di wajahmu.
Meski Akashi terlihat tak peduli, kau ragu apa sesungguhnya yang berada dalam pikiran ria berambut merah tersebut.
Mungkin telah menyusun hukuman tersembunyu untukmu?
Kau meneguk ludah.
"E-Ettou..." Kau memanggil Akashi. "A-Aku—"
Kau gigit bagian bawah bibirmu. Akashi menatapmu lurus.
"—m-minta maaf k-karena sudah mengambil ciuman pertama Sei-niichan!" Kau sedikit panik saat mengatakannya. Kemudian kembali merebahkan tubuh mengubur diri dalam selimut—takut tiba-tiba gunting muncul.
Mendengar kata 'ciuman pertama' membuat Akashi merasa aneh. Lagipula kejadian itu tak disengaja, ikhlaskan saja semuanya—toh dirinya juga tak peduli.
Benar... kan?
Otaknya menolak tegas hal tersebut, meski tak dipungkiri wajahnya memanas.
Kau sendiri juga merona di balik tutupan selimut bercorak bintang.
Seketika suasana menjadi canggung dan sunyi.
Dan tanpa disadari, perut kalian bagai dipenuhi oleh beribu kupu-kupu berwarna.
.
AAAPPPAAHHH INIIII / SETELAH UTS YANG ANCUR, OTAK SAYA RADA KONSLET. Uhukuhukuhuk. Apalagi karena saya utaite (kelas teri) jadi harus mbagi waktu dengan cover (di soundcloud akun saya alice dreamland ya /promosiwoi) /
Jaa, semoga semua suka dengan hasilnya... AKASHI OOC GILAAAAAA /ditendang
Ini balasan reviewnya~ (yang ada akun di PM):
-akaverd20
Makasihhh~ Iya, saya jadi semakin semangat ngeliat review~~~ /9
Makasih banyak reviewnya~
Arigatou gozaimasu buat semua yang sudah fave, fol, dan mereview! Saya senang sekali~ Apalagi mood saya agak down setelah melihat hasil uts /ngakjugasih
Sekian, jaa ne~!
~alice dreamland
