Disclaimer: Masashi Kishimoto

Main pairing: SasuHina

Genre: Romance, Hurt


3

First Date


Sasuke merendahkan punggungnya, bibirnya tepat berada di perpotongan leher si gadis, ia berbisik, "menikmati pemandangan, huh?"

Hinata mengutuk dirinya sendiri, dan mengutuk pintu kamar mandi tentunya. Oke, mari kita luruskan keadaan ini—jika kau seorang pria atau wanita, dan kebetulan dirumahmu sedang kedatangan tamu—sebaiknya lakukan apapun dengan hati-hati. Termasuk mandi, atau berganti pakaian—atau buang air, atau apapun itu yang termasuk kegiatan pribadi—dan yang paling penting, jangan lupa kunci pintu—well kecuali kamar mandinya memang tak memiliki kunci.

Terlihat jelas tubuhnya bergetar, layaknya gadis kecil yang tertangkap basah karena melakukan kesalahan, tubuh Hinata bermandi peluh dengan wajah pucat pasi. Bingung dengan tingkahnya sendiri, si gadis berusaha menghindar. Langkahnya mundur perlahan seiring dengan pintu yang dihempas oleh tangan besar Uchiha Sasuke, "mau ke mana kau, hn?"

Jarak minim, aroma cokelat-mint, tubuh basah nan seksi sukses membasahi t-shirt gombrang miliknya. Takut terbius dengan pria tampan dihadapannya, Hinata terus memalingkan pandangannya ke arah lain. Sementara Sasuke masih setia dengan ekspresinya—seringaian jahat penuh arti—melambangkan betapa ia menguasai keadaan.

Tetesan air jatuh-jatuh di pundak Hinata, itu berasal dari rambut basah si tampan. Aroma nafas segar menggelitik, ia tersenyum di sana. Senyum itu mengandung unsur pelecehan. Byakugan mendeteksi hawa nafsu, ditandai dengan jantung berdetak kencang dengan nafas memburu—Uchiha Sasuke berusaha keras mempertahankan Imannya, "kau sedang mengujiku?" ia berbisik.

"Sasuke-san—a-aku—"

"Penasaran denganku?"

"A-aku—"

"Ingin bermain-main, huh?"

"Ku-ku mohon Sasuke-san…."

"Apakah kau senang melihatku seperti ini?"

"Bu-bukan—"

"Bagaimana kalau kita bermain dengan caraku," ada jedah, "tidak kasar, pelan-pelan, agak sakit—dijamin kau akan suka hingga mendesahkan namaku—"

"Hisk…hisk…hisk…ku-mohon jangan…." Kalimatnya kalah oleh tangisannya.

Sesuatu yang kaku dan keras menyentuh paha mulus Hinata, benda itu bergerak mengiringi tubuh pemiliknya, "hisk…hisk…hisk…o-onegai…hisk…hisk…."

Sulit untuk bergerak dengan tubuh yang diapit antara pintu dan tubuh Sasuke, "hangat," bisiknya lagi.

"A-aku tidak sengaja—ku-ku pikir kamar mandinya—aaah Sasuke-san—" sukses, tubuh mereka saling menempel sempurna, benda keras yang sejak tadi menggelitik kini tepat berada di area perutnya, "haah—a-apa itu?" Hinata panik.

Jemari kokoh itu merangkum wajah gadis ketakutan di sana, Air mata yang mengalir tak menghalanginya untuk berbuat lebih jauh. Mata sendu, pipi chubby merah, bibir mungil, dan hidung yang memerah pula, maksudnya—siapa yang tak gemas dengan ekspresi gadis ini? biarkanlah ia bermain-main sebentar.

Dan coba tebak, apa tingkah Sasuke selanjutnya?

Tanpa sadar ia menggigit bibirnya sendiri, 'sialan kau Naruto—memberiku mainan seperti ini?'

Iris raven itu berpindah, kini ia memandang iris amethyst yang sedang memandangnya pula, seolah mata itu berkata, 'tolong hentikan,'

Rambut Hitam nan wangi, mata sendu tanpa pupil, tangisan pilu minta dikasihani, aliran chakra tak beraturan, jantung berpacu, dan—t-shirt basah yang sukses mempertontonkan bra hitam si gadis.

Hanya dengan melihat satu titik di matanya, Sasuke mampu menebak siapa gadis ini sebenarnya. Hime Hyuuga hanya seorang gadis lemah penurut kata-kata orang tuanya. Ibarat ia diminta untuk mati, maka ia rela melakukan itu demi menyenangkan hati sang Ayah.

Ia bertanya-tanya, pernahkah gadis ini dalam sehari saja, melakukan sesuatu sesuai keinginannya sendiri? well ia ragu gadis itu akan berkata iya.

Tanpa perlawanan Hinata pasrah dalam kuasa Sasuke. Tidak ada perlawanan atau dorongan berarti, tubuhnya yang lembek dijamin remuk hanya dengan sekali tekan, "kau lemah."

"Jangan lakukan—ku mohon," tangisnya.

"Apakah bibir ini hanya pandai berkata 'jangan', hn?"

"Jangan sentuh aku—ku mohon…."

"Lawan aku," ada jedah, "buat agar aku melepaskanmu, lihat—aku hanya merangkum wajahmu, tidak ada aliran chakra," katanya.

Tanpa membuang kesempatan—Hinata mendorong tubuh besar dihadapannya. Tidak hanya itu, kaki Sasuke pun tidak lepas dari sasaran, di tendang dan diinjak. Sementara jemarinya, jangan ditanya lagi—kukunya yang panjang sukses mencakar area dada dan lengannya.

"Pe-pergi dariku! Ja-jangan sentuh aku!" Suaranya parau di sela-sela tangis.

Tawa menggelitik, "hanya itu kemampuanmu?" Sasuke menyeringai lagi dan lagi.

Jemari yang merangkum wajah Hinata belum berpindah dari posisinya. Ia tak perlu repot-repot membuang tenaga, perlawanan gadis itu tidak berarti baginya, "hati-hati, pria akan semakin bernafsu melihat tingkah agresif wanita."

"Hentikan! Ku-kumohon hentikan!" Hinata merontah-rontah.

"Diam atau aku akan kasar!" Bentaknya. Setelah kalimat itu, Hinata membekap mulutnya sendiri.

"Jika kau menginginkannya, jangan berusaha menutupinya, gadis lemah!" Sasuke menyingkirkan tangan Hinata, sejurus kemudian ia menyatukan kening mereka.

Terdengar bunyi 'duk' ketika kening itu bersatu. Sasuke menghirup nafas Hinata, begitu pula sebaliknya. Nafas si pria tak beraturan karena Imannya sedang terancam, sementara nafas si gadis tidak beraturan pula karena kesucian bibirnya sedang terancam pula.

"Kau kalah, aku yang menang," bisiknya, "kau tidak akan mampu melawanku dengan tenaga lemah seperti itu," hinanya.

"Hisk…hisk…hisk—Sasuke-san...a-aku…."

"Hm?" dijawab sekenanya.

"A-aku tidak menginginkan pertunangan ini."

"Lalu, hubungannya denganku?"

"Jadi tolong…."

"…"

"Hisk...hisk…ji-jika kau ingin menyentuhku," ada jedah, "la-lakukan dengan cepat…lakukan dengan sangat cepat hingga aku tak menyadari kau telah selesai melakukannya."

1 detik

2 detik

3 detik

4 detik

5 detik

Gelak tawa terngiang jelas memenuhi isi ruangan kecil itu. Sasuke mundur beberapa langkah, ia segera mematikan shower lalu mengambil handuk biru tua untuk menutupi area pribadinya, "kau lupa dengan kata-kataku sebelumnya, huh?" ia tertawa lagi, "dasar bodoh!" Lagi-lagi tawa, "bukankah sudah kukatakan sebelumnya, aku tak tertarik padamu," dan tawanya terhenti, "aku tidak tertarik dengan wanita lemah,"

1 detik

2 detik

3 detik

4 detik

5 detik

"Senpai," suara dari arah pintu depan diiringi bunyi bel.

"Mungkin Sasuke–senpai sedang melaksanakan misi," kata seorang lagi.

"kurasa tidak, kita sudah membuat janji sebelumnya."

"Jika tadi itu usahamu untuk menggodaku, sebaiknya jangan lakukan lagi—karena kau hanya akan mempermalukan dirimu sendiri," pria itu melenggang pergi.

Sejurus kemudian, tubuh Hinata lemas terkulai, terduduk di sisi kamar mandi diiringi isakan tangis tanpa suara. Pundaknya bergetar karena menahan suara, seseorang sedang berada di luar sana, rasanya tak lucu jika mereka menyadari tunangan senpai sedang menangis tersedu-sedu seolah mendapat penghinaan tingkat tinggi.

Jemari mungil itu merangkum area wajahnya yang merah padam menahan malu. Ia mengutuk dirinya sendiri, bagaimana si pembenci melakukan hal keji seperti itu. Di mana hati pria itu?

"Hisk...hisk..hisk…oh Kami—aku mau pulang saja...hisk..hisk…aku tidak suka rumah ini." tangisnya diiringi suara pintu yang dibanting dari arah luar, Uchiha Sasuke meninggalkan tunangannya seorang diri.


Dua hari mengurung diri di kamar hanya dengan mengandalkan empat batang cokelat, rasanya terlalu kejam jika kau menyebut ini sebagai perilaku kekanak-kanakan. Hinata melakukan itu bukan tanpa sebab, ia hanya tak ingin bertemu dengan si pembenci, apalagi berinteraksi dengannya.

Terakhir kali hal itu terjadi, pria itu hampir-hampir saja membuat Hinata mati malu. Bagaimana bisa ia mempermalukan seorang wanita dengan cara yang keji?

Berani bertaruh, Sasuke sebenarnya tergoda, hanya terlalu gengsi untuk mengakuinya. Untuk mengalihkan godaan itu, ia sengaja mempermalukan Hinata dengan kalimat-kalimat rendahan.

Entahlah, apapun itu—intinya si pembenci telah sukses besar membuat hati Hime sakit luar biasa.

Siapa dia?

Cuma mantan Nuke yang diampuni desa, statusnya tidak lebih dari buronan. Sementara Hinata, ia adalah seorang Hime dari Klan berkelas—dan tentunya Klan Hyuuga tidak memiliki masa lalu kelam layaknya Klan Uchiha.

Hanya seorang pria tidak jelas, entah atas dasar apa sehingga ia harus dipasangkan dengan pria pembenci itu. Sasuke Uchiha tidak memiliki cinta, atau perasaan untuk mencintai seseorang. Bagaimana ia bisa mencintai, sementara cinta itu sendiri telah hilang dari hidupnya seiring dengan kematian seluruh keluarganya.

Berbeda dengan Klan Hyuuga tentunya, sejak kecil Hinata-Hime selalu terbiasa untuk bersikap sopan kepada sesama. Baik itu bukan anggota Klan apalagi anggota Klan, semua wanita Hyuuga wajib memperlihatkan tata-krama dan sopan santun kala sedang berinteraksi.

Apakah hal ini harus terjadi selama tiga puluh hari ke depan?

Sebelum hari ke tiga puluh datang, ia berharap jiwa dan raganya tetap sehat dan utuh. Dalam hal ini adalah, bagaima ia akan bertahan hidup diantara ancaman-ancaman kekerasan yang bisa terjadi kapan saja. Tidak lain dan tidak bukan pelakunya adalah si pemilik apartemen ini.

Hinata merasa terancam, siapa menyangka jika esok hari si pembenci bisa melakukan tindakan–tindakan nekad lainnya. Keadaan ini harus diluruskan, setidaknya ia dan Sasuke harus mengetahui batas-batas tertentu agar kejadian serupa tidak terulang lagi.

Well dua hari telah berlalu, dan si Hime cantik belum keluar dari tempat persembunyiannya—atau lebih tepatnya terlalu takut untuk keluar dari kamar.

Ayolah Hinata, bagaimana kau akan berunding dengannya, sementara untuk menatap wajahnya saja lututmu bergetar luar biasa.

Tubuhnya lengket, rambutnya lembab, dan perutnya lapar. Mana tahan kau hidup dengan hanya mengandalkan empat batang cokelat. Bersyukur kepada Momo karena menyisipkan makanan kecil ke peti milik Hime, entah bagaimana nasibnya jika ia terkurung di ruangan kecil ini tanpa secuil makanan.

Disekanya mata sembab berwarna pucat, sudah diputuskan—mereka harus berunding untuk memperjelas masalah waktu itu. Sasuke mengira Hinata sengaja masuk ke kamar mandi untuk menggodanya, demi Kami yang menguasai bumi dan langit—si gadis sama sekali tak tahu-menahu jika di dalam kamar mandi si pembenci sedang melakukan ritual mandi malam.

Dan yang lebih parahnya lagi, ia sama sekali tak berusaha menutupi kemaluannya. Seolah ingin memamerkan kejantanannya, si pembenci malah sengaja menyentuh tubuh Hime dengan benda itu. Sebenarnya siapa yang menggoda dan siapa yang digoda?

Gadis malang itu tertatih pelan ke arah pintu, ia terlalu malas hanya untuk sekedar berdiri, atau berjongkok dan menengok keluar.

Tak perlu menggunakan byakugan, dengan firasat saja, semua juga tahu kalau rumah kecil ini sedang kosong alias sang pemilik rumah sedang pergi entah kemana. Sejujurnya Hinata tak merasakan aura chakra Sasuke sejak kemarin malam. Mungkin ia pergi melaksanakan misi—atau berkunjung di rumah salah satu temannya atau ia malah sedang bersenang-senang—entahlah, Hinata tak mau tahu dan tidak berniat mencari tahu.

Ingin rasanya melaporkan kejadian ini kepada Hokage, tapi pertanyannya, apakah Hokage akan percaya dengan kalimat memelas Hime sementara semua warga Hi No Kuni memujanya bak Dewa pemberi rejeki.

Merasa aman terkendali, ia melenggang keluar. Dua benda di atas meja menarik perhatiannya. Yeap dua gelas mi instan, sejak kapan benda itu ada di sana?

Diperhatikannya benda itu, apakah semua shinobi sama dengan Naruto-kun, menyantap mi instan sebagai menu utama.

Terdapat potongan kertas, di sana tertulis, "makanan untuk Hime."

Hinata memiringkan kepalanya, berusaha menggunakan otak kecilnya untuk memikirkan kalimat pendek yang lebih cocok ditujukan untuk hewan peliharaan. Jika kau mempunyai peliharaan kucing atau anjing di rumah, biasanya Ibumu akan menuliskan kata "untuk Shiro atau untuk Kuro," pada tempat makanan si hewan peliharaan itu.

Hanya di seduh air panas, di beri bumbu, menunggu sepuluh menit—dan mi instan siap di santap.

Saking laparnya, Hime menyantap dua sekaligus. Makanan yang harganya tidak seberapa ini—terasa seperti santapan paling spesial di dunia.

Sungguh nikmat, mi instan pemberian Uchiha Sasuke telah sukses menghilangkan rasa lapar untuk si Hime malang.

Tapi tunggu dulu, hanya mi instan? setidaknya berikan tunanganmu sesuatu yang istimewa. Misalnya sushi, sashimi, atau shabu-shabu—tidak, tidak—mi instan saja sudah cukup.

Lagi pula, dari mengamati sikapnya yang kasar dan keji, mustahil jika si pembenci akan memberi makanan enak.

Jika Uchiha Sasuke adalah musuhmu, dan karena suatu kesialan tertentu sehingga mengharuskanmu menjadi tawanannya, maka jangan harap ia akan memberi fasilitas terbaik.

"Sudah cukup!"

Yeap, sungguh keterlaluan jika sebuah rumah tak dilengkapi fasilitas bersih-bersih. Hal yang mengganggu batin Hinata sejak pertama kali menginjakkan kaki di rumah teddy ini adalah—keadaan rumah yang tidak terawat. Bukan kotor, hanya saja kurang perhatian. Bukan sampah berserakan sepeti rumah Naruto, tapi debu yang tebalnya bukan main—jangan harap seorang alergi debu mampu bertahan hidup di rumah ini.

Sapu, pel dan kain lap, Hime menemukan benda itu di dekat rak piring di dapur—maksudnya mini rak piring…bukan rak piring sesungguhnya.

Hinata mulai beroperasi, awalnya ia membuka semua jendela. Biarkahlah udara sejuk musim semi memurnikan aura-aura jahat si pembenci. Melihat dari kondisi jendela yang dihiasi alang-alang, mustahil jika Sasuke sudi membuka jendela seminggu sekali.

Hinata membersihkan seluruhnya. Dimulai dari kamar, tempat tidur mini, lemari, dan membuang rokok kadaluarsa di atas meja. Dari area dapur, ia membilas ulang semua perlengkapan makan yang jumlahnya tidak lebih dari lima buah. Dari ruang santai—sofa, TV dan bantal tidur Sasuke, tercium aroma mint-fresh—mungkin itu berasal dari shampoo yang melekat pada si bantal.

Ketika ia mendekati area kamar mandi, ada rasa takut-takut—tapi demi menjunjung tinggi makn 'kebersihan adalah sebuah awal dari hidup sukses' ia menepis segalanya. Tak peduli dengan t-shirt yang kotor dan basah, Hinata terus membersihkan segala hal dan segala inci yang berada di rumah itu.

Well, haruskah ia meminta upah untuk jasa bersih-bersih ini? jika itu harus, maka Hina hanya akan berkata, "sebaiknya kita saling menjaga sikap satu sama lain agar kejadian serupa tidak terulang kembali."


Sasuke POV

Demi Itachi-nii aku kembali ke Konoha. Kini mereka mengendalikanku layaknya boneka. Mengikuti kemauan Hokage dan Tetua telah menjadi kewajiban seorang shinobi, apakah itu berarti aku harus menikahi perempuan pilihan mereka juga?

Aku kehilangan jati diri, ini bukan diriku yang ku kenal. Atau inilah diriku yang sebenarnya—patuh dan taat pada seseorang yang kedudukannya lebih tinggi, mengikuti perintah mereka, membunuh musuh-musuh mereka, melindungi mereka, tak jarang kami harus berkoban nyawa demi mereka.

Shinobi hanya budak para Daimyo, sementara Daimyo itu sendiri adalah manusia lemah yang mengandalikan kekuatan shinobi.

Orochimaru-sensei meninggalkan Desa demi memperoleh kekuatan—aku pun mengikuti langkahnya. Kami adalah Nuke-nin dari Desa Daun, namun sejauh apapun kami berlari—toh pada akhirnya akan tiba masa dimana kami akan kembali ke tempat ini.

Aku berusaha menerima takdir, tak punya pilihan lain selain patuh dan taat. Sungguh memalukan, Nuke-nin kelas S akan menikahi seorang putri manja dari Klan Hyuuga, jangan sampai musuh-musuhku mengetahui hal ini. Bagi pria, wanita adalah sumber kelemahan, awalnya akan muncul rasa peduli, lalu takut kehilangan, lalu cinta, pengorbanan, lalu karena suatu alasan tertentu kau kehilangan orang yang kau cintai, lalu timbul dendam, lalu memikirkan cara untuk membalas dendam, korban akan berjatuhan, semua hal itu bisa terjadi karena satu kata bernama 'cinta.'

Ku jamin hal yang sama terjadi pada Shikamaru, Sai, Kiba dan yang lainnya—kami adalah shinobi-shinobi yang tidak akan menggunakan perasaan bernama cinta. Defenisi cinta menurut shinobi adalah, suatu keadaan dimana kau harus melindungi atau membunuh seseorang atas perintah orang lain. Terpaksa melindungi karena orang itu sedang terancam atau terpaksa membunuh karena orang itu sedang mengancam, seperti itulah alurnya.

Lalu bagaimana dengan wanita ini?

Kalimat apa yang cocok untuk mendefenisikan wanita berambut panjang yang sedang tertidur dirumahku.

Ku lirik jam dinding, pukul setengah empat sore. Perjalanan yang ku tempuh cukup jauh dari Desa emas kembali ke Konoha. Ck, jika bukan karena si Nenek tua itu, mana mau aku repot-repot ke perbatasan Negara shinobi hanya untuk benda sialan ini.

Entah hanya perasaanku atau memang ada yang berubah dengan apartemen ini. Bau tembakau hilang seketika, sebagai gantinya—aroma pembesih lantai sangat menyengat membauhi inderaku.

Apa yang dilakukan si Hime?

Menyulap rumahku menjadi rumah Puteri?

Dia menutupi wajahnya dengan bantal sofa, setengah badannya terhalangi meja, yang terekspos hanya area kakinya yang berwarna pucat. Dengkuran khas terdengar samar, seseorang akan bersuara saat tidur jika ia kelelahan.

Apakah Hime seorang diri membersihkan ruangan ini?

Lumayan juga…Ia telah sukses menghilangkan aroma khas Uchiha.

Ku dekati tubuh itu—mungil dan pendek, tidak gemuk dan tidak kurus, rambutnya panjang tergerai, kulitnya lebih pucat dariku, jemarinya mungil dengan kuku yang mungil pula, alisnya tertata rapi dengan bulu mata lentik, hidungnya kecil dengan aksen bintik, pipinya agak bulat dengan dagu yang tidak panjang, dan bibir itu—bibir yang telah sukses menipuku. Hampir-hampir aku hilang kesadaran. Jika ku sentuh ia malam itu—matilah aku.

Dia ini boneka atau apa….

Sial!

Ku rasa Naruto mengerjaiku, dia menghasut Hokage agar boneka ini menggoda Imanku.

Wajahnya seperti hasil lukisan, begitu pula dengan tangan dan kakinya—layaknya manusia buatan….

Kasihan dia, menuruti kemauan orang tuanya dan mengabaikan kepentinganya sendiri. Awalnya aku iba, tapi dari tingkahnya yang manja dan cengeng—seolah ia memberi kesempatan pada orang lain untuk menyakitinya.

Coba tebak, apa yang terjadi jika saat itu pintu rumahku tidak diketuk?

Oh Kami, aku akan menyentuhnya.

Mati-matian ku redam hasrat itu, ku tunggu sebuah perlawanan berarti—namun yang kutemukan hanyalah wanita lemah dengan hati rapuh.

Maaf karena aku seorang pria, saat itu aku hanya menggodamu—tidak lebih. Sebaiknya kita saling menjaga sikap agar kejadian serupa tidak terulang lagi.

Wajahnya ku pandang lekat-lekat, si boneka tertidur pulas layakya bayi. Chakra ditubuhnya hanya tersisa empat puluh enam persen, lumayan menyusut. Dua malam yang lalu chakra yang tersisa sekitar lima puluh tiga persen, ku jamin setelah jumlah chakra itu menyusut hingga dua puluh persen, ia pasti merontah kesakitan.

Mustahil Naruto akan menyuplai chakra lagi, kini si dobe sedang sibuk bermanja-manja dengan Sakura.

Dia tak berdaya, pasrah pada takdir—bodoh, dan kepandaiannya hanya bersikap lemah di depan orang lain. Semoga dengan keahliannya itu ia mampu memperoleh chakra yang lebih baik.

Alis dan bibirnya bergerak, ku rasa ia menyadari keberadaanku. ku ambil beberapa jarak, aku tak ingin ia memergokiku sedang memandangi wajahnya yang hobi memelas itu.

Si gadis melenguh, lalu tubuhnya kaku lalu kembali tidur lagi.

Tunggu dulu, apa maksudnya itu?

Ku rasa ia berusaha menggodaku lagi.

Bibirnya terbuka sedikit, ia menggaruk hidungnya beberapa kali, sebelum akhirnya ia berbalik arah dan memeluk sandaran sofa.

Apa-apaan gadis ini? dipikirnya rumahku rumahnya—sehingga bebas melakukan apa saja.

Dia ini pura-pura tidak menyadariku atau ia menyadarinya tapi tidak menghiraukanku.

Aku benci keadaan ini—sebelumnya aku tak pernah berurusan dengan wanita, dalam artian berurusan dalam arti lain, misalnya melibatkan perasaan atau hasrat. Ketika aku dihadapkan pada kenyataan di mana seorang wanita yang tidak terlalu ku kenal tidur di sofa milikku—sungguh aneh, maksudku siapa wanita ini?

Kami bahkan belum resmi menjalin hubungan atau bertunangan?

Dengan tingkah seenaknya—seolah saja kami telah menjalin hubungan serius yang tak terpisahkan walau badai menghadang. Seperti halnya duduk berdua seraya memandang matahari diiringi kalimat-kalimat puitis, 'langit runtuh pun tak akan memisahkan cinta kita.'

Jika itu yang diinginkan Hokage, maka ia salah besar.

Ku geser meja di dekat kakiku, terdengar bunyi 'sreet' cukup keras. Spontan ia terbangun, kaget, matanya membelalak—berusaha meneliti sekitar. Wajahnya bermandikan peluh, bibirnya menganga lebar, terasa betul jantungnya berdetak cepat.

"A-apa—a-a-apa yang terjadi? ge-gempa?"

Hampir saja aku tertawa kala melihat ekspresinya, ku rasa gadis ini agak mirip dengan Naruto—maksudku tingkahnya yang bodoh dan gampang dibodohi.

"Kau telah menguasai kamarku, kini kau hendak menguasai sofa ini juga," ada jedah, "lama-lama aku harus harus tidur di luar—"

"Bu-bukan—bukan maksudku begitu—" buru-buru ia memotong kalimatku.

"Apa yang kau lakukan?" aku maju selangkah, dengan gerak yang sangat cepat ia bangkit berdiri dan mengambil jarak.

"Ma-maafkan aku Sasuke-san...ta-tadi aku ketiduran—" ia takut-takut.

"Apakah karena merawat rumah ini membuatmu berpikir sebagai Nyonya Uchiha, huh?"

Sasuke End POV

"Tidak—bukan seperti itu—a-aku hanya kelelahan dan—"

"Kau tidak mengerti maksud pertanyaanku," Sasuke mengernyit, "maksudku, kenapa kau repot-repot merawat rumah ini sementara kau hanya numpang?"

"A-aku merasa perlu melakukan itu, Sasuke-san sangat sibuk dengan misi, ja-jadi—a-aku membantumu membersihkannya," katanya.

"Klan Uchiha sangat menyukai aroma tembakau, dan kau telah membuang satu-satunya tembakau di rumah ini," Sasuke melenggang santai ke kamar, "siapa yang menyuruhmu membuang barangku, huh?"

"A-aku…a-aku sama sekali tak mengetahui hal itu."

Ia keluar dengan beberapa lembar kaos dan celana chunin, "sofa ini milikku, kau boleh kembali ke kamar," ditaruhnya pakaian-pakaian itu di atas meja.

Hinata merasa bersalah, pria itu harus tidur di luar dan memindahkan barang-barangnya di luar pula. Rasanya kurang etis, mengingat dia adalah pemilik sah rumah ini. Seharusnya Hinata-lah yan tidur di luar bukan Sasuke.

"Kami klan Uchiha, sangat menghormati adat-istiadat dan tata krama, jadi sebaiknya jaga sikapmu saat di rumah seorang Uchiha," kini ia duduk di sofa kebesarannya, "sebaiknya kau membatasi diri, begitu juga aku," ada jedah, "aku pria dan kau wanita, kita tidak sedang berhubungan, jadi jangan berusaha menggodaku," suaranya dingin.

"Ta-tapi aku—"

"Aku mengerti, kau tidak sengaja melakukan itu—seperti kataku sebelumnya, sebaiknya kita saling membatasi diri, ini akan baik untukmu dan untukku."

"Hai'" Hinata mengangguk paham.

"Aku pria normal, mengerti hal itu."

"Hai'" Hinata mengangguk lagi.

Sasuke menaruh sesuatu di atas meja, sebuah cincin emas polos, "pakai ini," katanya.

"A-apa itu?"

"Itu cincin."

"cincin?"

"Iya."

"U-untuk apa?

"Jangan salah paham, Hokage yang menyuruhku memberimu cincin, bukan atas kemauanku, pakailah cincin itu sebagai tanda kita sedang menjalin hubungan," ia berucap seraya memamerkan jemari kanannya yang dihiasi cincin serupa.

Hinata mengambil cincin itu, diperhatikannya seksama, di bagian dalamnya terukir sebuah nama, Bleeding Heart.

"Bleeding Heart,"

"Jika seseorang menanyaimu, katakan itu pemberian dariku, jangan katakan pemberian Sasuke atas perintah Hokage."

"A-aa…." ia mengangguk lagi.

"…"

"A-ano…terima kasih atas mi instannya—Hinata telah menghabiskan semuanya."

Sasuke mendelik, "siapa bilang kau boleh menghabiskan semuanya, salah satunya adalah jatah makan malamku."

Flashback

"Bagaimana menurutmu?"

"Hai' Hokage-sama—aku—"

"Aduh, bicara seperti biasa saja—lagi pula kau sudah menunjukkan sifat aslimu padaku, jangan berlagak sopan santun begitu," walau ia terus bicara, konsentrasinya tetap fokus pada dokumen tebal dihadapannya.

"Menurutku dalam arti apa?"

"Ya semuanya—penampilannya, sikapnya, wajahnya," ada jedah, "apa kau menyukainya?"

"Biasa saja," jawabnya singkat.

"Hanya itu?"

"Iya, gadis itu biasa saja dimataku," ia mendelik ke arah Shizune-senpai yang sedang mencuri-curi dengar pembicaraannya, "jadi kau berharap aku menjawab apa, huh?" menyadari sedang dipadangi, Shizune berpura-pura fokus pada pekerjaanya.

"Bohong kalau menurutmu Hime Hyuga tidak cantik," tatapan Hokage tak percaya.

1 detik

2 detik

3 detik

4 detik

5 detik

"Ya sudah, kalau menurutmu begitu."

"Aduh, Tuan uchiha Sasuke tunggal—" Tsunade menghela nafas panjang, "entahlah, aku bingung harus bicara apa padamu," ia berdehem, "sebenarnya aku memanggilmu kemari karena suatu hal."

"Misi?"

Ya, bisa dibilang begitu—kali ini misi untuk mendapatkan cincin di Negeri emas."

"Cincin?"

"Cincin tunanganmu bersama Hime Hyuuga—aku memesannya sejak jauh-jauh hari, sebenanya ini salah Shizune," dideliknya gadis berusia tiga puluh tahun disana, "dia melewati area itu kemarin, tapi lupa mengambil pesanannya."

"…"

"Maka dari itu, sebaiknya kau segera ke sana sebelum pemilik toko menjualnya pada orang lain."

"Kenapa harus ada cincin? sementara aku dan perempuan itu belum bertunangan," Sasuke protes.

"Tenang dulu, ini hanya sebagai simbol saja—kasihan Hime, berstatus sebagai tunanganmu tapi jarinya tetap polos."

"Tapi aku belum menyetujui pertunangan ini!" Tatapnya intens.

"Iya betul, tapi setidaknya pakailah sesuatu sebagai simbol—aduh…tekanan darahku bisa naik," Tsunade memijit pelipisnya "ngomong-ngomong—apakah kalian telah pergi berkencan?"

"Belum, aku sibuk." Sasuke singkat.

"He, sibuk apanya—malam minggu kemarin kau di warung sake bersama juniormu—jangan kira aku tak mengetahuinya."

"Ya itulah kesibukanku."

"Ck, ajaklah ia berkencan sesekali, kalian butuh santai—siapa tahu kalian jodoh," nada kalimatnya jahil, "tapi ingat, jangan menyentuhnya—perlakukan ia sebaik mungkin—dia itu ibarat permata bagi Ayahnya, jaga ia baik-baik."

"Kencan seperti apa?"

"Astaga, berapa usiamu Sasuke—"

"Dua puluh tujuh," sebenarnya Tsunade bukan menanyakan usia, tapi maksud dari kalimatnya adalah, 'usiamu hampir kepala tiga dan kau belum pernah merasakan yang namanya berkencan,' tapi malah dijawab sungguh-sungguh oleh Sasuke.

"Nah, di usia setua itu kau tidak mengerti makna kata berkencan?"

"Tidak, aku sibuk melaksanakan misi."

"Ajak dia makan, bercerita, duduk di taman, genggam jemarinya, dan berikan benda kesukaannya—pokoknya buat ia senang."

"Baik."

"Kau pria yang datar," telunjuknya memberi isyarat, "beginilah akibatnya jika kehidupan remajamu tidak bahagia—siapa lagi yang bertanggung jawab kalau bukan Orochimaru."

"Kau menganggap pertunangan ini enteng, tapi bagiku inia adalah sesuatu yang tidak biasa," ada jedah, "aku yakin wanita itu juga merasakan hal yang sama—jadi sebaiknya kau duduk tenang dan menonton—toh apapun yang terjadi, keputusan ada ditanganku, mau atau tidak mau, suka atau tidak suka, aku yang menentukan—dan jika aku menolak, kau siap mendukung keputusanku, begitu'kan perjanjiannya."

Hokage berpikir sejenak, "fiuuh…ku pikir kau akan tertarik dengannya."

End Flashback

Siapa sangka pria kaku sekelas Uchiha Sasuke mengajak tunangannya berkencan di restauran termahal Konoha.

Hanya gara-gara mi instan yang dihabiskan Hinata sekaligus, pria itu lalu mengambil inisiatif untuk dinner.

Makan malam, duduk di taman, dan berpegangan tangan, Sasuke lebih memilih mengambil opsi yang pertama. Well, Hokage adalah dalangnya, ia hanya mengikuti alurnya saja.

Hinata mengenakan furisade berwarna merah dengan aksen bunga lili, rambutnya dibiarkan tergerai tanpa hiasan. Sementara Sasuke, ia bahkan belum mengganti seragam chuninnya sejak kembali dari Negeri emas.

Cincin Bleeding Heart melekat indah di jari manis mereka, sungguh romantis pasangan muda-mudi Konoha yang sedang dimabuk cinta. Walau tak menggenggam jemari Hinata, jarak yang hanya terpaut beberapa inci sudah cukup membuat semua orang bertanya-tanya, sejauh apakah hubungan mereka hingga berani mempertontonkan kemesraan layaknya suami-istri.

Pasangan itu mengambil tempat agak ke belakang, semua mata tertuju pada Hime Hyuuga yang malam ini secantik putri dari kerajaan langit. Tanpa make-up, dibiarkannya wajah itu polos—memamerkan kecantikan alami seorang wanita Hyuuga yang terhormat. Geraknya yang lemah gemulai sudah pasti membuat pria-pria Konoha iri kepada Uchiha Sasuke.

Hinata Hyuuga adalah gadis impian semua pria, mereka rela mengantri untuk mendapatkan hati sulung Hyuuga itu.

Menyadari puluhan pasang mata memandangnya, gadis itu segera menundukkan kepala. Karena kencan pertama, momen ini harus perfect tanpa kesalahan. Walau ia tak mencintai Sasuke, setidaknya biarkanlah orang-orang beranggapan bahwa diatara mereka memang sedang terjadi sebuah proses bernama cinta.

Siapa peduli yang terjadi nanti, baik Sasuke maupun Hinata hanya menjaga image di depan semua orang. Biarkanlah Hokage yang mengetahui penolakan mereka berdua.

Ketika pria itu mengajaknya untuk makan malam, ia berucap, "kau menghabiskan jatah makananku, aku hendak makan di luar, mau ikut?" itulah makna kata berkencan bagi si bungsu Uchiha.

Seorang pelayan berambut brunette menghampiri mereka, ia menyodorkan dua daftar menu, "silahkan Nona, Tuan," katanya.

kare jepang, nabe, okonomiyaki, tonkatsu, yakiniku, dan masih banyak lainnya—Hime berkonsentrasi penuh kala melihat beberapa nama makanan yang ia sendiri belum pernah mendengarnya.

"Yakiniku," kata Sasuke.

"Baik Tuan," si pelayan menulisnya pada notes yang ia bawa, "Nona?" ia bertanya pada Hinata.

"sa-sama," well, well, Hime Hyuuga yang terhormat layaknya manusia kampung. Benar saja, selama masa persiapan sebagai seorang Hairees, kehidupan luar Hinata ditutup rapat-rapat. Ia hanya akan keluar dari machiya untuk berlatih atau ke kuil.

Sebelumnya, ketika masih aktif sebagai shinobi, si gadis sangat jarang bergaul, apalagi pergi ke restauran mahal hanya untuk menikmati makanan mewah.

"Baiklah silahkan tunggu, pesanan anda akan datang sebentar lagi," si brunette tersenyum sembari melangkah pergi.

"Oi teme!" Seseorang berseru, suaranya tak asing.

Pria itu hanya mengenakan kaos berwarna hitam dengan jeans butut. Disisinya nampak sang tunangan mengenakan pakaian modern dari Desa non-shinobi.

Uzumaki Naruto dan Haruno Sakura, siapa sangka pasangan muda-mudi kontoversial lainnya sedang berada di restauran itu.

Rasa canggung menyelimuti batin Hinata. Naruto—si sumber kesakitannya kini hanya berjarak satu meter. Si blonde yang selalu ia cintai kini telah disandingkan dengan si cherry, gadis imut murid Hokage ke lima.

Hinata hanya mengenakan pakaian adat tradisional, sementara Sakura sangat bergaya dan trendy dengan pakaian modern itu. Memang sepantasnya si cherry mengalahkanya untuk urusan pria.

Pria mana yang tidak tertarik dengan penampilan Sakura. Tubuh indah, tinggi semampai, rambut pink manis, wajah imut, iris emerald—Oh Kami…Hinata tentu kalah telak.

Entah sejak kapan jemari mereka bertautan, setelah bertemu Sasuke dan Hinata atau malah sebelumnya—saat mereka berjalan bersama menuju restauran ini.

Dulu, ketika Hinata masih berstatus sebagi tunangan Naruto, pria itu sama sekali tak pernah melakukan hal itu—maksudnya saling bergandengan tangan di depan umum, saling berbisik manja, bercanda—malah terkadang seolah bibir keduanya hampir bersatu akibat jarak wajah yang sangat dekat.

Jadi, bagaimana Hime harus bersikap?

Pura-pura tidak tahu, atau memang tidak mau tahu.

"Kalian sedang berkencan?" Sakura memulai pembicaraan.

"Baru saja," Sasuke menjawab sekenanya.

Sesaat kemudian, ketiga murid Hatake kakashi itu terlibat dalam sebuah pembicaraan serius tentang beberapa misi yang telah diselesaikan minggu lalu.

Lagi-lagi, batin Hime canggung, tiga orang yang sedang berbicara ini adalah murid dari Hatake Kakashi, sang copy ninja yang terkenal—sementara Hinata, hanya seorang puteri yang mengurung diri di dalam machiya. Hampir dua tahun ia tak bertarung, pengalamannya pasti kalah jauh dari Sakura.

"Hinata," si cherry menyapa seraya tersenyum.

"A-aa—Sakura-san la-lama tak berjumpa."

"Kau tidak berubah sedikit'pun," kata Sakura lagi.

"Hei~kencan ganda'kah?" belum sempat Hinata menanggapi, Ino buru-buru memotongnya.

Lengkap sudah, telah hadir di sana para nakama.

Shino yang lebih dulu menegur, "Hinata?"

"Shino-kun?" Hinata balas menyapa, dari nada kalimatnya seolah ia sangat rindu pada dua rekannya terdahulu.

"Waah Hinata—tak ku sangka kita bertemu di sini," Kiba mendekatinya.

"Hai Hinata," Ino dan Teten menyapa berbarengan.

"Ada apa ini?" Si kuncir Shikamaru meneliti satu-persatu wajah ke empat muda-mudi itu.

Sasuke sibuk membolak-balik daftar menu, "aku sedang kencan."

1 detik

2 detik

3 detik

4 detik

5 detik

Setelah kalimat itu, beberapa orang di sana membuat suara-suara aneh—seperti menggoda atau semacamnya.

"Waah—kencan ya…." Lee tersenyum penuh arti.

"Hubungan kalian berkembang cukup baik juga," entah siapa yang berucap, Kiba atau Chouji, suasana di sekitar sangat ramai, nakama bergantian memuji dan menggoda.

"Aku berharap penikahan kalian akan menjadi pernikahan termewah di Negara Api." Teten menatap Hinata kala mengatakan itu.

"A-aa— arigatou Teten-san."

"Sudahlah Hinata—kita'kan teman, jangan sunkan," ia berkedip. Hinata hanya membalasnya dengan anggukan pelan.

"Hinata-chan tidak berubah, masih seperti dulu—mengenakan kimono," Ino mengambil tempat di sisi kiri Hinata.

"Itu bukan kimono, tapi furisade," Teten menyelah.

"Ah—masa?" menurutku sama saja," Ino mendelik Sakura, "Sakura, bagaimana denganmu, kapan kau mengenakan furisade—" kalimat itu mengandung nada godaan.

"Aku tidak punya Ino…bukankah pakaian adat hanya digunakan ketika sedang perayaan," si cherry menopang dagu seraya menyebut beberapa perayaan musim semi yang sangat cocok jika para gadis mengenakan kimono saat menghadirinya.

"Ne—ne...Hinata mengenakannya setiap hari," ada jedah, "agar Sasuke selalu melihatnya sebagai gadis yang paling cantik, benar begitu'kan Hinata?"

1 detik

2 detik

3 detik

4 detik

5 detik

"Oke baiklah, aku tidak ikutan," Kiba geleng-geleng.

"Oh iya, Karin mana?" entah Teten atau Sakura yang mengalihkan pembicaraan.

"Dia sedang pergi bersama Yamato-senpai," seseorang menjawabnya, setelah itu mereka terlibat dalam pembicaraan tentang si maroon.

Apakah Ino dan Teten sengaja berbincang seperti itu untuk mempermalukan Hinata?

Pakaian mereka tak jauh berbeda dengan Sakura. Bukan pakaian seorang kunoichi, tapi pakaian gadis modern dari Desa non-shinobi. Tentu Hinata tak mempunyai pakaian trendy, Klan Hyuuga hanya memperbolehkan para wanita mengenakan kimono atau yukata.

Apakah dari kalimat itu mereka berhasil menyampaikan makna bahwa Hinata hanya gadis kampung yang mengenakan kimono untuk menarik perhatian Sasuke.

Hinata tertunduk pilu, wajah pucat itu hampir-hampir saja menyentuh meja. Bukan hanya minder, tapi malu dan sedih. Seharusnya pertemuan dengan para nakama tidak seperti ini, ia lebih mengharapkan sebuah perbincangan santai diantara para gadis.

Siapa sangka Ino dan Teten akan menyindirnya, siapa sangka Jika Sakura menggandeng tangan Naruto di depan umum, dan lebih parahnya lagi—Uchiha Sasuke masih setia dengan daftar menu yang di bolak-balik tidak jelas.

Lalu siapa yang akan membela Hime?

Iris amethyst itu hendak berlinang air mata, namun sebuah kalimat sukses membuatnya mendelik ke arah si blonde.

"Apakah kau suka caraku menciummu?"dipandangnya lekat-lekat si cherry.

"Huum~Naruto-kun…." Sakura blushing.

"Kau menolakku?" Naruto agak berbisik.

Para nakama seolah tak peduli, semuanya masih sibuk membicarakan hal lain. Mungkin adegan seperti ini sering terulang di beberapa kesempatan—hingga Shikamaru dan yang lainnya tidak kaget kala pasangan di mabuk cinta itu saling bermesraan di depan umum.

Si cherry memejamkan kedua matanya, berharap-harap cemas tentang perlakuan Naruto selanjutnya.

Si blonde agak mencondongkan wajahnya, berharap si cherry akan membalas perlakuan mesranya.

Sejurus kemudian bibir keduanya bersatu. Hanya ciuman biasa, sedetik kemudian mereka melepaskan diri satu sama lan. Well, dijamin hal ini sering terjadi kala keduanya sedang berkencan.

Hanya Hinata yang memperhatikan adegan mesra itu, hatinya mencelos—namun terlambat untuk mengatakannya. Ia tidak harus mempertahankan Naruto, ia tidak harus berkoar di depan umum untuk mengungkapkan cintanya—kini pria itu sedang tenggelam dalam lautan asmara bernama hasrat.

Siapa menduga—setelah ini mereka bisa saja bercinta.

Di depan umum tingkahnya mesra seperti itu, apalagi di belakang panggung.

Semua terjadi layaknya air mengalir, pembatalan pertunangan, tunangannya diganti dengan Sasuke, lalu di hina Sasuke, kini mereka berkencan, bertemu para nakama, melihat adegan mesra Naruto dan sakura. Layaknya sandiwara, dunia Hinata seolah terbalik dengan sendirinya. Kehidupan di dalam machiya tinggal masa lalu, kini ia adalah tunangan seorang pria yang dikelilingi para nakama super aktif.

Semua suara bersatu menciptakan suasana ribut luar biasa. Saking ributnya, tamu-tamu lainnya memperhatikan tingkah aneh para shinobi-shinobi terbaik Konoha itu.

Jangankan mereka, Hinata yang sedari-tadi mendengar cuap-cuap tidak jelas itu—merasa kepalanya akan pecah. Si gadis yang sangat suka ketenangan kini dihadapkan pada keadaan ramai seperti pasar. Ia memijit pelipisnya, alisnya sedikit berkerut, perutnya agak mual, dan sejurus kemudian, sebuah suara lain sukses menciptakan keheningan sesaat.

"Kau sakit?" Sasuke mengalihkan pandangannya dari buku daftar menu kepada sang tunangan tercinta.

"Aaa…a-aku hanya pusing," ia masih memijit pelipisnya.

"Kurang enak badan?"

"…" si gadis hanya menggeleng.

"Kita pulang saja," Sasuke bangkit berdiri. "di sini agak ramai," suaranya tetap datar.
"Ta-tapi pesanannya?"
Pria itu segera mengeluarkan dompet dari sakunya, beberapa uang kertas ditaruhnya di atas meja.

"Ta-tapi—Sasuke-san belum makan apapun," suara lembut khas Hime Hyuuga.

Dipandangnya si gadis lekat-lekat—pucat dan lemah, chakra Hinata Semakin merosot, "suhu tubuhmu berbeda," ia mengatakan itu seiring dengan lima jemarinya berada di pelipis Hime.

Agak kurang nyaman dengan perlakuan itu, Hime berucap "a-aku baik-baik saja."

"Bibirmu terlihat pucat," bayangkan, bagaimana reaksi nakama ketika Sasuke mengatakan 'bibir' …tak satupun dari mereka yang berkedip, manusia kaku itu kini telah berubah menjadi pria romantis.

"A-aa…tidak juga," spontah Hime memegang area bibirnya.

"Biar ku lihat," telunjuk Sasuke mengusap area bibir Hinata, diiringi dengan sorak menggelegar dari Chouji atau Lee atau siapapun yang mengatakan 'Hwwaaa!' Diiringi dengan 'eeer' dan 'huum.'

Pria itu mencondongkan tubuhnya—memotong jarak meja yang memisahkan mereka. Iris amethyst berusaha menghindari pandangan iris onyx, namun hal itu tak berhasil kala jemari Sasuke merangkum dagu mungil Hinata.

"kau sakit," ia berbisik, aroma nafasnya hangat menerpa wajah si gadis. Jarak mereka sangat dekat, jika kau melihat Sasuke saat ini, ia mencondongkan tubuhnya dengan sangat-sangat condong seolah takut meja itu adalah penghalang yang akan memisahkan mereka untuk selamanya.

"Sasuke-san…." Keningnya berkerut, ia protes dengan tingkah sok romantis Sasuke.

Pria itu memiringkan wajahnya, mengambil ancang-ancang untuk melakukan invasi pada bibir mungil yang menjadi sumber candunya.

Sumpah demi Kami, Hinata sama sekali tak berusaha seperti Sakura—maksudnya, ekspresi Sakura yang malu-malu dan memejamkan matanya seraya menunggu ciuman mesra kekasihnya. Hime malah diam membatu kala Uchiha Sasuke menyatukan bibir mereka.

Terjadi dua kali pangutan cepat, sebelum akhirnya ia melepaskannya. Sesaat Sasuke berfikir—atau lebih tepatnya meneliti, apa sebenarnya wanita ini…atau kenapa aku mencium wanita ini?

"Waaaah—sepertinya ciuman pertama," Chouji bisik-bisik.

Sasuke-san…" merasa dipermalukan, iris amethyst itu berkaca-kaca.

Entah apa maksud dan tujuan Sasuke, setelah melakukan aksi ciumannya, ia tetap santai seraya memandangi Hime dan daftar menu secara bergantian.

Kursi bergeser, itu Hinata yang bangkit berdiri, "a-aku kurang enak badan—maaf," ia melangkah pergi meninggalkan manusa-manusia aneh di sana.

"Susul dia, susul dia!" Kiba dan Chouji bicara bergantian.


Ia sadar Sasuke mengejarnya—bukan mengejar, tapi lebih ke arah mengikuti dari kejauhan.

Kejadian di restauran telah sukses mempermalukan Hinata. Apa yang dipikirkan Sasuke hingga berani melakukan hal itu di depan para nakama?

Pamer?

Sok jago?

Merasa pria paling tampan sehingga bebas melakukan apa saja pada wanita?

Walau mereka telah bertunangan, bukan berarti yang akan menjadi istrinya nanti adalah Hinata. Banyak hal yang akan terjadi, dan ini adalah salah satu tanda-tandanya.

Pria itu di luar kendali, setan mana yang telah merasukinya?

Seorang wanita Hyuuga sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kesopanan. Menyentuh seorang wanita Hyuuga di depan umum sama saja menodai harga dirinya.

Dalam hal ini adalah Hinata, ia merasa direndahkan di depan para shinobi hebat Konoha. Ya, dikatakan shinobi hebat karena mereka adalah para pria dan wanita yang selalu membela Negara Api dalam setiap pertempuran. Saking sibuknya membela Negara, mereka sampai lupa dengan sopan santun. Seharusnya Ino dan Sakura tidak perlu bersikap seperti itu, seolah saja Hinata mengenakan furisade untuk menggoda Sasuke. Entahlah, mereka telah berubah—seharusnya pertemuan ini bisa berjalan lebih baik.

Jika Naruto menyentuh Sakura, oke—itu wajar mengingat Sakura bukan berasal dari klan besar. Gadis itu dibesarkan dalam dunia modern, sementara Hinata selalu dibatasi oleh tata-krama dan nilai kesopanan.

Sasuke harus menjaga sikap, apapun maksud pria itu, intinya ini adalah sebuah tindakan di luar kendali yang tak pernah diperhitungkan.

Hanya dalam hitungan menit, si gadis telah tiba di apartemen. Ketika ia mencoba menarik daun pintu, Sasuke tiba-tiba muncul seraya menyodorkan kunci. Segera saja disambar olehnya lalu menerobos masuk buru-buru.

Ia melangkah cepat menuju kamarnya, tak satupun dari mereka yang saling bicara hingga sebuah tarikan kuat menghentikan langkahnya.

"Apa maksudmu?" itu kata-kata pertama Hinata.

Bukannya dijawab, pria itu malah memojokkan tubuh mungil si gadis ke sisi dinding. Air mata yang sejak tadi ditahannya kini tumpah ruah seiring dengan himpitan tubuh Sasuke.

"Apa maksudmu—Sasuke-san? sok hebat?" ia berucap di selah-selah tangisnya.

Sasuke berpikir, berusaha mencari kata yang tepat atas pertanyaan itu, "apa maksudku?" ia malah mengulangi kata-kata Hinata.

"A-aku malu…hisk...hisk…hiss…."

"Pada siapa?"

"…"

"Pada Naruto, huh?"

Dipandangnya iris onyx itu, "pada semuanya…mereka memperlakukanku layaknya orang asing—ditambah sikapmu yang melecehkanku…aku benar-benar malu," Hinata terisak hebat, "Sakura-san dan yang lainnya tentu tahu bagaimana perasaanmu padaku, mereka tahu kau tidak menyukaiku—tapi dengan tingkahmu yang seperti itu—berlagak mesra dan perhatian, malah semakin mempermalukanku di depan mereka—seolah saja aku adalah wanita yang minta dicintai olehmu."

"Aku penasaran."

"…"

"Aku hanya penasaran dengan rasamu."

"…"

"Ya, aku benar-benar penasaran dengan rasa seorang wanita."

1 detik

2 detik

3 detik

4 detik

5 detik

"Sasuke-san."

"Apa salahnya? aku pria normal, dan kau tunanganku."

"Teman-temanmu menghinaku, kau lihat sendiri mereka—"

"Aku bukan teman-temanku, aku hanya penasaran rasa seorang wanita," ada jedah, "itu saja."

"Sasuke-san tidak punya hati."

Sasuke memotong jarak, "izinkan aku melakukannya lagi," wajah mereka sangat dekat, "mencoba rasamu."

"Jangan…."

"Hum?"

"Hokage—a-aku akan mengadu pada Hokage atas tindakanmu hari ini," ancam Hinata.

"Lakukan saja—"ekspresi Sasuke datar, "Hokage tidak akan percaya padamu, aku shinobi kepercayaannya."

"Ka-katamu ka-kau ti-tidak pernah menyentuh wanita."

"…"

"Sasuke-san mempermainkanku."

"…"

Tanpa kata-kata, atau lebih tepatnya Sasuke tidak perlu berkata-kata untuk melakukan kewajibannya sebagai seorang pria. Ia merasa tak perlu banyak bicara jika hanya untuk sekedar menyentuh seorang wanita.

"Sasuke-san…."

Ia berbisik, bisikannya sangat pelan, "aku penasaran," hangat nafasnya menerpa perpotongan leher Hinata, Sasuke terus memotong jarak hingga tubuhnya benar-benar menempel dengan furisade cantik milik Hime.

"Kau sangat kecil," bisiknya lagi.

"Kau mabuk."

"Aku sadar."

"Aaaah!"

"Hum, kenapa?"

"Sasuke-san…."

"Aku hanya menggigitmu sedikit, aku tak akan memakanmu—ini hanya agar rasa penasaranku hilang saja," suaranya agak serak, "aromamu aneh, bau yang tak pernah ku hirup sebelumnya."

"Sasuke-san ku—ku mohon…hisk—hisk—hisk.…"

Tangisan Hime seperti nyanyian indah di telinga Sasuke. Wanita penggemar kimono itu telah sukses membuat si wajah es mengucapkan sebuah kata 'penasaran'

Bibir cantik itu terus bergerak diiringi isak tangis, gemas bercampur hasrat ditambah nafsu, dilumatnya Hinata. Sasuke dengan bibir ranumnya, sementara Hinata dengan bibir mungilnya. Seolah tak ingin melewatkan kesempatan, area dagu hingga pipi chubby Hinata tak luput dari serangannya, bunyi decapan lidah menggema di sekitar. Sebuah ciuman tak terbalaskan, well Sasuke menikmati sentuhan itu sendirian.

Lengket dan basah, dua hal yang pertama kali dirasakan Hinata kala dicumbu oleh seorang pria. Tangan Sasuke ikut bermain, pundaknya diremas perlahan mengisyaratkan nafsu membara—ketika jemari itu mulai mendekati area payudara, Hinata menepis kuat-kuat, "hentikan!" Susah payah kalimat itu terucap di selah-selah invasi. Wajahnya dipenuhi saliva, si pembenci menjilat layaknya anak kecil yang sedang menyantap permen manis.

Merasa terancam, "hisk...hisk..hisk...hentikan!" Hinata merontah.

"..."

"Hisk…hisk…hisk…Sasuke-san—ku-ku mohon hentikan!" Kini tangisnya lebih kepada teriakan menjerit.

Sadar wanita itu terancam, Sasuke menjauh dua langkah—yeap, hanya dua langkah.
"Hisk…hisk…hisk..Sasuke-san…." Hinata melindungi area bibirnya yang memerah karena gigitan dan decapan.

"Masuk…." Telunjuknya mengarah ke pintu kamar.

Si gadis menggeleng, demi Kami, ia tak akan masuk ke dalam kamar itu. "tidak…ka-kau mengancam hidupku...hisk…hisk…"

"Masuk!" Ditariknya tangan Hinata, mendorongnya masuk ke dalam kamar dan membantinng pintu, dalam hati ia mengutuk dirinya sendiri, "sialan!"


"hisk...hisk...hisk..Sasuke-san jahat."

Sial, ini hampir pagi dan gadis itu masih menyesali perlakuan Sasuke. Padahal jika dilihat dari sudut pandang seorang pria, tingkah seperti itu tidak terlalu parah. Sepasang tunangan wajar berciuman, contohnya Sakura dan Naruto, mereka tak malu-malu mengumbar kemesraan.

Pipi dan dagunya semakin memerah karena terus digosok berulang kali, "Sasuke jahat, kenapa tega hisk—hisk—hisk—" tangisnya lagi dan lagi.

Kabar buruknya, besok Sasuke hendak melaksanakan misi ke Desa Tsuna untuk dua minggu. Dalam keadaan normal, istirahat dan makan teratur adalah hal terbaik bagi seorang shinobi yang hendak melakukan perjalanan jauh.

Tapi dengan keberadaan Hime di mini apartemennya, sekurang-kurangnya ia telah kehilangan kesabaran dan kehilangan jatah makan malam.

Itu hanya sebuah rasa penasaran, tidak lebih—toh dia tidak ternoda—Hinata masi perawan seperti beberapa jam yang lalu. Apa yang ditangiskan gadis itu? bibirnya tidak perawan lagi? demi Kami, teori kolot hanya dipegang oleh orang-orang tua terdahulu.

Sasuke tidak perlu mengetuk pintu untuk masuk ke dalam kamarnya sendiri, dengan langkah sangat santai ia mendekati gadis yang sedang memeluk lututnya.

"Hisk...hisk…hisk…kau jahat, aku mau pulang saja!" Hime membentak.

"Kau seperti bayi," suara Sasuke serak—eer sebenarnya bukan serak, tapi karena pengaruh ngantuk luar biasa—dan gadis ini baru saja menggagalkan rencana tidurnya.

"…"

"Sejujurnya aku masih penasaran dengan rasamu…sungguh aneh." ia menggerutu sendiri.

"…"

"Jika Hokage mengetahui hal ini, itu sama saja kau mempermalukan dirimu sendiri," ada jedah, ia berdehem, "ia tak akan mempercayaimu."

"Hisk…hisk…hisk...kau jahat, aku membencimu hisk—hisk—hisk—"

"Aku juga benci wanita cengeng."

"Ka-kau bilang—" Hinata terisak di selah kalimatnya, "ka-kau bilang…kau tidak akan menyentuhku—ta-tapi nyatanya—"

"Aku hanya menciummu…aku tidak mengajakmu tidur," oh Kami, pria ini mengaku tidak pernah menyentuh wanita, tapi dari kalimatnya—seolah ia adalah lelaki hidung belang yang sering bergaul di rumah bordir.

1 detik

2 detik

3 detik

4 detik

5 detik

"Sasuke-san…." Tatapan Hinata horor.

"Berbaring di tempat tidur itu." telunjuknya mengarah pada tempat tidur mini miliknya.

Hinata bergeleng ria, "ti-tidak…aku tidak mau," mata itu seolah berkata, walau kau membunuhku, aku tak sudi berbaring di tempat itu demi dirimu.

"Kau menungguku untuk membaringkanmu, huh?"

"Sasuke-san...ku mohon—hisk…hisk..." Hinata menyatukan kesepuluh jemarinya seraya memohon ampun, "izinkan aku pulang sekarang."

"Aku tidak pernah menyakitimu, kau tunanganku—dan aku hanya penasaran, itu saja—tidak lebih."

"Sasuke-san menakutkan…."

Berpikir sejenak, "baiklah, akan kulakukan lebih lembut," sejurus kemudian Sasuke memeluk tubuh Hime. Sangat mudah mengangkat tubuh kecil itu, ia tak perlu mengeluarkan banyak tenaga hanya untuk sekedar memindahkan Hinata dari sisi dinding menuju tempat tidurnya.

Gadis itu masih merontah kala punggungnya menghantam tempat tidur mini milik Sasuke, teriakan dan tangisan sukses mengalahkan keheningan malam. Bagaimana bisa ia bergerak, sementara tubuhnya ditindih oleh tubuh besar si pembenci.

"kau menggoda Imanku, huh," Sasuke berbisik, tanpa jarak hidung mereka bersentuhan, "dalam seminggu ini kau berusaha menggodaku," ia melenguh, atau mendesah atau entahlah—kemudian dilanjutkan dengan kalimat, "rasamu membuatku gemas, izinkan aku melakukannya sekali lagi," ada jedah lenguhan," aku hampir tak tahan, jika aku tak melakukannya, maka aku harus berkorban dengan membiarkan tubuhku sakit," ada jedah lagi, "aku tidak suka tubuhku sakit."

"kau liar…" tatapan Hinata nanar.

"Kau merasakannya, huh?" ia menyeringai, "itu sakit," jemarinya merangkum wajah mulus Hinata, "tidak ada pria yang tahan dengan rasa sakit ini…termasuk aku."

"..."

"Aku tak akan bertindak lebih jauh," wajahnya tenggelam di belahan payudara Hime yang masih tertutup furisade, "akan kulakukan lebih pelan dan cepat."

"Sasuke-san…."

"Jangan bergerak, biarkan aku melakukannya dengan sangat hati-hati."

Malam itu Sasuke kembali menyatukan bibir mereka, Hinata tidak merontah karena sadar akan akibatnya jika ia melawan si pembenci. Tiga kali kecupan, dan Hime tak membalasnya sedikitpun.

Sasuke terus melumat bibir itu tanpa balasan, ia menggerutu, "akan lebih baik jika kita melakukannya bersama-sama, aku melumatmu dan kau melumatku."

"…"

"Rasamu tidak berubah walau kau sedang menangis."

"…"

"Aku memang tidak pernah menyentuhmu—kita hanya pergi ke restauran bersama-sama, dan wajar jika dua orang yang telah bertunangan saling berciuman di depan umun," ada jedah, "aku hanya bertanggung jawab sebagai tunanganmu."

"Kau akan membunuhku setelah ini," suara Hime hampir tak terdengar, gadis itu masih mengatur nafasnya.

"Kau tidak akan mati setelah ku cium—itu hanya ciuman, jangan mengada-ngada. Seperti yang kukatakan sebelumnya, aku hanya penasaran dengan rasa seorang wanita, jika wanita yang menjadi tunanganku bukan dirimu—maka aku akan tetap penasaran dengan rasanya, jadi jangan terlalu berharap banyak dari sentuhan itu," ia melenggang santai seraya menyeka area bibirnya yang dipenuhi salivanya sendri.


-Iromuji
Iromuji adalah kimono semiformal, namun bisa dijadikan kimono formal bila iromuji tersebut memiliki lambang keluarga ( kamon ). Sesuai dengan tingkat formalitas kimono, lambang keluarga bisa terdapat 1, 3, atau 5 tempat (bagian punggung, bagian lengan, dan bagian dada ). Iromoji dibuat dari bahan tidak bermotif dan bahan-bahan berwarna lembut.

-Hōmongi

adalah kimono formal untuk wanita, sudah menikah atau belum menikah. Pemakainya bebas memilih untuk memakai bahan yang bergambar lambang keluarga atau tidak. Ciri khas homongi adalah motif di seluruh bagian kain, depan dan belakang.

-Kanzashi

adalah hiasan rambut seperti tusuk konde yang disisipkan ke rambut sewaktu memakai kimono.

-Obi

adalah sabuk dari kain yang dililitkan ke tubuh pemakai sewaktu mengencangkan kimono.

-Tabi

adalah kaus kaki sepanjang betis yang dipakai sewaktu memakai sandal.

-Hakama

adalah celana panjang pria yang dibuat dari bahan berwarna gelap.


Satu review dari anda sangat berharga untuk saya—dan untuk kelangsungan fiction CANON ini. jadi MOHON REVIEW-X

dan mohon maaf, saya tidak sempat membalas PM yang masuk...gomen...skali lagi gomen

Jumat, 03 April 2015

-Prince of Sharingan-