Chapter 3: Bianchi's Test

Summary: "Tsuna menelan ludahnya, keringat dingin kembali mengucur di pipinya. Entah Chrome sendiri tidak sadar betapa gila Famiglia tempat dirinya bekerja, atau cinta memang benar-benar buta." / 15YL!Universe. Set after the final arc. Pure crack.

Rated: T.

Genre: Drama, Family.

Main characters: OC, Vongola 10th Generation. Several mentions of Chrome Dokuro

Disclaimer: Katekyo Hitman Reborn! © Amano Akira. All rights reserved. The author does not gain any commercial profit from writing this story.

If you happen to meet someone who said that high school days are the best days in your life to play and enjoy, please do me a favour and just slap them—like, REAL hard—on the cheek, because I'm certain they don't know any shit about the real meaning of those days. They need to wake up.

Dan juga karena (ternyata, saya butuh dua tahun penuh untuk menyadari bahwa) masa SMA itu masa kerja keras, bukan 'santai-santai menikmati masa muda' dengan main geng-gengan, pacaran dan hal-hal lain seperti itu. =_= Screw manga, this is real life.

... oke, maafkan saya atas kata-kata kurang sopannya. Saya mavhok siap-siap untuk SBMPTN—seperti yang Anda paham betul, jam belajar ekstra, belum ditambah lagi dengan waktu yang harus disisihkan untuk proyek akhir tahun, padahal UN saja masih April. Heh. cenderung gampang panik soal beginian

Jadi, err, maaf atas update lambatnya? /jangantimpuksayaplis/

Oh, please—enjoy yourself.


Malam ini, Chrome Dokuro terlihat mengesankan dengan sehelai champagne dress menutupi tubuhnya—cukup untuk dianggap sopan, tetapi juga memesona. Itu adalah hal pertama yang Jun perhatikan tentang tunangannya.

Dan Jun akan merasa lebih leluasa dalam menikmati pemandangan ini jika saja punggungnya tidak berdenyut menyakitkan.

Hasil dari pertemuannya dengan Squalo tidak begitu menyenangkan, dinilai dari 'oleh-oleh' yang diberikan pria berambut panjang tersebut kepadanya. Beberapa jahitan di sana-sini, dan luka-luka torehan yang ada pada punggungnya tidak membantunya untuk fokus ke acara makan malam dengan beberapa anggota keluarga lain ini. Chrome sudah berusaha untuk mengobatinya dengan pengetahuan pertolongan pertama yang dimilikinya, tetapi jujur saja—itu tidak membantu banyak.

(Jun berusaha menyembunyikan fakta bahwa Chrome tidak menahan diri untuk sedikit menyiksanya saat wanita tersebut menotolkan kapas yang telah dicelupkan ke cairan alkohol ke permukaan kulitnya.)

"Jun-san, apa kau tidak apa-apa?"

"Apa?" tanya Jun tak jelas. "Oh, yeah, tentu saja."

Sebelah mata Chrome yang ungu besar mengawasi tunangannya dengan cemas, merasa tak berguna. "Jun-san, jika ada sesuatu yang dapat kulakukan untuk meringankan rasa sakitmu, bilang saja," kata Chrome hati-hati, rambutnya yang panjang tergelung longgar di atas kepalanya sedikit bergoyang ketika ia memiringkan kepala. "Jujur saja, kurasa Jun-san harus istirahat malam ini…"

"Tidak, tentu saja tidak!" kata Jun, tidak menyukai prospek melewatkan pertemuan lain dengan anggota keluarga tunangannya yang manis (agak munafik di sini, mungkin, karena sejauh ini pertemuan dengan keluarga Chrome tidak memberikannya manfaat. Seperti, apa pun). "Kita akan bertemu Sasagawa-san, benar? Aku sudah tidak sabar—"

Mendengar itu, Chrome menarik kedua ujung bibirnya dalam senyuman manis yang benar-benar mengalihkan perhatian Jun dari rasa sakitnya. Oh, betapa semua ini—semua penyiksaan tanpa henti ini—terasa setimpal ketika ia melihat senyum tersebut. Chrome memang punya caranya sendiri untuk membuatnya merasa bahagia.

Restoran yang sudah mereka masuki dipenuhi banyak orang dari kalangan menengah ke atas. Dekorasinya yang terbilang mewah tidak menghentikan Jun dari melihat ke sana kemari tanpa henti, mengagumi desain interior klasik yang dipamerkan dan musik lembut yang mengalun menyenangkan. Beberapa saat kemudian, ia melihat meja yang dipesan Chrome untuk mereka semua.

Di meja berbentuk persegi panjang tersebut, Jun dapat melihat dua orang sudah menempati sebagian tempat yang ada di sekelilingnya. Kedua-duanya merupakan wanita—salah satunya berambut hitam pendek yang bergelombang, dan satu yang lain berambut merah muda digelung ketat. Wanita berambut merah muda tersebut mengeluarkan aura aneh yang tak dapat ia jelaskan. Jun menaikkan sebelah alisnya. Dari cara bicara Chrome, ia telah berasumsi bahwa 'Sasagawa-san' adalah seorang pria.

"Wah, Chrome, akhirnya kalian datang juga," komentar sang wanita berambut hitam, meletakkan kedua tangannya untuk menopang dagunya di atas meja. Gaunnya yang juga hitam (tren baru di kalangan wanita? Jun tidak tahu) dipotong sedemikian rupa sehingga mampu menampilkan bagian terbaik dalam kulit wanita tersebut tanpa menunjukkan hal yang tidak pantas. "Aku sudah sempat kehilangan harapan, tadi."

"Maafkan aku, Hana-san," jawab Chrome lembut. "Ada… ada beberapa hal yang perlu kubereskan sebelum datang ke sini."

Jun berdiri begitu saja di sana seperti orang tolol, bingung harus melakukan apa. Kemudian ia diselamatkan dari kebingungannya ketika Chrome memutuskan untuk memperkenalkan mereka semua. "Jun-san," mulainya, "perkenalkan. Yang duduk di sana itu Sasagawa Hana-san. Yang duduk di sebelah kanan itu Bianchi-san. Mereka berdua merupakan anggota keluargaku yang lain."

"Selamat malam," Jun menyapa, sedikit membungkuk hormat. Wanita yang bernama Bianchi tadi hanya menunduk, tersenyum sekilas—tetapi Hana tidak mengalihkan pandangannya dari Jun, mengamati detail penampilannya dari ujung rambut hingga ujung sepatu.

"Tidak ada yang salah dari caramu berpakaian, tapi... apa yang aneh, ya..." Jun menelan ludah ketika matanya bertemu tatapan tajam Hana. "... oh! Posturmu! Apa kau sedang cedera?"

Deg.

Chrome mengawasi Jun dengan cemas, tetapi Jun hanya menggeleng dan tertawa. "Ah, ya, ada sesuatu yang terjadi beberapa waktu yang lalu. Tapi itu bukan sesuatu yang besar, Sasagawa-san."

"Yah, apapun itu, duduklah. Kalian berada di sini bukan hanya untuk berdiri sepanjang waktu."

Jun menarik kursi Chrome mundur, mempersilakan sang wanita untuk duduk terlebih dahulu dan menyamankan diri sebelum melakukan hal yang sama untuk dirinya sendiri. Mereka hanyalah orang biasa, Jun, ia memberitahu benaknya, mencoba menenangkan, tidak ada hal yang perlu kautakuti di sini. Kejadian tadi siang dengan Yamamoto-san itu hanyalah kebetulan.

Tetapi tidak peduli seberapa sering ia berusaha untuk membuat dirinya dapat rileks, tatapan Hana masih saja tertuju kepadanya—menegangkan.

Jun melirik Chrome yang duduk di sampingnya. Wanita tersebut tampak santai, seperti ia memang seharusnya berada dalam situasi-situasi seperti ini, dan mulai membolak-balik lembaran menu makan malam dengan antusias (sebagian dari diri Jun merasa ditinggalkan karenanya).

"Jadi, siapa saja yang sudah kalian temui hari ini?"

Pada pertanyaan Hana, Jun mengerjapkan mata. "... Oh. Um, saya sudah bertemu dengan... Gokudera-san, Haru-san, Kyouko-san" —Jun berusaha mengingat-ingat nama beberapa orang yang hanya sempat dilihatnya sepintas— "Lambo-san, I Pin-san, dan... Yamamoto-san serta... Squalo-san." Ya, kalau tidak salah itulah nama-namanya.

Alis Hana terangkat mendengar penyebutan dua nama terakhir. "Kau sudah bertemu dengan Superbi Squalo?"

"Ya... sepertinya," Jun dapat mengingat dengan jelas nama pria berambut panjang yang... err, secara tidak sengaja (mungkin?) berpartisipasi dalam kecelakaannya.

"Oh." Sekali lagi, sepasang mata hitam Hana memindai Jun dari atas hingga bawah. "Kau tidak terlihat sekacau yang kuperkirakan. Anggap itu pujian, tidak banyak orang yang masih bisa bertahan hidup darinya."

Jun menaikkan sebelah alis kepada komentar Hana, tetapi sang wanita dengan kebiasaan berbicara terus terang tersebut sudah disibukkan dengan sebuah telepon yang datang pada ponselnya. Tanpa memedulikan pandangan semua orang, Hana menjawab telepon yang diterimanya.

"Hei. Kau di mana? Masayuki ada di sini, semua sudah menunggu." Semua mendengarkan percakapan mereka. Helaan napas lelah. Hana mengurut dahinya. "Oh, demi Tuhan, Ryouhei—baiklah, tunggu di sana. Ya, ya, aku akan ke sana. Lima menit. Jangan ke mana-mana."

Hana memutuskan sambungannya. Chrome memandangnya penuh tanda tanya.

"Ada sesuatu yang terjadi?"

"Oh, bukan. Hanya masalah kecil—tapi sori, aku harus pergi sebentar," kata Hana sebal. Ia bangkit dari tempat duduknya. "Benar deh, aku nggak menyangka menjadi istri seseorang itu berarti menjadi pengasuhnya juga."

Entah kenapa, mendadak Jun merasa tidak begitu nyaman mendengarnya.

Hana pun menghilang dari pandangan, meninggalkan mereka dalam situasi yang sangat, sangat canggung. Sekali lagi, Jun melirik tunangannya. Chrome menemui pandangannya dan tersenyum menyemangati.

"Jadi? Sudah berapa lama kalian berdua mengenal satu sama lain?" tanya Bianchi dengan kasual sembari menyunggingkan senyum kepada mereka.

"Kurang-lebih... satu tahun," jawab Chrome.

Jun menambahkan, "Terasa seperti selamanya bagiku."

Chrome melempar senyum malu-malu lain kepada tunangannya—yang dibalas Jun dengan kecupan kecil di pipi. Bianchi terkekeh.

"Satu tahun, eh? Tidakkah itu terlalu cepat untuk bertunangan?"

"Tidak," kata Jun, mulai merasa nyaman dengan pembicaraan ini. "Saya sudah tahu dari detik pertama saya bertemu dengan Chrome, bahwa dia akan menjadi istri saya."

Wajah Chrome memerah. Bianchi tidak mengacuhkan itu.

"Hmm. Kalian terlihat oke sampai sekarang, jadi pastinya itu bukan masalah," komentarnya. "Memangnya apa yang terjadi saat kalian pertama bertemu?"

Kali ini, giliran wajah Jun-lah untuk bersemu merah. Ia menunduk, menangkupkan telapak tangannya ke wajahnya, mengundang tawa Bianchi dan Chrome untuk meletakkan tangannya di bahu pria tersebut. Ia berusaha untuk menghindari topik ini sejak hari pertama ia menjejakkan kaki ke Vongola Mansion, tetapi nyatanya ia tidak bisa menghindarinya sekarang.

Karena itu, ia menarik napas dalam dan mulai bercerita.

"Ini akan jadi sangat, sangat memalukan, Bianchi-san, jadi tolong sikap saya dimaklumi." Jun menarik napas dalam. "Baik, jadi... semua dimulai dari misi yang Chrome dapat untuk bertugas di dekat Nami-chuu satu setengah tahun yang lalu."

"Misi yang mana?" Bianchi menaikkan sebelah alis.

"Vongola menemukan bukti bahwa ada... err, mafia musuh yang menyebarkan bahan peledak C4 secara bebas di lingkungan tersebut," jelas Chrome. "Beberapa tersangkanya merupakan guru-guru yang mengajar di sana."

"Dan, well, karena lingkup ruang tersangkanya adalah guru yang mengajar di Nami-chuu, otomatis saya juga menjadi seseorang yang dicurigai," sambung Jun. "Terlebih lagi, tersangka utama, hanya karena saya wali kelas dari seorang murid yang dilaporkan atas kepemilikan bahan peledak tersebut. Maka dia dan partnernya—saya lupa siapa—mengunjungi kami dan menyamar sebagai murid untuk menyelidiki kami."

"Saya mendapat kesempatan untuk menyelidiki Jun-san. Saya pun menyamar menjadi seorang murid yang... tidak masuk karena 'sakit'." Chrome memutuskan untuk tidak memberitahu Jun bahwa absennya murid tersebut waktu itu bukanlah faktor keberuntungan semata. "Dan semua berjalan lancar, sampai saat bel pulang sekolah, tepat di belakang sekolah, seorang murid lain yang ternyata adalah partner murid sebelumnya dalam mendistribusikan bahan peledak tersebut mengonfrontasi Jun-san, menganggap bahwa karena Jun-san lah temannya tertangkap."

"Murid-murid, menjadi teroris?" tanya Bianchi, menemukan kejanggalan dalam cerita ini. "Bagaimana bisa?"

"Well, ternyata murid-murid yang kami selidiki itu bukanlah 'anak-anak tak berdosa' seperti yang kami kira sebelumnya," jelas Chrome lagi. "Mereka adalah orang dewasa, anggota famiglia musuh yang menyamar menjadi murid untuk meneror Namimori. Maksudku, kau tidak akan mencurigai sekumpulan anak-anak SMP yang masuk-keluar sekolah meski dengan niat untuk memasang bom, bukan?"

"Dan Chrome yang sedang mengawasiku ketika konfrontasi itu terjadi di sana, terpaksa ikut campur ketika murid itu menghantamku jatuh ke tanah," lanjut Jun, geli dengan dirinya sendiri. "Bayangkan betapa bingungnya aku ketika aku melihat gadis yang kuanggap muridku ternyata seorang wanita muda yang menyamar."

"Setelah aku memisahkan Jun dari murid tersebut, ia mengeluarkan sebuah tuas dari balik seragam sekolahnya dan mengancam akan meledakkan sekolah," kata Chrome. Ia pun tertawa kecil. "Melihat pakaianku ketika sisa api Kabut untuk penyamaran meninggalkan tubuhku, ia mengira aku polisi. Ia mengancam untuk meledakkan sekolah jika kami tidak meninggalkannya sendirian. Maka aku tahu bahwa bomnya diletakkan di suatu tempat entah di dalam atau di dekat sekolah.

"Orang-orang Hibari-san—yang masih berjaga di Nami-chuu dan mengawasi semuanya lewat kamera tersembunyi—berhasil menangkapnya. Tapi ia berkata bahwa, ada sebuah bom yang sudah terpasang di sana, dan timernya masih aktif untuk meledak dalam waktu satu jam. Ia bungkam setelahnya. Maka kuserahkan orang itu untuk diinterogasi pihak Foundation dan aku pergi untuk mulai mencari bersama beberapa orang lain."

"Aku benar-benar kebingungan saat itu, juga panik karena orang-orang terus menyebutkan kata 'bom' dan aku tidak tahu apa-apa. Kuikuti Chrome ke mana-mana, terus menanyakan apa yang sebenarnya terjadi sambil ikut mencari."

"Sampai pada akhirnya, kami memeriksa ruang guru, dan ternyata di sanalah dia—bom itu, terbungkus dalam kotak plastik, menunggu untuk meledak, di bawah meja Jun-san. Tepat dua detik sebelum meledak."

"Dan detik berikutnya, bom itu memang meledak."

Bianchi kembali menaikkan sebelah alis. "Lalu apa yang terjadi?"

Pasangan yang duduk di depan Bianchi tersebut saling pandang dengan sedikit rona merah di pipi mereka.

"... Aku menyelamatkan Jun-san dari itu," kata Chrome singkat, padat, dan jelas. Jun nyengir lebar, sikap malu-malunya sudah menghilang.

"Tidak, lebih tepatnya, kau... menerjangku jatuh ke luar ruangan, menindihku sementara ruang guru diledakkan menjadi serpihan, dan kau masih menindihku sampai satu menit setelahnya sampai kau yakin tidak akan ada ledakan susulan. Aku masih mengingat hal itu sampai sekarang, kau tahu."

Oh. Sekarang Bianchi paham apa yang terjadi.

"Lalu sejak itu, kami mulai berkencan," sambung Jun lagi. "Sulit, memang, karena ia bisa berada di ujung lain dunia untuk tugas lain sementara aku tetap berada di Nami-chuu untuk mengajar..."

Kemudian mendadak terdengar getar ponsel. Chrome gelagapan lalu segera menjawab panggilan siapapun yang menelepon dari ujung sana setelah memberi pandangan meminta izin kepada Jun dan Bianchi. Mereka mengangguk.

"... Ya, Haru-chan? Ada apa?" Chrome diam sejenak sementara sahabatnya berbicara. "Aku sedang bersama Bianchi-san dan Jun-san. Ya, di restoran itu." Hening lagi. "... Sekarang? Tapi Bos tidak bicara apapun tentang itu." Dahinya berkerut. "... Baiklah, aku paham. Baik. Aku akan ke sana sekarang."

Jun mengerutkan dahi ketika tunangannya bangkit dari kursinya.

"Apa ada sesuatu yang salah?"

"Tidak, tidak. Tidak ada yang salah," kata Chrome lembut. "Haru-chan hanya baru memberitahuku sesuatu yang penting—berkas kasus yang dikerjakannya tempo hari terkunci di kantorku, dan Bos memerlukan datanya sekarang."

Uh, oh. Jun sudah pernah melihat ini sebelumnya. "Tidak bisakah itu menunggu besok pagi?"

"Sepertinya tidak... Haru-chan terdengar terburu-buru tadi." Chrome membungkuk untuk mengecup pipi Jun singkat. "Aku akan segera kembali. Markas Vongola letaknya hanya beberapa blok dari sini, bukan?"

"Sepuluh blok."

Chrome menaikkan sebelah alisnya. Mendadak Jun bertingkah seperti anak kecil yang takut ditinggal ibunya di tengah keramaian. "... Ya, sepuluh blok, tapi aku berjanji aku tidak akan lama," katanya menenangkan. Kemudian ia mendongak dan menatap Bianchi. "Apa aku boleh pergi?"

"Tentu, Chrome, silakan."

Kemudian Chrome mengemasi tas kecilnya dan beranjak pergi, meninggalkan Jun sendirian dengan wanita berambut merah muda tersebut. Jun pun menarik napas dalam. Tenang. Sampai detik ini, pembicaraannya dengan Bianchi-san berjalan lancar. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Jun melempar senyum sopan kepada Bianchi, mengambil gelas berisi air putih yang sudah disediakan di depannya dan sudah mengambil tegukan pertama ketika—

"Katakan—apa kau sudah melakukan sesuatu dengan Chrome?"

Jun menyemburkan air yang tengah diminumnya ke mana-mana.

"EEEEEEEH?!"

—Teriakannya terdengar histeris. Dan keras.

Bianchi hanya memiringkan kepala, tawa kecil lepas dari bibirnya yang berlipstik tebal.

"Dinilai dari reaksimu, sepertinya tidak ada yang terjadi di antara kalian."

"A-ahahahaha..."

Sekali lagi, Jun menelan ludah dan buru-buru mencari saputangannya. Wajahnya terasa panas. Sungguh memalukan baginya, membiarkan kontrol dirinya lepas seperti itu. Ketika ia sibuk mengeringkan pangkuannya sendiri, Bianchi pun melanjutkan.

"Apa kalian sudah berkencan secara serius?"

"..."

Jun sama sekali tidak punya ide atas apa yang tengah direncanakan Bianchi. Ia menghela napas, kemudian memutuskan bahwa tidak ada salahnya untuk menjawab pertanyaan tersebut. Ini semua semata-mata untuk menjaga kesopanan.

"Ya," jawab Jun ragu-ragu. "Saya membawa Chrome mengunjungi Roma beberapa waktu yang lalu."

"Mm." Mata berwarna hijau cemerlang Bianchi berkilat-kilat. "Dan masih tidak ada yang terjadi?"

"Tidak."

"Kalian hanya... berpegangan tangan."

"... Ya."

"Sedikit memeluk, mungkin?"

Jun bertanya-tanya apa ketika Chrome jatuh ke arah tangannya yang terbuka saat wanita tersebut tanpa sengaja terserimpet roknya sendiri di sana termasuk dalam kategori pelukan. "... Ya."

"Tapi kau tidak tidur dengannya."

"... Maaf?!"

Nada bicara kata-kata Jun yang terakhir meninggi lagi. Bianchi terkekeh.

"Percayalah, aku akan tahu jika ada pasangan yang sudah tidur dengan satu sama lain berdiri di hadapanku. Kalian berdua terlihat manis dan wajar sebagai pasangan, tetapi tetap saja... kalian belum mencapai tahap itu." Bianchi bersandar pada tangan kanannya. "Jadi. Jika kau tidak pernah melakukan sesuatu yang lebih dari sekadar pelukan... kenapa tepatnya kau memutuskan untuk menikahinya?"

Mau tidak mau, Jun merasa agak tersinggung. "Saya sudah berkata bahwa saya tahu bahwa Chrome adalah—"

"—wanita yang nantinya akan menjadi istrimu sejak pertama kali kau memandangnya, ya. Aku sudah mengerti sampai sana," sela Bianchi tak sabar—kendati nada bicaranya masih manis seperti di awal pembicaraan. "Tapi aku tak habis pikir. Kalian hanya pergi ke beberapa kencan—tidak ada kontak fisik berarti, apalagi tidur bersama, dan beberapa waktu kemudian kalian bertunangan. Memangnya apa yang kaulihat dari Chrome sehingga kalian memutuskan untuk buru-buru menikah?"

Jun tertegun. "... Tentunya saya tidak melamar Chrome karena saya dapat menggunakannya untuk kontak fisik," jawabnya agak dingin. "Saya menghargai wanita jauh lebih daripada sekadar itu."

"Ya, jadi apa yang membuatmu melamarnya?"

Pada pertanyaan itu, Jun terdiam. Ia mencoba mengatur pikirannya agar dapat membentuk kata-kata. "Chrome adalah... wanita yang baik."

"Wanita yang... baik," ulang Bianchi tidak perlu.

"Ya, dan saya rasa ia akan menjadi istri yang baik bagi saya serta ibu yang baik pula bagi anak-anak saya," kata Jun keras kepala. Oh, ayolah—apa semua pertemuannya dengan anggota keluarga Chrome akan berakhir dalam interogasi?

"... Begitukah?"

Ada sesuatu dalam cara Bianchi untuk mengutarakannya yang membuat Jun merasa tidak nyaman.

"Apa ada yang salah dengan jawaban saya?" tanya Jun, entah kenapa malah merasa agak gugup. Kini, Bianchi hanya menyunggingkan senyum seakan wanita tersebut tahu segalanya.

"Tidak," katanya. "Tidak ada jawaban benar maupun salah atas pertanyaanku tadi. Tetapi, yang jelas, jawaban-jawaban itu memberitahuku banyak baik tentang dirimu maupun tentang pertunangan ini."

Tiba-tiba, Jun merasa waswas.

"Seperti?"

Bianchi menunda untuk menjawab dengan mengambil gelasnya, menggoyangkannya sedikit dalam sikap yang memberitahu Jun bahwa wanita itu hanya mengulur waktu.

"Dari caramu berbicara," mulainya, "hubunganmu dengan Chrome ini, pertunangan kalian, adalah segala hal tentangmu. Bagaimana kau menghargai Chrome, bagaimana kaupikir kalian akan menjadi pasangan yang bagus... tetapi aku tidak mendengar apapun tentang apa yang Chrome rasakan dari hubungan kalian."

Setelah mendengar itu, sekali lagi Jun dibuat tertegun. Otaknya berusaha mencerna kata-kata Bianchi. "... Bagaimana caraku untuk tahu?" tanyanya, bingung. "Apa yang dirasakan Chrome, well... itu adalah perasaan miliknya. Aku tidak akan tahu, jika dia tidak..." Jun kembali terdiam. Bianchi menyeringai, menyadari bahwa dirinya telah menang dari Jun. Telak.

"Ya. Dia tidak bilang apa-apa tentang perasaannya, bukan?" Lagi-lagi Bianchi memainkan gelasnya. "Lalu bagaimana caramu untuk tahu bahwa pertunangan ini adalah hal yang baik untuknya juga? Dia tidak pernah memberitahumu."

Jun memutar otak untuk menemukan jawaban.

"T-tapi..." gagapnya, "malam itu—malam pertunangan kami, dia mengatakan 'ya', lalu kami—"

"Dan dari mana kau tahu," sela Bianchi dengan sesuatu di matanya yang menyerupai tatapan dingin, "bahwa ia tidak hanya sedang bersikap baik kepadamu?"

Mendadak, rasanya seperti petir menyambar restoran ini dan menghancurkan meja tempat mereka duduk di dalamnya. Bibir Jun berhenti bergetar. Shock.

Tidak mungkin. Tidak mungkin, bahwa selama ini Chrome hanya sedang bersikap baik. Apa yang mereka miliki, cinta ini di antara mereka, adalah sesuatu yang nyata. Tidak mungkin Chrome—

Oh, bisa jadi, sebuah suara tak diinginkan—yang terdengar sangat mirip dengan suara Bianchi—menggema dalam benaknya, menyeramkan. Bukankah kau sendiri yang baru saja bilang?

"Chrome adalah... wanita yang baik."

Benarkah? Jun menelan ludah. Kalau begitu, dasar dari hubungan kami selama ini adalah... kebaikan hati Chrome?

Apa yang akan terjadi jika Chrome memutuskan untuk berhenti bersikap 'baik hati', kalau begitu?

Detik berikutnya, kebingungan, kecemasan, ketakutan, semua bercampur menjadi satu dalam benaknya dan mengaburkan penilaiannya. ... Mengerikan, memang, bagaimana Bianchi dapat dengan menunjukkan celah pada hubungan mereka, sebuah cacat yang tidak kasat mata, dalam hitungan detik, dan serta merta menghancurkan keyakinan Jun akan kehidupan sempurna yang selama ini dijalaninya, menimbulkan retak dalam kepastian yang selama ini menjadi fondasi dalam kesehariannya.

"Tetapi," Bianchi memotong lagi, membuyarkan jalan pikiran Jun, "bersikap baik hati saja bisa jadi tidak... cukup."

Jun mendongak ke arah suara. Entah sejak kapan, dan bagaimana caranya tanpa ia sendiri menyadari, Bianchi sudah melintasi jarak di antara mereka dan kini duduk di sampingnya, di kursi yang tadinya diisi oleh Chrome. Jun dapat menghirup harum parfum Bianchi karena mereka kini sudah terlalu dekat.

"B-Bianchi-san!" kata Jun, tak dapat mencegah wajahnya sendiri dari memerah karena kontak tak pantas yang dilakukan Bianchi terhadapnya. "Apa yang—"

Mata Bianchi menyipit, memberi Jun perasaan takut karena telah menyela, kemudian Jun buru-buru menutup mulut. Kemudian Bianchi meraih dagu Jun, mengatur posisi wajahnya sedemikian rupa sehingga, kini, mereka sepantaran. (Tinggi Bianchi sebenarnya hanya se-telinga Jun)

"Ada hal-hal," kata Bianchi, sebuah seringai yang (demi Tuhan, Jun tidak dapat mencegah dirinya dari berpikir bahwa itu memang terlihat) menggoda, "yang tidak bisa... dipenuhi, jika wanitamu hanya dapat melakukan hal-hal baik.

"Bukankah... begitu?"

Sekarang, tangan Bianchi menjulur ke bawah, mengikuti arah tangan Jun sendiri, ke telapak tangannya yang masih menggenggam saputangan yang digunakannya untuk mengeringkan tubuhnya separo jalan. Sekali lagi, Jun menelan ludah ketika ia mengetahui ke mana arah... 'pembicaraan' ini berjalan. Karena saat ini, detik ini juga, ia tidak bisa memikirkan apa yang bukan jari jemari Bianchi bergabung dengan jemarinya, menggenggam saputangannya dalam sebuah cara yang... entah kenapa terasa menyenangkan, atau suara hembusan lembut napas Bianchi di telinganya yang

"Yo. Maaf terlambat!"

Suara seorang pria mendadak menghancurkan jalan pikiran Jun yang sudah melenceng. Kelewat jauh. Jun menarik napas—merasa lega bukan kepalang karena telah 'diselamatkan' dari situasi... berbahaya, tadi. Jun pun mendongak untuk melihat siapa penyelamatnya.

Seorang pria berambut pirang acak-acakan yang disisir separo di belakang telinga dengan kemeja putih polos di balik jas pinstripes yang terlihat mahal miliknya, menarik perhatian Jun. Pria itu tersenyum kepadanya, cengiran boyish yang entah kenapa sangat, sangat mirip dengan Yamamoto-san terpampang di wajahnya, dan Bianchi pun melepaskan diri dari Jun untuk berdiri di depan pria tersebut dan mencium bibirnya.

Ulangi. Mencium bibirnya.

Karena dilanda shock untuk yang kesekian kalinya hari ini, Jun hanya terpaku di atas tempat duduknya bahkan ketika Bianchi sudah selesai dan tidak juga bergerak ketika, kini, Bianchi dan pria itu memandanginya.

"Oh, aku belum memperkenalkan kalian berdua, bukan?" kata Bianchi, berlagak lupa dengan santai sembari meletakkan tangannya di dada pria tersebut. "Jun, ini Dino, mio marito*. Dino, ini Jun. Tunangan... Chrome."

"Selamat malam," kata Dino ceria, maju untuk meraih tangan Jun dan menjabatnya. "Dino, Cavallone. Kuharap istriku tidak menyusahkanmu?"

"... Hah?"

Masih shock, Jun belum juga mampu berkata-kata untuk membalas sapaan Dino. Ia hanya berdiri, terbengong, dengan tangannya dalam genggaman pria Italia tersebut.

Di sisi, Bianchi mengamati reaksi Jun kemudian menyunggingkan seringaian kemenangan lain.

Kena kau.


A/N:

*mio marito: suami saya. Forgive my bad Italian, and please do correct me if I'm wrong! /cries/

... Yang penting, kesetiaan Jun terhadap Chrome telah diuji di sini, dan apa Jun lolos dari ujian Bianchi itu atau tidak, semua terserah kepada Anda untuk dinilai. X'D Catatan, ini ide Haru, dan Haru jugalah yang membantu Bianchi untuk menyingkirkan Chrome dan Ryouhei serta Hana. Yang jauh lebih penting lagi, terima kasih karena telah membaca!

Oh, omong-omong, saya mendapat sebuah feedback yang sangat, sangat menarik.

"Jujur, usia Hibari udah tiga puluhan tapi belum punya pacar itu menyakitkan... padahal dia ganteng."

DANG. Saya mendadak disambar petir. Saya lupa lima belas tambah enam belas itu tiga puluh satu—karena saya sama sekali nggak merhatiin, seratus persen lupa, akan Hibari-san yang nggak, belum, sempat muncul di fanfic ini sebelumnya, dan itu berarti—OUR DEAR HIBARI-SAN SUDAH BAPAK-BAPAK DAN MASIH MEMBUJANG, SAUDARA-SAUDARA. Hidup ini memang bisa jadi mengerikan kadang-kadang.

Tapi, jujur aja, lucu juga kalau dipikirkan. Tsuna, bocah superpayah itu, udah punya istri. Cantik pula. Ryouhei nggak usah ditanya. Gokudera tinggal hitung tanggal menuju pernikahannya sendiri. Lambo sudah punya 'target'nya. Kalau Hibari? Pfft. Sekali lagi, kemampuan bertarung Anda tidak mengukur keberhasilan Anda di bidang percintaan. Catat itu—Anda tidak harus punya otot sebesar Ade Rai untuk bisa punya pacar. Terutama jika Anda seorang perempuan.

Lalu, soal Dino/Bianchi... I know most of you would be like, "WTF bro", or "KENAPA HIBARI NGGAK JADI NIKAHIN DINO?!" (? Versi fujoshi hardcore pasti, ini), atau sesuatu seperti itu. Maka biar saya tegaskan—sebelum Anda menghina crack pair ini, baca fanfiction tulisan Lys Ap Adin terlebih dahulu. That pair. Is seriously SUPER hot. Believe me.

Ah, dan saya hampir lupa—terima kasih atas feedback Anda sekalian yang menyenangkan! Chapter ini saya persembahkan kepada Hikaru Kisekine (oh, Anda tidak tahu seberapa senang saya saat pertama kali membaca review pertama Anda di fanfic ini XD), Hikage Natsuhimiko (as expected from the natural-born hitman, no? X'D dan terima kasih karena Anda selalu ada di sana!), Cocoa 2795 (senang melihat Anda bersedia mampir juga di sini! :D please, stay tuned!), Kisasa Kaguya, dan Anda yang telah meluangkan waktu untuk membaca fanfic asal-asalan ini. Bagi yang baru bergabung, semoga chapter ini memuaskan!

Well.

Sampai jumpa di chapter berikutnya, kalau begitu! Criticisms are welcomed.