Sang Walet mengajak Thumbelina untuk kabur bersamanya; ia bisa duduk di punggungnya, dan mereka akan terbang jauh ke rindangnya pepohonan. Namun Thumbelina tahu bahwa si Tikus Tanah Tua akan marah jika ia pergi begitu saja.

"Tidak, aku tidak bisa ikut," ia berkata.

"Kalau begitu selamat tinggal, selamat tinggal, gadis manisku,"

Dia terbang ke matahari. Thumbelina melihatnya membumbung ke angkasa, dan matanya terisi oleh air mata, oleh karena ia telah menyayangi sang Walet.

—[Thumbelina; Hans Christian Andersen]


Disclaimer: Kuroko no Basket (c) Fujimaki Tadatoshi. Thumbelina (c) Hans Christian Andersen. Tidak ada keuntungan apapun yang di ambil selain kepuasan pribadi.

Warning: Mido/Taka Taka/Mido terserah. BL. OOC. Etc. DLDR.


[Thumberima]

[ga gue ga buat Mido jadi semacam prinses kok engga meski tadinya pengen]

Midorima Shintarou selalu percaya yang namanya takdir.

Seperti kata Kitab, Tuhan itu menciptakan manusia dengan tujuannya masing-masing. Menurutnya, Tuhan sudah mengatur jalan manusia untuk mencapai tujuan itu dalam suatu garis bernama takdir. Bagi Midorima, tidak mengikuti jalannya takdir berarti juga menentang keinginan Tuhan.

Karena itu ia selalu menonton Oha-Asa setiap hari.

Karena itu ia selalu membawa lucky item yang aneh setiap hari.

Karena itu ia selalu bisa tabah atas segala kritikan, caci maki, celotehan apapun dari orang-orang mengenai dirinya.

Karena itu ia mau-mau saja dididik keras sejak kecil agar tumbuh menjadi dokter meski itu bukan lagi cita-citanya.

Karena Midorima berpikir ia hanya sedang menjalani jalannya—dan jika ia mengeluh ia akan menghina rancangan yang diberikan Tuhan untuknya.

"Ikut sama aku yuk."

Meski merupakan teman dekatnya, terkadang Midorima kesal setengah mati dengan tingkah Takao yang kelewat batas. Serampangan, selebor, dan suka seenak jidat sendiri. Ia hidup seakan-akan ia bebas menentukan pilihannya sendiri—yang tentu saja menurut Midorima salah.

"Kau ingin jadi pebasket profesional, 'kan? Kalau begitu ikut denganku! Kita pergi jauh dari Tokyo—agar orang tuamu tidak bisa memaksamu lagi."

"Bodoh," Midorima menaikkan kacamatanya, "Pernah mendengar soal 'pekerjaan apapun yang kau lakukan tidak akan pernah sukses tanpa restu orang tua'?"

"Pernah sih. Tapi—"

"Juga 'amarah orang tua adalah amarah Tuhan juga'?"

"Iya—bentar, sejak kapan Shin-chan jadi religius gini? Apa kau sedang bergabung dalam sekte keagamaan?" tanya Takao, "Hati-hati loh, Shin-chan. Sekarang ini banyak sekte agama-agama sesat yang mencelakakan—"

"Aku tidak ikut sekte apapun, nanodayo." Potong Midorima ketus. "Kau sudah selesai? Aku mau siap-siap untuk ujian Biologi."

"Kau yakin?"

"100%, nanodayo." Midorima menatap Takao dengan intens. Takao membalasnya juga. Dua-duanya terlihat tidak mau kalah dengan argumen masing-masing. Takao tahu sekali kalau Midorima keras kepala—lebih darinya di saat-saat tertentu.

"Terserah deh. Aku gak mau tahu ya kalau Shin-chan nangis-nangis ke aku."

"Si-siapa juga yang bakal begitu, nanodayo!"

Setelah itu, pembicaraan berhenti begitu saja sepanjang perjalanan menuju Laboratorium Biologi.


Midorima Shintarou hidup dengan buku panduan orang tuanya.

Kedua orang tua Midorima adalah dokter. Ayah Midorima adalah seorang dokter bedah yang mendapat gelar doktor di usia yang begitu muda sementara Ibu Midorima adalah neurologis yang telah menerbitkan tiga buku dan menerima penghargaan atas tesis terbarunya. Midorima Shintarou tumbuh di tengah dua orang hebat, dan Midorima Shintarou ingin hidup menjadi salah satu dari mereka.

Jatuh cinta pada basket sama sekali bukan intensinya. Basket awalnya hanyalah pengisi waktu luang di saat ia penat belajar. Basket awalnya hanyalah permainan anak-anak yang gemar ia mainkan tiap jam istirahat. Sampai ahirnya pada suatu hari tanpa sadar Midorima kecil menemukan bahwa suara pantulan bola dan decitan sepatu beradu lantai entah mengapa menenangkan pikirannya. Sampai Midorima menemukan bahwa menembak bola ke ring lebih menegangkan dibanding memecahkan rumus fisika. Sampai Midorima akhirnya bergabung dalam klub basket dan berlatih dan berlatih dan menemukan dirinya telah jatuh terlalu dalam.

Midorima kecil yang dulu ingin jadi dokter sekarang ingin main basket selamanya.

Nenek Midorima adalah seorang wanita ningrat yang lemah gemulai. Neneknya selalu terlihat merangkai bunga atau menyulam serbet. Neneknya adalah seorang yang ayu, yang selalu penuh kasih dan bermulut manis ke semua orang. Neneknya adalah orang yang penyayang dan adil pada semua orang. Nenek Midorima adalah sosok inspiratif baginya, dan Midorima ingin memiliki pendamping seperti neneknya.

Jatuh cinta pada Takao sama sekali bukan intensinya. Hei, kenal dengan Takao saja bahkan tidak menjadi agendanya. Namun Takao adalah sebuah enigma—sebuah bug yang mendistrupsi sistemnya. Ia suatu hari tiba-tiba muncul dan mendeklarasikannya sebagai rival. Ia suatu hari tiba-tiba muncul dan menjadi semacam pasangan bermain basketnya. Ia suatu hari tiba-tiba muncul dan menempelinya kemana-mana. Takao adalah sebuah virus dalam program hidupnya, dan Midorima tidak menemukan smad*v untuk menghapusnya.

Takao adalah setiap gambaran yang bertolak belakang dengan sosok idamannya, namun Midorima selalu tertarik ke arahnya. Midorima tidak lagi bisa menolak, karena ia telah jatuh terlalu dalam.

Midorima kecil yang dulu ingin mempunyai istri jumawa sekarang ingin Takao yang jejas.

Midorima meletakkan pensilnya. Otaknya menolak diajak berpikir mengenai imunitas karena pikirannya dipenuhi dua hal lain yang dicintainya. Takao dan basket. Takao dan basket. Midorima menghela napas. Midorima ingin berhenti, tapi ia telah jatuh begitu dalam.

Menyisakan dirinya harus memilih untuk terus jatuh atau mulai memanjat ke atas.


Midorima Shintarou tengah menikmati makan malam ketika orang tuanya bertanya tentang pilihan universitasnya.

"Apa kau sudah memilih untuk masuk kedokteran yang mana? Ayah dengar Universitas M akreditasinya A."

Midorima tidak pernah mengutarakan minatnya yang sebenarnya. Ia membiarkan orang tuanya berspekulasi. Ia membiarkan orang tuanya berpikir kalau Midorima sama-sama ingin masuk kedokteran seperti harapan mereka. Karena Midorima tahu kalau ia bilang

"Aku ingin jadi pemain basket profesional."

maka Ayah-Ibunya akan memberinya tatapan tidak setuju.

"Apa?"

Normalnya ini adalah adegan ia membuka diri dan jujur di hadapan orang tuanya. Namun Midorima mengubur niat itu dan memutuskan untuk melahap sup misonya. Midorima pikir itu adalah kesempatan kedua yang sang Ayah berikan sebelum memutuskan untuk mengusir Midorima dari rumah, dan dengan senang hati akan Midorima lakukan.

"Bukan apa-apa. Maaf, nodayo. Aku akan lihat-lihat lagi nanti."

"Baiklah. Nanti Ayah taruh brosur-brosurnya di mejamu. Ingat, Ayah dan Ibu hanya ingin yang terbaik untukmu."

Dariku maksudmu, batin Midorima. Karena kalau kau ingin yang terbaik untukku, maka aku akan bebas memilih tanpa merasa harus terbebani seperti ini.


Midorima Shintarou tengah minum sekaleng jus kacang merah ketika melihat dua anak kecil sedang bermain basket.

Duk. Duk. Duk. Mata Midorima mengikuti bola oranye yang memantul-mantul di lapangan. Dua anak itu tengah bermain one-on-one. Si anak berambut hitam tengah menjaga anak berambut coklat yang menguasai bola. Si rambut cokelat beberapa kali mencoba untuk menerobos si Hitam, namun si Hitam selalu berhasil menghalanginya—seakan ia bisa memprediksi arah lawannya atau bisa melihat ke sekelilingnya dengan sempurna. Entah karena si Hitam amat mengenal si Cokelat hingga bisa memprediksi semua gerakannya, atau si Cokelat memang payah, atau si Cokelat punya kekuatan mata macam Takao atau mata-mata lainnya.

Si Cokelat mendengus, memohon agar si Hitam berhenti mempermainkannya. Si Hitam hanya tertawa, berkata bahwa dia tidak mempermainkannya dan ini adalah permainan yang serius. Si Cokelat mendesah, lalu menggerutu kesal, sebelum akhirnya melompat dan menembak tiga poin.

Oke ... Midorima tidak menduga hal itu.

"Vending Machine sialan. Duitku hampir ketelan cuma buat sekaleng Pokeri Sweat." keluh Takao. "Shin-chan?"

"Ke—Apa?" Midorima menaikkan kacamatanya. "Kau lama. Cepat kayuh, aku mau pulang."

"Ooh, lihat ada dua anak yang main!" seru Takao, "Kelihatannya seru. Gabung yuk?"

"Pertama, mereka anak kecil. Kedua, kau harus berhenti ber-SKSD. Itu hobi yang buruk. Ketiga, kau tidak dengar aku mau pulang?"

"Shin-chan sensian sekali. PMS ya?" Midorima memberi tatapan sebal. "Padahal tadi kau kelihatan semangat pas nonton."

Midorima meneguk kacang merahnya. "Maniak."

"Kok jadi maniak?"

"Kau nontonin orang nonton, nodayo. Apalagi kalau bukan maniak?"

"Yaaaah, habis Shin-chan kelihatan lucu kalau lagi fokus—"

"Diam," Midorima menaikkan kacamatanya lagi. "Cepat kayuh."

Takao menatap Midorima sejenak. Menghela napas, lalu tertawa. "Terserah Shin-chan." katanya. Takao tahu benar kalau Midorima mood-nya sedang tidak bagus, dan Takao bukan tipe teman yang akan terus-terusan mengganggu Midorima kalau seperti ini.

Namun angin malam yang membelai rambut Midorima di perjalanan pulang sama sekali tidak memperbaiki mood-nya. Dua wajah anak kecil tadi terus membayangi pikirannya. Wajah bahagia mereka saat ... bermain basket.

Midorima meringis. Basket adalah hal yang dicintainya, namun akhir-akhir ini bermain basket membuatnya sedih. Bermain basket akhir-akhir ini membuat pikirannya goyah. Bermain basket membuatnya memikirkan janjinya untuk mengambil kedokteran pada orang tuanya. Bermain basket membuatnya sakit.

Itu kenapa Midorima tidak latihan basket selama dua minggu terakhir. Namun menjauhi basket juga membuatnya sakit. Midorima serba salah.

"Apa Shin-chan sudah mengambil keputusan?"

Pertanyaan mendadak Takao membuat Midorima kaget. Dengan pelan ia menggeleng.

"Tidak apa-apa," Takao nyengir. "Apapun keputusan Shin-chan, aku akan selalu mendukung Shin-chan!"

Midorima hanya diam. Membiarkan suara roda beradu jalan menjadi latar suara mereka.


"Kakak harus berhenti menyiksa diri kakak."

Midorima tengah belajar untuk tes masuk Universitas ketika adik perempuannya masuk tanpa izin.

"Kenapa kau di sini, nodayo."

"Bola basket Kakak ada di dapur. Aku mau mengembalikan."

"Buatmu saja."

Adiknya menaikkan alis. "Buat apa? Aku tidak main basket."

"Menghias kamarmu, atau mau dikasih ke orang lain juga gak apa-apa. Aku sudah tidak butuh."

Adiknya menggelengkan kepala.

"Apa, nanodayo?"

"Kau harus jujur pada Ayah dan Ibu."

"Kenapa? Aku memang mau masuk kedokteran."

"Aku bahkan belum bilang apa-apa dan Kakak sudah tahu apa yang kubicarakan."

Midorima memalingkan wajahnya, malu. Adiknya menaruh bola oranye itu di pojok ruangan Midorima.

"Kita berdua tahu kalau Kakak tidak pandai berbohong."

Adiknya keluar kamar. Midorima menangkup wajahnya dan menghela napas panjang. Ya, kita berdua memang tahu itu.


"Kurasa kau sudah cukup dewasa untuk memutuskan masa depanmu sendiri, Shintarou."

Midorima tengah di perpustakaan ketika ia menerima surel Akashi. Bahkan si Absolut saja tidak bisa membantunya.


Midorima tengah sendirian di kelas ketika guru Bimbingan Konselingnya menagih Lembar Rencana Studinya.

Midorima hanya tersenyum kecil ketika ditanya, beralasan bahwa orang tuanya sibuk hingga belum menandatangani kertasnya. Guru BK-nya mengangguk mengerti, dan berkata bahwa lusa adalah hari terakhir. Midorima mengiyakan, berkata bahwa ia akan mengingatnya. Guru BK pun mempersilakan dirinya dan meninggalkan Midorima untuk kembali merenung sendiri.

Midorima memang tidak pandai berbohong, namun setidaknya kali ini ia berhasil membohongi gurunya. Midorima sudah mengisi LRS-nya, dengan kedokteran Universitas M sebagai pilihan pertamanya. Namun Midorima belum ingin menyerahkannya. Kalau bisa, tidak ingin menyerahkannya.

Dua hari lagi, ia membatin. Dua hari lagi untuk mengubah pikiran orang tuanya, hati kecilnya berkata. Tapi Midorima tahu itu mustahil. Midorima jadi merasa sia-sia karena tidak cepat-cepat menyerahkan LRS-nya. Memangnya kalau ia tahan-tahan, tulisannya akan berubah? Pikiran orang tuanya akan berubah? Pikirannya akan berubah?

Midorima menghela napas untuk kesekian kalinya di fiksi ini (sungguh penggunaan kalimat yang tidak efektif. Memangnya penulis tidak punya deskripsi lain apa? Midorima mendumel hal yang tidak penting).

Midorima meraih ranselnya. Apapun yang terjadi, Midorima tidak akan menyesali pilihannya.


Elang adalah lambang kebebasan, meski Midorima pikir sepertinya frasa itu muncul sejak Amerika ada.

Midorima tengah berada di kebun binatang bersama Takao. Takao memang teman yang baik, hanya dengan satu surel singkat ia langsung menemui Midorima di depan stasiun. Padahal Takao bisa saja sedang bermain game, bisa saja Takao sedang mandi, hei Takao bisa saja sedang tidur mengingat dirinya yang doyan ngebo. Takao memang teman yang baik, dan Midorima selalu menghargai itu.

"Jadiiii," Takao membayangi Midorima yang sedang duduk di kursi panjang, "Ada acara apa mengajakku kemari?"

"Aku ingin mencari angin segar. Kupikir mengapa tidak mengajakmu sekalian."

"Haha. Bilang saja kalau ingin bertemu denganku, sayang." canda Takao. "Aku tahu ini pasti ada hubungannya sama itu. Kau pasti belom ngumpulin LRS 'kan? Terus kamu mau jalan-jalan buat lupain itu 'kan?" Midorima mengedip. Pernyataan Takao begitu menancap di hati. "Aku tidak akan bahas itu. Aku sekarang akan menikmati waktu wisataku bersama elang-elang ini."

Takao kembali menghampiri kandang elang. Midorima tidak mengerti mengapa Takao begitu semangat soal elang-elang ini. Mungkin Takao senang karena bertemu dengan kerabat jauhnya? Lucu.

(Untung dia ngomong dalam hati. Kalau sampai kedengaran bisa tengsin dia).

Omongan Takao tidak salah, namun tidak sepenuhnya benar juga. Midorima kemari memang ada hubungannya dengan masalah itu, tapi ia tidak melarikan diri. Dia ingin memantapkan dirinya supaya tidak menyesal akan keputusannya.

"Takao,"

"Ya?" Takao membalikkan tubuhnya, dengan jari telunjuk masih mencoba untuk memancing-mancing elang untuk menghampirinya.

"Kemari."

Takao menurut tanpa banyak tanya. Ketika sudah dekat, Midorima mengenggam kedua tangannya. Takao tersentak, ia pikir mungkin Midorima sudah gila.

"Ayo kita kabur."

Oke ...

"Ingat kau pernah mengajakku dan aku bilang tidak? Sekarang kutarik kata-kataku nodayo—aku akan ikut denganmu."

"Bukannya Shin-chan udah fix mau Kedokteran?"

"Aku berubah pikiran."

"Di detik terakhir?"

"Di detik terakhir."

"Tapi orang tua Shin-chan gimana? Mereka pasti tidak senang."

"Aku tidak peduli. Seperti kata surel Akashi, aku sudah cukup dewasa untuk menentukan pilihanku sendiri, nanodayo."

"Shin-chan tahu 'kan meski Shin-chan pilih kedokteran aku bakal tetap jadi teman Shin-chan?"

"Tapi aku memilih basket," Midorima menatap Takao lekat. "lalu aku memilih kamu."

Takao mengeluarkan suara lenguhan jelek. Takao tidak sukses menahan ledak tawanya.

"Aku merasa sedang dilamar."

"Ge'er, nodayo."

"Salah siapaaa," Takao tertawa senang. "Tapi kuterima lamaranmu."

"S—"

"—udah kubilang aku tidak melamarmu. Itu yang mau kau bilang 'kan? Aku memang benar-benar tahu Shin-chan!" Takao berseru senang.

"Diamlah, nodayo!"

"Oke, oke," Takao masih terkekeh pelan. "Nah, karena kita sudah selesai, bisa aku kembali pada elang-elangku? Aku masih mau menarik perhatian mereka."

Midorima melambai-lambai tangan kanannya. "Sesukamu, nanodayo."

"Tenang aja, sayang, aku tidak akan meninggalkanmu untuk seekor elang." Takao mengedip genit sebelum kembali pada elang-elangnya.

Midorima menyunggingkan bibirnya, lalu terkekeh, lalu tertawa. Ia berharap ia tidak salah ambil keputusan.

(Oh, iya tahu ia tidak).


"Kau yakin?"

Midorima tengah menyerahkan Lembar Rencana Studinya di ruang BK. Midorima mengangguk mantap, determinasi terpancar dari matanya.

"Terakhir kamu konsultasi kamu bilang mau kedokteran Univ M—ortumu juga udah fix. Ya gak kenapa-kenapa sih. Cuma kenapa mendadak gini?"

"Tidak ada apa-apa." kata Midorima,"Saya cuma mengikuti kata hati saya."

Sang guru BK hanya mengangkat bahunya. "Baiklah. Terserah kamu. Itu pilihanmu. Bapak cuma lega aja. Kamu terlihat lebih senang dengan pilihanmu yang sekarang."

Midorima tersenyum kecil. Ia memang tidak pandai berbohong.

fin


A/N: SETAUN NGERJAIN INI AAAAAAAAAAAA AKHIRNYA BERES! Kangen pair ini juga lama-lama huhu _(:"3

Terus kayaknya makin lama sense BL gue makin ilang. Ini bagus ga? ...