Ini adalah fic pertama saya, jadi mohon bantuan dari para readers-sama.

Oh ya, sedikit catatan. Fic ini terinspirasi dari lagu 'When I Was Your Man' oleh Bruno Mars.

Baiklah, selamat membaca.

Disclaimer: Kuroko no Basuke milik Fujimaki Tadatoshi.

Pair: Aomine x Reader (past), Kagami x Reader (present)

Kau cantik.

Itulah yang ada di pikiranku ketika Satsuki pertama kali mengenalkanmu pada tim Teikou. Kau yang mulai pada hari itu akan menjadi asisten manager baru tim kami.

"Watashi wa (Last Name) (Name), yoroshiku onegaishimasu! Mohon bantuannya ya, minna-san!" katamu waktu itu.

Aku terpesona melihat kecantikanmu, kegigihanmu dalam bekerja sebagai asisten manager. Kau selalu menyemangatiku setiap kali sebelum pertandingan. Aku selalu ingat apa yang selalu kau katakan ketika aku berlatih dengan anggota tim yang lain.

"Kau adalah orang yang hebat, Aomine-san!", "Tidak apa-apa, kalau kau terus berlatih, kau pasti bisa menguasai teknik itu!", "Tidak ada orang yang sempurna Aomine-san! Teruslah berlatih!"

Lama kelamaan aku mulai jatuh cinta padamu. Pada kebaikan hatimu, pada keteguhan hatimu, semua yang ada di dalam dirimu.

Aku memberanikan diri untuk memintamu menjadi pacarku. Dan pada hari itu, aku masih ingat setelah aku menembakmu, kau berdiri di depanku dengan wajah yang tertunduk.

"Baiklah... a-aku mau."

"Ka-kau serius (Name)-chan?" aku bertanya, tidak mempercayai pendengaranku sendiri.

Kau mengangguk malu-malu.

"Sebenarnya aku juga sudah lama menyukaimu..." kau tersenyum walau wajahmu masih memerah, "kupikir hanya aku saja yang menyukaimu... tapi ternyata..."

Aku langsung menangkup wajahmu, dan melumat bibirmu, bahkan sebelum kau berhasil melanjutkan perkataanmu.

Hari itu, aku merasa bahwa aku adalah lelaki yang paling beruntung di dunia.


Hari berganti bulan, bulan berganti tahun. Setelah sekian lama, aku sudah diakui sebagai ace dari timku, atau orang-orang kebanyakan menyebut kami Kiseki no Sedai.

Sebagai ace, aku selalu membawa kemenangan pada timku. Akulah yang paling banyak mencetak skor dari setiap pertandingan. Tidak ada seorang pun yang bisa mengalahkanku.

Dengan pemikiran seperti itu, pemikiran baru mulai muncul di kepalaku.

Yang bisa mengalahkanku, hanyalah aku sendiri.

Aku mulai berubah menjadi orang yang egois, orang yang selalu malas untuk berlatih, orang yang arogan.

Awalnya aku tidak menyadari hal itu, sampai kau mengatakannya padaku.

"Kau bukanlah lagi Daiki yang kukenal," katamu waktu itu, ketika kau menemukanku di atas atap sekolah, lagi-lagi melewatkan latihan.

"Apa pedulimu?" balasku dingin.

Wajahmu terlihat sedih mendengar jawaban dariku.

"Daiki yang dulu selalu berusaha untuk menjadi yang terbaik..."

"Dan aku sudah menjadi yang terbaik bukan? Tidak ada seorang pun yang bisa mengalahkanku."

"Daiki yang dulu... adalah orang yang baik..."

"Menjadi orang baik tidak ada keuntungannya dalam pertandingan," jawabku lagi.

Matamu sudah mulai berkaca-kaca.

"Sebenarnya... apa yang terjadi padamu...?"

Kesal, aku bangun dan memandangmu dengan tajam.

"Dengarkan aku (Name), apa yang terjadi denganku bukanlah urusanmu! Untuk apa aku berlatih? Yang bisa mengalahkanku hanyalah aku sendiri! Lebih baik kau berhenti menggangguku!"

Air matamu sudah mengancam akan keluar.

"Kau... berubah Daiki..." katamu.

"Aku? Berubah? Kalau itu katamu, maka iya, aku sudah berubah. Aku bukan lagi Aomine Daiki yang dulu. Yang dulu selalu berusaha untuk melakukan yang terbaik. Aku yang sekarang adalah Aomine Daiki yang merupakan ace tim Teikou. Dan yang bisa mengalahkanku, hanyalah aku sendiri."

Kau memandangku dengan irismu yang berwarna (Eye Color) dengan tatapan tidak percaya. Aku berpikir bahwa kau pasti akan menangis, seperti yang biasa kau lakukan jikalau seseorang menyakiti hatimu.

Tapi tidak. Kau menghapus air matamu dengan kasar, dan memandangku dengan tatapan tajam. Aku terkejut melihatmu, biasanya tatapan matamu selalu lembut.

"Kalau itu maumu," kau berbicara dengan nada yang begitu dingin, "aku juga akan berubah."

"Apa maksudmu?" tanyaku tidak mengerti.

"Aku akan berubah. Aku tidak akan menjadi (Name) yang kau kenal lagi. Mulai detik ini juga." Kau berbalik meninggalkanku.

Tapi sebelum kau menghilang dari pandanganku, kau berbalik, dan menatapku dengan tatapan sinis.

"Kuharap kau tidak melewatkan latihanmu yang selanjutnya, Aomine-san."

Kau pun meninggalkanku, aku yang masih menatapmu dengan tatapan tidak percaya.

Aku pun sadar, kau telah memutuskan hubungan kita, walaupun kau tidak mengucapkannya dengan gamblang.


Kau berubah.

Kau berubah, dari gadis periang, yang selalu tersenyum melihatku, yang selalu memberiku semangat, yang selalu menatapku dengan tatapanmu yang begitu lembut.

Tatapan matamu sekarang selalu tajam. Kau tidak pernah lagi tertawa. Kau tidak pernah meneriakkan seruan-seruan penyemangat untukku, atau bahkan timku. Kau tidak pernah lagi tersenyum.

Aku merindukan dirimu yang dulu.

Tapi egoku yang melarangku untuk mengatakannya langsung padamu.

"Apa yang terjadi denganmu dan (Name)-chan?" tanya bayanganku, Kuroko Tetsuya suatu hari.

"Bukan urusanmu, Tetsu," jawabku, sambil menenggak sebotol air.

Ia hanya memandangku dengan tatapan datarnya yang biasa.

"Aomine-kun, kalau kau terus bersikap seperti ini, kau akan benar-benar kehilangan dia suatu saat nanti," kata Kuroko serius.

Aku memandangnya sinis, "tahu apa kau tentangku dan (Name)? Menurutku (Name) tidak penting untuk dibicarakan!"

Aku tertawa sinis, berusaha mengabaikan tatapanmu dari ujung bangku. Kuroko memandangku dengan tatapan tajam.

"Aku yakin, suatu saat nanti, kau akan menyesal Aomine-kun," Kuroko pun meninggalkanku ketika kapten tim kami memanggilnya.


Bulan pun berganti tahun. Aku sudah duduk di bangku kelas 1 SMA di Touou. Aku pun kembali menjadi ace di tim basket Touou, masih berpegang pada keyakinan bahwa yang bisa mengalahkanku, hanya aku sendiri. Aku masih malas untuk datang ke latihan, masih menjadi orang yang penuh ego, orang yang arogan.

Tetapi, aku tidak pernah melihatmu lagi. Tidak pernah sekali pun.

Aku merindukanmu.

Aku masih merindukanmu.

Aku ingin melihatmu lagi.

Sampai ketika pertandingan Inter High, aku melihatmu, di bangku tim Seirin, berbicara dengan Tetsu dan salah seorang pemain tinggi berambut merah yang kukenal dengan nama Kagami Taiga, cahaya baru Tetsu sekaligus ace tim Seirin.

Oh, (Name) betapa aku merindukanmu! Aku ingin memelukmu lagi, aku ingin berbicara denganmu lagi, aku ingin...

Aku ingin kita bisa kembali seperti dulu.

Aku berusaha untuk melihat matamu, tapi kau menghindar dari pandanganku. Tatapan matamu, yang dulu hanya terfokus padaku dan hanya aku, kini terfokus pada Kagami.

Tim Seirin pun kalah. Dengan skor yang cukup jauh. Aku melihat ekspresi wajahmu, shock, kecewa, dan ekspresi yang tidak pernah kulihat darimu ketika kau menatapku.

Dendam.

"Aomine? Apa yang kau lakukan? Ayo kita ke ruang ganti!" suara Imayoshi, kapten timku yang sekarang terdengar, tapi aku menolak untuk melepaskan pandanganku dari ujung lapangan.

Kau dan Kagami, saling berbicara. Dari raut wajahmu, aku tahu kau sedang berusaha menghiburnya. Kau dan Kagami berbicara lagi selama beberapa saat, dan Kagami memelukmu.

Dan dia melakukan hal yang membuat hatiku hancur.

Dia menciummu.

Senyumanmu, yang dulu ditujukan hanya untukku, kini tertuju pada orang lain. Kau, yang dulu membiarkanku memelukmu, kini membiarkan orang lain memelukmu.

Segenap jiwaku ingin berteriak padamu, untuk melepaskan pelukan Kagami, untuk memberontak dari lumatan bibirnya, untuk berlari ke pelukanku, untuk kembali tersenyum padaku, seperti dulu.

"...kalau kau terus bersikap seperti itu, kau akan benar-benar kehilangan dia suatu saat nanti."

Aku tersenyum kecut.

Aku pun meninggalkan lapangan itu, menuju ke ruang ganti.


Untuk kali pertamanya, aku kalah.

Atau lebih tepatnya, aku membiarkan timku kalah. Dengan sengaja.

Aku hanya ingin mendengar tawamu kembali.

Aku melihatmu tertawa dan menangis di saat bersamaan, terlalu tenggelam dalam euphoria yang mendalam atas kemenangan timmu. Kau berlari menuju ke lapangan, dengan kedua tanganmu terentang lebar.

Awalnya, aku berpikir bahwa kau akan memelukku, tapi aku salah. Kau melewatiku, bahkan tanpa melihatku.

Aku menengok ke belakang, dan mendapatimu memeluk Kagami. Kau menyenderkan kepalamu pada dada bidang rivalku itu, dan ia mengelus kepalamu sambil tersenyum.

Aku memandangmu dengan tatapan nanar.

Aku tidak berkata apapun. Karena sejujurnya tidak ada satu katapun yang dapat keluar dari tenggorokanku.

Aku meremas dadaku.

Sakit... Apa yang terjadi...?

Aku pun meninggalkan lapangan itu.


"Ada perlu apa kau memanggilku, Aomine-san?" kau bertanya dengan nada dingin.

Aku menatapmu dengan tatapan memelas.

"(Name)-chan... sebenarnya apa hubunganmu dengan Kagami?" tanyaku, tanganku mengaduk-aduk minumanku.

Lama kau tidak menjawab. Kau hanya melihat-lihat pemandangan di luar cafe tempat kita bertemu.

"Apa pedulimu?" jawabmu setelah beberapa saat.

Aku terdiam, hatiku terluka mendengar jawabanmu.

"Tidak bisakah kita kembali seperti dulu?" tanyaku penuh harap.

Untuk kali pertama sejak kita bertemu, kau menatapku.

Di balik tatapan datarmu, aku hampir bisa melihat tatapan terlukamu yang ditujukan untukku. Ia seolah ingin mengatakan 'aku sudah menunggumu selama bertahun-tahun untuk berubah. Aku berusaha untuk menahan luka di hatiku selama bertahun-tahun. Dan sekarang... kau meminta kita untuk kembali seperti dulu?'

"Tidak bisa," jawabmu pada akhirnya.

"Tapi-" aku mencoba untuk membujukmu lagi, tapi kau memotong ucapanku.

"Tapi apa?!" bentakmu, tanganmu mengepal sementara air matamu mengalir, "setelah bertahun-tahun ini, kau sudah menyakiti hatiku berkali-kali! Hubungan kita sudah berakhir sejak lama Aomine! Kau pikir kau bisa hanya meminta maaf padaku, lalu kita bisa kembali lagi hah?!"

Aku terdiam, menatapmu yang baru saja meluapkan emosimu, yang sudah lama kau pendam. Kau terengah-engah, air matamu sudah menetes di atas meja sekarang.

"(Name)-chan... maaf, maafkan aku..." aku berdiri, ingin menghapus air matamu, tapi kau menepis tanganku.

"Terlambat," kau berkata dengan nada miris, tersenyum walaupun wajahmu begitu terluka, "kau terlalu terlambat Aomine. Kau selalu terlambat."

Dengan itu, kau merenggut tasmu, lalu meninggalkanku sendirian.

Aku menatap kepergianmu, lalu menundukkan wajahku. Kedua tanganku menutupi wajahku.

Aku kembali ingat ketika kau memutuskan hubungan kita.

Seandainya saja aku mengejarnya waktu itu...

Aku kembali ingat ketika aku menjelek-jelekkannya di depan Tetsu.

Seandainya saja aku tidak mencemoohnya waktu itu...

Aku ingat kata-kata Tetsu.

Seandainya saja aku mendengarkan Tetsu waktu itu...

Sebutir air mata mengalir dari salah satu sudut mataku. Aku tersenyum miris.

Seandainya saja aku memperlakukanmu dengan lebih baik...

Aku menghapus air mataku.

...apakah hubungan kita masih akan sama sampai sekarang, (Name)-chan...?


Aku tidak pernah berbicara denganmu lagi sejak saat itu. Kau benar-benar memutuskan hubunganmu denganku, semua hubungan yang pernah kita punya.

Bertahun-tahun telah berlalu, aku berusaha melupakanmu. Aku berusaha menghapusmu dari memoriku.

Tapi tidak bisa.

Kau terlalu manis untuk dilupakan. Kau terlalu baik untuk didepak keluar dari kehidupanku. Kau...

...kau terlalu sempurna untuk dihapus dari memoriku.

Hubunganku denganmu sudah terputus. Sedangkan hubunganmu dengan Kagami bertambah kuat.

Semakin kuat sampai ketika aku mendapat undangan ke pernikahan. Pernikahanmu dengan Kagami.

Datang ke acara pernikahanmu dengan lelaki lain rasanya menyakitkan. Harus bersalaman dengan pendamping hidupmu dan mengucapkan selamat padanya dan kau rasanya tak tertahankan.

Tapi aku ingin melihat senyumanmu ketika kau ditakdirkan untuk bersatu dengannya seumur hidupmu.

Maka aku pun datang.

Hanya untuk melihat senyumanmu lagi. Walau itu tidak ditujukan untukku.


"Aominecchi? Kau menangis, -ssu?"

Aku menoleh memandang Kise di sebelahku. Aku tiba-tiba sadar bahwa air mataku sudah mulai jatuh dari pelupuk mataku.

Buru-buru kuhapus.

"Tidak, hanya ada debu yang masuk ke mataku," bohongku.

Aku kembali memandang altar pernikahan di depanku. Kau yang hari itu seratus kali lipat jauh lebih cantik dari biasanya, dengan wajah yang dipenuhi kegembiraan, memegang lengan pendamping hidupmu di sebelahmu, Kagami Taiga.

Ketika pendeta tersebut selesai membacakan ikrar pernikahan, Kagami tanpa ragu mengatakan, "aku bersedia."

Dan kau pun juga mengatakan hal yang sama.

"Aku bersedia."

Aku tahu, aku sudah tidak bisa menggapaimu lagi.

Gadis asisten manager tim Teikou itu sudah lepas dari genggamanku.

Meskipun hatiku terluka, aku tetap bertepuk tangan untuk pernikahanmu. Walaupun aku ingin sekali menarikmu dari atas altar itu, aku tetap tersenyum untukmu.

Aku sekarang hanya bisa berdoa untukmu.

Semoga ia selalu membuatmu bahagia. Semoga ia selalu mendampingimu kapanpun dan dimanapun. Semoga ia selalu melindungimu dari bahaya. Semoga ia selalu meluangkan waktunya untukmu.

Dan...

Aku membiarkan air mataku kembali mengalir.

... semoga ia selalu melakukan hal-hal yang seharusnya dilakukan olehku...

"Aku masih mencintaimu, Kagami (Name)," bisikku.

...ketika aku masih menjadi kekasihmu.

END

Saya mohon maaf apabila Aomine di sini sedikit OOC.

Kritik dan saran sangat saya apresiasi jikalau diungkapkan dengan sopan.

Terima kasih sudah mau membaca fic ini. *bows*

- Rhymos-Ethereal - (26/02/2015)