Fanfic ini seperti penebusan dosa. Aku tadinya bertekad di fandom Boboiboy bakal netral, nggak main pairing-pairingan. Meski aku suka BoboiboyxYaya dan FangxYing, aku nggak berniat buat bikin fanfic mereka. Itu dulu.
Terus aku bikin fanfic Siblings Chaos, menambah genre family ke fandom Boboiboy dan mulai bermunculan fanfic Elemental Siblings lain. Dan, aku lihat, banyak orang kepincut HalixTaufan. Untuk yang muak denganku, silahkan bilang "Heh, geer banget sampean! Udah berasa senior aja di fandom BBB, HalixTaufan tuh emang udah ada dari dulu bukan karena situ kali!".
Cuma, bilang aja, aku tetep merasa bersalah. Bersalah ke siapa? Nggak ke siapa-siapa, merasa bersalah ke diri sendiri aja. Aku yang mungkin meracuni pikiran banyak orang dengan fanficku, padahal udah kucoba bikin senetral mungkin tapi ternyata, sudahlah
Bukan dalam maksud kata aku bikin fanfic ini buat ngelawan fanfic-fanfic HalixTaufan, cuma ini penebusan dosa terhadap diri sendiri aja. Susah jelasinnya.
Jadi, fanfic ini... well, silahkan ngamuk ke aku yang udah ingkar janji buat bikin Siblings Chaos netral, tapi di sini aku bakal bermain hints lebih besar buat pairing HalixYaya dan TaufanxYing. Jujur aja, ini belum sampai romance, kalau mau masih masuk kategori friendship. Gimana yang baca aja. Kalau mau, ini kayak AUnya Siblings Chaos (what the hell with that?). Yah, spin-offnya Siblings Chaos lah.
Cukup sekian celotehan saya yang nggak penting, nggak usah dibaca. Silahkan dinikmati
Warning: Elemental Siblings, spin off Siblings Chaos, OOC, platonic relationship, HalixYaya, TaufanxYing, miss typo
Disclaimer: Semuanya bukan punya saya
Platonic Relationship
Platonic adalah sebuah kata dalam bahasa inggris. Artinya adalah hubungan yang erat dan dalam antara dua insan manusia, tapi bukan secara seksual. Ada teori mengatakan platonic adalah sebuah hubungan yang nantinya berkembang menjadi sebuah cinta, tapi bisa juga tidak.
Itu yang dipikirkan oleh Gempa akhir-akhir ini, melihat bagaimana kedua kakaknya menjalin hubungan yang sulit dijelaskan dengan teman sekelas mereka.
Terutama Halilintar.
IoI
"Yaya, kayaknya berat banget deh, sini kubantuin."
"Nggak usah, aku masih kuat kok."
Ketua kelas II C, sekertaris OSIS, seorang gadis berkerudung pink bernama Yaya, sedang membawa setumpuk buku pelajaran bahasa inggris. Kedua tangannya yang kecil berusaha untuk mengangkut puluhan buku yang beratnya mungkin melebihi 2 kilogram. Sedari ruang guru, banyak orang berusaha menawarkan bantuan padanya. Tapi, sang gadis hanya menepisnya.
Ini adalah tugasnya dan ia bukan gadis lemah.
"Ah, Halilintar."
Ia bertemu dengan teman sekelasnya. Salah satu dari kembaran Boboiboy yang terkenal. Halilintar, sang juara karate yang anti-sosial.
Matanya yang tajam memicing ke arahnya. Yaya memang baru-baru ini mulai bisa akrab dengannya dan akhirnya, mulai mengerti bagaimana berkomunikasi dengannya secara non-verbal.
"Ini buku pelajaran bahasa inggris buat nanti habis istirahat," kata sang gadis, menjawab pertanyaan tanpa suara dari Halilintar.
Tindakan pemuda itu selanjutnya membuat Yaya terkejut. Halilintar mengambil lebih dari separuh buku yang ia bawa tanpa mengatakan apapun.
"Eh- oh! Halilintar! Nggak usah! Aku bisa bawa sendiri kok!" seru Yaya. Ia berpaspasan Halilintar yang berlawanan arah dengannya, itu berarti teman sekelasnya itu hendak melakukan sesuatu yang lain sebelum bertemu dengannya. Ia tak enak mengganggu waktu istirahatnya seperti ini.
Halilintar hanya menoleh padanya dengan wajah dingin. "Berisik."
Dan ia pun berjalan membawa buku-buku menuju kelas.
Yaya hanya terpaku di tempatnya. Baru kali ini ada orang yang membantunya dengan 'kasar'. Namun, sang gadis hanya mengulum senyum.
Halilintar adalah pribadi yang sangat kompleks yang masih sulit ia pahami. Tapi, menurutnya, entah apa yang dikatakan orang lain, Halilintar sebenarnya baik.
Sangat baik.
IoI
Ada yang bilang, wanita lemah dengan tipikal lelaki 'bad boy'.
Yaya tidak mengerti maksud dari teori tersebut, namun ia paham kalau Halilintar adalah murid laki-laki yang populer di SMP Pulau Rintis. Sikapnya yang dingin, anti-sosial, temperamental namun sayang pada kedua adiknya, entah kenapa membuat banyak wanita jatuh hati padanya.
Yaya pun mengaku, sebagai laki-laki, meski belum matang secara fisik dan mental, Halilintar memang menarik. Meski yang membuat Yaya tertarik bukan sikap dingin ataupun kekuatannya. Tapi, bagaimana sebenarnya Halilintar adalah orang yang baik tapi tak mau, atau mungkin tak bisa, menunjukkannya secara terang-terangan.
Seperti sekarang.
"Yaya, kamu nggak apa-apa? Wajahmu pucat lho."
Yaya hanya tersenyum lirih, kepalanya terasa pusing dan badannya lemas, namun ia sudah terlanjut masuk sekolah dan bertekad untuk bertahan sampai akhir.
"Iya, nggak apa-apa kok," tepisnya pada teman sekelasnya.
Ia menoleh dan bertemu mata dengan Halilintar yang sedang memperhatikannya dengan seksama. Untuk kali ini, Yaya tidak mengerti maksud pandangan itu jadi sang gadis hanya diam. Halilintar kemudian menutup mata dan kembali melipat kedua lengannya dan menidurkan kepalanya.
Berkomunikasi non-verbal memang sulit, Yaya tidak mau memusingkan dirinya sendiri dan beristirahat di mejanya.
Namun, kepalanya semakin pusing dan ia bisa merasakan suhu badannya semakin naik.
Ia hampir terguling dari kursinya kalau tidak cepat-cepat menyeimbangkan diri.
"Yaya!"
Sang gadis tidak bisa merespon pekikan teman-temannya yang panik. Yang ia tahu, tiba-tiba ia diangkat dengan cepat dari kursinya. Ia bertemu mata dengan Halilintar, yang tak mengatakan apapun dan segera berlalu cepat keluar kelas.
"Halilintar...," gumamnya lirih, namun tidak punya tenaga untuk berbicara lebih dari itu.
IoI
"Demamnya agak tinggi, tapi ia akan baik-baik saja. Sepertinya cuma masuk angin biasa."
Halilintar menatap teman sekelasnya yang sedang terbaring di tempat tidur UKS. Ia tahu gadis ini pucat sejak pagi, namun tidak menyangka ia bisa pingsan di kelas seperti itu. Meski mencoba terlihat kuat, memang ada saatnya seorang gadis itu lebih lemah dari laki-laki.
"Kamu bisa kembali sekarang, pelajaran akan dimulai," kata dokter UKS. Halilintar mengangguk, namun saat ia berbalik, sebuah tangan meraih lengan bajunya dan menghentikan langkahnya.
"Uuuh...," gumam Yaya lirih, terlihat kesakitan, wajahnya merah dan penuh keringat meski matanya tertutup rapat.
Halilintar mencoba untuk melepaskan tangan kecil itu dari lengan bajunya namun genggamannya erat.
Dokter UKS hanya melihat mereka berdua. Dan tersenyum tipis saat melihat Halilintar menarik kursi dan duduk di sebelah tempat tidur, membiarkan Yaya menggenggam lengan bajunya.
"Baiklah, biar kulaporkan pada guru piket, kau jaga dia sebentar," kata dokter UKS. Halilintar tidak merespon, menoleh padanya pun tidak, tapi sang dokter merasa murid itu mendengar perkataannya. Matanya hanya terus terfokus pada Yaya dan dokter UKS tersebut meninggalkan mereka berdua.
IoI
"Yaya, kau tidak apa-apa?"
Yaya mengerjapkan matanya, matanya terasa berat, badannya terasa pegal-pegal dan nyeri, kepalanya terasa panas dan pusing, tapi setidaknya dia masih hidup.
Ia melihat teman-teman sekelasnya mengitari tempat tidurnya.
"Tidak apa-apa," jawabnya lirih. Ia tidak menyangka akan pingsan dan baru bangun sekarang. Pasti sudah jam istirahat kedua, karena ia pingsan saat jam istirahat pertama.
"Sudah-sudah, biarkan dia beristirahat, kalian harus cepat kembali ke kelas," tegur dokter UKS yang tampaknya tak senang karena UKS terlalu ramai.
Banyak protes dari murid-murid namun akhirnya mereka pergi satu persatu. Perhatian Yaya teralihkan pada seseorang yang duduk di sebelah tempat tidur, yang tidak menunjukkan tanda-tanda akan pergi.
"Halilintar? Kau tidak pergi ke kelas?" tanya Yaya dengan suara parau.
Halilintar mengangkat lengannya, dimana Yaya masih menggenggam erat lengan bajunya.
Wajah sang gadis makin memerah bila mungkin. "Ma-maaf! Aku tidak sadar!" serunya dengan panik. Memang saat sakit ia jadi cenderung manja dan perasaannya lemah sehingga tidak suka ditinggal sendiri, tapi dari semua orang kenapa Halilintar...?
Halilintar mendengus dan akhirnya bangkit.
"Istirahat sana," katanya singkat, tidak terlihat marah dan pergi ke luar ruangan UKS.
Yaya hanya termenung, malu dengan apa yang sudah ia perbuat. Hanya yang tidak ia mengerti, bukannya harusnya Halilintar bisa melepaskan diri secara paksa? Yaya tidak ada tandingannya bila dibandingkan dengan kekuatan fisik pemuda itu. Tapi, bukannya melawan, Halilintar justru menemaninya dan melewatkan beberapa jam mata pelajaran.
Yaya tidak tahu kenapa, tapi yang pasti ia merasa sangat malu dan bersalah, serta sedikit rasa senang di dalam hatinya.
IoI
Di luar dugaan semua orang, Halilintar bukan orang yang memusingkan soal gengsi atau harga diri. Selama orang-orang tidak menginjak-injak harga dirinya, ia akan melakukan apapun yang ingin ia lakukan tanpa perasaan malu.
Jadi, saat bel pulang berbunyi dan ia menghampiri meja Yaya, membereskan semuanya dengan asal kemudian memasukkan semua peralatan tulis serta buku ke dalam tas selempang teman sekelasnya itu, Halilintar tidak mempedulikan tatapan aneh teman-teman sekelasnya.
Ia kemudian membawah tas itu, bertatapan dengan teman-teman sekelasnya dan memicingkan matanya. "Apa?" tanyanya singkat.
Semua temannya hanya gelagapan dan salah tingkah jadi Halilintar memilih untuk cuek dan berjalan ke luar kelas menuju ruang UKS.
"Jadi, kamu tidak ada yang menjemput?"
"Iya... orang tuaku sedang di luar kota dok, jadi saya pulangnya sama teman saja..."
Halilintar berhenti sebentar mendengar percakapan tersebut dari luar ruang UKS, kemudian akhirnya menggenggam gagang pintu dan membukanya.
"Halilintar?"
Ia tidak peduli wajah kaget Yaya, ia menghampiri gadis itu dan menyodorkan tasnya.
"Makasih," katanya dengan suara parau. Halilintar mengangguk.
"Kamu pulang sama siapa?" tanyanya. Yaya tertegun sebentar.
"Uhm... belum tahu... handphoneku ada di tas soalnya," kata gadis itu, segera merogoh tasnya dan mengeluarkan handphone mungil berwarna pink.
"Bukan sama gadis cina itu?" Halilintar mengernyit, yang ia maksud teman sekelas Taufan yang ia lupa siapa namanya.
"Ah, Ying? Dia lagi ijin sekolah...," jawab Yaya.
Halilintar bisa melihat gadis itu kebingungan. Kondisinya sudah sedikit lebih baik, namun wajahnya masih sangat merah dan badannya terlihat lemas. Tidak mungkin gadis itu pulang sendiri.
"Halo? Kak Fia? Uhm... bisa anter aku pulang nggak? ...oh... hm... iya... ya udah nggak apa-apa... iya..."
Wajah Halilintar semakin masam. Yaya tampak kebingungan menatap handphonenya dan kembali mengetik di sana.
Saat wajahnya tampak makin bingung, Halilintar memutuskan untuk bertindak di sini.
"Ayo pulang."
"Eh?" Yaya terlihat bingung.
Halilintar mengambil kembali tas Yaya dan mengalungkannya ke pundaknya.
"N-nggak usah Halilintar. Kamu habis ini ada kegiatan klub kan? Aku bisa minta anterin pulang temenku yang lain kok," ucap Yaya terlihat tidak enak hati.
Namun, Halilintar hanya tetap berdiri di sana. Dan Yaya pun akhirnya mengerti kalau Halilintar tidak akan merubah keputusannya.
"Maaf ya, aku ngerepotin," katanya sambil menunduk.
"Berisik, ayo cepet pulang," tepis Halilintar, tidak bisa menggunakan kata-kata yang lembut. Yaya tidak terlihat tersinggung, ia mengangguk dan bangkit dari tempat tidur.
"Hati-hati ya, sampai rumah istirahat dan minum obat," tegus dokter UKS, yang dari tadi melihat interaksi mereka berdua.
"Iya, dok," balas Yaya, perlahan berdiri dan ia hanya terpaku saat Halilintar menggenggam lengannya, menjaganya agar tidak limbung.
Jujur, sang gadis tidak tahu harus berbuat apa dalam kondisi seperti ini. Ia tahu kalau Halilintar benci hal-hal merepotkan, ia tidak suka disentuh dan ia bukan orang yang perhatian.
Namun, tindakannya hari ini membuat Yaya kebingungan.
Ia hanya bisa berjalan bersama Halilintar, sedikit agak bersandar padanya karena badannya terasa lemas dan tidak punya tenaga untuk bergerak.
Banyak mata menatap mereka berdua, kebanyakan tatapan tak percaya. Yaya hanya mampu menunduk, ia merasa sangat malu, bersalah dan tak enak hati pada Halilintar.
Tapi, temannya itu tidak menunjukkan tanda-tanda kalau ia marah atau melakukan semua ini dengan terpaksa.
"Ah, Kak Halilintar."
Yaya mengangkat wajahnya dan bertemu muka dengan salah satu adik Halilintar, sang Ketua OSIS, Gempa.
"Yaya, kamu nggak apa-apa?" tanya Gempa, mengalihkan perhatian pada Yaya.
"Iya, cuma demam," jawab Yaya dengan senyum tipis.
Kemudian Gempa bertatapan dengan Halilintar.
Yaya tidak tahu apa yang sedang mereka lakukan, mereka hanya bertatapan tanpa berkedip kemudian Gempa tersenyum padanya.
"Hati-hati di jalan ya, cepet sembuh. Kak Halilintar juga," kata Gempa, kemudian berbalik dan berlalu.
Yaya sering mendengar kalau anak kembar bisa bertelepati. Tapi, ia rasa itu adalah komunikasi non-verbal level pro. Kedua saudara kembar itu bisa berkomunikasi hanya dengan tatapan tanpa kata-kata.
Hebat, sampai sekarang saja Yaya masih kesulitan membaca tatapan mata dan ekspresi wajah Halilintar.
"Ayo," kata Halilintar, menarik lengan Yaya, menyadarkan gadis itu dari lamunannya. Sang gadis hanya bisa mengangguk dan menyamakan langkahnya dengan langkah kaki Halilintar.
IoI
"Tunggu sebentar."
Yaya tidak kuat lagi berjalan. Tubuhnya terasa sangat lemas dan pandangannya mulai kembali kabur, ia tahu ini tanda-tanda ia akan pingsan. Jarak sekolah ke rumahnya memang tidak jauh, tapi saat sakit seperti ini jadi terasa 10 kali lipat lebih jauh dari biasanya.
Sang gadis berjongkok, tidak kuat berdiri dan merasa akan pingsan kalau terus memaksakan diri.
Di luar dugaan, lagi-lagi, Halilintar berjongkok di depannya dan menyodorkan punggungnya padanya.
"Ayo naik."
Yaya mengerjapkan mata.
Hari ini, Halilintar benar-benar membuatnya terkejut sepanjang hari.
"Tidak usah...," Yaya merasa sangat tak enak hati. Tapi, lagi-lagi, Halilintar memang keras kepala. Ia tidak beranjak dan Yaya pun akhirnya merasa tak punya pilihan lain selain memanjat ke punggung pemuda tersebut.
Ia sedikit kagum saat merasakan bagaimana Halilintar sepertinya menggendongnya tanpa ada masalah.
"Pegangan yang kuat," kata Halilintar. Yaya mengangguk dan menyandarkan kepalanya ke bahu Halilintar.
"Makasih ya," kata sang gadis.
"Hm," gumam Halilintar. Entah apa artinya tapi Yaya hanya tersenyum kecil.
Halilintar mungkin dingin, temperamental dan anti sosial tapi, ia ternyata memang baik.
"Makasih ya, udah nganterin aku sampai rumah."
Halilintar mengangguk. Ia menatap Yaya merogoh kunci di dalam tasnya dan membuka kunci pintu rumahnya. Jujur, ia tidak yakin meninggalkan Yaya sendirian sementara gadis itu sedang sakit. Tapi, pada saat yang sama Halilintar tak yakin apa ia sudah melewati batas.
Batas seorang teman sekelas.
Jadi, Halilintar hanya mendengus. "Cepet tidur," katanya singkat. Yaya tersenyum padanya dan mengangguk.
"Hati-hati," kata sang gadis. Halilintar berbalik dan bejalan menuju rumahnya dengan perasaan bimbang.
IoI
Halilintar hampir tidak pernah punya teman seumur hidupnya. Yang berani berinteraksi dengannya hanya keluarga dan segelintir orang. Jadi, Taufan hampir tidak percaya saat mendengar cerita Gempa kalau Halilintar mengantar Yaya pulang karena sang gadis sedang sakit.
Bukan hanya mengantar pulang, ia juga sudah dengar dari gosip yang beredar, bagaimana Halilintar menggendong Yaya ke UKS dan menetap di sana selama beberapa jam pelajaran.
Kalau itu orang lain, Taufan akan menebak kalau sang pemuda punya hati pada sang gadis. Tapi, masalahnya ini Halilintar, kakak kembarnya yang paling dingin dan kesulitan mengekspresikan perasaannya.
"Kak Hali suka ya sama Yaya."
Gempa hampir tersedak, namun Halilintar tidak menunjukkan respon apapun. Tampaknya sedang sibuk memikirkan sesuatu meski Taufan tahu, kakaknya itu mendengar perkataannya.
Setelah beberapa saat, akhirnya ia menjawab.
"Bukan urusanmu."
Taufan berpandangan dengan Gempa dan kemudian menoleh pada kakak pertamanya.
Halilintar mengambil segelas air putih dan meminumnya, piringnya sudah tandas dari makanan. Sementara Taufan dan Gempa masih memakan makan malam mereka.
"Yaya sendirian di rumah."
Gempa berhenti menyendok dan berkedip, menatap Halilintar yang menatap dirinya.
"Oh, orang tuanya kemana?" tanya Gempa pada kakak kembarnya yang pertama.
"Katanya lagi keluar kota," jawab sang kakak.
"Kak Hali khawatir ya...," goda Taufan dengan senyum lebar. Halilintar memilih untuk tidak merespon, tanda kalau dia sedang serius.
"Dia mirip Gempa."
Gempa menatap Halilintar, yang matanya kini sedang menerawang jauh. "Sok kuat, ngerjain semuanya, tapi nggak ngerti batasan tubuhnya dimana."
Jujur saja, Gempa merasa agak tersindir tapi memilih untuk tidak berkomentar.
"Dia juga mirip Taufan."
Taufan kali ini mengerjap, sedikit bingung.
"Senyum, tapi senyumannya aneh."
Taufan mencemberutkan bibirnya, tapi tahu maksud kakak kembarnya. Senyuman saat memaksakan memang tidak terlihat alami.
Gempa menghabiskan makanannya dan segera bangkit. Ia membuka lemari dapur dan mengambil rantang makanan. Dengan telaten ia mengisi satu persatu mangkuk rantang dengan nasi, sayur dan lauk yang ia masak malam ini.
Saat berbalik, Gempa tersenyum melihat Halilintar menunggunya.
"Ini, salam buat Yaya ya," kata Gempa, menyodorkan rantang yang berisi makanan pada kakaknya.
Halilintar mengambilnya dan mengangguk.
"Taufan, pinjem sepeda," kata Halilintar sambil berlalu.
"Ok, hati-hati kak. Jangan apa-apain Yaya ya," balas Taufan.
Kali ini Taufan mendapat hadiah lemparan sandal dari kakaknya.
Kedua adik melihat kakak mereka keluar rumah. Taufan menoleh pada Gempa yang masih menatap pintu.
"Kau harus bikin nasi kuning untuk merayakan ini, akhirnya Kak Hali bisa juga deket sama cewek. Meski aku nggak ngerti sih, Kak Hali itu perasaannya kayak gimana sama Yaya," kata Taufan, meski nadanya bercanda namun Gempa tahu ia serius.
Jadi, sang adik kembaran termuda hanya tersenyum. "Nasi kuningnya gampang, soal perasaan Kak Halilintar... kita lihat aja nanti."
IoI
Sepanjang hari, Yaya hanya bisa tidur di tempat tidur. Rumahnya sepi tanpa suara, ia hanya meringkuk di tempat tidur, merasa kesepian. Kedua orang tua bersama adiknya pergi ke luar kota karena ada saudara jauh mereka yang meninggal. Yaya tidak ingin membuat mereka khawatir, jadi ia tidak menelepon mereka.
Saat bel rumahnya berbunyi di malam hari, Yaya agak takut namun memberanikan diri untuk bangkit dari tempat tidur dan melihat tamu yang datang.
Ia terkejut saat menemukan Halilintar, berdiri di depan pintu rumahnya dan menyodorkan sebuah rantang padanya.
"Ini, buatan Gempa," katanya.
Yaya hanya mengerjap, menerima rantang tersebut dengan bingung. Semua perhatian Halilintar hari ini membuatnya bingung, namun bukan berarti ia tidak suka. Justru ia sangat menyukainya.
Membuat hatinya jadi terasa hangat.
"Makasih... kok kamu tahu aku belum makan?" tanya Yaya, mempersilakan Halilintar untuk masuk. Kali ini, teman sekelasnya itu masukke rumahnya. Sebenarnya Yaya sedikit merasa was-was, karena bagaimana pun, ini sudah malam, rumahnya kosong, ia gadis, sedang sakit dan Halilintar itu laki-laki.
Tapi, ia menepis rasa takutnya, karena ia percaya Halilintar tidak akan melakukan hal aneh padanya.
"Cepet makan, terus minum obat," kata-kata Halilintar hampir selalu terdengar seperti perintah. Yaya hanya bisa menurutinya.
"Biar kubuatkan minum-"
"Makan."
Yaya akhirnya duduk di meja makan dan Halilintar duduk di seberangnya.
Sang sekertaris OSIS tersebut membuka rantangnya satu persatu dan tersenyum melihat makanan yang tersedia.
"Ini semua Gempa yang masak?" tanya Yaya merasa kagum. Halilintar mengangguk.
Saat menyuapkan makanan ke mulutnya, meski karena pengaruh sakit jadi makanannya terasa agak hambar, tapi Yaya tahu kalau makanan ini enak.
Halilintar terus memperhatikannya selama Yaya makan. Sang gadis mulai terbiasa berada dalam pandangan Halilintar. Kebanyakan orang pasti akan merasa tidak nyaman, tapi Yaya mulai mengerti kalau pandangan Halilintar kebanyakan artinya ia perhatian.
"Makasih ya," kata Yaya, sudah lupa berapa kali ia berterima kasih pada Halilintar hari ini.
Halilintar mengangguk. Yaya tidak menghabiskan makanannya, meski enak tapi perutnya agak mual dan lidahnya pahit. Meski begitu, tampaknya Halilintar sudah melihatnya makan meski sedikit.
Karena dia tidak protes, setidaknya, itu tebakan Yaya.
Yaya meminum obatnya dan tersenyum pada Halilintar. Ia merasa malu, tapi senang karena mendapatkan perhatian yang sangat langka dari teman sekelasnya itu. Ia tahu, tidak sembarang orang mendapatkan perhatian seperti ini dari Halilintar, itu membuatnya merasa sedikit spesial.
"Rantangnya-"
"Gampang, nanti aja."
"Kalau besok masih sakit, nggak usah masuk."
"Iya, aku tahu," balas Yaya.
"Aku pulang dulu," kata Halilintar, akhirnya bangkit.
Mereka berdua berjalan menuju pintu depan dan Yaya hanya bisa menyugingkan senyum termanisnya.
"Makasih ya."
"Sekali lagi kamu bilang 'makasih', aku nggak mau bantuin kamu lagi," ancam Halilintar kelihatan jengah.
Yaya justru tertawa, tidak mengerti pola pikir Halilintar yang justru merasa terganggu dengan ucapan terima kasih, namun akhirnya sang gadis mengangguk.
"Iya, sampai jumpa di sekolah, hati-hati di jalan."
Halilintar mengangguk dan berlalu menuju sepedanya. Ia melihat Yaya melambai, namun tidak membalas lambaian tangan itu. Ia pun mengayuh sepedanya, kembali menuju rumahnya.
IoI
Halilintar tidak tahu menggendongnya ke UKS, ia juga tidak harus menemanisnya di UKS, ia tidak harus mengantarnya pulang, ia tidak harus menggendongnya pulang, ia tidak harus mengantar makanan padanya, ia tidak harus menunggunya makan.
Yaya memikirkan semua itu di tempat tidurnya.
Jawaban kenapa pemuda itu melakukan semua itu, mungkin karena ia perhatian pada Yaya.
Yaya sendiri tidak yakin, ia tidak mau kege-eran sendiri.
Perhatian Halilintar tidak terasa berlebihan, tapi terasa sangat spesial.
Yaya bahkan sempat mengira Halilintar menunggunya makan tadi untuk menunggu rantangnya dikembalikan. Tapi...
Mungkin ia ingin memastikan Yaya baik-baik saja sendiri di rumah.
Sang gadis merasakan wajahnya menghangat dan jantungnya berdegup kencang.
Ini pasti karean ia sedang sakit, ya ia sedang sakit.
IoI
Saat Yaya masuk kembali ke sekolah setelah sembuh, ia hanya kebingungan melihat banyak orang menatapnya dan kasak-kusuk di sekitarnya.
"Yaya!"
Yaya melihat Ying berlari ke arahnya.
"Kamu jahat! Jadian dengan Halilintar kok nggak bilang-bilang ke aku sih?!"
...
"EEEHHH!?"
IoI
Yaya berusaha untuk mengontrol diri. Tapi, ia yakin wajahnya masih merah. Gosip macam apa yang beredar saat ia sedang sakit? Ia merasa malu dan sangat bersalah pada Halilintar, membuat teman sekelasnya itu lagi-lagi jadi bahan gunjingan orang.
Padahal kan itu sama sekali tidak benar.
"Pagi."
Yaya melihat Halilintar duduk di bangkunya seperti biasa. Sepasang earphone terpasang di telinganya dan ia tidak tampak terganggu maupun marah.
Pertanda bagus, tapi Yaya masih merasa bersalah.
"Maaf ya."
Halilintar menoleh padanya. Wajahnya terlihat biasa, tapi matanya menyiratkan kalau ia bingung.
"Soal gosip itu. Padahal kan kamu cuma bantuin aku aja kemarin..."
Halilintar tidak menunjukkan reaksi. Tidak marah, tidak kesal, ia terlihat tenang.
"Udah biasa, nanti juga bosen sendiri," katanya.
Yaya menyimpulkan, selama bukan gosip jelek atau gosip soal adiknya, tampaknya Halilintar tidak akan marah. Ia merasa lega sekarang.
"Oh ya, ini sebagai ucapan terima kasih."
Yaya menyondorkan sebuah kotak bekal berisi biskuit pada Halilintar.
"Serius kamu Yaya!? Halilintar, jangan dimakan!" seru teman sekelas mereka.
"Kok gitu sih!? Aku bikin sesuai resep kok, udah kucoba juga, hasilnya... yah, lumayan lah," bela sang gadis, merasa tersinggung.
"Masa?" tanya teman sekelasnya tidak percaya. Yaya mencemberutkan mulutnya dan mereka tertawa.
"Kalau gitu cobain dong," seorang murid menjulurkan tangannya ke kotak bekal penuh biskuit yang terbuka. Namun, segera berhenti saat mendapat tatapan membunuh dari Halilintar.
Ia segera mengambil langkah mundur, begitu pula yang lain.
"Err- nggak jadi deh," katanya segera melarikan diri. Yaya terlihat bingung, karena tidak melihat tatapan membunuh Halilintar, saat ia menoleh Halilintar memasukkan satu biskuit ke dalam mulutnya.
Saat ia melihat Yaya menatapnya dengan pandangan penuh makna, ia tahu ia harus berkomentar.
"Masih lebih enak buatan Gempa."
Yaya terlihat kecewa.
"Tapi masih bisa dimakan kok."
Senyum mengembang di bibir Yaya.
Sang gadis kembali ke tempat duduknya dengan hati riang. Sementara semua teman sekelas mereka bingung melihat mereka berdua.
Jadi, sebenarnya hubungan mereka berdua itu apa sih?
Tidak ada yang bisa mengerti, yang jelas mereka semua tahu, ada sesuatu yang spesial di antara mereka berdua, entah apa itu. Yang jelas, keduanya tampaknya puas dengan hubungan aneh seperti itu.
Tbc?
Yak, digantung.
Karena aku nggak bisa bayangin Halilintar nembak Yaya, ataupun Yaya nembak Halilintar. Jadi, ya udah. Hahaha *digampar bolak balik
Maaf ya, fluffnya sangat gaje karena Halilintar sangat kaku.
Ok, silahkan yang mau review, kalau pada suka kulanjutin, kalau nggak, udahan aja deh. TaufanxYingnya? Ya, chaper depan, kalau lanjut.
Makanya, review!