Disclaimer : Naruto belongs to Masashi Kishimoto. I don't take any material profit from it

Pairing : SasuFemNaru

Rated : T

Genre : Drama, romance

Warning : Gender switch, OOC, OC, typo (s)

Note : Dilarang copy paste sebagian ataupun keseluruhan isi fict ini maupun fict milik saya lainnya!

Selamat membaca!

Mr. Arrogant

Chapter 1 : Mr. General Manager

By : Fuyutsuki Hikari

Naruto mematut diri di depan cermin untuk terakhir kalinya. Rambut pirang sebahunya digelung rapi di atas tengkuk. Gadis berusia dua puluh tiga tahun itu memperhatikan kemeja putih berlengan pendek dan rok hitam di atas lututnya. Dahinya ditekuk dalam, tangannya mencoba untuk menarik rok yang dikenakannya, tapi gagal. Naruto tidak menyukai seragamnya ini, roknya terlalu pendek.

"Kau bisa terlambat di hari pertama kerja," kata Kurama menginterupsi kegiatan Naruto.

Naruto cemberut, menatap kakaknya yang bersandar santai pada daun pintu lewat kaca cerminnya. "Rok ini terlalu pendek," keluh Naruto sebal.

Kurama memasang wajah datar, mengamati penampilan adiknya dengan seksama. "Rokmu memang terlalu pendek. Kau yakin bisa nyaman memakainya?" tanyanya. Kurama sekuat tenaga memasang wajah serius. Pria itu ingin sekali tertawa melihat penampilan feminin Naruto saat ini yang membuatnya nyaris tak percaya. Adiknya itu selalu mengenakan celana training di balik rok seragamnya saat dia masih SMA dulu, dan sekarang Naruto mengenakan rok pendek? Ah, benar-benar ajaib.

Naruto menghela napas panjang dan menjawab ketus. "Aku heran kenapa pegawai wanita harus mengenakan rok sependek ini. Padahal akan lebih nyaman jika roknya sebatas lutut. Iya, kan?" tanyanya meminta dukungan.

Kurama mengangguk setuju. "Benar. Kau yakin akan tetap bekerja di hotel itu? Posisi yang kau dapatkan sangat tidak sesuai dengan pendidikanmu."

"Aku tahu, Kak. Hanya saja ada banyak orang yang bermimpi, berharap bisa bekerja di Hotel Zeus, aku tidak mungkin menyia-nyiakan kesempatan ini. Aku akan bekerja keras dan berharap segera mendapat promosi sesuai dengan keahlian dan pendidikanku." Jawab Naruto panjang lebar sementara tangannya masih sibuk menarik-narik rok pendeknya. "Ah, sudahlah!" teriak Naruto frustasi. "Aku hanya akan semakin kesal jika terus melihat penampilanku saat ini." Naruto mendengus kasar.

"Kalau begitu cepat turun, aku sudah siapkan sarapan untukmu." Kata Kurama sebelum berbalik, berjalan turun menuju ruang makan di lantai dasar.

Naruto merupakan putri bungsu dari keluarga Namikaze. Gadis berusia dua puluh tiga tahun itu baru saja lulus S1 jurusan perhotelan. Dia tinggal bersama kakak laki-lakinya yang bernama Namikaze Kurama.

Kedua orangtua mereka meninggal dunia karena kebakaran hebat yang melanda pabrik tempat keduanya bekerja hampir sepuluh tahun yang lalu. Sejak saat itu Naruto yang masih berusia tiga belas tahun menjadi tanggung jawab Kurama yang sudah berusia tujuh belas tahun. Uang asuransi kedua orangtuanya digunakan dan diatur oleh Kurama.

Kurama bekerja sebagai guru matematika di Konoha High School. Keduanya kini tinggal di rumah sederhana berlantai dua di pinggiran kota Tokyo di distrik Konoha.

"Aku bisa mengantarmu dulu jika kau mau," kata Kurama menawarkan diri.

Naruto menggeleng cepat, sementara mulutnya sibuk mengunyah dan menelan telur mata sapi buatan kakaknya. "Tidak perlu," kata Naruto. "Tempat yang kita tuju berlainan arah, tidak lucu kalau seorang guru datang terlambat."

"Kau yakin tidak mau diantar?" tanya Kurama untuk kedua kalinya. Naruto mengangguk semangat menjawab pertanyaan kakaknya. "Jam berapa kau pulang?"

Naruto menelan makanannya dengan susah payah. Memukul dadanya pelan karena tersedak lalu meminum air minumnya rakus sebelum menjawab pendek. "Jam lima."

"Kau mau kakak jemput?" tawar Kurama lagi.

Naruto menggeleng. "Aku naik kereta saja."

"Baiklah. Kalau begitu kakak pergi duluan, jangan lupa bawa kunci cadangan."

"Aku mengerti," sahut Naruto dengan mulut penuh. Gadis itu menoleh, melambaikan tangannya saat Kurama berjalan pergi.

Naruto melirik jam kecil di ujung meja, ia mengernyitkan dahi dan segera merapikan peralatan makannya saat sadar jika dia sudah sangat terlambat. Gadis itu meletakkan piring kotor ke dalam bak cuci piring, menyambar mantel dan tasnya yang tersampir pada punggung kursi. Cuaca pertengahan musim semi ini memang masih terasa dingin.

Gawat, kereta akan datang sepuluh menit lagi, batinnya. Naruto berlari, sedikit kesulitan karena sepatu berhak tinggi yang dikenakannya. Matanya melotot saat melihat jam yang melingkar di tangan kirinya. Dua menit lagi kereta datang, sial! Makinya dalam hati.

Beberapa saat kemudian, Naruto menekuk mulutnya ke atas, napasnya terengah-engah, namun hatinya sangat bersyukur karena dia tiba tepat pada waktunya. Akan jadi masalah jika dia ketinggalan kereta, karena kereta berikutnya akan datang lima belas menit kemudian.

Perjalanan dengan kereta memakan waktu selama tiga puluh menit. Gadis itu harus kembali berjalan cepat keluar dari stasiun. Dia memiliki waktu tiga puluh menit lagi sebelum jam kerjanya dimulai. Naruto kembali tersenyum, sepertinya keputusannya mengenakan seragam dari rumah sangat tepat. Dia hanya perlu memperbaiki riasan wajahnya saat tiba di hotel.

Senyum gadis itu merekah saat gedung tempatnya bekerja sudah ada di depan matanya. Naruto masuk lewat pintu khusus karyawan yang terletak tepat di samping restoran hotel, napasnya masih terengah saat gadis itu naik lift khusus untuk karyawan menuju lantai lima dimana ruang loker karyawan berada. "Selamat pagi!" Naruto membungkuk dalam pada seorang pria yang diketahuinya sebagai kepala departemen personil.

Pria yang bernama Umino Iruka itu melirik jam emas yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. "Sekarang sudah pukul tujuh lewat empat puluh lima menit, Nona Namikaze." Iruka menaikkan sebelah alisnya, menatap tajam Naruto yang berdiri di depannya dengan kepala menunduk. "Bukankah aku sudah mengatakan ke semua pegawai baru jika kalian harus sudah berada di hotel minimal tiga puluh menit sebelum jam kerja dimulai. Apa kau lupa?"

Naruto kembali membungkuk. "Maaf, saya kesiangan bangun," katanya jujur. Naruto mengumpat di dalam hati, menyesal kenapa dia harus jujur saat ini. Tapi alasan apa lagi yang bisa dikatakannya, macet? Ck, alasan klise. Batinnya.

Iruka menyempitkan mata, dan melipat kedua tangannya di depan dada. Sepertinya dia tidak suka akan jawaban dari karyawan barunya. "Ini terakhir kali kau datang terlambat! Tepat pukul delapan semua pegawai harus sudah berkumpul di ballroom untuk breafing pagi. Dan sesuai dengan kontrak kerja yang sudah kau tandatangani, selama tiga bulan masa pelatihan kau akan berada dibawah pengawasan departemen pelatihan."

"Saya mengerti," jawab Naruto cepat.

Iruka berjalan mengelilingi Naruto, lalu menepuk keras pinggang gadis itu. "Tegakkan tubuhmu, angkat dagumu!" perintahnya tegas. "Letakkan kedua tanganmu di depan, dan jangan berlarian di sepanjang lorong hotel. Mengerti!"

"Saya mengerti," jawab Naruto lagi.

"Bagus. Sekarang pergi, simpan barang-barangmu, rapikan riasan wajah juga rambutmu, dan jangan sampai terlambat untuk berkumpul di ballroom!"

Naruto mendesah lega setelah Iruka berlalu pergi. Dia berjalan cepat menuju ruang karyawan yang juga berada di lantai ini. Dia sudah mengetahui letak lokernya karena seminggu yang lalu saat penandatanganan kontrak Iruka memberi tour keliling untuk pengenalan hotel pada semua karyawan baru.

Gadis itu kembali berlari menuju ballroom setelah meletakkan barang-barang pribadinya di dalam loker. Naruto menepuk dahinya saat sadar jika dia sudah terlambat lima menit, bagaimana bisa dia berjalan anggun jika dia sudah terlambat untuk breafing pagi. Kenapa juga dia harus bertemu Iruka pagi ini. Andai saja mereka tidak bertemu, Naruto pasti tidak akan mendapat teguran panjang yang memakan waktu.

Semoga aku tidak bertemu dengan Umino-san, doanya dalam hati. Naruto menghentikan langkahnya tepat di depan pintu ganda ballroom hotel. Gadis itu mengatur napasnya yang masih sedikit tersengal. Semoga tidak ada yang menyadari kedatanganku, doanya lagi di dalam hati.

"Hari pertama dan kau sudah terlambat untuk breafing pagi?"

Suara dingin dan menusuk dari arah belakang Naruto menghentikan tangannya yang sudah berada di depan pegangan pintu. Naruto berdecak kecil, sejenak memejamkan mata sebelum berbalik untuk menatap pemilik suara berat itu. Sepertinya Tuhan tidak mengabulkan permintaannya pagi ini.

Oh, sial. Ternyata yang berdiri di depannya saat ini adalah Uchiha Sasuke, sang General Manager. Andai dalam situasi berbeda, Naruto pasti sudah menitikkan air liurnya karena penampilan elegan atasannya itu. Setelan jas berwarna biru tua, rambut yang disisir rapi ke belakang, serta pin nama dan jabatan yang tersemat di dada kirinya membuatnya terlihat sangat profesional.

"Kau masih bisa melamun?" Sasuke menjentikkan jarinya di depan wajah Naruto. Matanya menyipit sinis membuat Naruto mati kutu. Pria itu memperbaiki pin nama Naruto yang terpasang miring. Naruto membelalakkan mata, napasnya tercekat, jantungnya berdetak cepat, bulu kuduknya merinding ngeri mendapat tatapan intimidasi dari atasannya ini. "Istirahat siang kau menghadap ke ruang kerjaku!" perintah Sasuke tegas sebelum melangkah masuk ke dalam ballroom dengan Naruto yang mengekorinya dari belakang.

Beberapa kepala menoleh ke belakang saat Sasuke dan Naruto berjalan masuk ke dalam ruangan. Naruto bahkan bisa merasakan tatapan tidak suka yang terarah lurus kepadanya. Ruangan sedikit gaduh, beberapa karyawan saling berbisik, mencibir Naruto. Apa salahku? Batinnya tidak mengerti.

"Kau terlambat," Yamanaka Ino berbisik pelan, matanya membulat sempurna nyaris tak percaya. Bagaimana bisa Naruto terlambat di hari pertamanya bekerja? Naruto pasti sudah gila, pikir Ino.

Naruto meringis, tidak mampu membalas ucapan teman yang baru dikenalnya selama satu minggu. Pikirannya dipenuhi oleh kemungkinan-kemungkinan buruk yang mungkin akan menimpanya siang nanti. Apa general manajernya itu akan memecatnya? Naruto mulai berpikir resah dan kembali larut dalam lamunannya.

"Kau masih bisa melamun?" tanya Sasuke tajam untuk ke dua kalinya dalam kurun waktu sepuluh menit.

Naruto tersentak, bersyukur karena makiannya tidak keluar dari mulut pedasnya. Gadis itu berdiri tegak, mengangkat dagu dengan tatapan lurus ke depan. Ruangan menjadi hening seketika mendengar suara tajam dan dingin dari manager mereka.

Tangan kanan Sasuke mendarat pelan di bahu kanan Naruto, meremasnya erat. Sungguh, gadis itu tidak pernah merasakan begitu takut seperti saat ini. "Perhatikan apa yang aku katakan, Nona! Jangan menguji kesabaranku!" desisnya mengancam.

"Maaf," jawab Naruto dengan suara bergetar takut.

.

.

.

"Bagaimana rasanya disentuh oleh Uchiha-san?" tanya Ino saat keduanya berjalan keluar dari ballroom menuju ruang pelatihan. "Naruto, kau sangat beruntung!" cicit Ino iri. Putri keluarga Yamanaka itu mulai berkhayal, berandai jika yang disentuh oleh Sasuke adalah dirinya bukan Naruto.

Naruto mendengus kasar dan menjawab ketus. "Rasanya sangat menakutkan, kebahagianku seolah ditarik keluar dan hanya menyisakan kegelapan yang menyiksa." Ujarnya berlebihan. "Tangannya sangat dingin seperti hantu. Mungkin aku harus ke kuil dan mensucikan diri untuk menghilangkan kesialanku hari ini."

Ino menyikut pelan perut Naruto, mulutnya terkatup rapat, sementara matanya tertuju lurus pada punggung pria yang baru saja berjalan melewati keduanya.

Naruto menahan napas, tangannya menutup rapat wajahnya yang memerah malu. Kenapa hari ini dia sangat sial? Pikirnya kalut. "Apa menurutmu dia mendengar apa yang kita bicarakan tadi?" tanya Naruto takut. Gadis itu berharap jika Sasuke tidak mendengar apa yang dikatakannya tadi. Bolehkah dia berharap seperti itu?

Ino menelan air liurnya cepat dan menjawab dengan ekspresi simpati. "Kurasa dia mendengar apa yang kita bicarakan, Naruto. Ya Tuhan, kuharap kau tidak mendapat masalah karenanya."

Naruto menghela napas panjang. "Sepertinya ini akan jadi hari pertama dan terakhir aku bekerja disini," kata Naruto pasrah sambil memeluk Ino erat. Ino pun ikut menghela napas berat dan hanya mampu memberikan penghiburan dengan menepuk-nepuk punggung Naruto pelan.

Naruto bertanya-tanya sampai kapan kekurangberuntungannya akan terus berlangsung. Pertama; dia ditempatkan di Housekeeping Department atau Tata Graha, kedua; dia terlambat di hari pertamanya kerja, ketiga; dia terlambat untuk breafing pagi, keempat; dia harus menghadap Uchiha Sasuke saat makan siang nanti, kelima dia mendapat sambutan yang jauh dari kata hangat dari rekan-rekan seniornya. Ada apa ini? Gumamnya dalam hati. Apa bintang keberuntungannya sudah malas menaungi dan memilih untuk meninggalkannya? Oh Tuhan, tolong lindungi aku, doanya dalam hati.

"Aku harap kau mengerti akan apa yang sudah aku sampaikan tadi, Namikaze-san!"

Ino menyikut tangan Naruto keras, sementara beberapa rekan senior mereka tersenyum sinis menatap gadis pirang berbola mata sapphire itu.

"Apa kau mendengar apa yang sudah aku sampaikan tadi?" Tsunade menyipitkan mata, galak. Naruto sedang berada di ruang pelatihan saat ini.

"Saya mendengarkan dengan baik, Senju-san." Jawab Naruto tenang, padahal jantungnya berdetak semakin cepat saat ini. Gadis itu hanya bisa berharap jika Tsunade mempercayai aktingnya yang pas-pasan.

Tsunade berjalan menghampiri Naruto, matanya masih terlihat curiga. "Contohkan sikap memberi hormat pada tamu!"

Naruto meletakkan kedua tangannya di depan perut, membungkuk empat puluh lima derajat dan berkata dengan suara lembut. "Selamat datang!"

Tsunade mengangguk kecil, terlihat puas saat Naruto kembali menegakkan tubuhnya dan menekuk tipis bibirnya ke atas. "Benar, jangan tersenyum berlebihan. Jaga posisi badan kalian, busungkan dada, kedua bahu harus sejajar, dan rapatkan kedua kaki kalian. Mengerti?"

Sepanjang siang Tsunade terus memberikan pelatihan kepada karyawan baru dan memeriksa penampilan karyawan senior. Wanita berusia empat puluh tahun itu terus berkeliling menilai penampilan anak didiknya. "Buka mulutmu!" perintahnya pada Karin.

Karin terkesiap, begitu terkejut saat melihat refleksi giginya pada cermin milik Tsunade. Dengan gerak cepat dia membersihkan sisa makanan yang menempel di giginya.

"Kenapa kau tertawa?" tanya Tsunade kini berjalan mendekat ke arah Sakura yang terkikik kecil menertawakan Karin. Sakura langsung menutup rapat mulutnya.

"Jangan sampai aku memergokimu bergosip saat jam kerja, Nona Haruno! Karena aku pasti memberikan hukuman yang sesuai." Katanya dengan senyum manis namun begitu menakutkan. Sakura dan Karin memang terkenal sebagai ratu gosip di hotel ini.

Beberapa jam kemudian masih dirasa berat untuk Naruto. Sikap sinis dan tidak bersahabat dari seniornya membuat dirinya tidak nyaman. Naruto hanya mampu mengatupkan bibirnya rapat, mengepalkan tangan saat salah satu rekan kerja seniornya dengan kurang ajar mencoba menyentuh pipi dan bertanya apa Naruto mau menjadi teman kencannya.

"Saya bukan wanita murahan yang bisa dengan mudah Anda ajak kencan," jawab Naruto tajam. Mata gadis itu berkilat marah, tersinggung saat melihat ekspresi mencemooh dari pria tua di depannya.

"Bagaimana jika Uchiha Sasuke yang mengajakmu kencan?" desis pria itu jahat, marah karena anak baru seperti Naruto berani menolak dirinya yang jauh lebih senior.

"Saya tidak mengerti maksud Anda," jawab Naruto dengan nada tenang dipaksakan. "Yang jelas, Tuan Uchiha tidak mungkin mengajak saya kencan." Tambahnya dingin. Naruto membungkuk kecil, dan memilih untuk meninggalkan pria itu yang terus memakinya kasar.

Apa pria itu gila? teriak Naruto di dalam hati sementara kakinya terus melangkah menuju ruang kerja Sasuke di lantai sepuluh. Pria yang mengajaknya kencan itu berusia lebih tua dari mendiang ayahnya. Dasar brengsek! Makinya dalam hati.

Naruto mengambil napas panjang, membuangnya pelan untuk menenangkan emosinya yang masih tidak stabil. Gadis itu mengetuk pelan pintu ruang kerja Sasuke dan bergerak masuk saat sebuah suara dalam mempersilahkannya untuk masuk.

Naruto mengamati ruang kerja milik Sasuke yang tidak terlalu luas namun tertata begitu rapi dan sangat sesuai dengan kepribadian pemilik ruangan itu. Di dalamnya ada beberapa rak penuh buku, satu set sofa berwarna putih dengan meja kopi akrilik untuk menerima tamu, serta meja kerja untuk Sasuke dengan dua buah kursi nyaman di depan mejanya.

"Duduk!" perintah Sasuke tegas tanpa mengalihkan pandangannya dari layar laptopnya, sedangkan jari-jari tangannya menari lincah di atas keyboard. Naruto membungkuk kecil sebelum mendudukkan diri di sebuah kursi nyaman di depan meja kerja Sasuke.

Sepuluh menit kemudian Naruto bergerak gelisah, sedikit tidak nyaman karena Sasuke masih tidak mengatakan apapun. "Maaf, Uchiha-san boleh saya tahu mengapa Anda memanggil saya kesini?" tanyanya kemudian. Jantung Naruto berdegup semakin cepat, dia sendiri tidak tahu kenapa malah kalimat itu yang keluar dari mulutnya. Dasar bodoh! Umpatnya dalam hati.

Sasuke melihat lewat bulu matanya, melirik tajam pegawai barunya yang terlihat semakin gelisah. Pria itu sedikit mencondongkan tubuhnya lalu melipat kedua tangannya di atas meja. Sasuke mengangkat sebelah alis dengan sikap tak percaya. "Bagaimana bisa kau masih bertanya alasanku memanggilmu kesini."

Naruto membeku di tempat, tertusuk kata-kata yang terdengar tajam di telinganya. Dia membuka mulut untuk mengatakan sesuatu untuk membela diri, namun dia langsung menyadari jika dirinya memang salah. Naruto kembali menunduk, mengatupkan mulutnya rapat.

"Apa aku harus mengatakan satu per satu kesalahanmu, Nona Namikaze?" Sasuke merubah posisi duduknya, dengan nyaman dia menyandarkan tubuhnya pada punggung kursi kerjanya.

Naruto menggigit bibir bawahnya, kepalanya menunduk, matanya menekuri jari-jari tangannya yang saling bertaut di atas pahanya. Gadis itu bahkan sudah tidak tahu apa yang harus dikatakannya lagi. Dia memang bersalah kali ini.

"Kau tahu, aku seharusnya memecatmu." Tukas Sasuke datar namun sukses membuat hati Naruto mencelos. Ternyata perkiraanku benar, pikir Naruto kembali pasrah. Sasuke mengetuk-ngetukkan pena di tangannya ke atas meja, membuat suasana di ruangan itu semakin berat.

Naruto mendongakkan kepala, balas menatap Sasuke lurus. "Kalau begitu saya akan segera membereskan barang-barang saya," kata Naruto lemah.

"Aku belum mengatakan jika aku memecatmu," Sasuke menyahut dengan nada geli walau ekspresi wajahnya masih datar seperti biasa.

Naruto mengerjapkan mata, tidak mengerti. "Maksud Anda apa?" tanyanya sedikit berharap jika pendengarannya tidak bermasalah.

"Aku belum memecatmu," jawab Sasuke tenang membuat Naruto mendesah lega. "Tapi bukan berarti kau akan lepas dari sanksi."

"Saya akan terima apapun sanksi yang Anda berikan, Uchiha-san." Naruto menyahut dengan semangat, setidaknya dia tidak kehilangan pekerjaannya ini. Akan sangat memalukan jika dia dipecat di hari pertamanya bekerja.

Sasuke menggoyangkan telunjuknya di udara. "Hati-hati dengan ucapanmu!" tukasnya memperingatkan.

"Eh?" Naruto memiringkan kepala ke satu sisi, kembali tidak mengerti apa sebenarnya yang diinginkan oleh Sasuke.

"Mulai hari ini hingga masa trainingmu selesai, kebersihan kamar di lantai lima belas dan empat belas menjadi tanggung jawabmu." Ujar Sasuke datar, membuat mulut Naruto menganga. "Selain itu kau juga harus membantu di departemen laundry. Mengerti?

Naruto mengatupkan mulutnya, ragu-ragu akhirnya dia mengangguk. Ya, daripada dipecat. Pikir Naruto.

"Pergi dan kerjakan tugasmu!" tukas Sasuke dingin. Sebelah tangannya terayun ke udara, mengusir secara langsung. Naruto bergerak pelan, membungkuk hormat sebelum akhirnya berbalik pergi keluar dari ruangan Sasuke.

Naruto mencoret kata tampan yang dulu pernah dipakainya untuk mendeskrispsikan pria di belakangnya. Bagaimana bisa dia tertarik saat melihat pria itu saat sesi wawancara. Sekarang dia tahu jika seorang Uchiha Sasuke hanya seorang pria berhati besi yang minim ekspresi.

Bagaimana bisa dia menugaskan kebersihan kamar di dua lantai pada satu orang saja? Belum lagi Naruto harus membantu pekerjaan di departemen cuci. Gadis itu sudah bisa membayangkan jika dia akan terus pulang malam setiap harinya. Kenapa nasibku malang sekali, Tuhan? Tanyanya dalam hati.

"Kau baik-baik saja?" Ino bertanya cemas melihat teman barunya itu datang dengan wajah lesu. Ino menyodorkan baki berisi jatah makan siang pada Naruto dan menunggu jawaban darinya dengan tidak sabar. "Kau dipecat?"

Naruto menggelengkan kepala, membuat Ino mendesah lega. "Syukurlah," katanya senang. "Tapi kenapa kau kelihatan tidak bersemangat. Apa terjadi sesuatu?" tanyanya lagi, menyelidik.

Naruto menghela napas panjang, tangannya menyumpit nasi dan memasukkan nasi putih itu ke dalam mulutnya. Gadis itu terus mengunyah pelan, sama sekali tidak bersemangat.

"Hei, jangan membuatku cemas. Katakan apa yang terjadi?" mohon Ino yang mulai kembali cemas.

Naruto meletakkan kembali sumpit di tangannya ke atas mangkuk nasinya. "Aku diberi tanggung jawab untuk membersihkan semua kamar di lantai empat belas dan lima belas. Selain itu aku juga harus membantu di departemen laundry."

"Kau yakin semua pekerjaan itu hanya dibebankan padamu?" Ino meremas tangan Naruto yang berkeringat dingin.

"Ya," jawab Naruto getir dengan mata mulai berkaca-kaca. "Sepertinya dia ingin membunuhku secara perlahan." Tambahnya berlebihan.

Suara Ino terdengar marah. "Aku tidak percaya. Ini benar-benar tidak masuk diakal. Bagaimana bisa kau mengerjakan semuanya seorang diri. Kau bisa pulang hingga larut malam setiap harinya."

"Begitulah," sahut Naruto. Dia menempelkan kepalanya di atas meja, nafsu makannya menguap entah kemana.

"Sudahlah, Naruto. Habiskan makan siangmu, kau perlu banyak energi untuk mengerjakan hukumanmu." Ino terseyum, menyemangati.

Naruto mengangguk pelan, berterima kasih. Setidaknya dia memiliki Ino yang berdiri dipihaknya saat ini.

.

.

.

Naruto menghela napas lelah, tubuhnya terasa remuk. Dia baru selesai mencuci seprai, selimut dan handuk kotor di ruang cuci. Dan dia masih harus menyetrika setumpuk seprai. "Aku bisa mati berdiri," katanya lelah. Gadis itu melirik jam di pergelangan tangannya. Sudah pukul tujuh malam, pantas saja perutnya berbunyi nyaring minta diisi. Naruto mengelus perutnya pelan, bersyukur karena siang tadi Ino memaksanya untuk menghabiskan makan siangnya.

"Kau masih belum menyelesaikan pekerjaanmu?" tanya Sasuke sinis sama sekali tidak bersimpati melihat keadaan Naruto yang sudah sangat kepayahan.

Naruto segera berdiri dan membungkuk kepada Sasuke. Gadis itu mengernyit, merasakan sakit pada punggungnya saat dia menegakkan kembali tubuhnya. "Sedikit lagi pekerjaan saya selesai," lapor Naruto serak.

Sebelah alis Sasuke terangkat saat melihat tumpukan cucian bersih yang masih belum disetrika. "Kau bilang sedikit lagi?" tanyanya sinis. Sasuke menunjuk tumpukan kain itu dengan dagunya, ekspresinya terlihat angkuh. "Pergilah ke kantin dan isi perutmu."

"Saya masih belum lapar," jawab Naruto berbohong. Egonya terlalu tinggi untuk mengakui jika dirinya memang sudah sangat lapar saat ini.

Sasuke mengangkat bahunya acuh, tak peduli.

"Saya pasti menyelesaikan semuanya malam ini," kata Naruto lagi dengan nada tenang dipaksakan. Oh, sekarang tangannya benar-benar gatal ingin memukul wajah angkuh atasannya ini.

"Bagus," sahut Sasuke terdengar mencemooh. "Karena kau tidak boleh pulang sebelum menyelesaikannya." Tambahnya lagi sebelum berbalik pergi meninggalkan Naruto seorang diri.

Naruto menggerutu marah selepas kepergian Sasuke. Gadis itu mengepalkan tangan, menjerit tertahan mencoba untuk menahan amarahnya yang sudah mencapai puncak. Dia sama sekali tidak mengerti untuk apa atasanya itu datang ke ruang cuci. "Dia memang dendam kepadaku," kata Naruto begitu yakin. "Dia pasti sangat dendam karena ucapanku pagi tadi." Katanya lagi dan mulai mengerjakan tugasnya yang terakhir, melupakan jika perutnya terus bernyanyi minta diisi.

.

.

.

Jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam saat ini. Di rumah, Kurama mulai khawatir karena Naruto masih belum pulang dan sama sekali tidak memberinya kabar. Pria itu mengambil telepon genggamnya untuk menghubungi adiknya itu.

Panggilannya diterima setelah dua kali nada dering. "Kau ada dimana?" tanya Kurama khawatir.

"Di hotel," jawab Naruto tidak semangat.

Kurama mengernyit. "Lembur?"

"Begitulah." Naruto kembali menjawab dengan desahan napas lelah. "Ceritanya panjang," keluh Naruto. "Kak, tolong jemput aku pukul sebelas malam nanti. Sepertinya kakiku sudah tidak sanggup untuk berjalan."

Kurama menghela napas panjang. "Baiklah aku akan menjemputmu jam sebelas nanti. Naruto, kau yakin baik-baik saja?" tanyanya lagi. "Kau sudah makan malam?"

"Aku baik-baik saja, Kak. Aku sudah makan," dustanya agar kakaknya itu tidak khawatir. "Jangan khawatir dan ingat jangan lupa untuk menjemputku. Aku akan menunggu di samping pintu restoran hotel."

"Hmmmm," gumam Kurama lalu memutus pembicaraan mereka.

Naruto melepas napas panjang, telepon genggamnya kembali disimpan di saku roknya. Ah, dia harus cepat menyelesaikan pekerjaannya dan pulang ke rumah untuk istirahat.

.

.

.

Naruto mengerang, berdiri dan memijat tengkuknya yang terasa sangat pegal. Bibirnya tersenyum tipis menatap hasil pekerjaannya. "Hah, akhirnya selesai juga." Serunya senang. Gadis itu menggeliat, meringis saat merasakan punggungnya berdenyut sakit.

Gadis itu mematikan lampu ruangan sebelum meninggalkannya. Naruto berjalan pelan, tangannya memukul-mukul pinggangnya yang kembali berdenyut sakit. Gadis itu sudah sangat lelah, matanya mengantuk yang diinginkannya saat ini hanya kasur empuknya untuk berbaring.

Naruto kembali larut dalam lamunannya, dia sama sekali tidak tahu kenapa para seniornya begitu tega meninggalkannya seorang diri. Naruto tidak tahu apa kesalahannya hingga para seniornya itu tidak menyukainya. "Aku bahkan tidak bersikap genit, tapi kenapa mereka tidak menyukaiku." Naruto terus bergumam di ruang loker yang sepi. Dengan cepat dia mengganti pakaian seragamnya dengan pakaian ganti yang sengaja dibawanya dari rumah.

Naruto kembali berjalan dengan menyeret kedua kakinya yang sudah bergetar, kelelahan. Kepalanya menunduk, tenaganya terkuras habis dan emosinya sedang tidak stabil saat ini. Bolehkah dia menangis? Oh, benar-benar perpaduan yang sempurna untuk menutup harinya.

"Kau sudah menyelesaikan pekerjaanmu?"

"Ya ampun," seru Naruto kaget. Dia melangkah mundur, jantungnya berdetak cepat, terkejut karena Sasuke berdiri terlalu dekat dengannya. "Anda mengagetkan saya." Kata Naruto kesal.

Sasuke mendengus kasar. "Kau tidak menjawab pertanyaanku, kau sudah mengerjakan pekerjaanmu? Semua linen itu sudah kau setrika rapi?"

Ingin sekali Naruto memutar kedua bola matanya, namun hal itu ditahannya sekuat tenaga. "Sudah saya selesaikan semuanya," jawab Naruto dengan senyum dipaksakan.

Sasuke bersidekap, tak percaya.

"Saya sungguh sudah mengerjakan semuanya dengan baik," ujar Naruto dengan kedua tangan diangkat ke udara. "Anda tidak percaya?"

Sasuke mengangkat bahu. "Itu sudah jelas."

"Bagaimana bisa Anda tidak mempercayai pegawai Anda sendiri?" tanya Naruto kesal. "Mari, saya akan memperlihatkan hasil kerja saya."

Sasuke tersenyum tipis, mengekori Naruto yang berjalan di depannya dengan gerutuan pelan.

"Lihat!" seru Naruto pada Sasuke. "Sekarang Anda percaya pada saya?" tanya Naruto penuh penekanan.

Sasuke hanya mengangkat bahunya ringan. "Dimana rumahmu?"

Naruto menatapnya tak percaya. Sebenarnya apa yang diinginkan pria di hadapannya ini. "Rumah saya di pinggiran Tokyo."

Sasuke mendengus, matanya berbinar geli. "Pinggiran Tokyo itu sangat luas, Dobe."

Naruto mengumpat di dalam hati. Berani sekali atasannya ini menyebutnya 'Dobe'. "Konoha," jawab Naruto ketus.

"Ayo, aku antar kau pulang." Sasuke menawarkan diri.

Naruto tertawa lepas, "Anda bercanda?"

"Kenapa aku harus bercanda?" Sasuke balik bertanya dengan nada sinis. "Ini sudah larut malam. Sangat berbahaya jika kau pulang sendiri." Ujar Sasuke beralasan.

"Ah, begitu rupanya." Naruto mengangguk paham. "Terima kasih untuk tawaran Anda, tapi saya sudah dijemput."

"Kekasih?" tanya Sasuke dingin.

Naruto mengernyit, kembali bingung dengan perubahan suasana hati Sasuke yang begitu cepat. "Kakak," jawab Naruto. "Kalau begitu saya permisi pulang." Katanya lagi saat Sasuke diam dan hanya menatapnya lurus.

Naruto menegaskan di dalam hati, general manager hotel ini sangat aneh.

.

.

.

TBC

Hai, saya malah publish fic baru. Spesial terima kasih untuk Via yang mengijinkan saya mempublish fic ini. Kita harus sering ngobrol, Via. Siapa tahu saya dapat ilham lagi dari pengalaman pribadimu. Dan maaf, banyak perubahan disana-sini. Tapi asli, saya ngeship kalian loh. Hahaha! #KetawaNista ^-^

Awalnya mau dijadiin oneshot, tapi terlalu cepat alurnya, jadi saya bagi jadi beberapa chapter. Terima kasih juga untuk semua yang sudah bersedia mampir dan membaca. Sampai jumpa di chap selanjutnya!

#WeDoCareAboutSFN