Prologue: Three Children Are Coming

Summary: Crackfic compilations. "Takeshi, kini kamu seorang kakak. Jadilah kakak yang baik, ya!" Memiliki seorang bocah sosiopat dan sepasang nanas kembar sebagai adik memang bisa jadi sensasional kadang-kadang. Go, go, Big Brother Yamamoto!

Disclaimer: Katekyo! Hitman Reborn © Amano Akira. All rights reserved. The author does not make any commercial profit from publishing this story.

Rate: T

Main character(s): Yamamoto Takeshi, Child!Hibari Kyouya, Child!Rokudou Mukuro, Child!Chrome Dokuro

Genre: Family, Parody

Karena saya suka Yamamoto. Dan saya butuh dosis tambahan humor garing, walau sedikit.

Please, enjoy yourself.


Hari ini tidak bisa jadi lebih sempurna lagi.

Yamamoto Takeshi bersiul riang kendati cuaca tengah mendung. Awan-awan bergumpal tebal, dan udara menjadi lembab karena hujan akan datang. Tetapi itu semua tidak berhasil membuat pemuda yang sedang bahagia tersebut menjadi murung.

Timnya baru saja lolos dari perempat final dan akan bertanding lagi minggu depan. Pukulan home run yang ia lakukan berhasil membuat perbedaan besar antara timnya dan tim SMP lawan, sehingga mereka masih dapat terus melanjutkan perjuangan. Besok, besoknya lagi, juga besok besoknya lagi, aku akan terus berlatih!

Tidak akan ada yang bisa menghancurkan suasana riang hatinya hari ini!

Langkah kakinya yang panjang dan cepat membawanya pulang ke rumah. Bahkan rumahnya yang sederhana dan terdiri dari dua setengah lantai dengan lantai dasar sebagai sebuah toko sushi terlihat seperti istana mewah sekarang.

Masih dengan siulan di bibirnya, Takeshi menggeser pintu depan dan masuk.

"Ayah, aku pulang!"

Ayahnya, Yamamoto Tsuyoshi, mendongak dari ikan yang tengah disusunnya rapi sembari melempar senyum menyambut anak sulungnya tersebut. "Yo, Takeshi. Bagaimana pertandingannya tadi?"

"Baik!" ujar Takeshi ceria. "Kami lolos. Harus bertanding lagi minggu depan."

"Kau memang selalu berjuang keras, Takeshi!"

"Ya, begitulah!" Takeshi tertawa lalu meletakkan peralatannya di belakang counter. "Omong-omong, Ayah memasak untuk pesanan siapa? Aku tidak melihat pelanggan di sini."

"Oh, soal itu…" Tsuyoshi meletakkan hiasan terakhir pada hidangannya. Ketika sadar Takeshi masih menanti jawaban, ia pun memberikannya. "Malam ini kita akan ada pesta penyambutan untuk tamu spesial. Siapa tamunya, itu masih berupa kejutan untukmu, Takeshi. Nanti saja."

Takeshi mengerjapkan mata, bingung akan perlakuan berbeda dari ayahnya. "Begitukah? Baiklah. Aku akan naik sebentar untuk bersih-bersih." Tidak biasanya ayahnya mempunyai kejutan untuk ditunjukkan, dan itu saja sudah cukup untuk membuatnya bingung. Tetapi ayahnya tidak menawarkan penjelasan.

"Lakukanlah. Setelah itu, turun lagi—kita akan makan malam."


Kendati terkejut, Takeshi tidak menyingkirkan senyum dari wajahnya.

Di meja makan duduk tiga orang anak yang belum pernah ditemuinya sebelumnya.

Salah satu di antaranya berambut hitam bergelombang yang terlihat seperti mencuat ke mana-mana, dengan burung kenari kecil bertengger di atas kepalanya. Bajunya hanya terdiri dari sehelai kemeja putih lengan panjang yang lusuh dan celana hitam semata kaki. Tampangnya garang, seperti siap menghajarnya kapanpun kalau-kalau ia berbuat salah. Padahal, dilihat dari fisiknya sepertinya bocah tersebut tidak berumur lebih tua dari enam tahun. Tetapi ada sesuatu dari matanya yang membuat Takeshi ingin mengasihaninya.

Kemudian pandangan Takeshi teralihkan pada sepasang anak kembar—Takeshi berasumsi mereka kembar, karena mulai dari bentuk wajah hingga gaya rambut mereka sama seperti kebetulan yang aneh—yang duduk di seberang anak laki-laki bertampang garang tadi. Anak yang laki-laki menyeringai lebar sekali ke arahnya. Umurnya tak terlihat lebih tua dari anak sebelumnya. Rambutnya biru tua, sebagian diikat ke atas dalam bentuk tajam yang tidak wajar. Poninya dibelah tengah, mungkin agar tidak mengganggu mata, tetapi karena itu jugalah Takeshi dapat melihat sepasang mata heterochromatic menatapnya balik. Anak laki-laki tersebut mengenakan kaus putih yang tak kalah lusuh dengan anak sebelumnya, dan celana pendeknya robek di beberapa tempat.

Di sebelah anak laki-laki aneh tersebut, Takeshi melihat anak perempuan yang berusaha keras menyembunyikan dirinya agar tampak tak berarti. Sepertinya kedua anak laki-laki tadi tidak begitu akur, dan anak perempuan ini terjebak di antara mereka seperti isi dari sandwich. Rambutnya lebih keunguan daripada anak berambut biru pertama, dan kendati gaya rambutnya tidak jauh berbeda, anak ini menyapu rambutnya agar sebelah matanya tidak terlihat. Anak perempuan tersebut mengenakan gaun putih selutut yang juga lusuh. Sepasang anak kembar ini tidak mengenakan alas kaki, meskipun anak-bertampang-garang pertama mengenakan sepatu.

Ketiga anak tersebut terlihat dalam kondisi lusuh yang mengundang belas kasihan.

"Oh, Takeshi, kau sudah datang?"

Takeshi memutar tubuh untuk mendapati ayahnya masuk ke dalam ruang makan dengan hidangan yang dipersiapkan tadi. Sekali lagi, Takeshi tidak mampu melakukan apapun selain mengerjapkan mata.

"Ayah, mereka ini… tamu-tamu kita?"

Tsuyoshi meletakkan hidangan tersebut di tengah meja. Kemudian, ia memberi isyarat agar Takeshi duduk juga bersamanya. Maka Takeshi mengambil tempat di samping anak-bertampang-garang dan berusaha membuat dirinya nyaman di rumahnya sendiri.

Tsuyoshi mengambil tempat di tengah si kembar serta anak-bertampang-garang dan anak kandungnya sendiri. Kemudian ia berdeham, bingung mau memulai ceritanya dari mana.

"Jadi, begini, Takeshi…

"Aku baru saja pergi ke pasar tadi pagi untuk membeli beberapa bahan yang kulupakan. Aneh, karena aku biasanya selalu yakin bahwa aku sudah mendaftarnya dalam pesanan dari supplier. Lalu, di tengah perjalanan, aku mendengar suara berisik dari sebuah gedung telantar. Kupikir sedang ada yang bertengkar di sana, jadi aku masuk untuk melerai sebelum keributan mulai tidak terkendali. Ternyata, di sana aku menemukan dua orang anak ini" –Tsuyoshi mengacu kepada anak-laki-laki-berambut-nanas dan anak-bertampang-garang yang kini saling melempar pandangan bermusuhan— "sedang bertengkar karena sesuatu, dan anak yang perempuan bersembunyi di sudut ruangan, ketakutan. Kulerai mereka, dan kusuruh mereka pulang. Tetapi mereka mengejutkanku ketika mereka tidak menjawab. Akhirnya, aku mengetahui bahwa mereka sudah tinggal di rumah kosong telantar tersebut selama berminggu-minggu, dan bahwa mereka tidak punya rumah lagi."

Sekali lagi, Takeshi melirik anak-anak yang berada di sekitar mereka. Mereka terlihat waspada dan—khusus bagi si anak perempuan—terlihat takut kepadanya. Takeshi ragu upaya pendekatan yang akan dilakukannya akan dapat membuat perbedaan. Kemudian tangan besar dan hangat Tsuyoshi mengacak-acak rambutnya tiba-tiba, mengagetkannya.

"A-Ayah!"

Senyuman Tsuyoshi yang menyenangkan terarah kepadanya. "Takeshi, kini kamu seorang kakak. Jadilah kakak yang baik, ya!"

Takeshi tercengang untuk sejenak. Lalu, senyum mengembang.

"Dasar Ayah."


"Jadi, begitulah," kata Takeshi riang sembari menuntun si anak perempuan. Kedua anak laki-laki tadi berjalan mengikuti mereka, namun saling menjaga jarak antara satu sama lain. "Mulai sekarang, kita semua saudara. Kalian bisa memanggilku Takeshi, atau Kakak, atau apapun."

"Tapi Kakak kan ada di sana," ujar si anak perempuan polos sembari menunjuk anak laki-laki yang mirip dengannya di belakang.

"Yah, sekarang kau punya tiga orang kakak." Takeshi berusaha menjelaskan dengan baik. "Kita semua kakakmu. Kalian adik-adikku."

"Bahkan anak seram di ujung sana?"

Takeshi melirik si anak-bertampang-garang dan tertawa. "Bahkan anak seram di ujung sana."

Anak yang berambut hitam itu tidak senang dibilang seram, dan ia menunjukkannya dengan mendengus keras. Anak perempuan yang digenggam tangannya oleh Takeshi mendadak terlihat menciut lagi, kemudian mengeratkan genggamannya.

Mereka pun naik ke lantai dua untuk sampai ke kamar Takeshi. Takeshi melepaskan genggaman si anak perempuan untuk berjalan ke lemari dan mengeluarkan tiga futon cadangan dan menghamparkannya di lantai.

"Karena kalian semua masih anak-anak, mungkin akan lebih nyaman jika kita tidur satu ruangan," jelasnya saat ketiga anak tersebut melemparinya pandangan penuh tanda tanya. "Tapi jika kalian sudah lebih besar, akan kuminta izin Ayah untuk membuka kamar-kamar tamu, lalu kalian akan punya kamar masing-masing."

"Aku tidak mau berada dekat-dekat dengan bocah nanas itu," kata anak berambut hitam dingin. "Kedua-duanya."

Si anak laki-laki berambut biru menyeringai. "Kaupikir aku mau tidur di sampingmu?"

"Well, sekarang kalian harus selalu bersama," kata Takeshi datar. "Karena sekarang kalian semua bersaudara."

Mendapati baik si anak berambut hitam maupun si anak berambut biru tidak terpuaskan oleh jawabannya—dan malah menatapnya dalam keheningan karena shock—Takeshi lagi-lagi tertawa. Mereka anak-anak yang menarik.

"Sebentar, akan kucari pakaian tidur bekasku untuk kalian semua. Maaf, tapi, untuk sementara kalian harus memakai pakaian bekas. Tetapi besok kita semua akan mencari pakaian baru. Kurasa Ayah akan meminjamkan uangnya untuk besok… sebentar. Di mana, ya, pakaian lamaku?"

Takeshi pun berpindah dari satu laci ke laci lainnya, menarik beberapa piyama yang sudah tidak pernah ia pakai lagi sejak masuk SD dan menyerahkannya pada masing-masing anak, lalu melempar pandang meminta maaf kepada si anak perempuan. "Aku tidak punya baju tidur untuk anak perempuan," jelasnya sembari menyerahkan kemeja putih besar. "Tapi kau bisa memakai kemejaku untuk sementara. Mungkin jika kau yang memakainya, kemeja ini akan terlihat sangat besar hingga menyerupai gaun dan kita bisa melipat lengannya. Bagaimana menurutmu?"

"Ku fu fu fu," si anak laki-laki berambut biru tertawa dengan cara yang aneh. "Apa kau berusaha untuk mempermalukan Chrome-ku yang manis dengan pakaian yang kedodoran?"

"Aku tidak berusaha untuk—tunggu," pandangan Takeshi teralihkan. "Namamu Chrome?"

Anak perempuan tersebut mengangguk perlahan, malu-malu sembari mendekap kemeja besarnya. Takeshi memberinya reward karena telah berani menjawab. "Lalu, siapa nama kakakmu?"

"Mukuro," kata Chrome dengan suara yang lirih.

"Tidak ada nama keluarga?"

Chrome menatapnya dengan tatapan aneh. "Kami tidak p-punya. T-tidak ada di antara kami berdua yang pernah punya."

Takeshi mengabaikan rasa pang! yang bergetar memenuhi hatinya untuk bertanya kepada si anak berambut hitam. "Dan kamu?"

Si anak-bertampang-garang menatapnya dengan tatapan menilai, kemudian menjawab dengan ketus. "…Hibari."

"Atau biasa dipanggil, Kyou~" –Mukuro memanjangkan o-nya dengan sikap menyebalkan yang disengaja— "~ya-kuuuuun."

Si anak-bertampang-garang melemparinya tatapan yang terlihat seperti mampu membunuh, tetapi Takeshi menghentikannya.

"Cukup. Sudah malam." Takeshi menatapnya ramah, kendati nada bicaranya terbilang tegas. "Jadi, nama lengkapmu Hibari Kyouya, ya?"

"Aku tidak mau mengubahnya menjadi nama keluargamu bahkan dalam satu juta tahun."

Bocah yang pintar bicara, pikir Takeshi. "Kau tidak harus mengubahnya, kok. Kau bisa tetap menjadi Hibari Kyouya jika kau mau. Tetapi karena kini kita tinggal serumah, maka kita akan harus memanggil satu sama lain dengan akrab, bukan? Di rumah ini, namamu hanya Kyouya. Jadi, kalian bertiga adalah Chrome" –Takeshi menunjuk si anak perempuan— "Mukuro" –jari telunjuknya berpindah kepada si anak laki-laki berambut biru— "dan Kyouya." Jari telunjuknya berakhir ke arah si anak bertampang garang.

Mata ungu Chrome yang hanya sebelah melebar dalam antusiasme yang manis. Mukuro tidak merespon, tetapi seringainya membeku. Dan Kyouya mendengus, melipat tangannya di depan dada tanpa memberi komentar.

"Bagus, kita semua punya kesepakatan." Takeshi tertawa. "Jadi, sekarang, lebih baik kita mulai mengantri untuk mandi, eh? Chrome, sini, akan kutunjukkan kamar mandinya. Kau bisa mandi duluan."

"Eh?" Chrome melirik cemas kakak kandungnya. "Tidak bisakah Mukuro ikut bersamaku?"

Mukuro tertawa lagi dengan caranya yang aneh. "Ku fu fu fu, Chrome-ku yang manis masih belum bisa mandi tanpaku?"

"Hanya seorang mesum yang mau mandi bersama seorang cewek."

"Apa katamu tadi, Kyouya-kun?"

"Stop sampai di situ!" Takeshi melebarkan tangannya di antara Mukuro dan Kyouya yang sudah terlihat seperti akan bertengkar lagi, bertanya-tanya kenapa bisa kata 'mesum' sampai masuk ke dalam kosakata seorang anak berusia enam tahun. Lalu ia mengalihkan pandangannya dari mereka berdua dan menatap Chrome lembut. "Chrome, kau harus mandi sendiri karena, well, kamu perempuan satu-satunya. Dan seorang perempuan harus selalu diutamakan."

Sebelah mata Chrome yang tampak membesar menggemaskan. "Tapi aku belum pernah mandi tanpa Mukuro."

"Lihat, kan? Kepala-Nanas itu memang mesum."

"Ku fu fu fu. Tarik kata-katamu itu, Kyouya."

"Cukup. Cukup, kataku." Takeshi menghela napas. Mukuro dan Kyouya tidak terlihat seperti anak-anak yang punya kesempatan untuk akur. "Chrome, aku mengerti. Mandi sendirian memang sulit, tetapi kau pasti bisa melakukannya. Aku sudah mandi sendirian selama bertahun-tahun, tidak sulit kok. Dan jika kau masih tidak tahu bagaimana caranya, well, kupikir aku bisa mengajarimu."

Pada kata-kata tersebut, mendadak ruangan menjadi sangat hening. Mukuro menatap Takeshi tidak percaya dan kedua mata sewarna besi Kyouya melebar. Tidak ada yang bergerak.

"…ternyata ada yang jauh lebih mesum daripadamu, Kepala-Nanas."

"Aku juga tidak menyangka."

Takeshi menitikkan sebutir keringat, yang kemudian jatuh menuruni pipinya. "Kenapa jadi begitu? Maksudku baik, kok…"

Dan Chrome, yang sudah tampak mengantuk tanpa menyadari bahwa dirinya menjadi inti dalam kekacauan ini, menarik-narik kain celana Takeshi tanpa terhiraukan.


Mengembalikan ujung lengan kemejanya ke posisi semula, Takeshi menghela napas lega. Ia telah selesai menyelesaikan tugas barunya yang agak canggung malam ini, yaitu membantu Chrome mandi (lupakan saja tatapan kedua bocah tadi yang menuduhnya mesum. Takeshi tidak punya niat tersembunyi apapun dalam penawaran bantuannya ini, dan Chrome sendiri tidak terlihat keberatan. Dengan agak bangga, Takeshi menganggap Chrome sudah mulai mau membuka diri kepadanya. Oke, mungkin beberapa tahun kemudian ingatan akan pengalaman ini akan membuat Chrome malu seumur hidup, tetapi toh sekarang ia masih belum mengerti). Takeshi mencoba untuk tidak membayangkan reaksi kedua bocah yang tengah menunggu di luar itu ketika mereka keluar bersama-sama.

Chrome tengah mengeringkan rambutnya dengan handuk lain, dan ketika ia menyadari tatapan Takeshi ia mendongak. "Ada apa, Kak?"

"Tidak, tidak ada apa apa," jawab Takeshi, menggeleng.

Tetapi tatapannya kembali jatuh kepada sebelah lain mata Chrome yang biasa tertutup rambut—atau paling tidak, tempat dulu sebelah lain mata Chrome berada. Ketika poninya tersingkap, Takeshi dapat melihat kelopak atas dan bawah mata kanan Chrome dijahit menyatu, memberikan kesan mengerikan yang membuatnya merinding. Saat ia menanyakan tentang hal itu kepada Chrome (dengan sambil lalu, tentu saja, mengingat tangannya sendiri juga sedang sibuk menggosok punggung sang gadis cilik), Chrome mendadak menjadi tegang dan menolak untuk bercerita lebih jauh, mengatakan bahwa ada sesuatu yang terjadi di masa lalunya dan Mukuro telah melarangnya untuk mengatakan apa-apa tentang itu. Sungguh aneh.

Dan, jujur saja, Takeshi rasa kedua anak yang lain juga punya kisah yang sama anehnya untuk diceritakan. Pertanyaannya adalah, kapan mereka semua akan mulai terbuka kepadanya.


Takeshi keluar dari kamar mandi bersama Kyouya dan Mukuro (yang sulit sekali diajak untuk mandi bersama, tetapi toh akhirnya setuju juga karena Takeshi bilang akan sulit menggosok punggung mereka berdua jika mereka mandi secara terpisah), masing-masing mengalungkan handuk di lehernya. Chrome terduduk di salah satu kursi meja makan dalam kemeja kebesarannya, kepalanya sekali-sekali tertunduk karena mengantuk. Tsuyoshi duduk di depannya, menuang susu segar untuk Chrome.

"Ah, Takeshi, sudah selesai?"

"Ya, Ayah, sekarang kamar mandinya kosong."

Tsuyoshi pun bangkit dan berjalan ke kamar mandi sendirian. Takeshi menguap lalu mengambil tiga gelas dari kabinet dan menuangkan susu segar untuk mereka bertiga. Gelas-gelas tersebut pun diterima oleh Kyouya dan Mukuro. Sepertinya mereka sudah lelah dan tidak berniat bertengkar di malam hari. Takeshi bersyukur karenanya.

"Setelah dihabiskan, letakkan gelasnya di bak cuci piring lalu naiklah untuk tidur. Akan kucuci gelas-gelas itu. Kalian boleh tidur duluan."

Tidak ada yang memprotes. Kyouya, Chrome dan Mukuro naik berurutan ke lantai atas, dan untuk sejenak Takeshi merasa optimis ia dapat mengakurkan ketiga anak tersebut.


Ketika Takeshi masuk ke dalam kamarnya, ia disambut oleh pemandangan yang tidak begitu terduga.

Kyouya sudah tertidur di balik selimutnya, mengambil tempat paling dekat dengan jendela sesuai dengan deklarasinya bahwa ia tidak mau dekat-dekat dengan kedua 'kepala nanas'. Mukuro juga sudah tertidur. Ia terbaring di antara dinding dan Chrome. Tidak ada yang masih terbangun saat Takeshi menyelipkan diri di antara Kyouya dan Chrome.

Menatap langit-langit kamarnya, Takeshi tertawa kecil tanpa suara. Sepertinya hari-harinya sekarang akan jadi jauh lebih menyenangkan.

Dengan itu ia pun menutup matanya dan jatuh tertidur.


A/N

Prologue: Three Children Are Coming, end.

Pertama-tama, terima kasih karena telah membaca!

Oh, lihat, saya bikin crackfic lagi. I totally suck at life.

Omong-omong, jangan hakimi saya. Saya hanya ingin mencoba membuat fanfic slice of life x'D Karena itu, setiap chapter di fanfic ini tidak akan menyatu dengan satu sama lain, kendati berada di satu universe yang sama dengan prolog ini sebagai pengantarnya. Anggap saja fanfic ini semacam kumpulan one-shot yang disatukan jadi ficlet—dibilang to be continued, nggak bisa; dibilang finished juga nggak bisa. Karena itu, saya rasa fanfic ini tidak akan pernah saya ubah statusnya menjadi completed, haha. Tapi, saya yakinkan Anda; akan ada chapter pertama setelah prolog ini.

Comments and constructive criticisms are lovely!