One, two, three ... KONNICHIWA! Watashitoisshoni futatabi au! This is the last chapter of this story. So, may I need a help? Hehe ...

I do like things mystical. Songs that creeps like metal song, I like it. So that's the reason why I like to write horror stories.

Right away, please read the last chapter of this story. Happy reading! Don't forget to review.

Welcome feel the mystical atmosphere! HAHAHA ...!


~Subete Sayoonara~


"Boboiboy!" Sebuah suara di sekitarku. Ada apa? Aku tidak bisa melihat apa-apa! Semua berwarna putih!

Tiba-tiba ada cahaya keluar, aku menutup mataku karena silau. Kulihat, Fang berdiri di depanku sambil tersenyum. Aku berusaha untuk menghampirinya, tetapi tanganku ditahan oleh seseorang, dan aku menoleh ke belakang. Seorang pria bertubuh tinggi, berwajah hampir mirip Akinah. Beliau menggeleng dan memintaku untuk mendengar sebuah suara dari dunia lain.

"Boboiboy! Bangun! Jangan tinggalkan kami semua!" Aku sadar. Pria tersebut memintaku untuk pergi berbalik arah dari Fang. Aku bimbang, sebenarnya aku ingin ikut Fang ... atau kembali berkumpul dengan teman-temanku seperti semula?

"Teman-temanmu lebih membutuhkanmu, Boboiboy," pria tersebut tersenyum. "Dan Akinah juga menunggumu."

Aku akhirnya menurut. Kulangkahkan kakinya selangkah demi selangkah pergi menuju pintu di dunia lain. Sebelumnya, kulambaikan tanganku kepada Fang dan pria tersebut, lalu kutapak kakiku sampai muncul sebuah cahaya putih bersinar. Teman-teman, aku pulang ...


"Hah ... hah ... hah ..." Aku bernafas susah payah, lalu terbangun dari pingsanku. Di depanku, ada Yaya, Ying, Gopal, Akinah, Tok Aba, dan Ochobot. Mereka menatapku dengan wajah ketakutan plus khawatir. Aku bingung, dan Gopal segera memelukku dengan eratnya, air matanya menetes di bajuku. Ochobot pun begitu. Yaya, Ying, dan Akinah hanya dapat bernafas lega. Tok Aba tersenyum melihat tingkah Gopal dan Ochobot.

"Huhuhu ... Kukira kamu akan mati, Boboiboy!" seru Gopal sambil tetap menangis.

"Ehm ... sebenarnya apa yang terjadi? Kenapa aku ada di rumah sakit?" tanyaku bingung.

Gopal melepaskan pelukannya, "Kau koma selama dua minggu. Untung masih hidup." Aku hanya cemberut mendengar ucapan Gopal. Aku memang masih hidup, jadi jangan dibahas lagi.

"Bo, Boboiboy ...," mendengar suara Akinah yang terdengar lesu, aku menatap padanya. Dia menunduk dengan menyesal. "Maafkan aku kalau aku harus menceritakan hal itu padamu hingga kau pingsan. A, aku minta maaf!" Akinah membungkukkan setengah badan, layaknya orang Jepang yang meminta maaf.

Aku tersenyum tipis. "Sudahlah, tidak perlu disesali. Di dunia lain, aku bertemu dengan Ayahmu. Beliau bilang kalian semua lebih membutuhkanku. Maka aku kembali pada kalian dan tidak akan pergi menyusul Fang, meskipun Fang sangat menginginkannya." Air mataku mengalir dari pelupuk mataku. "Padahal aku hanya ingin bertemu Fang untuk sementara. Tapi kalian lebih berharga dan lebih kusayangi. Aku tidak ingin terjadi sesuatu pada kalian semua! Aku, aku sayang kalian semua!"

Suasana kembali hening. Terdengar suara isakanku yang semakin keras seiring dengan rasa sedihku karena kebimbangan dengan dua pilihan, menyusul Fang atau membiarkan jiwaku tetap hidup. Tapi demi teman-temanku, aku harus bisa bertahan di dunia.

Ying mengusap punggungku dan berusaha menghiburku. Dia bilang, kalau mereka semua ingin membalas jasaku yang selama ini selalu melindungi mereka. Mereka berterima kasih padaku dan memintaku untuk tetap semangat dan pantang menyerah. Ying, terima kasih sudah menghiburku. Kalau saja hal itu benar ...


Siang hari di Pulau Rintis, sinar matahari begitu terik mengarah ke bumi dan hampir menyebabkan Global Warming. Seluruh penduduk Pulau Rintis melakukan kegiatan yang sama seperti biasanya. Hari-hari aku lalui dengan baik dan tidak ada masalah apapun. Selama aku masih di rumah sakit (karena aku masih dalam keadaan lemah), Tok Aba dan Ochobot menemaniku secara bergiliran. Pada awalnya, aku takut kalau merepotkan mereka berdua, apalagi kedai Tok Aba harus ditutup untuk sementara waktu. Tapi Tok Aba bilang, aku tidak perlu khawatir. Atok tidak akan kerepotan kalau menjagaku. Aku hanya bisa menghela nafas lega.

Tururu ... Tururu ...

"Boboiboy! Angkat telepon tu!" teriak Tok Aba dari dalam kamar mandi.

"Iya, Tok!" aku segera mengangkat telepon, yang ternyata dari Yaya. "Halo?"

"Assalamu'alaikum, Boboiboy!" seru Yaya di dalam telepon.

"Wa'alaikumusallam. Ada apa, Yaya? Tumben telepon aku."

"Bukannya kita selalu menelepon? Masa' kamu lupa?"

"Oh, iya ke? Sori, aku lupa."

"Ish, kau ni! Aku mau kasih tahu sesuatu. Nanti aku, Ying, Gopal, dan Akinah akan menjemputmu. Kamu masih ingat, kata dokter hari ini hari terakhir kamu berada di rumah sakit. Ku harap kamu dalam keadaan sehat, ya?"

"Hmm, terima kasih, Yaya. Maaf, kalau merepotkan kalian semua."

"Ah! Tidak apa-apa, kok! Justru kami yang berterima kasih padamu, sudah mau membuat Akinah berkumpul lagi dengan kita sebagai pengganti posisi Fang, meskipun tanpa kekuatan apapun."

"Hehe ... Sama-sama, Yaya. Memang, Akinah menggantikan posisi Fang saat ini, tapi pasti Fang akan mengamuk di alam sana. Membayangkan saja sudah membuatku hampir tertawa, dan semakin kangen sama Fang."

"Aku juga kangen dengannya. Eh! Boboiboy, kamu masih menyimpan jam tangan Fang?"

"Masih. Kenapa?"

"Tidak, hanya ingin tahu saja. Kau simpan di mana?"

"Di rumah. Sekarang Ochobot yang jaga rumah, jadi aman."

"Oh ... Baiklah. Aku berangkat dulu, ya. Assalamu'alaikum!"

"Wa'alaikumusallam."

Tuuut ... Tuuut ...

Yaya ... Yaya, kenapa aku sampai merepotkanmu dan teman-teman yang lain? Maaf, hanya itu yang bisa kukatakan padamu. Seandainya aku tidak nekad meminta jawaban Akinah dari pertanyaanku itu, pasti tidak akan merepotkan mereka.

Akinah ... indigo ... Ah! Aku harus menelepon Yaya untuk berbicara dengan Akinah sekarang juga.

"Halo?"

"Assalamu'alaikum, Yaya!"

"Wa'alaikumusallam. Ada apa, Boboiboy?"

"Boleh aku berbicara dengan Akinah sebentar? Ada yang ingin aku bicarakan dengannya."


"Boboiboy!" Pintu kamar inapku didobrak oleh Akinah. Aku yang sedang asyik membaca majalah terkejut. Akinah menghampiriku dan memelukku. "Maaf kalau Ayahku harus bilang begitu di dalam mimpimu itu. Kau pasti mengalami shock berat, ya, kan?"

Akinah, pertanyaanmu itu membuatku bingung setengah mati, lho! Aku menggeleng dengan cepat, dan Akinah menghela nafas lega. Kudongak kepalaku ke arah pintu kamar inap. Yaya, Ying, dan Gopal masuk dengan wajah ceria.

"Selamat siang, Boboiboy!" teriak mereka bertiga.

"Siang juga," balasku.

Seruan ketiga temanku membuat Tok Aba yang berada di kasur sebelah terbangun dari tidurnya, kemudian terjatuh dari tempat tidur. Gopal yag melihat kejadian tersebut tertawa terbahak-bahak, aku, Yaya, Ying, dan Akinah menatap tajam ke arahnya.

"Haiya! Kalau ada orang jatuh, jangan ditertawakan, wo! Nanti kau sendiri yang dosa!" tegur Ying, membuat Gopal behenti tertawa dan membantu Tok Aba berdiri.

"Aduh ... Sakit pinggang Atok, ni!" keluh Tok Aba setelah berdiri. Beliau menatap ke arah Yaya, Ying, Gopal, dan Akinah sambil tersenyum. "Ha! Sudah sampai. Kalian bantu bereskan barang-barang ni, Atok mau tanya ke dokter dulu soal kepulangan Boboiboy." Tok Aba segera keluar dari kamar. Lampu kamar yang semula menyala terang menjadi sedikit redup, cat tembok berwarna putih di kamar ini semakin menyeramkan. Aku melihat Akinah yang panik sambil duduk di kursi sebelah tempat tidurku.

"Akinah, ada apa?" tanyaku pada Akinah.

"Ayahku mulai memperingati kita, karena hari ini pun juga termasuk hari terakhir beliau akan mengawasi kalian. Tapi beliau tidak segan-segannya akan membunuh kalian jika berani masuk ke rumah itu lagi."

Aku dan Akinah berbincang-bincang, lalu tanpa sengaja aku mendengar ucapan Gopal, "Bagaimana kalau kita masuk lagi ke rumah itu? Aku jadi penasaran, nih!"

"Ya, lo! Barangkali saja ada yang ketinggalan di sana!" lanjut Ying.

"Baiklah, nanti kita pergi ke rumah kosong itu, lalu kita periksa apa saja yang ketinggalan di sana!" usul Yaya.

Pergi ke rumah itu? Ja, jangan! Aku tidak ingin kehilangan kalian! Kumohon, jangan ke sana!

"Yaya, Ying, Gopal," ketiga temanku menoleh ke Akinah. "Sebaiknya jangan. Ini peringatan. Jika kalian seperti itu malapetaka akan berlanjut dan akan mengambil jiwa kalian."

"Apa maksudmu?" tanya Yaya.

"Aku tidak ingin kalian mati karena malapetaka dari rumah tersebut. Tolong, jangan pergi ke sana!"

"Tapi kami harus pergi ke sana, Akinah. Kami harus memeriksa beberapa barang kami yang tertinggal di sana."

"Tidak! Kalian tidak boleh pergi ke rumah itu! Aku tidak ingin kehilangan kalian!"

Suasana menjadi hening, tanpa suara ... sepi seperti pada awal kami bersama. Yaya masih marah dengan Akinah, gadis berkerudung tersebut ingin sekali masuk ke rumah itu. Akinah menatap Yaya dengan air mata mengalir di matanya perlahan. Takut dan tidak ingin sahabat-sahabatnya meninggal, begitulah prinsip salah satu sahabat yang sangat menyayangi sahabatnya yang lain. Sama halnya dengan Akinah. Meskipun dia selalu bertengkar dengan Gopal dan Yaya, tetapi dia menyayangi mereka semua.

Akinah, aku tahu apa isi hatimu kini. Kau tidak ingin kehilangan mereka, kan?


Sepulang dari rumah sakit, aku dan Akinah mencari-cari Yaya, Ying, dan Gopal yang pergi entah ke mana. Mereka bilang mau membelikan kami es krim karena cuaca hari ini sangat panas, tapi sudah 30 menit mereka tidak datang, aku menjadi khawatir.

15 menit kemudian, kami melihat ruamh kosong di tengah hutan. Itu, itu rumah yang pernah kami kunjungi. Tanpa sengaja, aku menyadari ada pin bergambar dinosaurus milik Ying. Apa mereka masuk ke rumah kosong itu? Padahal aku dan Akinah sudah berusaha memperingati mereka.

"Ini pin milik Ying. Mereka pasti masuk ke sini," ujarku, membuka pintu yang sudah tak mengeluarkan suara berdecit.

Kami berdua masuk ke dalam rumah kosong tersebut, dan melihat ada bercak-bercak darah di lantai dan bekas kain berwarna merah muda. Yaya ...

"Yaya! Ying! Gopal! Kalian di mana?!" teriak Akinah.

"Boboiboy! Akinah!" Ying berlari menuju aku dan Akinah. "Yaya ... dia ada di atas! Cepat!" Kami mengikuti Ying ke lantai atas, menemukan Yaya yang berteriak ketakutan. Pakaiannya robek-robek, jam tangannya terlempar entah ke mana, dan wajahnya terlihat ketakutan. Di depan Yaya, ada seorang pria dengan darah di wajah dan tangannya serta perutnya dan dada sebelah kirinya. Akinah sangat panik dan terjatuh.

"AYAH! APA YANG KAU LAKUKAN?! JANGAN BUNUH DIA ...!" teriak Akinah.

Sosok pria tersebut menoleh ke arah Akinah. Senyum di wajahnya membuatku merinding setengah mati. Seluruh anggota tubuhku menjadi kaku.

"Maafkan Ayah, Kin. Tapi sesuai janji Ayah, Ayah harus membunuh orang yang sengaja datang ke sini. Ayah tidak ingin mengingkari janji Ayah." Pisau yang dibawa pria tersebut yang ternyata ayah Akinah menancap di dada kiri Yaya. Spontan, aku berlari menuju Yaya dan memeluknya. Ayah Akinah pun menghilang.

Mata indah Yaya setengah tertutup oleh kelopak matanya. Aku menatapnya lemas, dan dia tersenyum, "Boboiboy, jika aku pergi, apakah kau akan tetap mengingatku? Apakah kau akan tetap menyayangiku?"

Air mataku mengalir. "Tentu aku akan mengingatmu dan menyayangi, layaknya adik sendiri. Tapi ... Yaya, jangan pergi. Aku tidak ingin kehilangan kau seperti aku kehilangan Fang."

"Aku sudah tidak kuat lagi, Boboiboy. Sepertinya aku harus pergi. Maafkan aku yang tidak bisa bersamamu selamanya," mata Yaya perlahan menutup. "I'm sorry, Boboiboy. Aku sayang kamu."

Yaya sudah pergi. Aku menangis sambil tetap memeluknya, berharap dia bangun. Tetapi harapan ini telah hancur, Yaya benar-benar pergi meninggalkanku. Kenapa Yaya harus mati? Padahal dia seperti saudara bagiku. Alangkah baiknya jika aku harus mengikhlaskannya pergi. Jam tangan Yaya aku bawa untuk disimpan oleh Ochobot.

Akinah menepuk pundakku. "Sudahlah, ikhlaskan saja dia untuk pergi selamanya. Sekarang kita harus mencari Gopal. Dan dia sepertinya ada di ..."

"AAAAA ...!"

Suara Gopal berteriak di lantai bawah. Aku dan Akinah berpandangan, kemudian berlari menuju lantai bawah dengan perasaan yang gundah. Bercak-bercak darah kembali terlihat, jam tangan milik Gopal terjatuh tepat di bawahku. Aku panik, dan segera berlari meninggalkan Akinah.

Saat berada di bawah, aku dan Akinah berpencar. Aku mencari di dapur, kamar tidur, dan kamar mandi. Tiba-tiba Akinah berteriak keras di ruang tamu.

"Boboiboy!"

Aku berlari ke ruang tamu, mendapati Akinah terjatuh di lantai sambil menatap kosong ke arah Gopal yang mati dengan kapak di kepalanya. Darah mengalir deras membasahi jaket yang dipakainya, tangannya seperti memegang sebuah kertas yang penuh dengan darah. Akinah mengambil kertas tersebut dan memberikannya padaku, kertas itu berisi :

TARGET SELANJUTNYA DI TAMAN BELAKANG ~

-LEON-

"Ayah ...," gumam Akinah. Dia buru-buru pergi ke taman belakang meninggalkanku.

Karena penasaran, aku mengikuti Akinah ke taman belakang. Kupercepat lariku menuju taman belakang, dan berhenti di sana tepat ketika Akinah menghampiri sebuah pohon besar. Di pohon tersebut, ada sesuatu melayang, berwarna putih seperti kain, dan basah. Ada sepasang kaki bersepatu sneakers biru kuning.

Itu Ying. Dia dibunuh dengan cara digantung seperti Teru Teru Bozu dari Jepang. Kepalanya dipenuhi oleh air sehingga merambat ke kakinya, dan kulitnya berubah menjadi warna putih pucat. Mayatnya ditutupi oleh kain besar dan digantung di atas pohon. Menyeramkan!

Akinah menangis tersedu-sedu, lalu berbicara pada ayahnya.

"Ayah ..."

"Kin-chan, Ayah harus segera menyelesaikan ini."

"Tapi jangan bunuh Boboiboy, Ayah. Bunuh aku sebagai gantinya. Aku ingin dia tetap hidup, dan ingin bersama dengan Ayah dan Ibu di sana. Kumohon, Yah! Dia sahabatku ..."

"Tapi, Kin-chan ..."

"Ayah harus berjanji tidak akan membunuh Boboiboy! Dia lebih dibutuhkan di dunia ini, berbeda denganku yang seorang pengecut. Hanya bisa diam dan menangis!"

"Kau salah." Akinah menoleh ke arahku. Aku mendekatinya. "Kau juga berguna bagiku. Kau membantuku menyelesaikan masalah ini, meskipun tanpa teman-temanku. Aku berterima kasih padamu, dan pada kemampuan indigomu."

Akinah menangis terharu mendengar perkataanku. "Terima kasih juga, Boboiboy. Kau telah meyakinkanku untuk tetap optimis. Selama ini aku selalu pesimis menghadapi berbagai masalah."

Aku dan Akinah berpelukan. Kami saling meyakinkan satu sama lain, sehingga terjalin sebuah persahabatan. Ayah Akinah yang melihat kejadian ini pun langsung mengambil kekuatan indigo Akinah, dan gadis berkucir dua itu pun terjatuh, hendak mengembuskan nafas terakhirnya. Aku menatapnya dengan perasaan sedih.

"Terima kasih Boboiboy. Terima kasih atas semuanya," kata Akinah dengan suara parau. "Aku sudah menyelamatkanmu, Boboiboy. Maaf kalau aku tidak bisa berlama-lama di sini. Kau ... selamat ... akhirnya ..." Kedua mata Akinah tertutup, dan nafas Akhinah terhenti.

Langit berubah menjadi gelap. Aku tersenyum, bahagia. Namun di dalam hatiku, aku menangis mengingat perjuangan kami mencari kebenaran dari rumah ini, dan Akinah yang telah menghentikan ayahnya serta mengorbankan nyawanya demi aku. Aku menangis sejadi-jadinya. Teman-temanku ... semuanya ... pergi.

"Maaf ... Maaf ... Maafkan aku, Akinah!" Aku memeluknya sambil menangis. Sedih rasanya aku harus kehilangan dia. "Aku memang pengecut, tak dapat melakukan apa-apa, sementara teman-temanku pergi. Maafkan aku!"

Akinah, dirimu akan selalu kukenang, bersama teman-temanku yang lain. Terima kasih, semuanya.


-The End-


Phew! FINISHED!

Finally, this story is finished at last. I guess I should say, if I'm not entirely now crying. But, it's true I cried.

I made this story while listening song, Romeo and Cinderella, Senbonzakura, Aitai, Synchronicity, Regret of Message, and much more.

Thank you for reading! Don't forget to review this story! Arigatoo gozaimasu! Sayoonara!