"Kamsahamnida, Songsaengnim (Terima kasih, Dokter)."
Gadis berkerudung biru muda itu tersenyum sopan pada sang dokter. Dia tetap menunduk 45 derajat sampai akhirnya dokter yang sudah memasuki usia setengah abad itu menghilang dari pandangannya. Gadis itu, Yaya, menghapus senyum di wajahnya. Dia kembali menegakkan tubuhnya dan melirik tajam pada seseorang di kamar rawat nomor 107 itu dari kaca di pintu.
"Neo mwohaneun geoya?! (Apa yang kau lakukan?!)" serunya tak sabar. Dia menghentakkan kakinya kesal dan berjalan menuju pemuda yang kini meringis perih di atas ranjang rumah sakit. Melihat wajah menyebalkan itu, ingin sekali dia menamparnya kali ini. Pemuda itu sudah tidak bisa ditolerisasi lagi.
"Mwoya? (Apa?) Aku baru saja diobati, kau sudah membentakku seperti ini—aww!" Sang pemuda mengelus pangkal lengannya pelan. Ugh, rasanya ngilu sekali; wajar karena sendi bahunya bergeser, untung tidak terlalu parah.
"Tak bisakah kau tidak membuatku khawatir? Tidak membuatku kesal? Ini sudah ketiga kalinya dalam seminggu kau masuk rumah sakit, Boboiboy!" Napas sang gadis memburu. Dia selalu berpikir dosa apa yang telah dia perbuat sampai akhirnya dia bertemu dengan pemuda seperti ini di dalam hidupnya.
Pemuda yang dipanggil Boboiboy itu mengernyit tak suka. Dia mengubah posisinya yang awalnya berbaring menjadi duduk. Dia menatap gadis yang berdiri di samping ranjangnya tajam. "Kalau kau tak suka, tinggalkan saja aku dari dulu. Aku tak memintamu untuk mengurusku, Yaya," ujarnya sengit.
Gadis yang kini sedang berkacak pinggang itu mendengus geli. "Heol, daebak (Hebatnya). Aku heran kenapa aku harus dipertemukan denganmu. Kenapa orang tua kita harus saling mengenal dan menitipkanmu padaku—aku benar-benar tidak mengerti," sindirnya.
"Bukankah kau awalnya juga menolak mengurusku? Kenapa sekarang kau malah sibuk mengurusku hm?"
"Bisa apa aku di hadapan ibumu? Lagipula, sikapmu ini sudah keterlaluan! Kau dikirim ke Seoul untuk belajar, bukan untuk membuat masalah! Bolos kuliah, pacaran terus, meninju senior ... heol (huh). Kau harus dibenahi, Tuan."
"Setidaknya aku tidak merokok, minum-minum, clubbing, dan terlibat prostitusi."
"Aku yakin, jika aku tidak ada di sini, empat hal yang kau sebutkan tadi akan kau lakukan, cepat atau lambat."
"Ya! (Hei!) Neo jinjja (Kau benar-benar ...) ...," Boboiboy menatap geram gadis tersebut. Sejurus kemudian dia membuang muka. "Ka (Pergilah)."
"Geurae (Baiklah). Kau berhutang biaya administrasi rumah sakit untuk ke lima puluh kalinya. Kau memotong uang mingguanku lagi. Segera bayar setelah kau mendapat uang—ganti dengan uang halal," setelah mengucapkan itu, Yaya pun segera pergi dari kamar rawat tersebut. Bahkan pintu besi tersebut dia banting dengan saking kesalnya.
Gadis berumur dua puluh tahun itu mengoceh tak jelas sepanjang perjalanan. Dia masih heran, sampai sekarang—dari dua tahun yang lalu, kenapa dia harus dipertemukan dengan orang yang bahkan tidak bisa menjaga dirinya sendiri? Dia, yang awalnya gadis baik-baik, kalem, bisa menjaga perkataan, menjadi berubah 180 derajat hanya karena bertemu pemuda bernama Boboiboy yang ternyata satu domisili dengannya. Satu domisili baik di Malaysia maupun di Korea Selatan.
"Ya Allah, kapan dia sadar? Aku sudah capek melihat tingkahnya ...," keluhnya sedih.
Sebenarnya, di balik rasa kesalnya itu, dia sedih dan khawatir melihat sang pemuda. Hari ini Boboiboy masuk rumah sakit karena terluka akibat terlibat dengan senior—lagi. Dua hari yang lalu dia dihajar oleh pacar dari perempuan yang dia goda, belum lagi tingkahnya yang lain.
"Apa dia tidak mengerti kalau aku ini kasihan? Bagaimana dia bisa menghancurkan tubuhnya sendiri seperti itu? Ya Allah ..."
Yaya berhenti melangkah. Dia menghela napas panjang. Gadis itu mengusap mukanya—kentara sekali kalau dirinya benar-benar lelah.
Tiba-tiba saja arlojinya berbunyi.
"Sudah waktunya salat Dzuhur."
Dia pun memutuskan untuk pergi ke mushola terdekat—sebelum akhirnya kembali menemani pemuda di kamar rawat 107 itu.
X.x.X
Ice Cream with Fire Topping
Disclaimer: Boboiboy adalah hasil karya Animonsta Studio. Tidak ada keuntungan materi yang saya terima. Fanfic ini hanya untuk kesenangan semata
Warning: AU, OOC, typo(s)
Summary: AU/Dua Warga Negara Malaysia yang tak sengaja bertemu karena apartemen mereka ternyata satu lantai. Sama-sama kuliah di Seoul University, sama-sama kuliah jurusan Manajemen Bisnis./"Tak bisakah kau tidak membuatku khawatir? Tidak membuatku kesal? Ini sudah ketiga kalinya dalam seminggu kau masuk rumah sakit, Boboiboy!"/BBBYaya
A/N: mengandung unsur Islami dan ada kosa kata Korea, mohon maaf jika terasa aneh dan ada kata yang salah penggunaannya. Saya sendiri tidak begitu mendalami Bahasa Korea
X.x.X
Kriet.
Yaya menjulurkan kepalanya, mengintip apa yang ada di balik pintu.
"Masuklah. Suapi aku."
"Kau ini—ya Tuhan ..." Untuk kesekian kalinya dalam kurun waktu lima jam, gadis itu mengurut dadanya lelah. Dengan langkah gontai, dia pun menghampiri ranjang yang berisi satu orang pemuda yang sedang sibuk memainkan ponselnya.
Sebuah kursi ditarik mendekat dan gadis itu duduk di atasnya. "Kau menyuruhku menyuapimu makan sedangkan tanganmu sendiri masih bisa memainkan ponsel."
Boboiboy memutar bola matanya bosan. Malas mendengar ocehan Yaya, dia menaruh ponselnya di nakas dan duduk bersandar. Dengan isyarat, dia menunjuk mangkuk bubur yang belum tersentuh sedikit pun olehnya.
"Aku bolos kuliah hari ini tahu," gadis itu membuka percakapan sembari mengambil mangkuk yang dimaksud. Dia mengaduknya sebentar sebelum akhirnya menyuapi pemuda di hadapannya.
"Materi apa?" balas sang pemuda sembari melumat bubur di mulutnya.
"Sistem Informasi Manajemen*," jawab Yaya malas.
Pemuda itu mengangguk. Dia mengambil suapan keduanya. "Aku bisa mengajarimu."
"Baguslah. Setidaknya kau ini ada gunanya."
"Ya! (Hei!) Meskipun aku kadang-kadang—aku tidak sering bolos, ya—bolos kuliah, aku masih bisa mengikuti pelajaran tahu. Aku masih suka bertanya pada temanku yang lain atau mencari sumber pembelajaran sendiri. Kau saja yang tidak tahu," cibirnya kesal—suapan ketiga sukses masuk ke mulutnya.
"Mianhae (maaf)," balas gadis itu tanpa ada rasa bersalah sedikit pun, "biaya administrasi hari ini diganti dengan mengajari materi yang tidak kumengerti. Call?"
"Call."
X.x.X
Nama gadis itu Yaya Yah. Berusia dua puluh tahun. Cantik, manis, kepribadiannya yang baik mudah membuatnya diterima di lingkungan di mana pun dia berada.
Dia beragama Islam, muslimah yang memakai kerudung sejak SD. Berambisi menjadi wanita karier untuk meneruskan bisnis properti keluarganya, maka dari itu dia mengejar beasiswa untuk kuliah di negara yang banyak melahirkan boygroup dan girlgroup di Asia Timur sana—selain itu, dia mengidolakan salah satu grup yang berasal dari negara itu. Lumayan, dia bisa tinggal di negara sang idola tinggal.
Orang tuanya, keluarganya, adalah orang terpandang di tempat tinggal sana—di Malaysia. Keluarganya terkenal baik dan disegani para penduduk. Dia memang tidak berasal dari kota besar, dia dan keluarganya hanya tinggal di pinggiran Kuala Lumpur. Meskipun bukan berasal dari sekolah yang bagus seperti di tengah kota, kecerdasan dan kepandaiannya tak perlu diragukan lagi. Gadis alim itu berhasil juara umum satu angkatan selama tiga tahun berturut-turut.
Dia memulai kehidupannya dengan damai, aman, dan tenteram, sebelum seorang pemuda gila pindah ke apartemen di depannya.
Semua sikap dan sifat baiknya hilang begitu saja. Terlebih lagi ketika orang tua dari pemuda itu ternyata saling kenal dengan keluarganya.
"Nak Yaya, tolong jaga Boboiboy, ya. Tante takut dia kenapa-kenapa atau melakukan hal yang tidak-tidak. Tolong awasi dia, Nak Yaya. Tante akan mengirimkan biaya tambahan khusus jika diperlukan."
Saat itu Yaya hanya bisa tersenyum kikuk. Kepulangannya ke Malaysia waktu itu adalah untuk mengisi liburan musim dinginnya, bukan untuk dititipi bocah yang belum dewasa. Belum lagi dia tidak terlalu mengenal Boboiboy. Mereka memang pernah sekelas, tapi itu hanya sekali—walau kenyataannya mereka satu SMA selama tiga tahun.
"Tapi, Tante saya takut tidak bisa mengurusnya dengan baik. Lagipula, saya tidak yakin bisa menjalankan amanah Tante. Saya takut sibuk dengan diri saya sendiri."
"Bisa kok. Yaya, kan pintar mengatur waktu, jadi Tante percaya sama Yaya."
Untung saat Yaya menolak uang tambahan itu, Ibu Boboiboy tetap memaksanya. Kalau tidak, bisa habis uangnya dipakai untuk bolak-balik ke rumah sakit mengurusi pemuda yang bahkan tak bisa mengurus dirinya sendiri.
Awal sang pemuda pindah ke apartemen itu, hidupnya masih tenang sampai dua bulan kemudian.
Sebuah musik beraroma dubstep dinyalakan keras di sebuah malam minggu di tengah bulan Mei mulai dari jam delapan malam sampai menjelang dini hari.
Saat itu juga dia tahu, kalau hidupnya mungkin tak lagi sama.
Ah, satu cerita yang tertinggal.
Karena keluarga Boboiboy sendiri adalah keluarga baik-baik—hampir sama dengan keluarga Yaya, selepas kuliah, sekitar satu tahun lagi, sebuah acara lamaran akan diadakan.
Satu fakta mengerikan bagi gadis bernama Yaya Yah itu.
X.x.X
"Makananmu sudah habis. Salat Dzuhur sana, aku sudah tadi," suruhnya dengan nada datar. Dia menaruh mangkuk kotor itu ke nampan sebelum akhirnya kembali menatap sang pemuda yang terlihat ogah-ogahan. Gadis itu melipat tangannya.
"Salat kubilang."
"Yaya, tanganku masih sakit jika digerakkan. Kakiku juga masih agak linu."
"Salat atau kusalatkan. Pilih yang mana."
"Geurae! (Baiklah!)"
Boboiboy menyerah. Dia memang tak bisa melawan perkataan gadis itu dari dulu. Jadi, mau tak mau kini dia dengan hati-hati melangkah menuju toilet dan berusaha mengambil air wudu.
Yaya sendiri tak berniat membantunya. Dia hanya duduk dan memandang pemuda itu dari kejauhan—mengawasi. Untuk sejenak, alisnya mengernyit heran. "Ada darah di bajumu."
Pemuda itu tentu saja tak menjawab perkataan sang gadis.
Nona Yah berdiri dari kursinya dan mengambil sebuah jaket lusuh yang tersampir di kursi yang satunya. Dia mengecek keadaan jaket itu sebelum akhirnya tersenyum samar. "Jaketmu hanya kotor—setidaknya suci untuk digunakan salat. Buka bajumu sendiri dan pakai jaket ini."
"Neo michyeosseo?! (Kau gila?!) Oke, kalau soal jaket yang dipakai salat aku mengerti. Bagaimana caranya aku ganti baju? Percayalah, bahuku benar-benar sakit, Yaya," pemuda itu merajuk. Tapi dia tidak bohong soal bahunya yang sakit. Masalahnya dia memakai kaus, bukan kemeja yang tinggal buka kancing.
Yaya sendiri tak menjawab rajukan itu dan fokus pada tasnya. Dia merogoh tas selempangnya dan mengeluarkan kotak pensilnya yang terlihat penuh.
Sebuah gunting dikeluarkan dari sana.
"Arraseo, arraseo (Aku mengerti, aku mengerti)." Boboiboy menghela napas pasrah. Dia hanya bisa mengucapkan selamat tinggal pada kaus yang baru dibelinya bulan lalu itu.
X.x.X
Setelah sehari dirawat di rumah sakit, esoknya Boboiboy pun diperbolehkan pulang. Tentu saja dia tidak pulang sendiri, ada Yaya yang setia berada di sampingnya—walau sebenarnya frasa yang tepat adalah mau tidak mau berada di sampingnya. Biaya administrasi itu sudah lunas digantikan oleh materi yang diajarkan pemuda itu pada sang gadis kemarin.
"Aku akan mengantarmu sampai apartemen, mengerti?" ujar Yaya tajam.
"Iya, iya." Boboiboy membalas cuek. Dia dan gadis itu kini sedang berdiri di pinggir jalan guna mencari taksi kosong yang bisa membawa mereka berdua pulang.
Gadis manis itu menoleh ke kanan dan ke kiri, berharap menemukan kendaraan yang bisa mengantar dirinya dan pemuda yang berdiri di sampingnya itu. Namun setelah lima menit menunggu, hasilnya nihil; tak ada satu pun taksi kosong yang lewat di sana.
"Sudahlah, Yaya. Kita naik bus saja. Mau menunggu sampai kapan? Aku sudah ingin cepat-cepat pulang," kata Boboiboy malas. Tubuhnya masih pegal dan linu di sana-sini. Keinginannya sederhana, hanya ingin tidur di kasurnya yang empuk dan beristirahat penuh.
Yaya mendesah pasrah. Dia memalingkan wajahnya. "Nanti kalau kau tidak dapat tempat duduk dan berdesak-desakan dengan orang di bus bagaimana? Aku tidak mau bahumu bermasalah lagi," tolak sang gadis.
"Habis mau bagaimana lagi? Tapi sekarang, kan masih jam sebelas. Bukan jam anak sekolahan pulang atau pegawai pulang kantor," timpalnya.
"Iya, tapi sekarang jam pulangnya anak kuliah tahu."
"Oh, iya ya."
"Aku sudah bolos dua pelajaran dari kemarin. Tiga jam lagi aku ada kelas dan aku tidak akan bisa tidak memikirkanmu kalau aku belum mengantarmu pulang. Jadi menurutlah padaku—taksi!" Boboiboy boleh merasa lega kali ini. Dia tidak akan mendengarkan ceramah panjang lebar dari mulut mungil sang gadis yang tidak akan berhenti sebelum gadis itu puas.
"Masuk!"
"Iya, iya. Tidak usah berteriak. Aku juga dengar."
Boboiboy duduk di jok belakang bersama Yaya. Dia melirik gadis yang sedang sibuk mengutak-atik ponselnya. Menatap wajah gadis itu lama-lama membuatnya merasa bersalah.
"Aku yang bayar taksinya."
Gadis itu, masih dengan netra yang terpaku pada layar ponsel pintarnya, menjawab, "Baguslah."
"Gadis ini ..." Pemuda itu berdecak kesal.
X.x.X
Dua puluh menit kemudian, taksi tersebut berhenti di sebuah gedung apartemen megah berlantai dua puluh. Yaya sedang bersiap turun sementara pemuda di sampingnya sibuk merogoh saku belakangnya. Gadis itu terdiam sejenak—berpikir, sebelum akhirnya tangannya menghentikan gerakan Boboiboy yang sedang membayar ongkos taksi. "Jamkkanman (tunggu). Aku akan mengantarmu ke apartemen dan langsung kuliah. Jadi ...," beberapa lembar kertas dengan satuan won itu kini sudah beralih tangan, "kau membayar ongkos sampai aku turun di depan universitas."
"Mwoya?! (Apa?!)" seru pemuda itu kaget. "Universitasmu itu berjarak hampir satu jam dari sini! Itu pun naik taksi!"
"Hitung-hitung membayar biaya administrasi rumah sakit yang sebelum-sebelumnya," kemudian Yaya lanjut berbicara dengan supir taksi tersebut menggunakan bahasa Korea, "Ajushi (Paman), aku mengantar orang ini dulu ke apartemennya setelah itu tolong antarkan aku ke Seoul University."
Beberapa lembar uang yang dia ambil dari tangan Boboiboy pun dia berikan pada sang supir setelah membuat kesepakatan.
Boboiboy mendengus geli. "Heol, daebak (Apa-apaan ini)," ujarnya tak percaya.
Dia menghela napas panjang, ya sudahlah ikuti saja apa kata Yaya. Daripada segalanya menjadi rumit hanya karena dia tidak mau membayar ongkos taksi gadis itu sampai universitas. Boboiboy kembali merogoh saku belakang celananya dan mengambil beberapa lembar uang dari dompetnya.
Setelah itu, pemuda itu pun turun dari mobil dan mengikuti Yaya yang sudah berjalan terlebih dahulu.
X.x.X
"Yaya~! Bagaimana keadaan Boboiboy?"
Yaya yang baru masuk ruang kelas langsung diseret gadis bernama Suzy ke bangkunya. Gadis bersurai coklat itu memasang wajah tertarik dan kentara sekali pertanyaannya ingin segera dijawab olehnya.
"Yah biasalah, memar di sana-sini. Sendi bahunya bergeser. Orang yang meninjunya waktu itu tidak main-main," balasnya santai. Dia menaruh tasnya di atas meja dan menyandarkan tubuhnya lelah. Semalaman dia berjaga di samping ranjang Boboiboy dan pulang ke apartemen hanya untuk mengganti baju. Dia memang tidur, hanya saja tidur dalam keadaan duduk membuat otaknya terasa tidak benar-benar istirahat.
"Dia pulang kapan?" tanya Suzy lagi.
"Baru saja pulang. Memangnya kenapa?" matanya memicing curiga, "kau masih menyukainya? Atau kau ingin menjenguknya? Kenapa tidak kemarin saja bersama teman-temannya yang lain kalau kau ingin menjenguknya?"
Suzy mengerucutkan bibirnya sebal. Jemari yang dihiasi nail art itu memainkan ujung rambutnya yang terurai indah. "Aku baru tahu dia masuk rumah sakit kemarin malam. Eomma (Ibu) sudah tidak memperbolehkanku keluar rumah. Kalau hari ini dia masih dirawat ya aku mau jenguk. Lagian, kenapa kau curiga aku masih menyukainya sih? Kita, kan satu kelas ... apa jangan-jangan kau cemburu aku menjenguk calon suamimu?"
"'Calon suami' katanya. Ya (Hey), mau siapapun yang menjenguknya, aku tidak peduli. Aku hanya ingin terus mengawasinya agar tidak terjadi sesuatu yang tidak kuharapkan, mengerti? Aku tidak cemburu kalau kau ingin tahu," balas Yaya sembari mengeluarkan buku catatannya. Dia melirik arloji merah mudanya.
Jam satu pas.
Waktunya tepat sekali. Dosen mata kuliahnya hari ini telah datang.
X.x.X
Boboiboy itu sebenarnya pemuda yang baik, mengingat keluarganya sendiri adalah keluarga yang taat agama. Apalagi kakeknya, Tok Aba adalah salah satu ustad yang disegani di sana. Pemuda itu bukan pemuda yang pembangkang, bukan pemuda yang suka mencari masalah pula, dia lebih senang jika menjauhkan diri dari hal yang tidak ada manfaatnya.
Namun, sejak dikirim ke Seoul, semuanya berubah. Tidak ada yang mengawasinya sehingga berujung pada pergaulan yang salah. Entah bisa disebut beruntung apa bukan, pemuda itu setidaknya belum pernah merokok, minum-minum, clubbing, atau terlibat prostitusi seperti teman-teman lelakinya yang lain.
Mungkin hidupnya akan hancur sejak saat itu sebelum akhirnya dia pindah apartemen dan kebetulan satu lantai—malah depan-depanan—dengan teman SMA-nya sekitar dua tahun yang lalu. Saat itu, dia masih ingat jelas kalau dirinya terkejut mendapati ternyata dia dan Yaya satu universitas, ditambah satu kelas karena mengambil jurusan yang sama. Itu terjadi saat dirinya masih tingkat satu.
Selang beberapa bulan, musim dingin pun datang dan universitas diliburkan. Malas berlibur di negara empat musim itu, akhirnya Boboiboy memutuskan untuk pulang ke Malaysia dan menikmati cuaca hangat khas Negeri Jiran itu.
Di situlah semuanya bermula. Tidak pernah sekalipun terlintas di pikirannya kalau dia dan Yaya akan terikat seperti ini.
Awalnya, dia juga menolak untuk diawasi. Memangnya dia anak kecil? Memangnya gadis itu babysitter-nya?
Walaupun akhirnya hal tersebut pun telah berlangsung selama dua tahun.
Sejujurnya, di lubuk hatinya yang paling dalam, dia merasa beruntung karena ada orang yang bisa mengerem tindakannya yang bisa kelewat batas ini. Dia sudah muak tapi tetap tidak bisa menghentikannya. Pernah dia berniat menghentikan semua kebiasaan buruknya itu, namun setan—baik yang berwujud manusia maupun makhluk gaib—berhasil menariknya kembali ke dalam gelapnya pergaulan ibu kota.
Sebenarnya saat ini semua kegiatan itu telah berkurang. Hanya saja kemarin-kemarin dia sedang patah hati, jadi agak tidak bisa mengontrol sedikit tindakannya.
'Telah berkurang' yang kita bicarakan ini dari sisi Boboiboy, bukan dari sisi Yaya. Kalau dari sisi gadis itu, tidak ada yang berkurang sama sekali. Walau pemuda itu juga tidak salah. Dulu, saat pertama kali bertemu, Boboiboy bisa masuk rumah sakit tiga sampai empat kali sebulan. Entah apa yang dia lakukan. Tubuhnya selalu mendapat memar di sana-sini. Sekarang dia hanya masuk rumah sakit dua bulan sekali—abaikan yang seminggu tiga kali itu.
Bagi Boboiboy, Yaya adalah gadis yang menarik—dia menyukainya, tapi bukan dalam arti suka antara laki-laki dan perempuan. Dia suka karena gadis itu begitu sabar dan telaten merawatnya—abaikan bagian kebiasaan gadis itu marah-marah dan sebagainya. Dia suka karena Yaya itu baik, suka membantunya, dan malah gadis itu sering menyelesaikan masalah antara Boboiboy dengan orang-orang yang mencari masalah dengan sang pemuda—Yaya itu berani.
Masakan gadis itu juga enak. Boboiboy malah sudah jarang makan junk food lagi. Setiap sarapan atau makan malam, dia pasti bisa memakan masakan Yaya, entah dia yang meminta atau Yaya yang memberi. Wajar dia minta sih, aroma masakan gadis itu selalu berhasil tercium olehnya dan berhasil membuatnya mengeluarkan air liur.
Masalah pemuda itu sekarang sebenarnya hanya soal sikapnya saja. Toh kalau untuk ibadah Yaya sering mengingatkannya untuk salat—gadis itu bahkan sudah seperti alarm baginya. Jadi, meskipun seperti itu, ibadahnya tetap jalan. Apalagi di negara liberal yang orang muslimnya sedikit, Yaya benar-benar harus menjadi alarm agar pemuda itu tidak lupa ibadah.
Teman-teman pemuda itu awalnya tidak peduli kehadiran sang gadis berkerudung itu. Namun sejak gadis penyuka warna merah muda itu melabrak dan memarahi mereka semua sampai berteriak karena menyebabkan Boboiboy kecelakaan, mereka semua mulai segan padanya. Bahkan takut untuk sekadar mengajak Boboiboy keluar walaupun itu hanya hangout biasa. Pasti nanti mereka semua akan ditanya-tanya; 'pergi ke mana?', 'pulang jam berapa?', 'siapa saja yang pergi selain kalian?', sebenarnya mereka malas juga sih ditanya-tanya seperti itu.
Sekarang, baik dirinya maupun Yaya, sama-sama sudah tingkat tiga. Sekitar setahun lagi mereka akan lulus dan bebas menentukan jalan mereka selanjutnya sendiri-sendiri—walau fakta lulus kuliah nanti sebuah acara bernama lamaran akan diadakan antara dirinya dan Yaya.
Boboiboy tak paham. Bukankah pernikahan itu harus berlandaskan cinta? Dia dan Yaya hanya menganggap satu sama lain sebagai teman. Belum lagi kelakuannya di mata gadis itu sudah terjun bebas—tak ada bagus-bagusnya sedikit pun. Memangnya Yaya mau memiliki suami seperti ini? Kalau dia jadi Yaya, dia juga pikir-pikir dulu.
Namun, yah ... namanya juga orang tua.
Peramal masa depan.
X.x.X
Empat bulan berlalu setelah kejadian itu, keadaan tubuh Boboiboy sudah baik dan sendinya sudah bergeser ke tempatnya semula. Sekarang dia sudah bisa mengerjakan semuanya dengan lancar. Yaya sendiri juga senang dengan hal ini, senang antara pemuda itu sudah sembuh dan dirinya yang tidak harus khawatir berlebihan lagi.
Hari ini adalah hari Minggu pagi yang cerah. Langit berpendah indah dengan awan-awan tipis yang menaungi orang-orang di bawahnya. Satu hari Minggu yang pas dijadikan acara jalan-jalan di bulan September. Banyak orang yang tumpah ke jalanan mengingat jarangnya mendapatkan cuaca cerah seperti ini di musim gugur.
Begitupun dengan mereka berdua.
Sejak satu jam yang lalu, mereka berdua telah duduk manis dengan pesanan yang mulai mendingin dan laptop yang menyala di salah satu kafe kenamaan di jalanan Seoul yang lumayan ramai. Mereka sengaja memesan tempat di ruangan terbuka di lantai dua, ingin duduk dengan angin sepoi-sepoi yang berhembus menemani.
Boboiboy dan Yaya sibuk berdiskusi mengenai salah satu mata kuliah yang tidak mereka pahami. Kadang pemuda itu yang bertanya, kadang pula sang gadis yang bertanya. Setidaknya mereka kali ini terlihat akur.
Gadis yang hari ini memakai kerudung berwarna merah itu menyesap kopi susunya pelan sebelum akhirnya kembali membaca materi yang baru saja diunduhnya di laptop. Atensinya terdistraksi oleh pemuda yang tiba-tiba bertanya sesuatu padanya.
"Sebenarnya ada yang ingin kutanyakan," ujar Boboiboy tiba-tiba, netranya melirik segelas kopi susu di sebelah tangan kanan sang gadis, "sejak kapan kau suka minum kopi? Kau pernah bilang padaku kalau rasa kopi itu seperti racun."
Yaya mendongakkan kepalanya. Dia mengendikkan bahunya tanda tak tahu. "Entahlah. Mungkin karena aku terlalu sering menjagamu di rumah sakit, mungkin juga karena aku tanpa sadar mengikuti kebiasaanmu minum kopi. Aku juga tidak tahu."
Pemuda itu mencondongkan tubuhnya ke depan dan menyeringai jahil. "Kau tanpa sadar bilang kalau rasa racun itu enak, Nona Yah."
Gadis itu mencibir sebal. "Terserah."
Boboiboy tertawa pelan. Dia suka sekali kalau sudah menggoda temannya seperti ini. Diam-diam dia menyeruput cappucino-nya. Netranya terkadang tak bisa fokus untuk membaca jurnal di layar laptopnya, alih-alih belajar yang ada dia justru menatap gadis yang sedang memasang mode serius di hadapannya. Pemuda itu paham, Yaya itu memang orang yang senang belajar, namun dia tidak tahu bahwa ketika belajar gadis itu bisa menganggap hanya ada dirinya sendiri di dunia ini. Dia akan benar-benar mengabaikan suara-suara di sekitarnya kalau tidak ada orang yang secara langsung mengajaknya mengobrol.
"Setahun lagi kita lulus lho," ujar Boboiboy tiba-tiba sembari menatap orang-orang yang berjalan di pinggir jalan sana.
Dua detik berlalu dan suasanya malah kembali hening. Pemuda itu melirik sang gadis yang tak menunjukkan respon sedikit pun. Dia menendang kaki gadis itu pelan. "Yaya."
"Hmm." Bukannya kata-kata, yang keluar hanyalah gumaman tak jelas.
"Setahun lagi kita lulus," ujarnya mengulang ucapan sebelumnya, "kau mau bekerja di sini apa pulang?"
Yaya menghentikan gerakan jemarinya yang sedang men-scroll down. Dia menatap pemuda itu heran sembari memicingkan matanya. "Kenapa tiba-tiba bertanya seperti itu?"
"Tidak apa-apa. Aku hanya penasaran. Kalau aku, kan jelas pulang karena mau melanjutkan bisnis Tok Aba. Nah, kau sendiri bagaimana?" Boboiboy membenarkan posisi duduknya. Dia kembali menatap wajah sang gadis yang tampak sedang berpikir.
"Sepertinya aku akan pulang juga. Aku tidak mau bekerja di sini, memangnya aku ini robot? Bisa remuk tubuhku kalau bekerja keras seperti itu," ujarnya santai.
Pemuda itu tersenyum samar. "Kenapa tidak bekerja di kedai Tok Aba saja? Hitung-hitung membantuku juga," tawarnya.
"Memangnya kau mau menerimaku?" tanya Yaya curiga, "mengabaikan fakta bahwa entah cepat atau lambat kita berdua akan menikah."
Boboiboy terkesiap. Entah kenapa dia melupakan fakta itu.
Kalau dipikir-pikir benar juga ya.
"Kenapa tidak? Toh kalau nanti kau jadi istriku, kau, kan bisa membantuku mengelola bisnis. Lagipula kau pintar bikin kue, bisa saja kau menambah menu, kan."
Gadis itu tersenyum simpul. "Awas ya kalau nanti ujung-ujungnya kau menolakku bekerja di sana. Ini sudah kontrak kerja secara tidak langsung lho ya," ancamnya bercanda.
"Iya, iya. Kan sekalian belajar juga," pemuda itu juga balas tersenyum, " ... ah iya. Yang soal menikah itu ..."
"Kenapa?" Satu suapan wafer coklat berhasil masuk ke dalam mulut sang gadis.
"Memangnya kau mau aku menjadi suamimu?" tanya pemuda itu skeptis. Sebenarnya hal ini sudah lama ingin dia tanyakan. Namun waktu yang belum mengizinkan sampai akhirnya hari ini dia baru berani bertanya.
Tanpa sadar jantungnya berdegup dua kali lebih cepat. Dia tak pernah menyangka kalau menanti jawaban atas pertanyaannya itu bisa membuatnya seperti ini.
"Memangnya apa yang bisa kuperbuat?"
Satu jawaban yang tak pernah diduga oleh sang pemuda. Apalagi gadis itu menatapnya sembari tersenyum lebar.
"Apa? Kenapa jawabanmu simple sekali?"
"Kalau ternyata jodohku itu kau, takdirku itu kau, aku tidak mungkin menolaknya. Lagipula, kalau itu benar, bukankah aku gadis yang beruntung? Aku tidak perlu mencari jodohku lagi, jodohku sudah ada di hadapanku saat ini. Aku tidak perlu mencari pria ber-title jodoh yang entah berada di mana suatu saat nanti."
"Tapi kehidupanku buruk. Kau sendiri tahu itu."
"Itu, kan hanya terjadi ketika kau kuliah—masa lalumu bersih. Lagipula sebenarnya aku senang kok sikapmu sudah jauh lebih baik dibanding saat kita pertama kali bertemu. Sejujurnya aku kagum lho," Yaya menggeser kursinya ke depan, "walaupun ini negara liberal, walaupun teman-temanmu banyak yang tidak benar, kau masih mau kusuruh salat. Kau masih mau kusuruh-suruh untuk berhenti ini-itu, untuk melakukan ini-itu ... bukankah aku terlihat seperti gadis yang suka marah-marah di matamu? Tapi aku melakukan itu juga untuk mengerem tindakanmu. Aku tidak mau kau jatuh ke jurang yang lebih dalam lagi."
Mendengar perkataan panjang lebar yang diutarakan gadis itu mau tak mau membuat kedua sudut bibir pemuda itu naik.
"Geumanhae (berhenti)," ujarnya.
"Mwo? (Apa?)"
"Jangan buat aku jatuh cinta padamu sekarang, Yaya. Kau bisa membuatku gila nanti," godanya.
Gadis itu tertawa mendengarnya. "Kau harus jatuh cinta padaku. Nanti kau akan menjadi suamiku."
"Pokoknya jangan sekarang. Aku akan lebih merepotkanmu."
"Arraseo (aku mengerti). Tapi aku tidak tanggung jawab kalau perasaanmu padaku berubah ya," Yaya terkekeh pelan. "Kau baru saja patah hati dua bulan yang lalu dan sekarang kau mengucapkan hal seperti ini. Hah ... calon suamiku ini ..."
"Apa? 'Calon suamiku ini' apa? Ish, gadis ini," tambah pemuda itu dengan nada bercanda.
"Kau harus rajin belajar ya. Aku tidak mau IP-mu rendah seperti kemarin-kemarin. Masa orang yang mau menjalankan bisnis turun-temurun seperti ini? Masa orang yang akan jadi suamiku seperti ini? Tidak, tidak. Kalau begitu aku tidak mau menikah denganmu," Yaya melipat tangannya dan memalingkan wajahnya.
Pemuda itu tahu kalau sang gadis hanya bercanda terhadapnya. Dia menjulurkan kelingkingnya.
"Aku janji akan menjadi orang yang jauh lebih baik dibanding sebelumnya. Aku janji akan menjadi suami yang pantas untukmu."
"Ey, ige mwoya (apa-apaan ini)," walaupun berkata begitu, tetap saja Yaya menautkan jari kelingkingnya dengan jari kelingking pemuda itu, "aku pegang janjimu. Awas kalau kau mengingkarinya."
"Oke, oke. Lagipula aku yang membuat janji ini." Netranya pun melirik layar laptopnya. "Maka dari itu ajari aku materi ini. Kau, kan lebih pintar dariku. Buat calon suamimu ini pintar, Nona."
"Oke!"
X.x.X
Sejujurnya hubungan mereka itu baik. Hanya saja jika Boboiboy sudah berulah, sifat galak gadis itu keluar begitu saja. Ditambah lagi, terkadang di saat-saat tertentu pemuda itu mudah terpancing. Jadilah perang dunia ketiga berlangsung panas di lantai delapan sebuah apartemen di tengah ibu kota Seoul.
Sebenarnya hubungan mereka itu indah.
Mereka berdua merasa beruntung bisa bertemu satu sama lain. Berapa coba kemungkinan kau bisa bertemu temanmu—ah tidak, teman yang satu negara asal denganmu di negara asing? Setidaknya kau dan dia bisa menggunakan bahasa yang tidak dimengerti oleh penduduk di negara asing yang kalian tempati.
Anggap saja mereka itu teman seperjuangan.
To Be Continued
*Berhubung saya belum kuliah, SKS itu saya ambil dari SKS FEB UGM yang saya cari di mbah gugel.
Fanfic ini dibuat karena sebenernya saya pengen buat RPF Idol berlatar Korsel (itu lho yang muter-muter) (bukan), tapi ternyata ga jadi-jadi karena bahkan belum dimulai. Saya udah bisa lepas dari kosa kata Jepang di fanfic anime sehingga udah hampir full Indonesia, tapi kalau buat Korsel saya belum bisa lepas (entah ga bisa lepas). Jadi maaf kalau kosa katanya banyak yaa.
Ada beberapa terjemahan yang ga pas karena emang kata itu sendiri ga ada arti spesifiknya kayak 'heol'. Itu semacam kata ekspresi (?). Terus juga 'daebak' dan 'mwoya (atau mwo)' (dan beberapa kata lainnya) itu juga bisa beda arti tergantung kalimatnya apa dan diucapkan dengan intonasi kayak gimana. Mungkin yang suka sama Korsel dan biasa mantengin drama/varshow/atau yang berhubungan sama tuh negara satu bisa ngerti maksud kata-kata (dan maksud yang saya omongin) ini apa.