Cinta itu percaya tidak percaya.

Bentuknya pun bermotif bagai sebuah kain perca yang dimodifikasi.

Ada yang lurus, ada yang berkelok, dan ada juga yang berputar tak tahu arah dan tujuan.

Namun orang percaya cinta itu membawa kebahagiaan yang tiada tara.

Bertemu pada satu titik meski harus mengarungi daratan dan membentang samudra.

Aku tidak pernah jatuh cinta. Jangankan jatuh cinta, suka pun tidak.

Kata orang jatuh cinta itu berawal dari gejolak dada yang berdebar tiada tara—bahkan ada juga yang berkata kalau jatuh cinta membuat jantung pecah seketika.

Tapi apakah itu benar?

Jujur saja, aku tidak menyukainya sama sekali. Cinta pun rasanya tidak.

Namun mengapa? Mengapa aku merasakan hal aneh begitu aku berada di sisimu?

Sikapku menjadi canggung dan kaku.

Pola pikirku hancur begitu ada di sisimu. Hal yang selalu kuingat adalah wajah manis yang selalu kau toreh di benak ini.

Apakah ini pertanda? Pertanda bahwa aku menyukainya?

Ah, sepertinya tidak.

Tapi ada benarnya juga.

Tidak.

Iya.

Tidak.

Iya.

Hei, kau berani melawanku?

Demi membongkar rahasia yang kau kubur, rasanya aku berani saja.

Tidak. Tidak. Tidak.

Aku tidak menyukainya.

Aku …hanya tertarik dengan pribadinya yang unik itu.

.

MADRE

Giovanno

.

Suara derit pintu yang terbuka mengagetkan Mayuzumi dari dalam. Dirinya kini duduk seorang diri di dalam ruang photoshoot. Tubuh tegap memaku di hadapan laptop berwarna silver yang sedari tadi menampilkan beribu-ribu warna dengan berbagai radiasi yang merusak mata. Sepasang jemari berhenti menari di atas keyboard. Iris abu terfokus pada pintu yang terbuka—menampilkan sebuah kepala biru muda.

Oh, ternyata.

"Selamat pagi, Mayuzumi-kun," sapa Kuroko seraya berjalan menghampirinya.

Mayuzumi kembali berkutat dengan laptopnya, "Ya, selamat pagi juga, Kuroko."

Pemuda biru menaruh ransel di kursi sebelah Mayuzumi. Iris biru menangkap aktivitas yang tengah dilakukan oleh si fotografer. Sebuah gambar Akashi saat photoshoot dua hari lalu, tercetak jelas pada layar laptop.

Kuroko bertanya, "Kau sedang apa, Mayuzumi-kun? Sepertinya sibuk sekali hingga daritadi mengotak-atik foto Akashi-kun."

"Aku sedang mengedit beberapa bagian yang kurang di foto ini," jawab Mayuzumi santai.

"Loh memang harus di edit juga?"

"Tentu saja. Foto-foto yang menjadi pajangan majalah tidak murni hasil kamera, melainkan diberi sentuhan kecil berupa pengeditan."

"Oh, seperti itu. Ngomong-ngomong yang lain belum datang?" tanya Kuroko seraya melihat sekitar.

Mayuzumi melirik arloji digital yang melingkar di pergelangan kiri, "Sepertinya baru ada aku dan kau saja di sini." Kuroko mengangguk sebagai jawaban. Ia mulai mengambil posisi duduk di samping Mayuzumi. Tangan merogoh saku celana hingga meraih sebuah ponsel. Menekan tombol unlock dan mulai asyik dengan dunia sendiri.

Ketika keduanya tengah sibuk dengan dunia masing-masing, suara derit pintu terbuka lagi hingga menampilkan sosok pria bertubuh tinggi tegap dengan rambut hijau yang menjadi ciri khas. Tentu saja pria tersebut adalah Midorima Shintarou. Seorang manajer perusahaan ini.

Tungkai kaki melangkah mendekat dua sosok lelaki berbeda rambut. Otomatis Kuroko langsung menegakkan badan diikuti oleh Mayuzumi. Langkah kaki Midorima berhenti tepat di depan meja, dua jari mulai membenarkan letak kacamata yang tadi sedikit melorot.

Ia membuka kedua belah bibir, "Kuroko rupanya kau sudah datang nodayo. Kutebak, hari ini kau pasti kosong bukan?"

"Kosong? Rasanya tidak. Buktinya aku bekerja hari ini."

Mayuzumi menahan tawa mendengar jawaban Kuroko. Pemuda ini memang polos sekali ya. Midorima menghela napas berat seraya memijit pelipis, "Bukan itu maksudku, Kuroko."

"Lalu apa?" tanya Kuroko bingung.

"Maksudku—"

"Biar kujawab. Maksud Midorima adalah kau kosong dalam artian belum ada pekerjaan lagi, karena dua hari yang lalu kita sudah mengadakan photoshoot."

Kuroko mengangguk paham maksud dari jawaban Mayuzumi.

Oh, itu ternyata maksud dari sang manajer. Ia tidak tahu maksud bahkan arti dari perkataan Midorima.

Kuroko menjawab, "Tentu aku sedang kosong. Memangnya ada apa, Midorima-san?"

"Lekas ikut denganku."

"Eh? Untuk apa?"

"Sudah yang penting kau ikut denganku dulu."

"Tapi Mayuzumi-kun—"

"Sudah ikut saja dengannya, Kuroko. Biarkan aku sendiri di sini untuk menyelesaikan pekerjaanku," jawab Mayuzumi yang dibalas oleh anggukan singkat Kuroko. Pemuda biru memasukkan kembali ponsel ke dalam saku celana lalu berdiri seraya membawa ranselnya. Ia ikuti Midorima yang sedari tadi sudah menghilang dari balik pintu.

.

.

.

Minimalis dan klasik merupakan gaya seorang Midorima Shintarou. Ruang kerjanya yang begitu sederhana membawa kesan tenang juga damai—merupakan tempat yang paling nyaman untuk bekerja. Kebanyakan orang berpikir bahwa ruang kerja manajer jauh lebih mewah ketimbang yang lain. Namun persepsi tersebut salah bila menyangkut pautkan Midorima.

Midorima merupakan orang yang sederhana, tapi mengapa ia terlihat begitu mewah dengan setelan pakaian kerja itu? Sepasang kemeja biru muda dilengkapi jas putih serta tungkai kaki yang dibalut oleh celana katun putih. Kok bisa? Sebuah sihir kecil bernama bahasa tubuh menjadi poin penting yang dianut oleh pria berambut hijau lumut.

Pria hijau duduk di kursi kerjanya, kemudian ia mempersilakan Kuroko untuk duduk di seberangnya. Pemuda biru mengangguk paham. Ia langsung mengubah menjadi posisi duduk nyaman di kursi yang sudah disediakan.

"Jadi… ada urusan apa kau memanggilku?" tanya Kuroko sopan diselingi nada heran yang menghantui.

Midorima mengangguk seraya mengeluarkan sebuah dokumen dari balik laci meja. Ia berikan dokumen tersebut pada Kuroko, "Sebaiknya kau baca terlebih dahulu."

Antara tegang dan penasaran bercampur menjadi satu. Ragu atau tidak ia tetap harus menerima. Kuroko mengambil dokumen yang diberikan oleh Midorima. Membuka perlahan hingga memperlihatkan empat lembar kertas yang dijilid menjadi satu. Iris biru membaca cermat tiap rentetan kata yang tertera. Membuka perlahan lembar tiap lembar kertas dan sampai di titik akhir kalimat.

Iris biru membulat sempurna. Tak percaya dengan kalimat terakhir yang tercetak pada kertas. Apakah itu benar?

Iris biru menatap gesit iris hijau yang menatap kalem lawan bicaranya, "Midorima-san, maksudnya ini—"

"Ya, Kuroko, sepertinya kau sudah tahu."

"Jadi… itu benar, kan? Bukan mimpi?"

"Tentu saja bukan, nodayo. Kau ini suka melucu ya," kekeh Midorima seraya mengibas tangan di depan wajah Kuroko. Sontak pemuda itu menarik kepala—takut kena tangan pria itu.

Kuroko mengangguk pelan. "Jadi kalau begitu aku bisa pergi sekarang?" tanyanya sopan.

"Tentu saja kau bisa pergi sekarang, tapi ada satu orang juga yang akan ikut."

"Siapa gerangan?" tanya Kuroko hendak mengambil posisi berdiri.

"Akashi. Dia akan ikut bersamamu, nanodayo."

Entah sihir apa yang terwujud tapi yang jelas Kuroko terpeleset hingga ia kembali ke posisi semula. Kelopak mata mengerjap beberapa kali mencari kepastian. Ia tidak salah dengar bukan?

Midorima menatap heran bawahannya, "Kau kenapa Kuroko? Tiba-tiba jatuh terduduk begitu."

"Oh tadi pantatku terpeleset."

"Kau ini pelawak atau seorang profesi, Kuroko?"

"Mungkin dua-duanya."

"Oke cukup, nanodayo. Jadi sekarang kau akan pergi?"

"Err… sebelum itu mengapa harus dengan Akashi-kun?"

"Kau ini seperti orang linglung saja. Tentu dia adalah model dan sangat berperan penting nanodayo."

Lagi-lagi sebutan model. Model ini lah. Model itu lah. Tidak jauh dari kata sakral yang menjurus elegan. Kuroko menghela napas seraya memutar bola matanya malas—sejujurnya ia sudah mual dengan kata model. Namun pekerjaannya yang sebatas fashion designer mendukung profesi ini.

Midorima yang peka hanya bisa tersenyum simpul, "Sudah, nanodayo, lebih baik kau cepat ketimbang disembur cabe. Ia sudah menunggumu di lantai dasar."

Anggukan singkat menjadi akhir pembicaraan. Pemuda biru berdiri dari tempatnya duduk dan berjalan menuju pintu. Membuka pelan hingga menghilang total bak makhluk gaib.

.

.

.

"Kau lama sekali, Tetsuya."

Hembusan napas keluar dari hidung mancung pemuda biru. Lagi-lagi kena cabe dari si model—tapi itu adalah hal yang sudah biasa baginya. Perlahan ia mengatur napas dan menjawab, "Maaf, Akashi-kun. Tadi aku habis dari ruang kerja Midorima-san."

"Oh jadi pria aneh itu sudah memberi tahumu?"

"Tentu saja sudah dan tolong bersikap sopan. Gitu-gitu juga dia adalah atasanmu."

"Tapi akulah bibit sukses perusahaan ini. Jadi suka-suka aku mau panggil dia apa."

"Sudah cukup. Berdebat denganmu tidak ada ujungnya. Jadi bisa kita pergi sekarang?"

Satu anggukan menjadi akhir pembicaraan. Akashi melangkah jauh dari tempatnya berpijak dan menghilang dari balik pintu perusahaan—diikuti oleh pemuda biru dari belakang. Perbedaan suhu menyapu lapisan kulit terdahulu. Di depan mata, sebuah mobil ferarri berwarna merah darah dengan garis hitam metalik menyuri perhatian Kuroko.

Mobil idaman kaum awam yang hanya bisa dihitung dengan jari dan salah satu pengguna mobil ini ialah model terkenal, Akashi Seijuurou.

Akashi menekan tombol unlock pada kunci mobil kemudian duduk di kursi pengemudi. Kuroko sendiri masuk ke dalam mobil dan duduk tepat di sebelah si model. Menyalakan mobil dan menginjak gas, mobil ferarri berada di bawah kendali Akashi.

Di dalam mobil, Kuroko menikmati pemandangan dari balik kaca film. Pengharum mobil yang disimpan pada dashboard menguarkan aroma mint yang bercampur dengan maskulin. Alunan musik klasik terdengar dari radio mobil. Iris biru Kuroko tak jerah menatap keluar pemandangan.

"Oi, Tetsuya. Kau sedang melihat apa?" Pertanyaan Akashi memecah keheningan. Otomatis pemuda itu terbawa dalam perbincangan. "Hanya melihat pemandangan. Tidak lebih dan tidak kurang."

"Apa yang mau dilihat? Toh hanya sebatas beton dan besi saja yang setia menemani perjalanan."

"Bagiku sebuah perjalanan itu cerita. Dan tentu juga ada cerita dibalik beton serta besi."

"Khayalan gilamu muncul lagi. Memang apa cerita dibalik mereka?"

"Tentu saja banyak dan salah satunya cerita bagaimana mereka dibangun bersama. Setia satu sama lain dikala terik matahari serta rintik hujan menggelung mereka." Untuk hal satu ini Akashi mulai berpikir bahwa perkataan pemuda itu memiliki makna. Ya, makna yang tersirat dalam kandungan kalimat.

Akashi mengangguk tipis, "Baiklah, kalau begitu ceritakan padaku apa cerita dibalik secangkir kopi serta roti di satu meja."

"Sederhana saja. Mereka bercakap-cakap ditemani bangku taman yang dingin. Saat itu hari cerah, matahari bersinar dengan teriknya. Tapi apa kau tahu apa yang sedang mereka bicarakan?"

"Perasaan satu sama lain." celetuk Akashi.

"Bukan."

Jawaban yang pas sekali.

"Cita rasa yang menyebar bila disatukan."

"Bukan juga."

"Rasa gairah ketika mereka saling bercinta."

"Akashi-kun, kau porno."

"Ayolah itu manusiawi. Setiap orang pun ingin merasakan hal seperti itu termasuk aku."

"Lakukan itu dengan pacarmu. Aku tidak melarang kau bermain rodeo dari malam hingga ayam jago berkokok pun tidak jadi masalah."

"Hei, jaga ucapanmu, Tetsuya. Lagian aku tidak memiliki kekasih."

"Lalu?"

"Sudah fokus pada jawabannya saja." Bagai duduk di bawah asbes di siang bolong hingga emosi naik mencapai ubun-ubun itulah yang dirasakan oleh si model. Jengah dengan basa-basi yang diceletuk oleh Kuroko. Ia merupakan orang yang to the point.

Kuroko menghela napas, "Baik, sepertinya kau kalah dalam permainan tebak-tebakkan. Kalau begitu akan kujawab."

"Lebih baik lekas."

"Mereka bukan membicarakan perasaan, cita rasa bahkan rasa gairah saat saling bercinta."

Di akhir kalimat, Akashi menajamkan pendengaran untuk mendapat jawaban yang jelas.

"Mereka hanya berdebat tentang sakitnya sebuah kepergian."

Diam membisu.

Itulah kata yang tepat untuk seorang Akashi Seijuurou saat ini. Ia sendiri yang dikenal jenius pun bahkan tidak bisa menjawab teka-teki kecil macam ini. Sudah bukan bidang Akashi bila menyangkut paut masalah cinta.

Akashi mengeratkan pegangan pada kemudi, "Kau memang cocok menjadi seorang sastrawan, Tetsuya."

"Tidak juga."

"Terlihat dari caramu berpikir juga berkata. Aku tahu ciri-ciri tersebut dan tentu saja aku tidak mengerti. Lagian aku malas membahas masalah cinta."

Bukan marah atau menegur, melainkan tersenyum simpul.

Ya, Kuroko tersenyum simpul mendengar jawaban Akashi.

Ia tarik napas lalu menghembuskannya. Antara perasaan lega dan senang bercampur menjadi satu—sebuah perasaan yang abstrak bisa dibilang.

"Akashi-kun, suatu hari kau akan mengerti apa makna dibalik jawaban yang kuberikan padamu itu."

.

.

.

Tokyo Convention Center.

Sebuah gedung instansi taraf internasional yang berada di pusat kota. Gedung ini bukan sembarang gedung, biasanya gedung ini dipakai untuk pertemuan gubernur dengan wali kota, kaisar dengan presiden luar, para pejabat mentri, dan pastinya digunakan untuk acara ajang internasional.

Akashi dan Kuroko sampai di gedung ini yang merupakan tempat tujuan mereka. Keluar dari mobil dan berjalan menjauhi parkiran. Keduanya pun masuk ke dalam gedung dan memasuki lift. Sebelum masuk lift, iris biru Kuroko menangkap sebuah spanduk besar dengan tulisan yang tercantum—

International Model Competition 2015.

Sudah jelas bahwa mereka akan mengikuti sebuah kompetisi model yang tingkatnya internasional. Pasti juga mereka lah yang akan berpartisipasi dalam pertemuan ini—khususnya Akashi.

Begitu pintu lift terbuka megah, sebuah ruangan dengan dekorasi mewah juga mahal menjadi pemandangan pertama. Meja bundar yang dihias cantik dengan kain putih menjadikan nyaman. Sekelompok band yang tampil secara live tentunya bertemakan jazz. Puluhan hidangan makanan yang menjadi suguhan para tamu sudah siap sedia. Panggung model yang di dekorasi sedemikian rupa tampak elegan di depan mata. Dan tentunya para tamu pun sudah banyak yang berdatangan—termasuk mereka.

Akashi dan Kuroko duduk di tempat khusus yang sudah direservasi. Pastinya tidak jauh dari panggung. Bisa dibilang berada di tengah-tengah ruangan. Tempat yang sangat strategis.

Acara pun dimulai dan begitu banyak model cantik serta tampan yang berjalan di atas panggung. Untuk wanita, mereka sangat anggun juga cantik. Tidak hanya lekuk tubuh dan paras, tapi juga terlihat dari tata krama yang tersirat pada bahasa tubuh mereka. Untuk pria, mereka tampak gagah dan maskulin. Berjalan tegap sembari memperlihatkan keibawaan merupakan point plus yang patut diambil.

Iris biru Kuroko terpana melihat model yang berjalan di atas panggung. Seakan disihir permanen, Kuroko masih tidak percaya bahwa yang berada di hadapannnya itu asli bukan khayalan fana.

"Oi, Tetsuya." Akashi menjentikkan jemari tepat di hadapan Kuroko. Sontak pemuda itu kaget dan menatap Akashi cepat.

"Kau kenapa? Daritadi tidak berkedip."

"Aku hanya terpana dengan mereka."

"Kau kan sering melihat model. Masa terpana hanya dengan mereka berjalan di catwalk*."

Kuroko memutar bola matanya malas. "Akashi-kun, kau ini jangan suka merasa kegantengan seperti itu."

"Kalau tidak ganteng mana mungkin aku bisa jadi model."

"Bukan hanya ganteng dalam fisik tapi juga tata krama."

"Oh. Pasti sudah jelas tata kramaku bagus."

"Oh ya? Buktinya kau—"

"Hush." Akashi mengibaskan tangan di hadapan pemuda biru. "Mulai cerewet kujitak kau sekarang juga. Jangan menyeramahiku lagi."

"Baiklah."

Setelah para peserta model tampil, baru kini giliran Akashi yang tampil. Pemuda itu langsung melepas jaket yang sedari tadi melekat pada tubuh dan memberikannya pada Kuroko. "Aku nitip jaket ya." Dengan seenak jidat pastinya. Kuroko hanya bisa mencibir pelan dan mengangguk.

Akashi pun berjalan menuju belakang panggung dan mulai menaiki tangga perlahan hingga akhirnya tepat berada di atas panggung.

Sebuah kemeja putih yang dipadu dengan cardigan hitam melekat pada tubuh Akashi—jangan lupa kedua lengan digulung hingga sikut. Sepasang celana panjang ketat berwarna hitam abu-abu. Sepatu pantofel tali abu-abu serta dasi kupu-kupu hitam menjadi pelengkap.

Dengan gagah, Akashi berjalan tegap di atas panggung. Menunjukkan tubuhnya yang kekar serta maskulin. Berpose jantan di atas panggung sudah menciri khas kan seorang Akashi Seijuurou. Ia tidak main-main dalam bekerja. Bagaimana pun situasinya ia harus bisa bersikap profesional karena perfeksionis merupakan sifat kolot si model.

"Keren."

Itulah kata yang dilontarkan oleh Kuroko. Tidak main-main tapi serius. Kuroko benar-benar memuji Akashi saat ini.

Setelah selesai berpose dan memeriahkan panggung, seorang pria yang dikenal sebagai MC memberikan ucapan selamat pada Akashi sebagai bentuk ucapan terima kasih sudah mau berpartisipasi sebagai tamu undangan penting.

"Baiklah, kalau begitu kita langsung panggilkan tamu undangan yang sangat special di kalangan model. Penasaran? Kita sambut Kise Ryouta."

Iris biru Kuroko membelalak sempurna. Antara percaya dan tidak ia berasa di tengah ambang. Otomatis gerak refleks menimbulkan dirinya berdiri tegap secara tiba-tiba. Menajamkan penglihatan pada satu sudut di mana para model tadi keluar dan benar saja.

Seorang pria kuning terlihat berjalan mendekati MC. Iris madu yang secerah bunga matahari tampak berbinar menyambut para penonton yang bertepuk tangan dan menyorakkan namanya. Langkah kaki berhenti tepat di sebelah Akashi. MC memberikan mic pada pria tersebut.

"Selamat siang semua! Namaku Kise Ryouta dan aku adalah seorang fashion designer ssu!"

Suara riuh penonton menyorakki satu ruangan yang membuat Kuroko berjengit karena berisik—dengan sigap ia menutupi kedua telinga.

Ya, itulah alasan kenapa tadi pagi Kuroko terpaku menatap selebaran informasi yang diberikan oleh Midorima. Mengikuti acara ini sebuah kesempatan besar bisa bertemu dengan Kise, seorang fashion designer kelas atas yang sangat terkenal. Tidak hanya itu, Kise merupakan inspiratif Kuroko bisa menjadi fashion designer.

Semua bermula dari seseorang bukan?

"Baiklah, kau pasti Akashicchi bukan?"

"Sebutan aneh macam apa itu?"

Pertanyaan Akashi dibalas oleh tawaan riuh para penonton. Mereka kira itu adalah lelucon tapi bagi Akashi itu sebuah penghinaan.

"Jangan kasar seperti itu ssu. Kau ini model ternama yang mengharumkan nama Jepang masa kasar seperti itu sih?"

"Itu bukan kasar tapi refleks. Setiap orang akan bertindak seperti itu bila menyinggung hal aneh."

"Oke, baiklah. Akashicchi aku punya sebuah tawaran untukmu ssu."

"Apa itu?"

"Kau penasaran ssu?"

"Langsung ke topik. Aku jengah dengan basa-basi."

"Baiklah." Kise berdehem sejenak. Lalu secercah tampang bahagia ia pasang pada paras tampannya. "Aku sudah menentukkan dari sekian banyak model yang tampil dan sudah ketok palu. Selamat! Kau akan menjadi model di agensiku ssu! Mari kita berikan tepuk tangan yang meriah!"

Picik.

Bukan. Sebenarnya tidak ada hubungannya sama sekali tapi—kenapa ia membuat keputusan seperti itu?

Seorang model hanya boleh bekerja tetap di satu agensi dan tidak boleh ditarik paksa tanpa restu izin agensi yang bekerja sama sebelumnya. Apa maksudnya ini?

Perasaan Kuroko campur aduk menjadi satu. Kenapa Kise Ryouta membuat keputusan semudah membalikkan telapak tangan. Apakah ia tidak tahu bahwa Akashi itu adalah model tetap perusahaan Yvest Saint Laurent dan kontrak tidak bisa diganggu gugat.

Apa maksud dari semua ini?!

Rahang Kuroko mengeras tidak suka dengan keputusan yang diambil cepat oleh Kise. Ia kira sebelumnya Kise merupakan idola baginya—tapi semua berbalik seratus delapan puluh derajat. Jujur saja, Kuroko tidak suka dengan sikapnya yang seperti itu.

Bagaimana dengan Akashi?

Oh, pastinya model itu tetap memasang tampang kalem seperti biasa. Tidak ada yang berubah sama sekali. Tapi apakah benar begitu?

"Kau bilang menjadi model di agensimu? Memang kau pikir aku ini apa? Singa sirkus yang dipecut?"

Ah. Oh.

Kise Ryouta membangunkan singa yang terlelap tidur ternyata.

"Kau ini fashion designer bukan? Pastinya kau sudah tahu apapun tentang dunia model. Aku sudah di kontrak PERMANEN oleh perusahaan Yvest Saint Laurent di mana tempatku bekerja sekarang. Untuk itu, dengan hormat kutolak permintaanmu."

To the point memang ciri khas dari Akashi. Ia tidak main-main dalam profesinya. Sontak penonton pun riuh cekcok bergunjing satu sama lain pada teman sebelah. Sebetulnya kenapa Akashi menolak tawaran Kise? Sudah jelas ia akan dibayar dan namanya akan semakin terkenal bila bekerja dengannya.

Kise menatap sinis si model. "Kau pikir semudah itu kau menolak, huh?"

"Kau memaksa? Di sini banyak wartawan dan pastinya akan langsung merekam jawaban dari perbincangan kita."

"Oh pastinya tidak. Tapi aku akan tetap menawarimu karena sudah menjadi tugasku seperti itu ssu."

"Silahkan saja. Tapi yang jelas aku tidak akan menerima tawaranmu." Perkataan Akashi menjadi akhir dari pembicaraan. Pemuda itu langsung turun dari panggung dan menarik paksa Kuroko untuk keluar dari ruangan.

"A-akashi-kun—"

"Diam dan jalan."

Tegas dan dingin.

Seperti bukan Akashi yang biasanya, otomatis Kuroko mengikuti ke mana pemuda itu membawa dirinya pergi.

.

.

.

"Akashi-kun."

Kuroko memecahkan keheningan dalam mobil. Akashi mengemudi mobil layaknya kuda liar. Mengemudi pada kecepatan tinggi yang hampir mendekati delapan puluh kilometer per jam. Tentu saja ini membuat jantung Kuroko berdegup lebih cepat.

"Apa?"

Hening lima detik hingga Kuroko menjawab, "Kenapa kau menolak tawaran Kise-san?" Jujur, Kuroko hanya ingin tahu jawaban dari pemuda merah. Ia sudah tahu jawabannya namun ingin meminta kepastian lebih lanjut.

"Kau bodoh atau tolol? Tentu saja aku sudah menjadi model permanen Yvest Saint Laurent."

"Tapi bisa saja kan kau cabut berkas."

"Kau pikir semudah itu? Tentu saja tidak. Butuh proses yang dibilang cukup rumit untuk menyabut berkas dan bergabung pada agensi si banci kuning."

"Akashi-kun, jaga ucapanmu."

"Itu refleks, Tetsuya. Orang marah pasti emosi meluap dan berakhir dengan kebun binatang."

"Tetap saja kau harus jaga bicaramu."

"Berisik. Dasar bawel."

Kuroko mengulas senyum tipis mendengar jawaban Akashi. Bukan caci bahkan hinaan yang diserapnya, tapi sebuah jawaban tulus dari si model. Meski ia hanya menjawab seperti itu, Kuroko tahu makna apa yang terkandung.

Intinya Akashi sudah mencintai pekerjaannya di sini.

Kuroko menatap lembut model merah. "Nikmatilah pekerjaanmu, Akashi-kun. Jika tidak kau akan menyesal seumur hidup di ranjang kematian."

"Aku tidak pernah menyesalkan segala keputusanku."

"Baiklah, kita lihat saja nanti."

"Kau menantangku? Baiklah kalau begitu kita taruhan."

"Taruhan apa?"

"Balap karung. Tentu saja pekerjaan, Tetsuya. Kau ini memang tolol ya."

"Cukup, Akashi-kun. Aku tidak mau bertaruh."

Akashi kembali melaju dengan kecepatan normal sekarang. Entah kenapa hatinya sedikit lega dengan dukungan yang diberikan oleh Kuroko padanya.

Bukan. Bukan gejolak hati yang membara dalam dada.

Ini hanya perasaan senang saat diberi dukungan.

Akashi tidak mencintai Kuroko—jangan cinta, suka pun bahkan tidak.

Ia hanya kagum dengan sosok pemuda biru.

Sederhana saja. Tidak lebih dan tidak kurang.

"Tetsuya."

"Iya?"

"Ada bekas krim kue di bibirmu."

"Oh ya?" Buru-buru Kuroko mengeluarkan ponsel dan menatap wajahnya melalui pantulan kamera depan.

"Mau kubantu bersihkan?"

"Model genit. Lebih baik kau fokus menyetir."

Akashi terkekeh geli mendengar jawaban Kuroko.

"Baiklah, kuturuti permintaanmu."

.

.

.

-To Be Continued-


Footnotes:

Catwalk: merupakan istilah nama panggung yang biasa dipakai oleh model dalam ajang kompetisi.


A/N:

Chapter 6 akhirnya bisa kelar juga meski ngaret banget dari target saya ini.

Terima kasih untuk para pembaca setia MADRE yang chapter lalu sudah membaca, me-review, fav, dan follow cerita ini. Terima kasih juga untuk segala masukan yang menjadi bahan pertimbangan cerita ini. Terima kasih juga sudah selalu setia membaca cerita saya.

Saya mohon maaf atas keterlambatan ini, dikarenakan beberapa hambatan yang mengganggu saya sewaktu di real life. Saya pun sempat mengikuti ujian beasiswa yang pengumumannya akan diumumkan sekitar akhir Agustus ini. Doakan yang terbaik saja buat saya hehehe.

Sebenernya ini adalah kado ulang tahun rekan (seme) saya yaitu Miyamoto Kazu yang minggu lalu berulang tahun tapi kadonya ngaret baru dikasih sekarang. Hehehe selamat ulang tahun! Sukses selalu untuk ke depannya XD

Fanfik ini akhirnya kelar dalam waktu singkat yang saya kerjakan di rumah sakit. Ya, saya sedang dirawat inap di rumah sakit karena suatu penyakit. Ini merupakan hiburan saya selama di sini hahaha.

Saya mohon maaf sebesar-besarnya bila banyak kekurangan dalam cerita ini. Kritik, saran, dan komentar sangat diperlukan untuk kelanjutan cerita ini. Bisa melalui kolom review yang sudah disediakan atau juga bisa melalui PM.

See you in next chapter! XD

Tertulis,

Giovanno