-Normal POV-
"I-ieyasu… sama?" Tadatsugu terheran. Nuansa kengerian langsung menggerumbun, telunjuknya terangkat, menunjuk sosok Ieyasu lain yang kini bersemayam di tubuh tuannya.
Tadatsugu tentu tak habis pikir, mengapa tuannya kembali berdiri tegak di hadapannya. Padahal jelas pagi tadi dia menyaksikan sendiri betapa tersiksanya anak itu ketika seteguk racun merusak anatomi tubuhnya.
Tapi kini? Ieyasu bahkan melambaikan tangan sambil tersenyum padanya.
"Shocked?" tanya Masamune, angkuh sambil berkacak pinggang. "Rencanaku keren 'kan?" Motonari menambahi. Sorot mata kedua anak itu langsung membuat Tadatsugu bergidik, seakan dilirik setajam tatapan elang.
"Kami-sama…," tangan mungil Tadatsugu terangkat menyentuh keningnya yang terasa pusing. Matanya berputar, keseimbangannya mulai terkikis, sontak ia terhuyung, Keiji yang ada di sampingnya refleks menahan bahunya.
"Ara, ara, jangan pingsan…!" ujar Keiji panik.
"Kelihatannya dia sangat kaget, sampai bereaksi begitu," ujar Sasuke, diangguki anak-anak lainnya.
"Sepertinya itu biasa terjadi ketika seseorang terkejut," sahut Yukimura.
"Kalau tidak salah kalian dari salah satu keluarga jendral petinggi istana, 'ya kan?" tanya Hanbei, ia yang kini membiarkan Mitsunari terpulas di lengannya itu sekilas menatap Ieyasu, karena tak mungkin anak itu menjawab arah pertanyaannya, ia beralih menatap Tadatsugu.
Yang ditatap malah bungkam seribu bahasa.
Orang awam tentu berpikir kedua petinggi istana itu harusnya sudah mati, tak terkecuali Tadatsugu. Apalagi semua tahu Mitsunari adalah pewaris tahta dan Hanbei yang seorang penasihat Toyotomi. Tadatsugu sedikit bertanya, apa musuh terlalu ceroboh untuk meninggalkan dua orang itu hidup? Bisa saja mereka berdua membuat aliansi pribadi dengan tujuan pemberontakan 'bukan?
'Bruk!' pusing dengan suasana, akhirnya sang pelayan kecil terhuyung di lantai bersama Keiji dengan posisi terduduk. Anak-anak lain langsung menggerumbuni, hendak menolong Tadatsugu sebagai rasa simpati.
"Um, Kurasa kita harus memberi ia waktu untuk istirahat," saran Kojuuro, diangguki oleh teman-temannya.
"Haah," Matsu yang sedari tadi diam, menghela napas, "Sekarang ada yang bisa bantu Okaa-san mengambil pakaian kering untuknya?" dengan cerdik ia memancing beberapa anaknya untuk menetralkan suasana.
Sementara langit yang terhalau kulit gulita dari para kumulus hitam itu, belum mampu menampak senyum bulan hingga malam menjamu.
Orkes kesedihan masih diperdengarkan, bedanya kini agak tenang dan sayu. Hujan memang hendak berhenti, hanya tinggal menunjuk waktu sebagai pilar utama.
-Normal POV off-
-o0o-
The Curse of Mirror
-o-o-o-
Disclaimer: SenBasa punya Capcom
Warning: AU, OOC, typo(s), Bad EYD –Oh YEAH!-, update nggak nentu, GaJe, de-el-el
-o0o-
-Mitsunari POV-
"Ugh," aku meringis, merasakan sebilah cahaya memaksaku mengangkat tirai tipis yang menutupi irisku.
Kok seperti ada jendela lain di dekat kepalaku 'ya? Setahuku jendela yang terpasang di menara berada jauh di atas kepalaku, menyulitkan cahaya surya mencoba menerobos para jeruji yang berbaris untuk langsung menyilaukanku.
Sejurusnya kuupayakan mengangkat tubuhku untuk terduduk. Mataku yang masih berat kukecek dengan punggung tangan, mengusir kantuk yang tak kunjung pergi. Sementara cahaya surya gantian menyengat tengkukku ketika kupunggungi.
"Mitsunari," telingaku langsung disambut warna suara yang sangat familiar. "Ohayo~!" sapa pemilik suara itu.
Kuupayakan melihat apa yang ada di hadapanku. Awalnya samar, namun perlahan mataku mulai berfungsi seperti sediakala.
Orang ini….
'Deg!' kurasakan jantungku bergemuruh sebagai respon.
"Ieyasu…."
"Hum," ia mengangguk, lalu senyumnya merekah begitu saja.
"Tapi bagaimana bisa? Bukankah kamu sudah mati? Lalu rohmu terperangkap dalam cermin? Seharusnya-" kalimatku terhenti, tiba-tiba ia mendekapku ke dadanya.
"Dengar?" ujarnya, sambil mengupayakan kepalaku ke dada kirinya. "Jantungku berdetak."
'Deg!' itu detak jantungku. Akan tetapi detakan serupa mengalun di telingaku sejurusnya, kutahu jantung Ieyasu sedang berdetak cepat, bahkan lebih cepat dari milikku.
Mungkinkah ia senang sekarang? Jika iya, aku juga senang, tiba-tiba sebuah kehangatan hadir dari dalam hatiku.
"Bukankah ini mustahil?" tanyaku masih tak percaya. Perlahan kutarik kembali kepalaku dari tubuhnya yang kini terbalut yukata berwarna abu.
"Ini sudah jadi takdirku, dengan ini aku bisa ada di samping sahabatku selama yang aku bisa." Jawabnya, masih menggunjing senyum untuk diriku.
Kutatap ia penuh kegembiraan, hingga kurasakan mataku seperti digenangi air. Aku senang, senang sekali karena untuk pertama kalinya ada orang yang menyebutku sahabat
"Simpan saja tangismu untuk ayahmu, bukan untukku!" katanya, terdengar serius.
"Eh?" aku terbelalak, buru-buru kutepis keinginanku untuk menangis.
Tunggu, mengapa ia mengucapkan kalimat yang menjurus pada hal yang tidak aku inginkan? Memangnya ada apa dengan ayahku?
"Cari angin segar 'yuk?" ajak Ieyasu, lalu bangkit berdiri sambil mengamit pergelangan tanganku.
"Kau bercanda? Kita kan masih ada di atas menara!"
"Benarkah?" bantah Ieyasu, ia mengangkat salah satu alisnya, membuatku berpikiran sesuatu berbau ambigu.
"Kamu tidak sadar?" tanyanya lagi, malah merentangkan tangannya seakan meminta aku mengamati di mana aku terduduk.
'Deg!' Ini bukan di menara! Seingatku interior menara terbuat dari bata keseluruhannya, tapi yang kini kulihat adalah kayu.
Mungkinkah sejak semalam aku memang tidak ada di menara? tunggu, ini rekayasa 'kah?
"Apa yang sudah terjadi?" tanyaku bingung, tak lupa kuupayakan berdiri dibantu uluran tangannya.
"Kau akan tahu, makanya keluar!"
Keluar 'eh?
"Ternyata kamu belum sadar juga ya? Bahkan kimono eleganmu sudah berganti menjadi yukata sederhana?"
Aku terperanjat, tanganku refleks bergerak untuk meraba pakaian yang kini membalut tubuhku. Benar saja, baru kusadari bahan pakaian ini lebih kasar dan jauh tidak nyaman.
"Lihat!" Ieyasu menunjuk ke arah jendela yang terbuka.
Mataku dibuat terbelalak oleh suasana asri berdasar hijau dari pepohonan yang menjulang. Maka terdengarlah bunyi gesekan ranting pohon dari luar jendela yang dipermainkan oleh angin.
"Hu-hutan cemara 'eh?" gagapku.
Ieyasu berdehem, mengiyakan.
Oh, Kami-sama, apa yang sebenarnya sudah terjadi?
-Mitsunari POV off-
-o0o-
-Ieyasu POV-
'Krieet…' tangan kiriku mendorong pintu rumah Matsu yang terbuat dari kayu, sementara tangan kananku sibuk mengamit pergelangan tangan kecil milik Mitsunari.
Cahaya matahari langsung menyapa kami ketika sukses pintu ini terbuka lebar. Diam-diam kutatap Mitsunari yang tengah mengernyit lucu mendapati cahaya matahari memaksanya untuk membuka mata seutuhnya.
"Aw!" Mitsunari berpekik, kakinya yang tak beralas disambut oleh tanah basah nan gembur. Aku hanya bisa terkikik melihat ia memasang raut tak suka pada pijakannya saat ini.
Kehadiran pepohonan cemara langsung mengalihkan pandangku dari sang kaisar kecil. Saat kujumpai para pohon raksasa itu, di salah satu bayangannya nampak tengah sibuk melindungi anak-anak Matsu yang menatap kami seakan menyambut.
Di setiap wajah manis nan lugu mereka tersungging senyum untuk kami. Aku melambaikan tangan kiriku sambil membalas senyum mereka, lalu sedikit menarik Mitsunari agar kami segera bergabung.
"Tunggu, Ieyasu!" cekal Mitsunari, ia balik menarik lenganku, membuat aku berpaling menatapnya. "Ada apa?" tanyaku spontan.
Muncul gurat ketakutan di wajah Mitsunari, ia melirik anak-anak itu, kemudian melepaskan genggamanku, membuat aku terheran.
"Siapa mereka?" tanyanya, "Mengapa mereka membawa senjata? Apa mereka orang jahat?" lanjut Mitsunari, berintonasi siaga.
Kulirik anak-anak Matsu, terlihat mereka sedang berbisik-bisik pelan, kutebak tengah memperbincangkan kami.
Seperti yang mengganjal di pandangan sang kaisar, mereka kini membawa senjata juga perlengkapan di dalam tas mereka. Aku tersenyum mendapati itu, karena sudah tahu apa yang hendak mereka lakukan dengan perbekalan mereka.
Kulempar lagi tatapan pada sang Kaisar, kutatap iris emasnya lurus, sembari kucengkram erat bahunya, lalu berujar mengenai apa yang hendak dilakukan anak-anak itu, "Mereka rakyatmu, sekarang tunjukkan seberapa layak kau dihadiahi gelar itu, pimpin mereka!"
Sejenak matanya membesar, kutahu ia terkejut, digigitnya bibir bawahnya menahan gejolak dalam hatinya.
Aku melepas cengkramanku dan kembali beralih menatap anak-anak Matsu. Lalu kuayunkan tanganku guna memberi isyarat agar mereka mendekat memperkenalkan diri.
"Tunggu! Apa maksudnya semua ini? Siapa mereka? mengapa aku harus menunjukkan seberapa layak aku jadi kaisar mereka?" tanya Mitsunari, nampak ia terbingung dengan kondisi.
Sebagai respon aku hanya bisa nyengir, ia langsung menautkan kedua alisnya, sebal padaku sebab tak kunjung mendengar jawaban yang ia mau.
"Mereka mendekat," buru-buru Mitsunari bersembunyi di belakangku, "Kita tak pegang apapun untuk antisipasi serangan mereka."
Kudiamkan sang kaisar kecil, lagi-lagi yang kulakukan malah menyapa lambaian tangan juga kata 'halo' yang terlontar dari bibir mereka.
'Tap! Tap! Tap!' langkah kaki mereka menggaung, semakin dekat mereka berjalan, tiba-tiba Mitsunari mencengkram yukata-ku erat.
"Ieyasu…!"
"Santai!"
"Morning, Lord?" Masamune mengawali, membuat Mitsunari nampak panas dingin di tempat.
-Ieyasu POV off-
-o0o-
-Mitsunari POV-
"Morning, Lord?" sapa salah seorang dari mereka.
Perasaan canggung hadir, tubuhku mulai gemetar hebat, setetes peluh menuruni pelipisku.
Ieyasu bergeser ke arah kiri, memberikan renggang untuk anak-anak itu.
'Grap!' anak yang memanggilku 'Lord' mengamit tanganku, lalu menariknya dan membawaku pada teman-temannya.
"Date Masamune, first son of daimyo Oushu province,".
Aku melongo, anak berpenutup mata itu tersenyum lebar penuh kemenangan. Kukira ia akan melakukan penyerangan, tapi tebakanku meleset.
Ragu-ragu aku mengangguk. Pandangku tertuju pada kakiku yang tak beralas karena malu menatapnya.
"Panggil aku Mitsunari…!" jawabku, sebisa mungkin mengindahkan.
Perlahan kuangkat kepalaku, lalu kutemui anak berpenutup mata lain yang berhelai senada denganku hendak memperkenalkan dirinya, ia menjabat tanganku usai Masamune melepas cengkramannya.
"Haaai…? Aku Chosokabe Motochika, putra dari Panglima Angkatan Laut Toyotomi. Senang bertemu denganmu secara langsung, Kaisar kecil!"
"H-haai…?" responku, diselingi kikuk tak berarti.
"Aku Mouri Motonari, sepupunya Chosokabe," Lanjut anak berhelai senada kayu yang berdiri di samping si putra panglima.
"Yaah, ketimbang sepupu kami lebih mirip musuh bebuyutan," kata anak itu lagi, sambil tersenyum manis berbau ambigu yang langsung mengundang gelak tawa dari beberapa anak lain.
"Giliranku!" sahut yang helainya juga berwarna kayu "Aku Sanada Yukimura, asalku dari provinsi Kai. Aku putra kedua dari seorang saudagar di sana."
"Aku Sarutobi Sasuke, pelayannya Yukimura-danna."
"Katakura Kojuuro, pelayannya Date Masamune."
"Aku Tadatsugu Sakai, pelayannya putra Jendral Tokugawa."
Aku terpelongo, tanpa memberi jeda ketiga anak yang mengaku sebagai pelayan kecil itu kuangguki, lalu kucatat dalam benakku ketiga nama mereka. Yang berhelai oranye Sasuke, yang berhelai hitam Kojuuro, satu lagi yang berhelai coklat terang Tadatsugu.
"Aku Maeda Keiji, asalku dari provinsi Kaga. Aku memang dari rakyat biasa, tapi kemampuan berpanah yang mengalir di darahku tidak bisa dianggap biasa." Jelas satu anak lagi, dari cara ia menata kumpulan anak panah dan busur sabitnya, dia layak disebut seorang pemanah.
Usai mereka menjabat tanganku secara bergantian, senyum hangat kudapati dari setiap bibir mereka. Kuangguki penuh canggung, merasa tak nyaman jadi pusat perhatian.
"Kita akan berpetualang, Kaisar!" seru salah seorang, kuingat dari warna suaranya, dia adalah Sanada Yukimura.
"Take your weapon! And eliminate the enemy!" sambung Masamune.
Berpetualang 'eh? Apa maksudnya? Bukankah kita ada di daerah sendiri? Maksudku, tanah Jepang ini milik ayahku, mereka rakyat ayah dan mengapa harus berpetualang di negeri sendiri?
"Anak-anak!" suara seorang wanita tiba-tiba terdengar, datang dari arah belakang. Dari cara ia memakai kimono-nya, lengannya yang terlihat lebar, sebut saja dia ibu dari anak-anak ini.
Kami menoleh bersama sebagai respon. Wanita itu tersenyum anggun sambil menjinjing sebuah naginata, seberkas perbekalan, juga sebuah sandal kayu. Lalu berjalanlah ia ke arah kami.
-tepatnya ke arahku, kemudian menyerahkan barang jiningannya.
"Senang bisa bertemu dengan putra kaisar," katanya, sambil tersenyum hangat padaku.
"Um," balasku, ringkas.
"Aku turut berduka untuk ayahmu."
"Huh?" mendadak aku bergeming. Mataku membulat akibar ucapannya yang terdengar getir.
Tunggu, dulu…!
Sedikit demi sedikit aku mulai paham alur yang menghambur sejak aku membuka mata. Tertarik sebuah kesimpulan jika Toyotomi telah binasah, tapi yang membuatku bingung adalah mengapa bisa aku ada di sini?
-tunggu, mungkin pihak musuh sudah tahu keberadaanku dan penjaga di kaki menara membawaku pergi.
-tapi, mengapa Ieyasu bisa hidup kembali?
Argh, kepalaku pusing memikirkannya!
"Hanbei-sama masih hidup," kata wanita itu, membuatku terbangun dari geming, "Dia meminta kalian pergi ke danau di penghujung hutan, dia pergi duluan demi memastikan aman atau tidaknya kondisi saat ini."
Mendengar Hanbei-sama masih hidup hatiku sedikit lega. Bukan hanya karena dia yang mengambil alih peran orang tua buatku, aku sangat beruntung yang tersisa adalah orang berotak, bukan ayahku.
Aku mulai digandrungi rasa benci pada ayahku. Apalagi ingat dengan semua yang ia lakukan semasa hidup tak lebih dari memperluas wilayah. Dan kutahu pasti alasan ia mati adalah karena penaklukan Joeson. Dasar kaisar tak berotak! Bodoh benar dia tak mampu mengukur seberapa kuat musuh!
'BOOM!' terdengar ledakan di udara, lamunanku pun buyar demi menatap langit biru yang disembur oleh warna-warni.
"Itu isyarat dari Hanbei-sama! Ayo berangkat Guys!" titah Masamune, disoraki girang oleh anak-anak yang lain.
"Berhati-hatilah! Kunjungi kaa-san kapanpun kalian mau, jangan lupakan itu!" seru wanita itu.
"Ayaya…! Tenang saja Kaa-san!" sahut Motochika.
"Terima kasih, untuk semua kebaikan Anda Matsu-san, kami beruntung bertemu orang sebaik Anda," kata anak yang kuingat bernama Kojuuro.
"Hahaha, santai saja! akulah yang harusnya berterima kasih, karena kalian yang membuatku menjadi seorang ibu," tawa wanita itu.
"Kami permisi, Oka-saan!"
"Daah~"
Ucapan selamat tinggal langsung mengalun untuk sang ibu, aku masih diam tak mau bergerak untuk menyusul. Rasanya aku tak ingin ikut, tapi mau bagaimana pun alur memintaku untuk segera melangkahkan kaki ini.
"Ayo, Mitsunari!" ajak Ieyasu, ia kembali mengamit pergelangan tanganku, lalu tersenyum hangat seperti biasa.
"Sudah kubilang pimpin mereka 'kan? Meratap bukan pilihan, kau tahu?" tegasnya, kata-katanya yang terasa tajam langsung menghujam hatiku.
"Ieyasu," panggilku, mencoba untuk membuat ia diam sejenak, "Biarlah mereka yang lakukan, lagipula aku tidak tahu danau yang dikatakan nyonya itu." jelasku, padahal menyembunyikan kalimat penolakan yang seharusnya berbunyi, "Aku tengah kehilangan nyali."
Ieyasu mengangguk atas getirnya ucapanku. Meski begitu, ia tetap tersenyum seakan memercayai. Kembali ia mengajakku melangkah menyusul anak-anak yang lain, sebelum itu ia berbalik dan mengucap kalimat perpisahan pada sang ibu, mau tak mau pun aku akhirnya mengikuti meski kaku.
-Mitsunari POV off-
.
.
.
Continue?
A/N:
Maafkan saya, Minna…! ;(
Uwau, saya sudah berbohong untuk update kilat :(
Oh ya, maaf kalau chap ini jadinya mengecewakan…! ;(
Ini balesan review-nya
Shakazaki Rikuo: Makasih sudah meluangkan waktumu untuk kembali review^^ Btw, saya langsung merinding baca review kamu #lebay. Soalnya saya juga masih belajar, tulisan saya masih amberegul amesiyu, untuk amannya disarankan langsung belajar dari novel atau cerpen. Soal Thanatos, *Thanatos: Hantchu!* semoga dia baik-baik dengan Anda.
Hanami Hanajima: Makasih juga untuk Hanami-san yang kembali review^^ kalau urusan review atau enggak itu terserah kamu, saya nggak bisa maksa. Tentang masalah kamu, saya sendiri pernah ngalamin, tapi saya nggak tahu itu bahaya atau enggak.
Kritik dan saran saya terima dengan lapang dada, jadi jangan ragu-ragu, karena saya juga masih belajar ^^
Sekali lagi, makasih Minna…!
