Disclaimer : Masashi kishimoto

Don't Like Don't Read

.

.


Seperti sebuah dongeng yang menjadi kenyataan, Sakura menangis bahagia saat lelaki impiannya memintanya untuk menikah. Tanpa berpikir lagi, ia langsung menerima lamaran tersebut dengan penuh sukacita. Akhirnya, cinta pertamanya, lelaki yang diam-diam dicintainya semenjak sekolah menengah itu akan bersanding dengannya.

Gadis 24 tahun itu merasa dunianya benar-benar sempurna saat hari pengucapan janji suci pernikahannya. Air mata kebahagiaan seringkali menetes tanpa sadar ketika mengingat perjalanan cintanya yang berliku.

Ia ingat, bertapa hancur dirinya saat mengetahui Sasuke menikah saat masih di bangku kuliah. Saat itu dunianya hancur, karena seminggu sebelumnya ia sempat menyatakan perasaannya kepada pemuda itu. Sungguh, Sakura tidak tahu jika Sasuke sedang menjalin hubungan dengan seseorang dan bahkan sudah berencana untuk menikah. Memang, setelah mengungkapkan rasa yang sudah lama terpendam, waktu itu Sakura langsung berlari meninggalkan Sasuke tanpa ingin mendengarkan penolakan darinya. Setelah hari yang penuh perjuangan bagi Sakura waktu itu, hingga seminggu setelahnya Sakura tidak pernah melihat Sasuke lagi di kampus. Betapa terkejutnya ia saat mendengar kabar tentang pernikahan pemuda itu. Tentu saja ia menepisnya keras, karena menurutnya hanya gosip belaka. Namun nyatanya, semua itu benar. Uchiha Sasuke telah menikah dengan seorang gadis dari keluarga yang sederajat dengannya.

Berhari-hari Sakura menangis, meratapi kisah cintanya yang mengenaskan. Ia juga mengutuk kebodohan dirinya. Pantas saja, waktu itu Sasuke terlihat agak terkejut dan tidak peduli saat mendengar pengakuannya. Ternyata pemuda itu sudah memiliki tambatan hati. Setidaknya ia tidak mendengar penolakan kasar dari pemuda itu seperti gadis-gadis lainnya.

Setelah berhasil melupakan keterpurukan nasib percintaannya, Sakura kembali mendengar kabar tentang perceraian Sasuke setahun setelah berita pernikahannya. Dari gosip yang beredar, pernikahan mereka tidak disetujui oleh keluarga masing-masing. Ternyata, kedua keluarga memiliki persaingan dalam bisnis dan memiliki hubungan yang agak buruk. Saat itu, Sakura sudah tidak memedulikan lagi apapun yang berhubungan dengan Sasuke. Ia hanya fokus menyelesaikan studinya dan lulus dengan nilai yang memuaskan agar lebih mudah mendapatkan pekerjaan.

Namun nampaknya benang takdir menjeratnya hingga harus berhubungan dengan Sasuke kembali. Setelah lulus kuliah dan melamar pekerjaan di berbagai tempat, akhirnya Sakura mendapatkan posisi yang sesuai dengan keahliannya dengan gaji yang lumayan di perusahaan cabang milik Uchiha Corp.

Setelah mengetahui Sasuke adalah direktur di perusahaan itu, Sakura berniat untuk melepaskan pekerjaannya. Namun setelah mempertimbangkan berbagai hal, termasuk sulitnya mendapatkan pekerjaan serta kebutuhan sehari-harinya harus terpenuhi karena ia hanya hidup sendiri di kota ini, Sakura memutuskan untuk tinggal.

Keputusannya tidak salah, setelah beberapa bulan hanya sebagai pegawai biasa ia diangkat menjadi sekretaris. Tanggung jawab yang diembannya semakin banyak dan hampir seluruh urusan perusahaan harus ada campur tangannya. Hal itu juga yang membuat hubungannya dengan Sasuke mulai semakin dekat, dalama artian atasan dan bawahan.

Awalnya, Sakura yang merasa canggung ketika berhadapan dengan Sasuke, kini mulai agak terbiasa dengan pria itu. Seringkali mereka lembur bersama dan kadang makan malam sebelum mereka pulang. Tidak jarang juga Sasuke akan mengantarnya pulang walaupun gadis itu berusaha keras untuk menolaknya. Tetapi toh, pria Uchiha itu tetep mendapatkan apapun yang diinginkannya.

Seiring berjalannya waktu, mereka berdua semakin dekat. Bukan hanya hubungan dalam pekerjaan, tetapi secara personal.

Saat itulah, perasaan yang telah lama ditekannya menyeruak kembali. Semakin sering bertemu dengan Sasuke, rasa cinta itu kian tumbuh. Memang, Sasuke tidak menunjukkan ketertarikan pada dirinya, tetapi rasa lama yang sudah ia coba lupakan tidak dapat ditahannya. Akhirnya, Sakura memilih untuk membiarkannya dan mencoba menikmatinya saja. Tentu saja, ia tidak terang-terangan menunjukkan bagaimana, tetapi ia selalu berusaha untuk menjadi teman yang baik buat Sasuke. Sakura tahu, pria yang nampaknya sangat perkasa itu sangat kesepian.

Puncaknya, tanggal dua puluh februari setelah lembur yang melelahkan, Sasuke mengutarakan niatnya pada Sakura. Tentu saja gadis itu shock, ia tidak pernah menyangka perasaannya akan terbalaskan. Tanpa adanya kata-kata romantis, Sasuke memintanya untuk menjadi bagian dari Uchiha. Saat itu juga, hidup Sakura benar-benar berubah.

But , fairy tale doesn't exist, right?

.

.

.

Terlalu naif.

Sakura sadar dirinya terlalu terbuai dengan fantasinya. Mengira akan berakhir bak dongeng yang selalu dibacanya ketika kecil dahulu yang memiliki motto happily ever after. Menyandang nama Uchiha di belakang namanya tidak sepenuhnya membuat Sakura merasa bagian dari keluarga Uchiha. Dia memang Uchiha Sakura sekarang, tetapi hanya dalam status hukum.

Awal pernikahan mereka, Sakura merasa baik-baik saja dengan sikap Sasuke yang masih seperti biasanya. Gadis itu menganggap semuanya akan berubah seiring berjalannya waktu, dan mungkin Sasuke akan mulai membuka diri padanya. Namun nampaknya, Sakura akan membutuhkan waktu lebih banyak dari yang perkirakannya.

Mendesah rendah, Sakura menatap sendu meja makan yang masih rapi. Beberapa jenis hidangan yang disajikannya masih utuh, belum tersentuh oleh siapapun. Hal ini memang rutin baginya, memasak masakan yang berbeda setiap paginya, berharap Sasuke berkenan untuk sarapan sebelum berangkat ke kantor. Tapi sayang, semua yang dilakukannya seolah sia-sia. Selama hampir setengah tahun pernikahan mereka, dapat di hitung dengan jari berapa kali Sasuke menyempatkan diri untuk sarapan.

Sama halnya seperti pagi ini, Sakura hanya sendirian di dapur minimalis itu.

Mengambil malas sehelai roti bakar, Sakura mengolesinya dengan madu. Gadis itu benar-benar bosan, tidak tahu harus melakukan apa. Setelah menikah dengan Sasuke, Sakura berhenti bekerja atas perintah suaminya. Awalnya ia sempat menolak, tapi akhirnya tidak dapat membantah.

Setelah selesai sarapan, wanita muda itu membersihkan dapur yang tidak terlalu kotor itu. Sakura memerhatikan perabotan yang sebagian besar belum pernah digunakan. Senyum miris menghiasi wajah ovalnya mengingat bagaimana dulu dirinya sangat bersemangat memilih peralatan dapur setelah beberapa hari menikah. Gadis itu selalu membayangkan, menjadi ibu rumah tangga itu akan sangat menyenangkan. Setiap pagi, membangunkan suamimu dan memasak sarapan untuknya. Membenarkan posisi dasi dan kemeja yang mengerut sebelum berangkat ke kantor, dan mungkin akan dihadiahi kecupan manis di keningnya sebelum meninggalkan rumah. Setiap malam, ia akan memasak berbagai jenis hidangan untuk menyambut suaminya, mengambil tasnya dan melepaskan dasi yang mengikat di lehernya. Mungkin, mereka akan menutup hari dengan bercengkaram ringan sebelum jatuh tertidur untuk menyambut hari esok.

Namun sayang, hal itu nampaknya sangat tidak mungkin dirasakan Sakura, kendati dirinya telah memiliki seorang suami. Apa mungkin masih ada kesempaatan untuk membuatnya merasakan hal-hal tersebut bersama Sasuke?

.

.

.

"Makan malam sudah siap, Sasuke," panggil Sakura melalui pintu.

"Aku tidak lapar."

Hanya itu tanggapan Sasuke, pria itu langsung memasuki kamar mandi.

Sakura menghela napas, lalu berbalik ke dapur dengan sebuah spatula di tangannya. Awalnya, ia sangat semangat untuk memasak makan malam karena suaminya pulang lebih cepat dari biasanya. Namun pada akhirnya, semua usaha yang dilakukannya hanya sia-sia saja.

"Sampai kapan?" gumamnya pada diri sendiri.

Menggeleng pelan, gadis itu merapikan meja makan dan membungkus semua makanan tersebut ke dalam beberapa wadah plastik untuk dibawanya ke tempat biasa. Kemudian senyum tipis terukir di bibirnya, membayangkan wajah bahagia mereka saat melihat apa yang di bawanya nanti. Memang, malam ini ia memasak lebih banyak dari biasanya. Walaupun Sasuke tidak memakannya, setidaknya apa yang dibuatnya tidak menjadi sia-sia.

Setelah membersihkan dapur, Sakura keluar dari apartemen dengan dua buah kantong plastik yang ditentengnya di masing-masing kedua tangannya. Udara malam yang terasa menusuk tidak menghalangi niatnya, kendati hanya mengenakan kaos lengan pendek dan rok selutut.

.

.

"Dingin sekali," desah Sakura setelah masuk ke dalam apartemen yang terdapat di lantai lima itu. Memasuki kamarnya, ia melihat Sasuke sudah terlelap menyisakan tempat yang cukup baginya untuk berbaring.

Menatap sejenak punggung suaminya, Sakura beringsut ke atas ranjang dan membaringkan diri. Ia mematikan lampu tidur dan mulai memejamkan mata. "Selamat malam, Sasuke … " gumamnya sangat rendah.

Detik menjadi menit berlalu, tapi Sakura masih belum jua menutup matanya. Ada banyak hal mengganjal di kepalanya. Akhirnya, ia memilih untuk keluar kamar dengan sebuah netbook putih di tangannya. Gadis itu tidak menyadari, sepasang mata hitam menatap punggungnya saat menghilang di balik pintu kamarnya.

Sama seperti malam-malam sebelumnya, hingga dini hari Sakura akan berada di dapur hingga kantuk menyapanya ditemani segelas coklat hangat sembari mengetik sesuatu di netbook jadul kesayangannya.

.

.

.

"Aku ingin bekerja," ujar Sakura.

Sasuke melihat istrinya sejenak, lalu kembali berkutat dengan dasinya. Ia memang selalu memiliki masalah dalam hal memasang dasi yang notabene sudah hampir separuh hidupnya ia berurusan dengan benda itu.

"Aku bosan di rumah terus," rengek Sakura kali ini.

"Perusahaan sedang tidak membutuhkan karyawam baru," sahut Sasuke sudah selesai memasang dasinya setelah lima menit lebih.

"Aku bisa mencari kerja di tempat lain," jawab Sakura.

"Memang uang yang kuberikan tiap bulan tidak cukup? Aku bisa memberikanmu tiga kali lipat," dengus Sasuke melihat keinginan istrinya itu.

"Ini bukan mengenai uang bodoh! Aku merasa tidak berguna hanya diam di rumah terus dan tidak melakukan apa-apa. Itu seperti membunuhku secara perlahan," sembur Sakura.

"Tidak!" putus Sasuke.

"Kenapa?!"

"Hn."

Tidak ingin berdebat lagi dengan Sakura, Sasuke langsung keluar kamar menenteng tasnya tanpa memedulikan dasinya yang masih belum terpasang sempurna.

Sakura menatap kepergian suaminya dengan tatapan sendu. Tanpa bisa ditahannya, air mata mulai terbentuk di pelupuk matanya dan mulai menyeruak menuruni pipi kemerahannya.

"Sasuke … kun ."

.

.

.

.

"Kau tidak pulang, Sasuke?"

Sasuke mengangkat kepalanya dari tumpukan dokumen yang tengah diperiksanya. Ia kembali menekuni pekerjaannya, mengabaikan Suigetsu yang menatapnya jengkel karena tidak menanggapi pertanyaan pemuda itu.

Kesal, pemuda yang merupakan bawahan sekaligus sahabat Sasuke itu memilih untuk mengambil kursi dan menyeretnya ke depan meja kerja pria yang sudah dikenalnya hampir separuh hidupnya.

"Sakura, eh?" Suigetsu menyeringai, mengambil sebuah pulpen dan selembar kertas dan mulai menggambar benang kusut.

"Dia ingin bekerja," sahut Sasuke, masih sibuk dengan kertas-kertasnya.

Pemuda yang hobi mengoleksi pedang itu mulai terlihat tertarik. Ia membenarkan posisi duduknya hingga benar-benar menghadap Sasuke. "Apa masalahnya?" kedua alisnya bertaut penasaran.

"Ck, berisik!"

Suigetsu memutar matanya, lalu kembali ke posisi semula namun kali ini hanya mengambil kertas yang sebelumnya ia coret-coret dan melipat-lipatnya membentuk sebuah hewan. Siapa sangka, pemuda yang terlihat imut namun garang itu pintar dalam origami.

"Kau seperti memenjarakan Sakura, kau tahu?" Pria yang sudah bekerja bersama Sasuke semenjak sekolah itu sejujurnya benar-benar tidak mengerti dengan pria di depannya. Ia tahu, Sakura itu sangat berarti bagi Sasuke walaupun pria berwajah tampan itu masih belum menyadarinya hingga sekarang. Ia juga tahu, sebuah rahasia lama Sasuke yang tidak ada orang lain tahu, kecuali dirinya.

"Kalau hanya berniat menggangguku, lebih baik kau pulang saja!" Sasuke menggerutu, merapikan kertas-kertas yang berserakan di atas mejanya.

Suigetsu menyeringai, memangku dagunya dengan tangan kiri. "Jadi, apa alasanmu tidak membiarkan Sakura tetap bekerja di kantor ini?"

"Ini perusahaanku," dengus Sasuke.

Suigetsu mendesah, tidak tahu harus bagaimana lagi agar membuat Sasuke bicara. Ia bukannya ingin mencampui urusan rumah tangga orang, hanya saja dirinya merasa kasihan dengan Sakura juga Sasuke tentunya. Ia ingat, bagaimana kacaunya Sasuke dulu, saat mengira Sakura benar-benar pergi dari rumahnya, namun untung saja wanita itu kembali keesokan harinya. Mungkin, kegagalan yang pernah dialaminya membuat Sasuke bersikap seperti ini. Namun kenapa Sasuke menikahi Sakura di tempat pertama? Di satu sisi, Suigetsu merasa marah dengan ego Sasuke, tapi di sisi lain ia tidak bisa menyalahkannya.

Ia hanya berharap, Sakura bisa bertahan sebentar lagi menghadapi sikap Sasuke hingga pria itu benar-benar melupakan masa lalunya dan mulai membuka diri. Apakah ia juga egois berharap akan hal seperti itu?

.

.

.

.

Bersambung

.

.

Sebenernya fict ini dulu rencananya ditulis untuk sasusaku fanday, tapi karena belum selesai hingga waktu eventnya baerakhir, jadi dibiarkan menjamur di folder. Tadi saat ngecek draft2 fict random yang ditulis cuman setengah-setengah terus nemu fict ini dan saya memutuskan untuk ngepublish eheheh

Yah, alur cerita seperti ini emang mainstream banget dan alurnya pasti ketebak tapi saya tetep mutusin buat ngelanjutinnya. Saya cukup enjoy sih nulis dengan plot yg beginian wkwkkw