"Kucing itu," Seijuurou menuding Kotarou dengan sangat yakin, "dia pelakunya. Dia berubah wujud menjadi manusia. Dia yang membawamu kesini. Dia lakukan itu untuk mempermainkan kita."
Aku refleks menarik kerah baju Seijuurou dengan kemarahan yang–entahlah, sudah tidak bisa kujelaskan lagi. "Kau masih berani berkata begitu, sepupu bodoh? Kau tahu, kejeniusanmu itu benar-benar membuatku di ambang batas."
Aku tidak tahan untuk tidak menggeram lebih kencang kala menemukan kilatan menantang balik dari sepasang manik merah milik Seijuurou. Ia tampak sama sekali tidak terpengaruh dengan cengkeramanku yang semakin menguat.
Seijuurou berangsur menaruh tangannya di atas tanganku–meremasnya penuh arti. "Dan kau tahu, aku ini selalu benar."
"Apa katamu tadi–"
"Tenangkan dirimu, sayang." Dengan sekali hentak, Seijuurou menepis tanganku dari kerah bajunya, "aku serius. Beri aku kesempatan untuk membuktikannya. Aku punya rencana."
Aku mencebik jengkel, beranjak turun dari ranjang Seijuurou–mengambil dan mendekap Kotarou dengan segenap rasa ingin melindungi. "Aku tidak akan pernah mau bertemu denganmu lagi jika kau berani menyakiti Kotarou-ku."
Dari balik punggung, aku mendengar kekehan sarkastik. "Kau lebih memilih kucing yang baru kaupungut kemarin sore dibandingkan dengan sepupu yang menghabiskan hampir seluruh masa kecilnya untuk mengasuhmu? Bagus, aku sangat bangga padamu."
Skak. Aku tidak mampu lagi berkata-kata. Hanya bisa merutuk dalam diam, menunduk dalam-dalam seraya mengelus-elus bulu emas Kotarou–kucing kecil ini mendadak menjadi pendiam seolah dapat membaca situasi.
Kata-kata Seijuurou memang tepat sasaran. Tidak salah lagi, Seijuurou adalah sepupuku, teman masa kecilku, satu-satunya anggota keluargaku yang siap memasang badan di kala hidupku sedang tertimpa kemalangan. Aku sungguh tidak mengerti, kebodohan apa yang sudah membuatku berkata sedemikian menyakitkan baginya...? Sebenarnya apa yang telah terjadi pada diriku ini?
"Maa, sudahlah."
Telingaku tergelitik–kontan menundukkan kepala lebih dalam. Aku merasakan sebuah lengan merangkulku dari belakang. "Aku menyayangimu. Aku tidak ingin bertengkar denganmu." Seijuurou kemudian mengecup daun telinga kananku.
"Baka Sei..." cicitku. "Minta maaflah padaku."
"Gomen ne, ojou-sama."
Kedua belah pipiku menghangat. Begitupun hatiku. Tanpa sadar bibirku mengulas senyum kecil. Berbalik badan dan balas mencium pipi Seijuurou yang juga kusayangi.
Dari balik dekapanku, Kotarou pun mengeong pelan–tersenyum.
.
.
.
– a link to you –
Kuroko no Basuke Tadatoshi Fujimaki
[Akashi x OC/Reader x Neko!Hayama]
Fantasy/Supernatural/Drama/Romance/Family – beware of typo(s) and OOCness!
.
Enjoy reading!
.
"Jadi apa rencanamu tadi?"
"Pergi keluar, ke taman bermain."
Tanganku yang sedang memencet-mencet remote televisi terhenti seketika. Aku mengerjap-ngerjapkan mata–bingung, tentu saja. Aku bertanya tentang rencana Seijuurou untuk membongkar identitas asli Kotarou, bukan rencana kekanak-kanakkannya untuk hari ini, atau apapun itu. Apa dia salah tangkap atau memang pertanyaanku yang kurang jelas?
"Seijuurou, aku serius."
"Aku juga serius. Dua rius."
Aku melempar remote ke arah pemuda tengil yang jelas-jelas tertawa mengejek–ia berhasil menghindar, dengan bangga tersenyum puas seraya merapikan dasi hitamnya–eh, dasi?
"Kau mau kemana, Sei?" tanyaku penuh selidik, mataku terpicing, kontan menelusuri tiap inci penampilan sepupuku itu dari ujung kaki hingga ujung rambut.
"Kerja, tentu saja. Ini masih hari Rabu. Kau ini bodoh atau apa?"
"Akashi Seijuurou, sialan kau."
"Terima kasih atas pujiannya, sayang."
Ap–
Aku menghembuskan napas, menariknya lagi, kemudian mengeluarkannya secara perlahan. Ini hanya perasaanku saja atau memang Seijuurou jadi berkali-kali lipat lebih menyebalkan dari biasanya? –atau aku yang berkali-kali lipat lebih sentimental dari biasanya? Oh, lihatlah, Kotarou sampai mengelus-eluskan kepalanya di kakiku untuk menenangkanku. Lucunya monster kecilku ini...
"T-tapi, Sei," aku mendadak teringat sesuatu, "tadi kaubilang ingin ke taman bermain? Lagipula memangnya kau sudah sembuh?"
Seijuurou yang sedari tadi mengerutkan kening sembari memandangi Kotarou menjawab santai, "oh, tentu saja sudah sembuh. Kau merawatku dengan penuh cinta dan kasih, kurang apa lagi coba untuk membuatku sangat sehat hari ini?"
Gombal, Akashi Seijuurou raja gombal. Kalau aku tidak ingat dia sepupuku, mungkin sudah kupenggal lehernya sedari tadi.
"Sei, sungguh, aku serius!"
Tawa Seijuurou meledak begitu saja seiring dengan wajahku yang semakin terasa panas. Ia kemudian duduk di sampingku, menepuk-nepuk pucuk kepalaku. "Ya, aku sudah sembuh," ujarnya melembut, "terima kasih karena sudah merawatku."
Oh, kalau aku perempuan lain, aku mungkin sudah meleleh tak berdaya di kaki pemuda merah ini. Sekaligus heran, dengan wajah tampan mempesona, pekerjaan mapan menjanjikan, dan bergunung-gunung dolar yang tersimpan di akun banknya, bisa-bisanya sampai saat ini Seijuurou bertahan menjomblo.
"... S-syukurlah kalau begitu." Entah kenapa aku tidak bisa membesarkan volume suaraku lebih dari ini.
"Anak baik." Seijuurou sekali lagi menepuk kepalaku, kemudian berdiri. "Hari ini pergilah mendinginkan kepala, ke taman bermain Tokyo. Bawa saja kucingmu itu. Biar aku yang urus tiketnya."
Hah?
Kontan aku terlonjak dari duduk. "A-aku bersama Kotarou?!"
Seijuurou hanya mengedikkan bahu. "Kau dengar aku barusan 'kan?"
Aku cepat-cepat bergegas ke hadapannya. Memberengutkan mulut–menyuarakan protes lewat mimik wajah tanpa satupun kalimat yang terucap. Bagaimana mungkin aku bersenang-senang sendirian sementara tuan rumah yang kutumpangi berjibaku dengan pekerjaannya yang rumit? Tentu ada rasa sungkan di dalam lubuk hati, meskipun orang yang dimaksud adalah keluargaku sendiri.
Kotarou mengeong berkali-kali, berjalan menuju kaki Seijuurou lantas menggapai-gapai ujung celananya. Seolah mengajak bermain–benar-benar nampak seperti mengerti semua yang kami perbincangkan. Kucing itu termasuk hewan yang pintar, ya?
Seijuurou tampak melirik sekilas ke bawah kakinya sebelum melempar pandang kembali padaku. "Apa?"
Mou, Seijuurou bodoh, tidak peka.
"Aku dan Kotarou tidak akan pergi kalau tidak bersamamu."
Sebelah alis Seijuurou terangkat. "Kenapa? Mama tidak sanggup mengurus Kotarou sendirian tanpa bantuan Papa, ya?"
Astaga. Aku tidak pernah menyangka dia akan memanfaatkan statusnya sebagai 'Papa' untuk bahan lelucon.
"Terserah. Pokoknya aku tidak akan pergi kalau kau tidak ikut."
Seijuurou menghela napas. "Aku tidak bisa ambil cuti hari ini. Ada klien penting yang menungguku."
"Siapa klienmu itu?"
"Nash. Nash Gold. Dari Amerika. Aku tidak mungkin mencari masalah dengan klien yang satu itu."
"Nash?" Aku mengernyitkan dahi. Rasanya pernah mendengar nama itu di suatu tempat–
–Dan bingo.
"Ah, kalau hanya dia, biar aku yang urus," ujarku cepat seraya merogoh ponselku dari balik saku–memencet sebuah nomor yang sudah kuhapal di luar kepala, kemudian menempelkannya di telinga setelah terdengar nada tunggu.
"Chotto matte," sergah Seijuurou cepat, air mukanya tiba-tiba berubah, "kau kenal dengan pria brengsek itu? Sejak kapan?"
Raut wajah Seijuurou berubah panik semenjak aku menempelkan ponselku di telinga, membuatku tidak tahan untuk meredam seringaianku. "Dulu pernah ada sedikit urusan. Pokoknya kau tenang saja, hari ini kau kupastikan bisa ambil cuti."
Seijuurou rupanya tidak mendengarkanku. Ia tetap berusaha mengambil ponsel di genggamanku. "Sudah kubilang, jangan cari masalah dengan Nash. Bisa-bisa kau dilempar ke neraka."
"Heh? Akashi Seijuurou, apa kau sudah lupa siapa aku ini?"
Seijuurou menelengkan kepala. "Sepupuku yang hobinya membuat hatiku cenat-cenut."
"... Lupakan." Aku memijat pelipisku, merasa geregetan sendiri. Pemuda duapuluhan tahun ini memang pandai bersilat lidah, bahkan dalam situasi seperti ini.
"Jadi kenapa kau bisa kenal dengan Nash?"
Kali ini aku tidak membalas pertanyaan Seijuurou–bisa-bisa kalimatku ia balikkan lagi dengan gombal murahan. Hanya menyunggingkan senyum seraya menyambut sapaan berbahasa Inggris di seberang telepon, kemudian menjawabi pertanyaan-pertanyaan yang tertuding padaku dengan santai.
Seijuurou tampak agak gelisah tanpa mampu menginterupsi–meskipun ekspresinya datar namun keringat dingin yang menetes itu kentara sekali; Seijuurou pasti sedang mati-matian menahan rasa khawatir. Ah, dia pada dasarnya memang pria yang baik.
...
"... Jadi, hari ini direktur Akashi tidak bisa menemuimu, Nash-san. Mohon maklumnya, dan semoga harimu menyenangkan."
Tentu saja sebagai putri dari ayahku yang kelak akan mewarisi perusahaan komunikasinya–seperti halnya Seijuurou–aku sudah banyak melalui berbagai macam privat pelajaran yang ketat dan melelahkan. Oh, aku tentu tidak keberatan dengan semua perlakuan khusus itu. Aku menikmati kehidupanku yang seperti ini.
Karena aku percaya tidak ada ilmu yang tidak berguna, termasuk ilmu yang cenderung negatif sekalipun.
Hari ini, aku berhasil menerapkan salah satu dari ilmuku itu. Seijuurou bahkan dibuat terkagum-kagum karenanya; meskipun tidak secara langsung ia katakan, namun aku tahu ia sedang berterimakasih padaku karena telah membebaskannya dari klien yang tidak kooperatif. Normalnya, aku tidak akan membantu Seijuurou tanpa adanya imbalan yang pantas–karena kami berdua menjunjung tinggi profesionalitas dalam dunia kerja. Tapi tak apa, kali ini biarlah menjadi rahasia diantara aku dan Seijuurou. Seijuurou yang meluangkan waktunya untuk menemaniku pergi bermain seperti ini sudah lebih dari cukup untuk kuanggap sebagai bayaran yang setimpal.
Menyenangkan rasanya bisa pergi ke taman bermain dengan Seijuurou setelah menginjak usia kami yang sekarang. Seijuurou tampak lebih muda seperti seorang remaja laki-laki dengan setelannya yang seperti itu–hoodie tipis berwarna abu lembut ditumpuk dengan jaket navy yang dipadukan dengan celana jeans sederhana dan sepatu kets hitam. Ia tinggal tertawa-tawa lepas seperti halnya anak-anak seumuran SMA di sekitar kami (yang kuyakin sedang membolos dari sekolah) untuk kembali muda dengan sempurna tanpa cela.
Kotarou pun tak henti-hentinya mengeong-ngeong senang di dalam kandangnya yang kubawa. Ketika kukeluarkan, kucing kecil itu dengan cepat melompat dan berlari-lari kesana kemari, mengeong pada siapapun yang lewat. Kalau saja Seijuurou tidak membantuku mengawasinya, aku mungkin saja akan kehilangan jejak Kotarou di balik kaki-kaki pengunjung yang berlalu-lalang. Sedikit banyak, aku merasa kedua makhluk berbeda spesies itu berbaikan dan mulai akrab satu sama lain–meskipun sang 'Papa' masih agak canggung.
Wahana yang kami mainkan hanyalah wahana-wahana kecil–aku tidak mau meninggalkan Kotarou yang tidak lolos persyaratan. Namun, tentu saja, selama ada senyuman Seijuurou dan polah lucu Kotarou, perjalanan kami tetap terasa sangat menyenangkan. Waktu berjalan begitu cepat hingga aku tidak sadar angkasa telah bersemburat jingga.
Pada akhirnya, kami bertiga–aku, Seijuurou, dan Kotarou, lebih terlihat seperti sebuah keluarga kecil yang berbahagia menjalani liburan di hari Rabu.
Sebagai penutup liburan kami yang langka ini, kami berfoto di depan gerbang taman bermain Tokyo. Seijuurou yang memegang kamera, sementara aku menggendong Kotarou. Agak sulit memang, untuk menjaga Kotarou agar tidak bergerak-gerak gelisah dan tetap menoleh ke kamera, namun pada akhirnya kami bisa mengambil foto yang bagus. Dan sepanjang perjalanan kami pulang–dengan kereta cepat–Seijuurou terlelap damai dengan memangku Kotarou yang mendengkur di pangkuannya. Sungguh pemandangan yang menghangatkan hati, lantas kuambil kamera dari tas dan mengambil foto mereka berdua.
"Ada yang ingin kubicarakan denganmu sebentar."
Aku melirik ke sumber suara dari ekor mataku. Mendapati Seijuurou yang tengah menatap lurus padaku. "Ya, Sei? Ada apa?"
"Sebaiknya kita bicara di luar."
"Hah? Kenapa? Aku sedang memasak makan malam kita sekarang," protesku, menunjuk panci berisi kuah kari yang meletup-letup di hadapanku.
Malam ini sudah pukul tujuh. Aku sengaja memasak kari untuk makan malam. Menu malam ini pokoknya harus nasi kari. Kalau menu yang seperti biasanya, bisa-bisa tenggorokanku tersedak tofu.
"Sudahlah, tunda dulu acara memasakmu. Ini darurat." Seijuurou meraih tanganku dan serta merta menarikku menuju pintu keluar apartemen setelah mematikan kompor–aku hampir saja tersandung kakiku sendiri. Hentakannya benar-benar sangat tiba-tiba.
"Apa sih, Sei?" Aku meronta setelah kami berada di lorong depan apartemen, hanya dinaungi lampu temaram.
"Dimana kucing itu?" tanyanya tanpa melihat ke arahku. Ia terlihat sedang berwaspada.
"Kamarku. Sudah tidur. Memangnya kenapa?"
"Dengarkan aku baik-baik." Tatapan Seijuurou mendadak tajam. Ia mengeluarkan beberapa lembar foto dari saku celananya kemudian menyodorkan semuanya padaku.
Aku menerima foto-foto itu. Melihat-lihatnya dengan saksama satu per satu sembari tak kuasa menahan senyum geli. Ini foto-foto kami tadi siang ketika sedang di taman bermain. Seijuurou ternyata diam-diam mencetaknya–mungkin ia lakukan ketika ia masuk ke ruang kerjanya barusan dan cukup lama.
"Tadinya aku berencana untuk memasang kamera pengintai di seluruh pojok apartemenku, tetapi sepertinya itu sudah tidak perlu lagi kulakukan."
Mendengar kalimat itu meluncur mulus dari mulut Seijuurou, aku kontan menegakkan kepala. "Hah? Buat apa?"
"Mengawasi Kotarou-mu, tentu saja. Aku sudah berjanji padamu untuk membuktikannya, 'kan?"
"Termasuk di kamarku, begitu?"
Seijuurou mengerling. "Tentu saja. Justru itu teritori paling utama."
Aku refleks memelototkan mata padanya, namun Seijuurou nampaknya tidak terganggu sama sekali.
"Coba kau lihat foto yang ini." Seijuurou menarik dua lembar foto dari genggamanku. Ia tampak mengambil napas dalam-dalam memandangi kedua foto tersebut sebelum akhirnya menyerahkannya kembali padaku dengan tangan yang sekelebat bergetar. "Dan jangan kaget karena aku sudah berkali-kali mengatakannya padamu tentang ini."
Aku langsung menyadarinya. Kalau Seijuurou sudah seperti itu, ia pasti menemukan sesuatu yang tidak beres.
Dan benar saja. Kedua mataku tidak bisa berhenti membelalak.
Dua foto ini adalah foto terakhir yang diambil ketika kami beranjak pulang. Potret pertama adalah ketika kami bertiga berfoto di depan gerbang taman bermain sebelum pulang, yang kedua adalah foto Seijuurou dan Kotarou yang kuambil di dalam kereta perjalanan pulang.
Di dalam foto pertama, ada aku dan Seijuurou yang sedang tersenyum menghadap kamera–bersama seorang pemuda bersurai emas nan lembut dengan mata hijaunya yang terang yang tampak malu-malu memandang ke arah lain.
Di dalam foto kedua, ada Seijuurou yang sedang terlelap di bangku penumpang–bersama seorang pemuda yang sama tengah tertidur pulas dengan menjadikan paha Seijuurou sebagai bantalnya.
Tidak ada Kotarou–eksistensi seekor bola berbulu yang seharusnya berada disana seolah tidak pernah ada. Seolah tergantikan dengan pemuda misterius di dalam foto itu.
"S-Sei– Ini–"
–Ah, saking terkejutnya, aku tidak bisa berbicara dengan benar. Kalimatku tersangkut di tenggorokan, tidak mau keluar. Dan Seijuurou memandangku dengan tatapan yang tidak bisa kutebak.
"Ne," Seijuurou membuka suara, "biarkan aku menemui kucing itu sekarang. Aku ingin memastikan sesuatu. Kau tetaplah disini sampai kuberi tanda."
"Tapi Sei, di dalam berbahaya–"
Seijuurou tiba-tiba menyentil keningku, membuat mulutku kontan mengaduh. "Kau percaya padaku, 'kan?"
Aku tidak bisa menjawabnya.
"Kau percaya pada Kotarou-mu, 'kan?"
Aku tetap tidak bisa menjawabnya.
Seijuurou tampak memaksakan senyum sembari mengelus pipiku. "Aku tidak akan menyalahkanmu. Jangan takut padaku. Sudah kubilang, aku menyayangimu. Kalau Kotarou-mu itu sebegitu berartinya, aku akan membantu sebisanya."
Aku tidak bisa berkata-kata hingga entah sejak kapan pemuda merah yang selalu mengisi hariku belakangan ini menghilang di balik pintu apartemen yang tertutup. Gigi-gigiku bergemeretak. Kristal-kristal bening mengembun di pelupuk mata. Lututku terasa lemas. Tanpa sadar meremas lembaran foto yang masih kugenggam. Tidak bisa kubayangkan kemungkinan apa saja yang bisa jadi menimpa pemuda tersayangku itu karena ulahku yang seenaknya membawa kucing ajaib terlantar dari jalanan antah berantah ke kediamannya.
Ah, Sei. Ini semua salahku.
.
.
.
TBC~
.
.
.
[A/N]
Ini draft udah menjamur di laptop sampe kelupaan buat dilanjutin lamaaaa banget. Ada yang masih inget fic ini? Maafin saya leletnya kebangetan :'( Untuk chapter selanjutnya sudah dalam proses, fic ini akan saya selesaikan!
Btw, mind to review?
