Kau mengerjap kala kegelapan mengisi pandangan. Hanya terdapat cahaya samar dari pintu masuk yang terbuka.

Bau tanah tercium jelas karena lantai tak bertegel. Dinding serupa seperti koridor—batu bata putih sedikit kemerah mudaan tertata rapi tanpa celah. Kau menyentuhnya dengan jari telunjuk.

Kotor—sangat berdebu.

Meniup lembut debu di jarimu seraya melangkah masuk. Sepatu berbunyi seiring berjalan keliling—manik mencari kehadiran benda pada pandangan. Tidak mungkin 'kan hanya terdapat bata dalam ruangan?

Dan, gotcha!

Benar saja.

Terdapat selembar kertas di hadapan pintu, tertempel erat pada dinding dalam jarak tiga meter. Kau mengerjap. Tulisannya terlalu kecil untuk dibaca, sepertinya kau harus melangkah maju demi mengetahui isinya.

Kakimu pun berjalan mendekat.

Terus, terus, terus. Hingga—

Kluk!

—sebuah suara membuatmu menunduk, merasa pijakan menjadi lebih dalam. Dan benar saja, tanah berselimut darah kering yang kau injak kini berbentuk kotak kecil lebih dalam beberapa senti dari yang lain.

Mengerjap heran, kala mendengar suara bergemuruh dalam ruangan. Seperti goa runtuh—namun sedikit berbeda.

Belum diberikan waktu memikirkan apa yang kelak akan terjadi, tembok kiri dan kanan menyempit dengan kecepatan tinggi—hendak menghempit dirimu yang berdiri mematung di tengah (otak memroses kejadian; dan manik segera melebar).

Refleks kau berteriak selagi kaki berpacu menuju pintu yang terbuka—tak memedulikan kertas yang berpotensi hancur karena terhempit nantinya.

"GYAAAAAAA—!"

Grep! [1]

Eh?

Tenggorokanmu tercekat—tak lagi mengeluarkan jeritan.

Brak! [2]

Kraaaash! [3]

Manik mengerjap beberapa kali, sementara otak memproses apa yang sedang terjadi dalam kecepatan instan.

Pertama, kau berteriak.

Kedua, menutup mata erat selagi berlari secepat mungkin menuju arah keluar—disusul seseorang menarik lenganmu, membantu pelarian seraya merengkuhmu erat.

Tangan kanan memeluk pinggangmu, sementara kiri menutup—ralat, membanting—pintu. Wajahmu yang kini bersandar pada dada bidangnya, dan telinga menangkap perpacuan detak jantung yang abnormal dalam dirinya; Akashi Seijuuro.

Bagaimana kau tahu? Mudah mengetahui siapa penyelamatmu, mengingat hanya ada Akashi di sini—selain dirimu.

Jantungmu pun berdetak tak kalah kencang—karena tak biasa berlari dan ketegangan ekstrim (kau tidak suka berolahraga, lebih memilih duduk tenang membaca kisah romansa klasik dalam kamar.)

"A-A-Apa yang... b-baru saja—" Kau berusaha berucap meski nafas terengah. Tak berencana mengakhiri kalimat, membiarkan frasa mengambang—karena kau tahu Akashi dapat menerka lanjutannya.

"Entahlah." Pemuda itu berujar datar—maniknya menatapmu yang gemetar ketakutan dalam pelukannya.

"... Perangkap?" cicitmu pelan. Akashi menghela napas—beralih pandang pada pintu dengan alis bertaut heran.

"Perangkap yang terlalu berlebihan."

Witch House

Story © alice dreamland

Witch House © Fummy

The Basketball which Kuroko Plays © Fujimaki Tadatoshi

Genre: Romance, Horror, Mystery, Puzzle, Fantasy

Warning: Typo(s), all in 2nd PoV, skip scenes, AkashixWitch!Reader, chara not in the place, OOC, following the plot of Witch House, spoiler, OC, slight Cat!KurokoxReader

[—Disarankan membaca sambil bermain The Witch House—]

.

.

.

[Chapter 2: Perangkap]

[—1st Floor Part 2—]

"Ini hanya permulaan. Kejutan 'kan terus datang menggulung bagai awan, terus tatap sekitar penuh perhatian—atau nyawa jadi taruhan."


Tarik napas, lepas,

Tarik napas, lepas.

Kini kau berdiri bersandar dinding. Meletakkan kedua telapak tangan di depan dada—berusaha menenangkan diri.

Akashi di sebelahmu. Ia tidak panik, karena bukan ia yang mengalami—tapi kau. Lelaki itu tetap stay cool—kedua tangan masuk saku celana.

Menghela napas—merapikan rambut merahnya, memandang lurus ke depan. Memang aneh ia lebih memilih menatap bata putih kemerah mudaan polos tanpa hiasan daripada kau yang jauh lebih cantik jika dibandingkan.

Lelaki itu menggeleng—mendengus pelan.

Ahhhh, mengapa hujan terasa begitu lama?

Ia menoleh pada jam di pergelangan tangannya. Hufff, sudah sekitar tiga puluh menit kalian berdiam tanpa melakukan apa-apa—kecuali kau yang nekat masuk ruang didasari keingintahuan dan berakhir Akashi harus menyelamatkanmu dari bahaya perangkap.

"A-Ano, Akashi-san... arigatou sudah menyelamatkanku tadi."

Akashi menoleh—mendapatimu tersenyum kecil. Pemuda itu mengalihkan pandang kembali pada dinding, mengangguk pelan.

"Dan A-Akashi-san—" Kali ini kau melangkah, berdiri di hadapannya. Kedua iris hitam kecoklatanmu menatap lurus manik heterokom Akashi. Dibalas tatapan dingin nan menusuk—tipikal Akashi.

Meneguk ludah—mengusahakan pita suara tuk bercakap. "—aku akan masuk ke dalam pintu itu lagi. Tidak apa, kan?"

Hah?

Lelaki merah itu mendelik. Tidak tahukah kau kalau tadi kau hampir terluka? Bagaimana jika Akashi tidak tepat waktu menarikmu?

"Kita tidak bisa diam di sini terus. Lagipula tadi aku hanya menginjak pijakan yang salah, sehingga perangkap teraktifkan. Kali ini aku pasti tidak akan celaka." Kau bersikeras—mengepalkan kedua tangan erat.

Setelah menimbang berkali-kali, kau dapati bahwa rasa keingintahuan melebihi rasa takut dalam hati.

Sungguh. Kau ingin tahu ini tempat apa, mengapa kau merasa familiar dengannya, dan tentu—berpikir lebih baik memeriksanya sekali lagi mengisi senggang, melihat hujan yang sepertinya takkan reda dalam waktu dekat.

Juga... kau penasaran akan kertas tadi.

Akashi mengerjap—belum menjawab, kau sudah membuka pintu dan masuk dengan cepat.

Ternyata kau begitu keras kepala jika sudah penasaran tentang suatu hal.

Dan hei, jika dipikir—perangkap itu sangatlah ekstrim nan menjebak. Biasanya memang ada perangkap dalam setiap kastil (mengingat tempat ini bagai kastil terisolir), namun itu istana kerajaan masa lampau, bukan?

Jaman sekarang, orang lebih memilih perangkap menggunakan sinar inframerah—sehingga kriminal dapat ditangkap taktala menginjakkan kaki dalam ruangan.

Meski tak salah dengan perangkap semacam ini, kemungkinan besar berakhir melukai atau bahkan meregut nyawa seseorang cukup besar.

Apakah jebakan ekstrim itu dipasang demi melindungi suatu aset berharga dalam tempat ini? Akashi pun kurang paham.

Ah, sudahlah.

Pemuda merah itu menghela napas—ikut melangkah masuk. Tangannya segera menutup pintu—mendapati kerlip-kerlip kecil bercahaya terang mendominasi ruangan.

Kunang-kunang.

Sedikit, ia terperangah. Di Tokyo yang notabene kota besar—sulit menemukan hewan mungil tersebut. Melihat satu saja adalah mukzijat, namun kini ia menemukan sekumpulan—di tempat tak terduga pula.

Tidak. Kini ia harus fokus—mencarimu yang belum ia dapati kehadirannya dalam ruangan.

Maniknya mengerling kesana kemari, hingga mendapati kau berdiri tepat di sebelah tembok di hadapan pintu—memunggunginya. Akashi menaikkan sebelah alis, hendak berjalan lurus menuju posisimu.

Jika saja kau tidak berbalik seraya menatap Akashi dengan manik melebar.

"Ah! Akashi-san! Jangan injak tanah yang ada bercak darahnya!" jeritmu—teringat akan perangkap mengerikan tadi.

Lelaki itu mengerjap—menunduk, mendapati ia hampir memijaknya bagian terkait.

Hampir.

Kau menghela napas lega, melihat Aksahi mengambil jalan memutar hingga kini sampai di sebelahmu—menaikkan sebelah alis kala retina menangkap secarik kertas lusuh berfont ganjil penuh huruf kapital tertempel di dinding.

[COME TO MY ROOM]

Datanglah ke kamarku? Apa maksudnya?

"Menurutmu bagaimana, Akashi-san?" tanyamu—menatapnya yang sibuk mengamati tulisan. Tadi kau memang masuk dalam ruangan terlebih dahulu, mengambil jalan memutar—menghindari perangkap.

Tentu terkejut oleh banyaknya kunang-kunang dalam ruangan, mengingat tak ada satu pun saat pertama masuk. Namun ambil positifnya—ruangan menjadi terang tanpa bantuan cahaya koridor yang bahkan samar.

"Sang pemilik rumah mengundang kita untuk bertemu dengannya?" tanyamu lagi pada Akashi yang bahkan belum menjawab pertanyaan pertamamu. Maniknya masih terpaku pada kertas lusuh di dinding bata.

"Sepertinya begitu," jawab Akashi. "Tapi mengingat kertasnya sudah lapuk, mungkin maksudnya orang lain."

Kau mengangguk—merasa Akashi benar. Jemarimu pun kini menyentuh kertas, ingin menariknya dan melihat apakah ada tulisan lagi di baliknya.

Namun seakan tersihir—kertas itu seketika berubah menjadi butiran debu yang mengepul. Sedikit, kau terbatuk—namun mengerjap kala mendapati apa yang terjadi.

Kertasnya berubah menjadi serpihan debu.

Kertasnya. Berubah. Menjadi. Serpihan. Debu.

Manikmu melebar. Kau rasa kertasnya tak selapuk itu untuk dapat berubah menjadi serpihan debu halus. Menoleh pada Akashi yang juga terkejut—terlihat dari maniknya yang melebar samar.

"Aku merasa menghancurkan properti ruangan," gumammu dengan wajah pucat. Akashi tidak merespon—gesturnya sangat kalem. Cepat, ia telah kembali tenang karena bukan ia yang merusak. Kemudian memutuskan mengamati ruangan.

Mengernyit kala mendapati kunang-kunang, dinding, dan tanah di mana pun ia melihat.

Tak ada keberadaan benda lain.

"Sepertinya kita harus keluar dari sini." Akashi berujar.

"D-Dan hati-hati jebakannya." Kau merinding membayangkan adegan pertama kala masuk dalam ruangan. Akashi tak menjawab, mengambil jalan memutar—disusul olehmu yang mengekor di belakang.

Akashi keluar, kemudian kau yang segera menutup pintu dan hendak kembali duduk bersandar dinding—jika saja tak mendapati sekeliling yang berubah seketika.

Di sebelah kedua kandelir berbeda arah, kini terdapat sebuah meja berletakkan satu vas berisikan berbagai macam bunga dan warna. Juga jalan yang awalnya hanya tertuju pada pintu luar, kini menambah dua koridor lurus di kiri dan kanan.

Seperti sihir.

Tidak—atau memang sihir?

Mengerjap berkali-kali, kau dapati ini bukan mimpi. Menoleh ke samping, menyadari Akashi sedang berusaha menerka apa yang terjadi.

Ia terkejut—namun kau salut, ia dapat menyembunyikannya dengan sangat baik. Toh itulah respon yang seharusnya diterima kala mendapati sekeliling berubah dalam sekejab. Tapi, aneh.

Kau merasa... biasa.

Tidak setegang atau setakut saat dua dinding berkecepatan tinggi hampir menghempitmu kala menginjak bagian yang salah.

Aneh.

Ini terlalu aneh.

Apa kau pernah kemari sebelumnya?

Kapan? Mengapa kau tidak dapat mengingatnya?

Kau menghela napas—memutuskan mengabaikannya untuk sementara, karena telinga tak lagi mendengar sapaan rintik hujan. Kau pun menarik ujung jaket yang telah Akashi kenakan kembali—dihadiahi pandangan herannya.

"Hujannya sudah berhenti," terangmu. Akashi menaikkan sebelah alis—mencoba mendengar pergesekan air dengan tanah direndam balik pintu kayu, namun tak membuahkan hasil.

Hujan benar-benar telah berhenti.

"Kita bisa keluar." Kau berjalan maju—coba membuka pintu. Akashi berdiri di sebelahmu.

"A-Are?" Mengerjap heran. "Okashii na." [4]

"Ada apa?" tanya Akashi—mendekat untuk melihat apa yang salah. Kau terus berusaha menarik pintu.

"Pintunya tidak bisa dibuka!" Kedua tangan menarik sekuat tenaga, namun pintu seakan telah menjadi dinding—tak bergeming sedikit pun. Akashi menautkan kedua alis; beranjak membantu. Namun tetap tidak bisa.

"Pintunya dikunci—kalian tidak dapat keluar."

Kau tersentak mendengar suara asing bernada datar menyapa indra pendengaranmu. Berbalik terpatah-patah, hingga mendapati seekor kucing pada pandangan.

Are? Kucing? Perasaan kau tidak melihatnya di sana sebelum ini. Seekor kuncing berbulu biru muda berwajah manis mengibaskan ekor tenang. Melihat tak ada orang di sekitar selain dirinya, kau simpulkan ia yang berbicara.

Tunggu—kenapa kau sangat yakin ia yang berbicara? Siapa tahu ada speaker di sekitar sini—seperti biasa di sekolah untuk menyampaikan pengumuman.

Ingat, hewan berbicara itu hanya dalam dongeng. Dan bukankah ia tidak ikut masuk saat kalian berlari berlindung dari hujan?

Ah ya, bulunya bahkan sedikit basah—seperti baru saja menyeludup dalam ruangan.

"Doumo, Akashi-kun, [name]-san." Kucing itu berubah wujud—menjadi seorang pemuda berambut biru muda. "Aku memutuskan untuk membuntuti kalian sebagai hiburan."

"Tetsuya." Akashi mengernyit—sedikit merasa aneh kala menemukan rekan setim Teikonya berubah dari wujud kucing. Tapi melihat penampilan dan cara bicaranya yang terlampau sopan, Akashi yakin itu dia.

"Aku tak menyangka kita akan bertemu di sini." Akashi memicingkan pandangan. "Jelaskan maksud ucapanmu."

"Pintunya dikunci, Akashi-kun." Lelaki itu menyinggung senyum sopan—mengalihkan pandang padamu yang tak kuasa menyembunyikan ekspresi terkejut. "Kalian harus menyelesaikan semua misteri dalam rumah ini jika ingin pulang."

"Berikan padaku kuncinya," perintah Akashi—kali ini hawa gelap mulai mencuar kesana kemari. Ia kesal. Dan apa-apaan, menyelesaikan semua misteri dalam rumah ini?

"Sayangnya, bukan aku yang melakukannya." Kuroko Tetsuya—pemuda berambut biru muda itu—tersenyum meminta maaf. "Lagipula pintu itu tak dapat dibuka dengan kunci, kau harus meminta obaa-san untuk membukanya dengan sihir."

"A-Ano, apa kita pernah bertemu?" Kau angkat bicara—membuat kedua pemuda yang berbincang itu menoleh padamu.

"Dulu," jawab Kuroko datar. "Kuroko Tetsuya, yoroshiku."

"Em... [surname][name], y-yoroshiku."

"Oh ya, a-apa tadi Kuroko-san bilang sihir?" Kau bertanya ragu-ragu. Lelaki itu mengangguk kecil.

"Jaa, Kuroko-san penyihir?" tanyamu lagi—sedikit kerlip di matamu, mendapati seorang penyihir di jaman sekarang. Dan jika Kuroko penyihir, maka ia mungkin bisa membantumu.

"Iie, aku bukan penyihir. Aku hanya seseorang yang memiliki dua wujud." Kau mengerjap kemudian menghela napas. Lagi-lagi salah. Ini bukan pertama kalinya kau mengira manusia dua wujud adalah penyihir.

"Aku bisa berubah menjadi kucing—meski sesungguhnya manusia." Kuroko menjeda kalimatnya. "[name]-san seharusnya sudah tahu itu, kan?"

Kau mengangguk lesu. Kau pernah mendengar itu dari ibumu, dan sudah paham jelas mengenainya.

Eh—tunggu. Kau belum bilang kalau ibumu seorang penyihir kah?

Iya, ibumu adalah seorang penyihir handal.

Dan waktu kecil, kau dididik dalam asuhannya—mempelajari segala hal yang harus dikuasai penyihir. Dan dengan otak encermu, kau dapat mempelajari semua dasar segala sihir dalam jangka setahun.

Ya—dapat dikatakan ia mengajarimu sejak berumur empat tahun.

Kau penyihir? Setengah benar.

Ayahmu manusia, ibumu penyihir. Konklusinya: kau setengah penyihir. Toh staminamu tak sekuat penyihir murni, juga jika menggunakan sihir; kau menjadi lebih cepat lelah—dan kalau dipaksakan dapat kehilangan kesadaran.

Itulah sebabnya ibumu hanya mengajari praktek dasar. Namun sebagai gantinya—ia membuatmu menghapal seluruh teori. Bagimu yang memang tertarik dengan hal semacam itu, tak sulit melakukannya.

Dalam teori dasar, terdapat manusia dua wujud.

Manusia dua wujud memiliki darah setengah penyihir—sepertimu; namun biasanya oleh keturunan (dari generasi ke generasi), bukan langsung dari penyihir murni macam ibumu.

Karenanya, sihir dalam diri mereka hanya sedikit—tidak sepertimu yang bahkan dapat mempraktekannya meski stamina menurun drastis jika berlebih. Dan jika memaksa menggunakan sihir praktek (contoh mengeluarkan bola api), resiko kematian tinggi.

Lantas, manusia yang memiliki darah penyihir semacam itu dikunci kekuatannya dalam wujud lain untuk mencegah penggunaan sihir praktek baik sengaja mau pun tidak sengaja—dapat kucing, anjing, dan lain-lain.

Jadi dengan kekuatan sihir itu, dibentuklah wujud lain yang dapat diganti setiap saat oleh orang tersebut. Namun catat, proses ini diperlukan bantuan penyihir murni. Kau? Mungkin bisa, tapi sudah dipastikan pingsan.

Dalam kasus ini, sihir Kuroko dikonversi menjadi bentuk kucing berbulu biru—menyebabkannya dapat mengganti wujud antara kucing dan manusia sesuka hati.

Ah, tunggu—tadi lelaki itu bilang kalian pernah bertemu. Tapi kapan dan di mana? Mengapa kau merasa tidak mengenalnya?

Apakah ini karena ingatan jangka pendekmu? Atau mungkin ia bukanlah bagian penting dalam hidupmu?

"Kapan kita pernah bertemu dulu? Aku tidak ingat." Kau menyembunyikan kedua tangan di balik punggung—menautkan kedua alis heran. "Dan siapa obaa-san yang kau maksud?"

Akashi diam—menunggu jawaban. Kau rasa ia juga penasaran akan apa yang terlontar sebagai respon Kuroko.

"Dulu, beberapa kali tapi tidak lama. Itu wajar jika [name]-san tidak ingat." Kuroko menjawab datar—sepertinya ia sudah mengetahui memori rapuhmu. "Mengenai obaa-san, kalian harus menyelesaikan misteri rumah ini jika ingin bertemu dengannya."

"Terutama [name]-san," ujar Kuroko—menatapmu lurus. "Aku yakin [name]-san ingin bertemu dengannya. Dan ia juga takkan melepaskan kalian sebelum bertemu [name]-san."

"E-Eh? Aku ingin bertemu dengannya?" Kau memiringkan kepala sedikit—meski batin telah menemukan jawaban, mulut berujar tuk memastikan. "Siapa?"

"[name]-san akan tahu jika sudah menyelesaikan misteri rumah ini." Kuroko tersenyum—menatap Akashi dan kau bergantian sebelum kembali pada ekspresi datarnya. "Aku tidak diperkenankan membantu dan hanya mengamati, gomenasai."

Kau mengerjap—menghela napas.

Baiklah, lagipula jika setelah ini kau memang akan bertemu dengan dia, kau tak keberatan harus melalui rintangan seperti dinding menyempit kala pertama masuk. Resiko terluka tinggi, tapi jika memang dia—kau rasa ia takkan membiarkanmu mati.

Ya. Kau yakin itu.

Kini kau memandang Akashi serius. "Akashi-san, sepertinya kita harus menyelesaikan misteri rumah ini untuk kembali pulang."

Akashi mengerti jika tak ada jalan lain, tapi sedikit ia heran dengan perubahan mimikmu yang tiba-tiba. Lebih serius dan berambisi. Ia mengangguk.

Kuroko melihat bahwa kalian berdua telah mengerti dan memutuskan untuk segera memecahkan misteri. Karenanya, ia pun kembali dalam wujud kucingnya—duduk manis di atas karpet merah beludru.

"Jadi dimulai dari lantai dasar ini?" tanyamu pada Kuroko—dibalas anggukan sang kucing biru. Kau menatap dua koridor di samping—benak bingung untuk memilih.

Namun terhenti saat lenganmu ditarik Akashi menuju koridor kiri. Manikmu menangkap ruangan bercahaya remang di ujung jalan—tanpa pintu penghubung dari koridor ke sana. Kalian pun melangkah masuk.

Mendapati sebuah pintu kayu dalam ruangan, lemari kayu lapuk termakan rayap yang dirubungi sarang laba-laba, meja keramik dengan kursi kayu tinggi di hadapan, dinding putih, serta lantai terbuat dari besi—entah apa gunanya.

Kau langsung berlari menuju pintu—melepaskan diri dari genggaman Akashi. Menariknya, mencoba membuka—namun pintu terkunci dan seakan menempel erat dengan dinding.

Menghela napas, menoleh pada Akashi yang kini sibuk di sebelah meja keramik—tangan menggengam sebuah gunting dirantai pada meja.

Ckris. Ckris.

Sedikit bulu ronamu meremang kala Akashi memainkan benda tajam tersebut. Namun memutuskan tidak peduli—berusaha mengabaikan sang lelaki yang kini mencari cara mematahkan rantai besi yang mengikat gunting.

Manikmu kau fokuskan pada lemari kayu yang setengah terbuka loker bawahnya—namun manik mendapati laba-laba bersarang di sana. Ihh, laba-laba. Kau benci hewan berkaki delapan macam mereka.

Menggelikan dan membuatmu merasa sedikit... takut.

Ah, sudahlah!

Kau menggeleng-gelengkan kepalamu. Berjalan menuju lemari bertingkat tiga tersebut—membuka bagian atas.

Kosong.

Menutupnya seraya membuka loker kedua.

Sedikit kau terbatuk karena debu tebal yang keluar, namun manikmu tetap kau arahkan pada dalam loker.

Tampaknya tidak ada apa pun—tapi harus dipastikan, bukan? Terlebih bagian ini sepertinya bebas sarang laba-laba. Kedua tanganmu perlahan masuk mencapai dasar—pertama jari telunjuk, disusul jemari lainnya.

"Kau tahu siapa orang yang dimaksud Tetsuya."

Belum sempat meneliti setiap sudut dalam bagian loker kedua, suara bariton Akashi membuatmu mengalihkan pandangan pada sang lelaki yang menatapmu lurus—gunting sepertinya tak berhasil dilepas dari rantai.

Manik matamu mengerjap. Penuturan Akashi lebih cocok dibilang pernyataan dibanding pertanyaan. Kau menghela napas—tersenyum sedih.

Berbalik kembali mengobrak-abrik isi lemari. Manikmu mengamati detil setiap sudut—meski batin berusaha mencari respon tepat untuk ucapan Akashi.

Akashi menunggu, kau tahu. Dan kini kau masih belum dapat menjawab, lidahmu kelu—batinmu ragu.

Lima menit berlalu.

"Jawab aku." Akashi menekankan ucapannya.

Kau memang ingin menjawabnya—tak bermaksud menghindar. Tapi... dari mana kau harus memulainya?

Menghentikan aktivitasmu—mengangguk kecil; yang kau yakin diketahui Akashi karena sampai sekarang pandangan intimidasi nan dinginnya masih dapat kau rasakan meski tidak bertatap muka.

"Iya, kurasa... aku tahu siapa yang akan kita temui di lantai atas nanti." Kau berujar tanpa menoleh pada Akashi—meneguk ludah ragu. "Dan jika aku benar—"

Kali ini kau meliriknya sekilas lewat ujung mata, dan Akashi mengetahuinya—membuat kalian bertemu pandang.

Menggigit bagian bawah bibir, melanjutkan. "—kita akan bertemu ibuku."


[1]: suara lengan ditarik (ga elit? Saya nyadar kok)

[2]: suara pintu ditutup eh—dibanting.

[3]: suara dinding berbenturan (hiks, ini saya gatau bener ga)

Kalo di game nginjek tegel merahnya langsung dihadiahi game over, di sini masih diselamatkan sama Akashi fufufu *plis*

Ahaha, maaf. Saya emang bukan spesialis misteri fantasi -_- Saya lebih pandai membuat fluffy things. Ini rada berbobot dengan plot twist, bahkan saya cukup bingung. Tapi tentu saya harap semuanya suka!

Sekian!

~alice dreamland