BoBoiBoy © Animonsta Studios

Bersamamu, Inginku

.

.

.

[Kau adalah sosok yang begitu berharga. Mengarungi kehidupan kelam, mengabaikan tetes keringat dan air mata. Asalkan bersamamu aku kuat menghadapi hidup. Aku bersyukur untuk mengenalmu.]

Hope you enjoy mine!

.

.

.

{1/3} – Maukah Kau Menerima Lamaranku?

Pernikahan itu sakral bagi kaum hawa. Mengikrar janji di depan semua tamu undangan yang hadir, lalu mengangkat tangan kiri dengan hiasan cincin berkilau pada jari manis. Memakai gaun putih sebagai lambang baru (putih dipercaya selain suci juga dinyatakan sebagai manis, hal yang baru, dan sifat kehidupan positif lainnya), memamerkan kepada orang terdekat dan khalayak yang melihat.

Setiap wanita menginginkan pernikahan yang manis dan meriah.

Lain dengan ketika aku menghadiri pernikahan sahabatku, Ying. Dia berjalan di altar dengan anggun pada lurusan karpet merah, menenteng sebuket bunga. Di sebelahnya ada laki-laki berambut pendek bergandengan menuntun sang gadis berketurunan cina itu. Mempelai laki-laki yang sama keturunan sudah menunggu bersama pendeta, tidak kalah rapi dengan jas hitam berkemeja putih dan dasi merah diunjuk diantaranya.

Acara dimulai saat kaki pengantin wanita sudah sampai di depan pendeta.

"Sebelum mereka mengucapkan sumpah, adakah di antara para tamu undangan sekalian yang ingin memberi pesan?"

Laki-laki yang menggiring pengantin itu berlari ke arahku. Ia menarik lengan kananku dengan sumringah senyum. Aku tidak memberontak karena aku ingin tahu apa yang dilakukannya.

"Lihat nanti Ying, Fang! Aku dan Yaya akan menyusul kalian untuk menjadi pengantin paling romantis!"

Semua tamu undangan—tidak terkecuali Fang dan Ying yang akan menikah—menoleh pada kami. Tidak berangsur lama, suara tawa meledak serempak.

—harusnya aku tidak membiarkan dia menyentuh tanganku yang suci.

"Aku tunggu, Boboiboy," kata Fang setelah tertawa sejenak. Rupanya laki-laki beragama kong hu chu sendiri menganggap janji Boboiboy sebagai taruhan di meja judi.

"Aku juga, akan menunggu kalian," Ying ikut bersuara. Senyum manisnya masih merekah dari wajahnya.

Masalahnya ... aku dan Boboiboy tidak ada hubungan sama sekali. Hanya sebatas 'sahabat'.

"Boboiboy, kau memalukan aku," kataku kecil. Wajahku aku palingkan dari setiap mata yang melihat wajah hangatku—termasuk Boboiboy sendiri.

Aku tidak punya perasaan khusus padanya. Sedikitpun, tidak pernah bergeser dari garis 'sahabat'.

=oOo=

"Yaya, menikah itu tidak perlu saling mencintai karena ingin memiliki. Makanya jangan kebanyakan nonton sinetron," gerutu sang bunda ketika kami berdua bersama-sama duduk di atas sofa besar. Tangannya diangkat, menekan tombol dari remote yang ia genggam. Channel pun terganti bertepatan ibu jarinya ia tekan.

"Tapi bu, kebanyakan temen-temen juga kalau pacaran karena saling suka kan?" aku menghela napas. Punggung ku sandarkan pada sofa. Ingin rasanya aku merebahkan kepalaku karena kecapekan dari acara pernikahan sahabatku. Ah, aku tidak boleh menyia-yiakan waktu bersama bunda untuk bertanya.

"Kamu itu sudah 20 tahun tapi belum tahu juga apa itu pernikahan."

Aku berdiam. Tidak berani lagi aku membela. Suara mama tidak lantang—sungguh! Hanya aku mencoba menghargai ucapannya. Berdiam mendengarkan.

"Pernikahan untuk agama lain mungkin begitu, tapi dalam islam itu 'mencintai apa adanya'. Memang mungkin lebih baik menikah dengan pria yang kamu sudah kenal notabenenya orang baik. Jodoh itu tergantung keberuntungan dan sifat."

"Maksudnya?"

"Kalau kamu gampang milih-milih cowok, itu berarti Yaya tidak mau menerima orang itu apa adanya. Egois berarti bukan? Suatu saat kau akan dapat pria seperti itu, yang di masa lalunya juga suka gonta-ganti pacar."

"Kan kita gonta-ganti pacar cuma biar satu selera. Akhlaknya juga ..."

"Jodoh itu Allah menentukan, sayang. Bukan kita," kepalaku bunda elus lembut. Acara televisi ia kecilkan volumenya dengan masih memperingatkanku. "Terima dia apa adanya. Terima semua sifatnya. Karena dia pemimpinmu. Makanya Allah sangat membenci orang yang bercerai. Karena bercerai, berarti meragukan pilihan Allah."

"Ibu ...," aku memerhatikan wajah sang bunda dengan pilu. "Aku cinta Allah, dan aku tidak mau dia murka denganku ... tapi aku juga tidak mau mengecewakan hari tua ibu. Aku cinta ibu juga—"

Pelukan erat kurasakan.

"Itu anak ibu. Aku ikhlas kalau anak ibu ini miskin atau kaya, tapi ibu tidak mau kau menikah dengan orang yang tidak suka ibu ..."

Aku mengerti, ibu. Ketika kau mengatakan 'tidak suka', itu mengingatkan aku dengan silsilah keluarga kami saat itu. Dimana sang pemimpin keluarga sebelum tumbang menghardik ibu. Mengatakan benci kelahiranku dan bunda. Lalu keesokannya berstatus almarhum.

Padahal dulu ayah berjanji akan selalu menyayangi kami.

Janji hanya bualan agar orang semakin perhatian dengan kita. Seperti karangan redaksi agar tajuknya laku keras.

Ting! Tong!

Suara bel rumah berbunyi. Ibu langsung melepas pelukannya, bangkit dari sofa, lalu membukakan pintu. Aku yang masih duduk manis dari alas duduk menolehkan kepalaku. Mengintip siapa yang datang bukan masalah 'kan?

"Yaya, ada Boboiboy nih!"

Untuk apa Boboiboy datang ke sini?

Aku menyembunyikan pertanyaan yang selintas hadir dalam benakku. Ikut bangkit dari sofa, lalu melangkah mendekati pintu. Sosok pria bertopi jingga langsung tersenyum ketika aku mengintip wajahnya.

"Yaya, kau ada waktu? Fang dan Ying mengajak kita untuk—"

"—untuk bantu-bantu ya?!" seruku. "Ayo ke sana!"

"Eh—oh—i .. iya, bunda, saya bawa Yaya dulu ya?" izin Boboiboy sopan.

"Jaga dia ya, Boboiboy? itu gadis satu-satunya mama loh," goda bunda. Aku menyenggol tubuh bunda.

"Ibu!"

"Iya iya. Bercanda kok."

"Aku pergi dulu, bu. Assalamu'alaikum." Aku berpamitan menyalimi kedua tangan bunda, yang malah dihadiahi dengan kecupan pipi dari bunda setelah menjawab salamku.

"Saya juga pergi dulu, bu. Assalamu'alaikum." Boboiboy ikut menyalami ibu.

"Wa'alaikum salam. Gini calon menantu yang baik nih," ibu menepuk bahu Boboiboy. Kesan manis ibu tidak main-main kali ini.

Ayolah ibu, aku tidak pernah berharap jadian dengan Boboiboy ...

=oOo=

Kami berdua berjalan sepayung—kebetulan hari ini tiba-tiba hujan—dengan masih berpakaian ketika kami datang pada acara pernikahan tiga jam yang lalu. Tidak ada satu diantara kami yang mengeluarkan satu patah kata pun, saking canggungnya.

"Aku tidak mengerti kenapa di hari pernikahan mereka, hujan turun sederas ini," Boboiboy memecah keheningan dengan membuka topik. "Hari bahagia, bukan? Apa jangan-jangan ketika mereka wafat bakalan jadi cuaca panas?"

"Hush! Jangan bicarakan kematian!" bantahku.

"Maaf. Aku takut sih, kalau di hari yang harusnya aku bahagia disana ada yang menangis," Boboiboy tetap memegang payungnya kuat. Membagi lebarnya padaku walau angin agak kuat menghembusnya.

"Orang ketiga ya?"

"Bukan, kekasih yang akan kunikahi."

"Aku baru tahu kau punya kekasih, Boboiboy," balasku agak berseru. Kaget saja lah, karena aku tidak tahu kabar dia punya tunangan atau semacamnya.

"Dia baik. Bisa masak juga. Muslimah sejati," desis Boboiboy. "Perempuan idamanku."

Wajahku tergantikan getir. Meskipun aku ingin sekali mengintimidasinya, apa berhak aku mengetahui hubungannya? Hanya sahabat, bukan satu darah. Mana boleh aku ikut campur urusan orang bukan? Masih bersyukur dia mau mengatakan ciri-cirinya di depan orang yang bukan siapa-siapa dia.

"Hei, kenapa kau diam?"

"Aku bingung bagaimana untuk mengucapkan selamat," bohong, aku hanya mengarang.

"Kenapa? Aku ada kan?" tiba-tiba Boboiboy menarik tanganku untuk berbelok. Tiba di suatu taman dengan pijakan rumput kecil.

"Eh kenapa kita belok?" aku tidak ingat untuk membalas ucapan dia sebelumnya.

"Disini kita berkumpul, Yaya."

"Tapi rumah mereka kan masih jauh—"

"Halo Boboiboy! Yaya!" seru dua orang dengan sepayung juga, menghampiri kami. Wajahnya begitu kukenal. Fang dan Ying.

"Menikah bukannya membuka kado, malah ke sini," gerutuku. "Sudah buka kado dariku belum, Ying?" aku menangkap suatu benda yang cukup aneh untuk di bawa pada hari hujan begini. Sebuah gitar, dari tangan Fang.

"Aku tunggu waktunya. Mama papa sibuk mengatur orang-orang untuk menurunkan tenda karena hujan. Lagian, alat-alat makan yang kotor perlu waktu untuk dibersihkan. Membuka kado pada jam kerja anak buah papa, sama saja dengan harus berbagi."

Aku mengangguk kecil mengerti. "Dan ... kita ngapain disini?"

"Hanya sekedar mencari hiburan?" Fang mengangkat pundaknya, melirik kecil Boboiboy yang membisu sedari tadi. "Mencari asupan manis. Sehabis menikah perlu bulan madu bukan? Madunya susah dicari." Madu dalam ucapannya hanya istilah dari 'manis'.

"Membeli coklat? Aku bisa membuat cookies coklat! Kujamin pasti lezat!"

"Bikinnya di rumahmu," sahut Fang. "Aku dan Ying akan membeli beberapa kopi instan. Hitung-hitung pajak pernikahan kalian mampir."

"Tidak adil hanya satu cangkir kopi!" bentak Boboiboy yang akhirnya ikut buka mulut. "Berikan aku satu lagu!"

"Kau mencoba homo—hmm?" Ying kali ini menyahut. Terdengar seperti menyindir bagiku.

"Ying, jangan bercanda sekarang! Aku gugup, kau tahu!"

"Boboiboy homo?" kali ini aku yang bertanya. Kata 'gugup' sedikit terdengar ambigu.

"Bu—"

"Seratus persen," celetuk Fang. "Dia menyukaiku, Yaya."

Sentak aku menerima payung yang Boboiboy ulurkan. "Heh! Cepat sedikit, dasar kau pria nakal!"

"Tidak seru," Fang bersiul sedikit. Gitarnya ia angkat, mencoba memetik senarnya. Terdengar pas bagi telinganya. "Baik." Ia mulai menggesek koin yang ia pegang pada senar.

Alunan gitar terdengar. Sejak dari sekolah dasar, Fang memang sudah sangat baik memainkan alat musik petik itu. Dia cukup berbakat untuk seni.

—tunggu, gitarnya untuk apa?

"Yaya?"

Sapaan yang terdengar lembut. Jantungku berderup sebentar.

"Tahu siapa maksudku dengan 'kekasih yang akan kunikahi'?" tangannya menarik telapak tangan kiriku di atasnya. "Aku sudah minta izin dengan mertuaku. Dia memperbolehkan aku untuk bersanding dengannya."

"Ini terdengar tiba-tiba—m—maksudku, sangat terkejut. Sikapmu juga—aku—" lidahku kelu tiba-tiba.

"Dia pernah kuunjuk di pernikahan Fang dan Ying, dan kini aku akan memasang mahkota di jari manisnya." Ia merogoh saku jas hitam yang ia kenakan. Sebuah kotak kecil bernuansa hitam kini ia pegang. "Aku harap dia akan menerima keinginanku ini."

Sungguh, aku bahkan tidak bisa menarik tanganku. Tubuhku seakan sudah merencanakan akan membeku saat Boboiboy menyentuh jemari manisku.

"Perbolehkan aku memasang mahkota di jari manismu saat ini juga, jika kau menerima." Kini wajah Boboiboy mendongak, menatapku tersenyum. "Silakan hempaskan, jika kau tidak mau menerimaku, Yaya."

Ia mengangkat jari manisku. Kotak hitam yang tadi dipegangnya terbuka secara tiba-tiba, menampilkan sebuah cincin berukir dari batu indah. Berkilau. Kedua mataku takjub sebentar, namun aku kembali melihat duniaku.

Kini aku akan bertunangan dengan Boboiboy bila cincin yang akan dia pasang tidak aku tepis. Apa jawabanku? Apa? Apa?

"Aku berjanji, akan mencintaimu selamanya. Aku akan selalu dipihakmu, selama-lamanya."

Tangan kananku reflek menampar tangannya yang sudah sedia memasukkan cincin. Cincinnya terhempas.

"Hujan, kesedihan," desisku dengan masih gugup. "Kau bilang hujan tanda kesedihan bukan? Ini adalah KESEDIHAN UNTUKMU!"

Suara gitar tidak lagi mengiringi kami. Suasana sesaat sepi, membiarkan desiran hujan bermain-main pada pendengaran kami.

"A—aku menangis, ketika ada yang dengan gampangnya melontarkan janji. KAU TIDAK TAHU KAH KALAU JANJI ITU BEGITU BERHARGA BAGI GADIS—TERUTAMA AKU!" masih memegangi payung pada tangan kanan, aku menyodorkannya kembali pada Boboiboy. "Fang. Ying. PERGI KALIAN!"

Kenapa kau harus membentak? Kau kan bisa bilang baik-baik dengan mereka, Yaya! Batinku memperingatkan aku.

"Tidak apa kah Boboiboy?" izin Ying cemas. Boboiboy menggeleng sebagai jawaban. Kedua pihak pasangan itu langsung berlalu dari kami, masih dengan sirat wajah cemas.

"Maaf Yaya, aku tidak tahu kau akan membenciku," Boboiboy tidak lagi menunggu Fang dan Ying berlalu. Langsung saja dia meminta maaf memelas.

"Bukan kau—tapi aku yang harus minta maaf ..." aku duduk berjongkok dengan emas. "Maaf Boboiboy. Aku memalukan, ya?"

"Sangat. Kukira kau bakal bahagia. Aku tidak tahu kau masih takut denganku. Padahal aku sudah meminta izin dengan ibumu. Aku sudah—tch, abaikan. Setidaknya, aku masih ingin berteman denganmu. Boleh, Yaya?"

"... kenapa?"

"Karena jarang kulihat orang yang putus bisa berteman—"

"Bukan. Kenapa aku mengecewakan ibuku sekarang?"

Nasehatnya untuk menerima pria apa adanya masih terngiang dari telingaku. Mengetuk ingatanku sementara.

"Itu pilihanmu, Yaya. Aku mengerti itu."

Aku menggeleng. "Bukan. Aku bukan memilih untuk berpisah denganmu!"

Aku merangkak. Kepalaku kuarahkan kesana-kemari dengan sesekali telapak tangan kuraba pada lapangan yang masih berupa tanah. Kedua mataku menjelajah, dan aku baru tahu rupanya sedari tadi kubiarkan kepalaku kehujanan.

Aku tidak peduli! Aku harus dapatkan cincinnya!

"Yaya! Kau akan demam!"

Seruan Boboiboy tidak kugubris. Melihat cacing berjalan aku tidak takut. Bahkan sempat memegang kodok aku tidak berteriak. Pikiranku saat ini penuh dengan mencari tahu keberadaan sang mahkota jari. Oh dimana kau cincin?

"Yaya! Biarkan saja cincinnya!" Boboiboy mengerti apa yang aku cari. "Aku bisa beli lagi! Asal aku sudah mendengar jawabanmu saja, aku sudah senang!"

"TIDAK, BOBOIBOY! JANGAN SURUH AKU MENYESAL SEPULANG INI!" teriakku melengking. Hatiku terus terpacu dengan masih merangkak kesana kemari. Oh dimana dia? Ya Allah, temukan dia!

Sinar kilau kupandang dari depan. Mungkinkah?!

Segera aku mempercepat diri merangkak. Tidak peduli kerudung dan pakaian belepotan lumpur. Jika itu bisa mengampuni tindakan fatalku barusan, aku akan lakukan!

Ketika aku mendapatkannya, aku duduk dengan kedua paha sejajar. Aku mengenggam cincin yang kini ada di tanganku. Menempelkannya pada dada.

"Karena ibu bilang aku takkan bersyukur kalau ganti pacar. Ibu juga bilang sama teman lama lebih baik," aku memejam mataku kuat. Aliran air entah dari keringat atau hujan menghiasi wajahku. "A—aku gak mau ada yang berjanji. Tolong jangan berucap janji begitu gamblangnya, Boboiboy."

Bayangan gelap menutup tubuhku. Payung yang tadi menutupi tubuhku, kembali melakukan hal yang sama. Aku mendongak, mendapati wajah laki-laki bertopi jingga dengan senyum dewasa. Dia memandangku puas.

"Kau itu bisa kekanakan juga, Yaya. Kukira kau akan mencari laki-laki lain. Kau tahu tidak, hatiku sudah terpaut padamu ... sejak pertama kali mengenalmu?"

Aku membisu.

"Siapa yang pertama kali menyambut kehadiranku dengan mengunjungi rumah kakekku di pulau ini? Siapa yang membelaku ketika aku nyaris dicurigai guru?"

Kedua tanganku kugadahkan, menyerang langsung sosok berjaket di depanku. Aku tidak peduli dia ikut kotor, walau awalnya aku akan merasa bersalah untuk ini.

"Aku senang mengenalmu, dan kini keinginanku untuk selalu bersamamu akan tercapai. Aku bahagia, sekarang."

"Aku juga suka Boboiboy yang bela-bela kemari ... andai kau selamanya di kota, kita takkan bertemu ..."

Aku memang menginginkan pernikahan yang manis.

Tapi, bersama jodoh saja aku sudah senang. Maksudku, hei aku bisa bersama Boboiboy sepanjang hidupku. Mendapat lontaran manisnya.

"Aku akan pertanggung jawabkan kebutuhanmu. Apapun yang kau mau."

"Aku hanya mau kau mencintaiku karena Tuhan, Boboiboy."

Kecupan manis di dahi langsung kudapat dari Boboiboy.

=To be Continued=

A/N: Untuk rekues aries quuenzha yang katanya mau multichap BBBYaya. Ayolah Gempa itu sama saja Boboiboy, jadi saya sekalian buat BoboiboyYaya. Walau seramnya itu gloves tanahnya wkwkwk.

Semoga suka :'))))