Normal POV
Belum saja Nagisa menyesali kepergian Karma, lagi-lagi rasa sakit di kepala membuat dirinya merasa sakit dan meronta. Seiring dengan itu, jarak mereka semakin menjauh. Gakushuu menyeret Nagisa menuju rantai tempat si surai langit terikat, dan kembali menguncinya dalam satu ikatan kuat.
Nagisa terus berteriak-teriak seperti orang gila, berharap ia tidak dijauhkan dari Karma. Bagaikan angin lalu, Gakushuu memanggil dua orang yang tak dikenal oleh Nagisa.
"Buang dia," Matanya melirik tajam pada mayat bersimbah darah. "Aku akan menyusul, ada urusan yang harus kuselesaikan sekarang."
Kedua orang bermantel itu mengangguk, tangan mereka dengan sigap membawa mayat Karma dan menjalankan perintah.
"HENTIKAN!" Teriakan yang terkesan membentak itu keluar dari bibirnya. Gakushuu melirik Nagisa. "Jangan bawa dia! KUMOHON!"
Kedua orang tersebut tetap membawa pergi Karma, seolah telinga mereka tuli dengan ucapan Nagisa yang terkesan pilu dan menyesakkan. Rantai terus bergesekan seiring dengan gerakan brutal yang dibuat olehnya. Perlahan, tinggal mereka berdua disana; diiringi dengan lolongan Nagisa yang meminta Karma untuk dikembalikan.
Perlahan namun pasti, pemilik helai merah terang sudah hilang dari pandangan.
Gakushuu terdiam.
Nagisa terisak.
Akabane Karma sudah tidak ada.
Pikirannya kacau, napasnya sesak, keringat bercucuran, darah kembali mengalir—Shiota Nagisa hampir melupakan kewarasannya.
Rantai berkarat itu terus bergerak brutal, kakinya menendang-nendang udara, bibir Nagisa terus mengucapkan kata-kata kotor yang sangat mengerikan. Dan itu semua ditujukan untuk seseorang yang tengah berdiri di hadapannya.
"Kau... brengsek." Ah, bahkan lebih dari itu. "KAU PEMBUNUH!"
PLAK!
Sedetik setelahnya, pipinya memerah akibat tamparan keras yang diarahkan padanya. Gakushuu menampar Nagisa; hal itu membuat pemuda yang lebih kecil langsung terjatuh, berbaring di lantai marmer yang dingin. Tubuhnya gemetar karena rasa sakit; tapi sakitnya tidak melebihi hatinya yang terluka.
Rambutnya yang tergerai kotor lantas kembali ditarik. Nagisa bangkit akibat tarikan Gakushuu yang tidak bersahabat. Biru bertemu ungu; tajam bertemu marah; senang bertemu kecewa. "Memang kenapa? Apa aku salah?"
Nagisa kembali dihempaskan. Tangan kecilnya langsung diinjak oleh kaki Gakushuu yang dilapisi oleh sepatu sekolah. Ringisan serta aliran darah kembali terdengar. Kembali, Gakushuu menatap tajam Nagisa yang terjatuh di depannya. "Dia iblis, Nagisa-kun. Salah satu sampah di dunia yang harus dimusnahkan." Ia mendengus. "Semua orang pasti berpikir begitu,'kan?"
Kaulah yang iblis, Asano Gakushuu.
Nagisa tak sanggup berkata apa-apa, tapi hatinya menyumpah-nyumpah.
Gakushuu berjongkok lagi, menatap Nagisa dengan pandangan sinis. Tangannya menyentuh pipi Nagisa yang sudah dilapisi oleh darah kering dan air mata mengalir. Sentuhannya berlanjut ke dagu pemuda itu; mengelusnya. Masih dengan seringaian, Gakushuu mengadahkan kepala hingga pandangan mereka nyaris bertemu. Nagisa tetap memandang ke bawah, tidak mau menatap iris ungu milik pemuda di hadapannya. Asano Gakushuu tidak terlalu peduli dengan itu semua; ia malah terus melanjutkan sentuhannya. Tangan yang sudah membunuh itu menekan-nekan kedua belah bibir Nagisa, dagu, dan akhirnya turun ke leher.
Sudah selesai, 'kan?
Shiota Nagisa miliknya.
Hanya miliknya.
"Kau tahu, Nagisa-kun?" Gakushuu berbisik. "Aku menginginkanmu. Perasaan ini benar-benar ingin memilikimu..."
Ketika lidah itu terjulur, saat Asano Gakushuu mendempetnya ke dinding dan tangan itu mulai menyentuh seluruh tubuh—
"Karma-kun... tolong."
—Shiota Nagisa hanya diam membisu.
.
.
.
TORTURE
Ansatsu Kyoushitsu by Matsui Yuusei
Torture by stillewolfie
[Gakushuu & Nagisa & Karma]
OOC, AU, yaoi, typo, etc.
—challenge: kucing, penguntit, vodoo, dan cinta pertama—
.
.
SECTION FOUR
(Victima)
.
.
Sinar mentari yang menyelusup dari balik jendela besi di ruangan itu membuat matanya terbuka. Manik biru yang hampa mulai menampakkan sinar kosong. Kembali, Nagisa terdiam. Meski ia tahu hari sudah menyongsong kehidupan baru, tetap saja kedua manik matanya tak bisa melihat secara langsung. Ia duduk bersimpuh disana, dengan keadaan diikat oleh rantai, serta mata yang tertutup oleh kain.
Mimpi yang sama kembali muncul dalam bunga tidurnya. Berulang-ulang.
Nagisa menghela napas berat. Setidaknya pemuda tersebut tak lagi melihat tragedi itu secara langsung. Semua sudah selesai, 'kan? Bila Nagisa disini, maka tidak ada korban lagi. Ia sudah menyakinkan semuanya. Maka dari itu, hari-hari akan ia lalui dengan cara yang sama pula; berdiam disana hingga malam menjelang.
Suara langkah kecil, hampir tak bersuara, tapi bisa didengar di gendang telinga. Nagisa tak mau menebak, tapi ia sudah tahu bahwa ada satu sosok yang akan mengunjunginnya pagi ini. Seekor kucing berbulu putih, berjenis persia; dengan manik merah delima serta tubuh gembul yang bulat. Ekor panjangnya berkibas, manik mengerjap kala mendapati sesosok manusia tak asing yang terduduk dengan keadaan mengerikan.
"Meong~"
Tanpa sadar, bahu Nagisa menaik.
Ia menyadari aura hewan itu.
Kaki-kaki mungilnya mendekati Nagisa, dan meletakkan satu benda yang sudah usang dan tak layak. Sebuah boneka manusia dengan sulaman asal, dibuat menggunakan benang serta manik-manik berbagai warna. Kulitnya sudah mengelupas, menandakan kapas-kapas yang digunakan sebagai fabrik tubuh itu terkeluar. Meski begitu, rambut serta kedua manik emas itu tetap berlaku. Boneka vodoo versi Akabane Karma yang telah dibuat beberapa bulan lalu, telah muncul dan teronggok lemas di hadapan Nagisa yang tak bisa melihat benda itu secara langsung.
Kucing itu melipat kakinya, ia duduk dengan boneka Karma sebagai pembatas antara dirinya dan Nagisa. Seolah ia adalah seorang manusia, ia melirik wajah Nagisa yangs sudah diliputi oleh darah kering dan bekas air mata.
Mereka terdiam cukup lama.
"Apa... yang kau inginkan dariku?"
Bibir Nagisa tak tahan. Akhirnya, ia pun bertanya.
"Apa kau belum puas menghancurkan hidupku, Shiro?" Tersenyum miris. "Seharusnya, aku tidak bertemu denganmu malam itu."
Kalau saja, kucing ini mati di saat itu juga.
Seandainya Nagisa mengetahui masa depan, ia pasti tak akan membiarkan hidupnya dirusak oleh hewan yang tak berdosa.
"APA SALAHKU PADANYA!? KENAPA KALIAN MEMBUNUHNYA!?"
Tak ada yang menjawab. Teriakan itu menggema dan hilang tak berbekas. Shiro hanya terdiam tak bergerak, tapi ia menghentikan kibasan ekornya. Manik merah semerah darah Karma yang mengalir di lantai itu mengerjap. Namun ketika ia merasakan sesuatu yang sangat tak asing baginya, lantas dirinya mundur dan mempertemukan Asano Gakushuu dengan Shiota Nagisa yang lagi-lagi meraung.
Gakushuu kembali berjongkok. "Kau sudah bangun, Nagisa-kun?" Pipinya disentuh. "Ohayou. Apa harimu menyenangkan, hm?"
Pertanyaan yang sama.
Pertanyaan yang seolah mengejeknya.
Memberikan firasat bahwa Nagisa diremehkan.
Nagisa menangis dalam diam.
Gakushuu hanya bisa tersenyum dibuatnya.
"Kau tahu? Hari ini merupakan bulan kelima setelah Akabane-kun mati, lho." Bahu Nagisa menegang. "Apa kau tidak berniat merayakannya bersamaku, Nagisa-kun?"
Nagisa hanya bisa menahan tangisnya lebih dalam setiap Gakushuu menyentuhnya. Pemuda itu kini hanyalah sampah masyarakat, yang disimpan dan ditunggu untuk membusuk secepatnya. Nagisa hanya bisa berharap untuk segera keluar, menghirup udara segar dan terbebas dari segala kekangan sial yang dibuat oleh putra tunggal dari kepala sekolah.
Dalam kesunyian, Asano Gakushuu menatap Shiota Nagisa dalam diam. Senyum terkembang, namun terasa berbeda. Ia sekali lagi mengusap ubun-ubun sang pemuda dan kembali menelusuri kedua pipi Nagisa. Gakushuu terdiam dan menghela napas.
"Nagisa-kun, boleh aku bertanya sesuatu?"
Gemetar, Nagisa tak menjawab.
"Kalau boleh memilih; ingin pulang... atau mati?"
Di dalam kegelapan, syok langsung melanda.
Kedua manik biru itu membulat dalam ikatan hitam, dan perlahan mengecil tak waras.
Gakushuu yang menyadari, lantas tahu bahwa Nagisa terjebak dalam permainan sekali lagi.
"Mana yang kau pilih, Nagisa-kun? Hidup atau mati?"
Jantung berpacu. Keringat kembali keluar dan seolah waktu berhenti di saat itu juga. Shiota Nagisa langsung dilanda kebimbangan berat. Entah mengapa pertanyaan tersebut membuatnya mati kutu. Ia ingin bebas, jujur saja; tapi batin mengatakan ia harus menolak.
Apa-apaan itu?
"K-Kenapa?" Ia lagi-lagi gemetar. "Kenapa kau bertanya s-seperti itu...?"
"Hm, apa aku harus menjawab? Aku hanya ingin bertanya," Gakushuu terkikik. Nagisa menjerit dalam hati. "Karena sudah kukatakan; hari ini adalah peringatan kelima kematian Akabane-kun, bukan?"
"..."
Akabane Karma.
Seorang pemuda yang menemani hidupnya belasan tahun yang lalu. Mereka satu sekolah dari sekolah dasar hingga masuk ke SMA. Mereka berdua lengket bagaikan lem; hanya karena suatu insiden kecil saat masih di bangku awal, mereka terlihat akrab dan cocok untuk satu sama lain. Seiring dengan berjalannya waktu, mereka saling bergantung. Karma tak akan tenang kalau bukan bekal Nagisa yang ia makan, maka Nagisa juga merasa tidak nyaman bila disampingnya tidak ada Karma. Sejak saat itulah, seluruh seantero sekolah tahu bahwa mereka adalah sahabat sejati yang ikatannya benar-benar terjalin.
Tapi semuanya sedikit retak ketika salah satunya merasakan perubahan. Suara detak jantung yang cepat bila mereka saling bersentuhan. Ini semua bermula kala mereka duduk di awal bangku SMA. Shiota Nagisa yang pertama kali merasakan itu terlihat heran; namun perlahan ia tahu bahwa dirinya tengah jatuh cinta. Ya, ia menyukai sahabatnya, Akabane Karma. Hal itu membuat si biru muda syok dan merenungi perasaan yang ia putuskan akan ia pendam.
Cinta pertama yang selalu membuat Nagisa gugup dan nyaman; Akabane Karma.
Tapi ketika Karma mati, Nagisa merasa hidupnya tak berguna lagi.
Ia tidak ingin merasakan nikmat duniawi bila Karma sudah hilang dalam sejarah hidupnya.
Karena itulah, jawaban ia putuskan; dan air mata kembali jatuh karenanya.
"...Mati," Tangan terkepal. Ia tak menyadari bahwa senyum itu kembali tercipta. "Kumohon... bunuh aku, Asano-kun."
Lagi-lagi, ia membuat Gakushuu merasa senang.
Pemuda itu bahagia.
Ketika tangan itu terulur membawa sesuatu, saat kucing disana melangkah mundur; hawa dingin yang menusuk kepala membuat Nagisa menutup kedua mata.
"Aku mencintaimu, karena itu... aku akan menuruti perintahmu ini, Nagisa-kun." Seringai sinis dikeluarkan. "Selamat tinggal di neraka, pelacur sampah."
DOR!
Suatu hantaman keras mengenai kepala. Nagisa terhuyung ke belakang dan merasakan tubuhnya jatuh begitu saja. Kepalanya berat, likuid merah merembesi kepalanya. Dalam ikatan itu, mata Nagisa mencoba untuk terbuka untuk ke sekian kalinya. Napasnya berat, ia merasa detak jantungnya samar-samar; dan Nagisa merasa inilah akhir hidupnya.
Nagisa merasa ia akan mati dalam waktu beberapa detik. Tapi ia tahu, bahwa semuanya tidak akan langsung berakhir. Belaian pipi yang begitu membuatnya mabuk, sebuah tangan besar yang membuatnya candu lagi-lagi membuatnya tersentuh. Dalam kegelapan, Nagisa dapat merasakan satu sosok yang hadir dalam alam bawah sadarnya. Seuntai merah, dengan manik emas yang begitu hangat menyambut; Akabane Karma datang dengan tangan terlentang untuk menjemput.
"Ayo pulang, Nagi."
Senyum terukir indah seiring dengan kedua manik biru tertutup untuk selamanya.
.
.
~ challenge: torture ~
.
.
Asano Gakushuu berdiri, dengan sebuah revolver yang mengeluarkan asap di tangan. Ia hanya bisa memandang jijik manusia yang sudah tertidur selamanya itu. Ia berbalik dan menatap satu-satunya hewan yang terduduk di belakangnya; menunggu untuk diperintah. Mendengus sebagai awal permulaan, Asano Gakushuu melangkah dan melewati kucing persia yang sudah bersiap untuk melakukan tugas.
"Sisanya kuserahkan padamu, Shiro." Langkah menjauh, kibasan ekor melaju. "Jangan sampai ada yang tersisa, lakukan sepenuhnya dan kuharap dagingnya masih segar."
Kucing itu berhenti melangkah, menoleh pelan pada sosok majikan yang sudah menghilang dari pandangan. Manik merahnya langsung berbinar, lidah berjulur dengan taring-taring siap menerkam.
"Meong~"
Suara lembut yang polos itu menggema dan digantikan dengan suara gigitan daging yang mencekam.
.
.
challenge fict: torture — end
.
.
an absurd super mega ultra ooc notes:
lol. saya ngakak baca endingnya waks. yah, tapi sejak pembuatan plot memang begini sih jadinya. jadi tolong, maafkan atas segala kekurangan ff ini ya, teman-teman. tapi makasih loh buat dukungan, favs, follow-nya! aaah seneng dan bahagia sekali rasanya dapat masukan dan komen kalian! hebat-hebat semua dan mampu membuat kokoro saya berbunga-bunga~
maafkan saya kalau gak dibalas atu-atu. tapi percayalah, saya selalu baca komentar kalian semua kok. :')
dan buat seluruh admin dari anime 100%, terimakasih karena sudah buat challenge luar biasa ini. sungguh, aku tertantang loh. meski hasilnya abal gini, tapi gak apa kan yak? muahahah. pokoknya makasihhh banyak! :* #dibuang
ada omake di bawah. sampai jumpa di karya-karya assclass-ku selanjutnya ya. aku cinta kalian semua!
.
.
omake
.
.
Ini semua berawal dari malam itu.
Di tengah dinginnya bulan Desember, dengan butiran-butiran salju yang turun; seorang pemuda berdiri di jalanan yang ramai oleh pejalan kaki. Antena rambutnya sedikit bergoyang ketika salju jatuh menyusuri kepala, membuat Isogai Yuuma menghela napas kesal. Entah kenapa teman janjinya malam ini sepertinya akan sedikit terlambat.
Syal hitam kotak-kotak menghiasi leher disertai dengan pakaian ganda yang dipakai untuk memangkas dingin. Uap kecil keluar dari bibirnya, serta pipi yang memerah sedetik kemudian.
"Uh, Maehara lama sekali—"
Hawa kehadiran lain membuatnya mengatupkan bibir. Ia melirik ke bawah, dimana ia mendapati seekor kucing berbulu putih nan imut tengah bermanja-manja dengan celana yang ia pakai. Isogai terdiam sebentar, ia pun berjongkok dan memeluk kucing tersebut dengan senyuman.
"Kau kedinginan?" Jemari yang dilapisi oleh sarung tangan mengelus tubuh berbulu lebat. "Kau kehilangan majikanmu, ya?"
Kucing itu seolah sangat nyaman di pelukan Isogai. Ketika matanya terbuka dan mendengkur pelan, manik merah yang begitu indah langsung menabrak iris cokelat keemasan milik sang pemuda.
"Oh, kurasa iya." Isogai terkikik. "Ne, kalau begitu—"
"Isogai-kun?"
Ketika namanya dipanggil, Isogai Yuuma langsung berbalik; mendapati seseorang dengan pakaian serba tebal tengah membawa payung hanya untuk sekedar menghindari salju yang jatuh. Iris violet yang sangat dikenal, membuat Isogai tergagap tak jelas. "S-Selamat malam, k-kaichou! Anda—"
"Tak usah formal begitu, ini bukan sekolah." Senyum tipis milik Asano Gakushuu membuat Isogai tersenyum kikuk. Lantas sang pemuda antena melirik kucing yang bergelut di pelukannya.
"Kucing ini milikmu, kaichou?"
"Ya, namanya Shiro." Si bulu lebat berpindah tangan. "Sedang apa disini, Isogai-kun?"
"Ah, aku sedang menunggu Maehara-kun." Isogai menghela napas berat. "Ia berjanji untuk menemaniku mencari kado untuk natal nanti, tapi sepertinya dia agak terlambat."
"Oh?" Gakushuu mengeruk-ngeruk tubuh gembul Shiro. "Kalau begitu, sambil menunggunya, kau mau jalan-jalan sebentar denganku?"
"Eh?" Isogai tersentak kaget. Maniknya mengerjap-ngerjap. Seolah ini merupakan ajakan biasa, akhirnya Isogai menganggukkan kepala. "Kalau sebentar sih, sepertinya boleh."
Merasa ajakannya diterima, senyum kembali berpendar. "Baiklah. Ayo."
Seiring dengan salju yang semakin menjatuhi diri ke bumi, lantas kedua pemuda itu berjalan beriringan menuju arah yang tak diketahui.
.
.
torture — end
.
.
super thanks:
SheraYuki, dhinara73, RallFreecss, Ndong-chan, Richikko, 4Mekaliya-Chan.
.
.
glosarium
torture: siksaan — section: bagian — victima: korban
.
.
Terima kasih sudah membaca!
Mind to Review? :)
