Rangkuman (Re-Cap)

Karma dan Gakushuu akan pergi menemui Sumon Eikichii; Gakushuu demi dompetnya yang dicuri dan Karma untuk masa lalu yang belum terselesaikan.

Karma lanjut menceritakan bagaimana ia dan pemimpin geng itu menjadi musuh bebuyutan; saat ia ditugaskan mengambil kembali pipa tembakau milik Sumon dari geng Amatsuki. Dan bagaimana ia berakhir dikepung sendirian.

Warning: Minuman Keras


Chapter 11

Satu sapuan melewati kepala, dihindari dengan mudah. Tangan besar di pergelangan kecilnya, ditangkas dengan menyikut wajah penyerangnya. Gerakan yang tampak lambat di matanya. Tetapi jumlah yang perlu dihadapinya bukan masalah sepele. Setiap gerakannya digiring dengan keperluan untuk menghindar, meminimalisir keluwesannya untuk menyerang.

"Sial!" umpat Karma kecil, Wasabi di kantongnya berserak berantak di lantai. Matanya merekam tinjuan yang melesat ke wajahnya, seperti lensa milisekon, menyempatkannya memiringkan tubuhnya ke belakang. Ia berhasil meludahi yankee di depannya dan membutakannya. Mengambil kesempatan itu, ia memosisikan kedua kakinya di antara wajah kepala yankee itu yang tersita perhatiannya. Leher terperangkap di antara kakinya. Skakmat.

"Krak." alih-alih leher lawannya, malah tempurung lutunya yang bersuara di bawah tekanan yang besar.

"Sial!" Kakinya masih terlalu kecil untuk melancarkan guilotine choke ke leher lawannya, alhasil hanya meninggalkan cekikan yang tidak berarti . Akibatnya Akabane kecil terhempas ke tanah dan musang kecil ini dengan lihai berguling menghindari hentakan kaki, lalu melontarkan dirinya kembali ke lawannya yang lain.

Satu colokan mata.

Satu sandungan ke kaki kiri.

Dua tendangan ke perut atas.

Lemparan pisau yang tidak kena.

Dua orang jatuh tanpa luka berarti dan masih bisa berkelahi. Keadaan sama sekali tidak membaik, usahanya seperti sisa-sia. Dalam keadaan gawat seperti ini, Akabane kecil sangat menyayangkan bahwa tubuhnya itu terlalu kecil untuk gerakan-gerakan yang lebih menguntungkan. Mau tidak mau, ia mengandalkan alternatif yang lebih berbahaya.

Kling. Pisau lipatnya melawan seluruh inventori geng itu. Hawa yang mencekik menyelimuti ruangan. Ujung besi dan berbagai senjata sudah mulai dikeluarkan untuk perkelahian yang lebih berbahaya, geng Amatsuki ternyata dipersiapkan dengan baik.

"Bos, kamu yakin? Dia cuma bocah." ujar seorang yankee.

"Kamu mau dicolok matanya oleh dia?" salah satu anak buah itu berkata, sambil mengeluarkan pisau lipat.

"Lihat." yankee itu mengacungkan pisau lipatnya ke mata merkuri itu.

"Dia bukan anak kecil biasa."

Walaupun Karma cilik memberi kesan seakan ia dapat mengalahkan mereka semua, ia hanya dapat mengumpat marjin jumlah yang akan membunuhnya. Dua pilihan; melemahkan mereka sebelum "bantuan" datang dari Sumon, atau sesuatu yang di luar masuk akal.

Ia memilih alternatif yang kedua.

Darah yang mengalir di seluruh tubuhnya, tanpa rasa takut, kederasan yang melebihi euforia. Langkah-langkah ringan yang terasa seperti lombat terbang, berpindah dari satu musuh dan yang lainnya.

"Sial, dia seperti kutu loncat." komentar salah satu yankee.

Menghindari sabetan pisau sana-sini dan palang besi yang berlawatan. Kakinya seperti menyelinap di balik sela-sela tangan-tangan yang ingin menariknya. Ya, inilah yang kecekatan yang selalu ia idamkan, seperti meloncati udara kosong. Dan sebuah strategi lebih lanjut, seperti-

-melompat dari jendela lantai tiga.

"DIA MELOMPAT?!" satu ruangan gempar.

Para yankee langsung berbondong-bondong ke jendela untuk mencari sosoknya yang menghilang

"Dia kemana.?!-"

PLAK. Sebuah tendangan mendarat di wajah yankee, sehingga menubruk yang lainnya hingga terjatuh. Rupanya Karma kecil bersembunyi di balik palang-palang jendela. Menggunakan kebingunan sesaat itu untuk melesati ruangan dengan pipa kiseru di atas meja itu di tangannya, lalu kabur melalui pintu masuk.

"KEJAR DIA!" suara-suara yankee yang perlahan-lahan menipis di belakangnya.

Ia dapat mendengar angin membesit telinganya, tungkainya membawanya melesat melalui lorong. Namun napasnya mulai tersengal-sengal, luka hantaman di tubuhnya serasa mencekat paru-parunya. Bermain lari pukul bukanlah hal yang baik dalam lorong-lorong yang tidak dikenal ini, guerilla hanyalah andalan terbaiknya.

"ITU DIA!" sebuah suara berseloroh di anak tangga yang baru saja ingin ia turuni.

Suara derap kaki yang menebal, vibrasi berderik dari bawah kakinya daru kumpulan yang baru saja mengepungnya di lantai ini. Berbalik arah, Akabane cilik malah menemukan dirinya dikelilingi dari dua sisi.

"Menyerahlah, maling." ujar salah satu yankee itu sambil mengeluarkan pisau lipat.

Mata merkurinya melirik kanan kiri. Dikepung dari dua sisi? Ia mulai menimbang-nimbang kesempatannya dengan hati-hati, seakan waktu melambat. Nafasnya perlahan-lahan menenangkan dirinya, satu per satu para yankee mengepungnya dengan hati-hati. Dan sebuah pencerahan mengenainya, matanya berbinar terang. Pembuat onar kecil itu malah bergelak tawa.

"Masih ada dua dinding." gumamnya.

Dengan kecepatan yang tidak manusiawi, ia menghentakkan kedua telapak kakinya di konkrit tebal itu -melontarkan dirinya ke arah kumpulan yankee. Sebuah perubahan yang tidak terduga.

"Hei, berengsek." sambutan kaki kecilnya, menghantam palang besi. Tungkainya menyapu di udara, terlalu cepat untuk dihindari.

"Ambil ini, berengsek." Rasanya nikmat sekali mengelap sepatu di wajah para yankee itu, begitu pikirnya. Dua dinding berjarak sempit itu menjadi batu loncatannya. Dimana tungkai kakinya membutuhkan, momentum membantunya menyelesaikan serangan.

Badannya yang kecil melesat cepat dalam ruangan sempit, bakat refleksnya membawa pertempuran itu dari tidak mungkin menjadi mungkin. Berhasil membuka jalan ke ujung lorong, ia lansung berlari sekencang mungkin untuk pintu keluar. Matanya menangkap sebuah sosok diujung lorong itu, membuat matanya berkerjap seketika.

Sumon.

"Karma." ia dapat melihat namanya disebut di bibirnya. Akabane menghentikan langkahnya, bersiap untuk berkelahi bersama. Dengan Sumon, pasti mereka berdua bisa mengalahkan mereka semua, begitu pikir Akabane. Ia berjalan santai ke arah remaja berambut hitam itu dengan penuh kemenangan.

"Sumon, ini pipanya—"

Tlak. Suatu gerakan cepat yang merebahkannya di lantai.

"S-Sumon.." lehernya seperti ingin patah. Akabane cilik hanya terbaring kaku melihat remaja berambut hitam itu mulai melangkahkan kaki, mendekatinya. Sementara kesadarannya mulai perlahan-lahan menipis, bekas deraan di lehernya terlalu menyakitkan.

"Sumon..?" suaranya terdengar parau.

Suara derapan kaki para yankee itu pun tidak dihiraukannya, ia hanya dilanda kebingungan yang amat sangat. Apa yang sedang terjadi..? benaknya.

"AKH!" udara di dadanya seperti diratakan dengan tendangan yang mendarat di perutnya. Satu, dua hantaman, lalu mendarat di atas punggungnyabertubi-tubi. Badan kecilnya itu di bawah ganjaran para kumpulan yangkee, menginjak-injaknya seperti kain lusuh dibawah kaki mereka.

"SUMON!" di balik matanya itu ia melihat rekannya hanya berdiri di sana, melihatnya diinjak-injak.

"SUMON...!" Teriakannya itu seperti bisu di telinganya.

Remaja berambut gagak itu mendekatinya, lalu para yankee langsung menyingkir untuk memberi jalan. Dan pada saat itu, ia mengerti apa yang sedang terjadi. Mata merkurinya membesar, melihatnya jongkok di sampingnya.

"Karma..." memanggil namanya, matanya yang tajam itu seperti menikmati kondisinya yang menyedihkan. Tubuhnya tergeletak kaku, tidak dapat berkutik walau keadaan mengenaskannya dijadikan tontonan. Akabane Karma masih belum dapat mempercayai apa yang menimpanya.

"Aku salah besar tentangmu." remaja itu bertutur sambil mengeluarkan pipanya, memiringkan kiserunya untuk dinyalakan oleh anak buahnya. Ternyata memang benar, temannya telah mengkhianatinya. Ia mendekati wajahnya, hanya beberapa inci dari Akabane, menghembuskan sebuah lingkar asap.

Asap kental yang menghempas mata merkuri itu, berdilasi. Ia tidak mempercayai apa yang baru saja terjadi.

"Kamu seharusnya membakar orang itu. Kamu bahkan bisa mengencinginya." pemimpin geng itu bertutur, lagi-lagi menghembuskan asap ke Karma langsung terbelalak, mengingat kejadian yang dimaksud pengkhianatnya.

Waktu itu, sebuah pemantik di tangannya. Segelintir rasa manusiawi yang menghentikannya untuk membakar orang itu, menghentikannya dari membakarnya untuk kesenangan semata. Apa yang membuatnya manusiawi, menjadi alasan untuk dirinya -ditidakmanusiakan di depan para yankee itu. Kegilaan sesaat itu yang tidak ia turuti.

"Tidak kusangka kamu menjadi begini membosankan."

Sumon mengamati matanya perlahan-lahan tersulut dendam kesumat. Setiap kontorsi dilahirkan dari murka, menari-nari di matanya yang dingin itu -menikmati setiap detik dari air mukanya.

"Kamu tidak pantas di sisiku, Karma."

Pemimpin geng itu bangkit berdiri dan menitikan abu pipanya di atas rambut merah Akabane. Menghentakkan kakinya dan membalikkan badan, membuang dirinya seperti tebu yang habis dihisap, dibuang sepahnya.

"Sial..!" ia tidak dapat berkutik. Sekelumit tenaga terakhirnya ia teriakkan dengan suara paraunya dengan deraan kaki para yankee di atas punggungnya. Orang itu benar-benar tidak menoleh balik padanya.

"KAU AKAN MEMBAYAR INI..!"

.

.

.

.

"Setelah itu yang kuingat adalah aku ditemukan babak belur oleh seseorang, lalu dibawa ke rumah sakit." demikian Karma menyelesaikan ceritanya. Matanya menggelap; mencerminkan bekas luka yang tidak dapat ia maafkan. Gakushuu cuma menatapnya, tidak punya kata-kata untuk menanggapi apa yang baru saja ia dengar.

"Lalu, aku diopname. Setelah aku pulih, sudah saatnya aku pindah sekolah karena orangtuaku pindah kerja." tambah Karma.

"Kamu tidak pernah bertemu lagi dengannya?"

"Dia beruntung aku belum bertemu dengannya."

Gakushuu melipat tangannya sambil berusaha mencerna yang baru saja ia dengar. Selain fakta bahwa dompetnya hampir saja tidak berharga dibanding nyawanya, ia dapat menyimpulkan bahwa pemimpin geng itu lebih berbahaya dari yang ia kira. Dan gawatnya, Karma tidak akan segan untuk mengajaknya "bereuni."

"Akabane, akankah kamu menemuinya?"
"Ya." tidak ada keraguan di jawabannya.

Mereka saling pandang pandangan, suasanya menegang.
"Heh. Kamu mau ikut?" tanya Karma dengan suara mengejek, dan begitu pula suasananya cair seketika. Gakushuu benci sekali bila ia menggunakan nada itu.

"Dengan senang hati, berengsek." jawab remaja berambut jingga itu sambil menyeruput snow conenya. "Lagipula, semua kartu pentingku ada di dompet itu."

Karma mengangkat alisnya dalam curiga.

"Sesuatu mengatakan padaku bahwa ada yang lebih penting di dompet itu daripada satu lusin black card. Kecuali kamu begitu suka berbelanja tanpa credit limit sambil minggat ke Osaka." ia berkata sambil memiringkan kepalanya.

"Apa aku salah, anak direktur?" tanyanya lagi sambil tersenyum lebar.

"Bukan urusanmu, Akabane." jawab Gakushuu dengan jengkel.

"Oh, aku bisa membantumu mengambil dompet itu. Kalau kamu berlutut dan minta tolong." tawar setan merah itu sambil menyengir. Rasanya Gakushuu ingin membanting kursi kafe itu di kepalanya itu. "Cih." desisnya dengan kesal.

"Kalaupun kamu cukup yakin, Karma." ia menekuk tangannya sambil bertutur. "-masuk ke klub itu menjadi perkara terbesar. Satu-satunya cara kamu terlihat cukup umur untuk hal ini.." lanjutnya dengan mata di tubuh Karma yang anu—

Ceking.

"Dengan tubuh seperti itu..." tapi ia tidak dapat mengeluarkan kata-katanya.
Akabane mengangkat alisnya. "Apa maksudmu?"
"Tidak mungkin. Tidak mungkin." Gakushuu menghempas-hempaskan tangannya seperti mengipas hilang semua harapan dengan fakta bahwa Karma itu-

-kurus kerempeng.

"Lagipula kamu sedang dalam wilayah mereka, pasti kamu langsung dikenal." tambah Gakushuu, berusaha menggantikan topik. Akabane mengangkat alis.

"Aku? Bukannya kamu yang menjadi masalah?" Akabane menyengir.

"Apa maksudmu?" gerutu si rambut jingga, sedikit terganggu.

"Selain kamu agak necis dan terlalu gak level deh buat pub begituan.." nadanya meninggi.

"Ya tentunya karena kamu baru saja menghajar anak buah mereka?" ujar Karma sambil menggeleng-gelengkan kepala, seperti itu adalah hal paling wajar sedunia.

"Apa maksudmu necis-"
"Haaah. Kalau sama kamu, bisa-bisa aku juga kena getahnya."

Menyebalkan. Menjepit lidahnya dengan jepit voltase sepertinya adalah ide yang bagus, pikir Gakushuu.

"Asal kamu tahu, ya. Sadar kalau kamu itu kayak tiang jemuran." desisnya balik. Dan Karma sama sekali tidak menyukai apa yang ia dengar.

"Dengar ya, mantan ketua osis." nada mengejeknya langsung menjadi menjengkelkan pangkat kuadrat. "Tiang jemuran ini yang mengalahkan kamu di Bo-Taoshi." jawab Karma dengan cengiran yang licik.

"Terserah kamu, dasar ceking."

"Lihat saja nanti, nomor dua."

Listrik seperti berpercik di antara keduanya. Asano melipat tangannya dengan perasaan tidak suka.

"Lebih baik kita tidak bersama. Jadi kau lihat saja caraku masuk ke sana." ujar remaja berambut jingga itu dengan gusar, seraya bangkit berdiri.

"Oh?" Akabane melipat tangannya. "Aku kebetulan berpikiran hal yang sama."

"Kau tahu..." ia menjilat stroberi di parfaitnya. "Kurang beban tambahan."

"Cih." Gakushuu mendesis, makin senewen karena harus bekerja sama dengan makhluk macam Karma.

"Terserah kamu. Telpon aku saja malam ini, bila memang kamu ingin membagi rencananya. Aku sebaiknya pergi dulu, aku ada urusan." remaja teladan itu beranjak tanpa sungkan-sungkan.

"Hei, Asano." panggilan itu menghentikan langkahnya.

"Ya?" ia membalikkan badan dengan kesal.

"Aku tak butuh bantuanmu."

Raut wajahnya serius, tidak dengan cengiran maupun antik-antik lainnya.

Oh ya? Begitu pikir Asano dengan senyum tersungging di bibirnya.

"Kalau begitu, tunggu saja kejutannya, Akabane."


21:00 – Klub Malam "Pub Sistic", Harajuku, Tokyo Barat

Dan tibalah hari Rabu itu, tiga jam lebih telat dari waktu yang ditentukan.

"Pukul 21:00." SMS terakhir dari Asano. Remaja berambut merah itu menyimpan kembali telepon genggamnya dan mengangkat dagunya, mengamati keadaan dari gedung di dekat pub itu; neon merah muda, bass yang mendegup jantung, dan orang bersewileran keluar masuk. Salah satu klub malam terbesar Tokyo, glamor yang tidak ada duanya.

"Itu..." ia terhenyak, teringat sosok yang dulu selalu menemaninya; seorang pria berjas hitam, memasuki pub itu dengan langkahnya yang santai.

Tanpa habis waktu, remaja itu langsung menghilang di antara langit malam dan bangunan tinggi Harajuku.

Di antara sofa-sofa yang jauh dari keramaian orang orang berdansa, duduklah Sumon Eikichi; berjas hitam rapih, dikelilingi beberapa anak buahnya dan beberapa gadis. Berjas hitam dengan dalaman jas yang merah mencolok, kontras dengan dasi hitamnya. Bercincin Alexandrite sambil menghisap cerutu antik, ditambah dengan karisma yang membuai siapapun yang ia ajak berbincang. Ada sesuatu yang membedakannya dari kerumunan.

Pemimpin geng itu menyilangkan kakinya sambil menghisap cerutunya,
"Sumon, menurutmu dia akan datang?" tanya seorang anak muda berbadan kekar.
"Pasti." Ia menitikkan abu dari cerutunya. "Tapi tidak sendiri." Ia membuang asap berbentuk lingkar. Tangannya merogoh sesuatu di sakunya.

Pluk. Sebuah dompet tebal dihempaskan ke meja penuh gelas bir.

"Temannya akan datang untuk ini." Sumon lalu meneguk segelas mojito.

Sepasang mata mengamatinya dari jauh.

"Dompet Asano..." Karma mengamati di balik kacamata ungunya, tengah berdansa di antara keramaian paling tengah. Dalam penampilannnya yang seperti ini, bahkan Nagisa pun tidak dapat membedakannya; berpakaian berlapis-lapis, berwig hitam, dan berkacamata ungu.
Wig hitamnya walau sudah ia pastikan untuk tidak jatuh, tetap ia berhati-hati dalam membalut gerakannya.

"Satu Seven & Seven." Karma memutuskan bahwa hal yang terbaik untuk dilakukan adalah untuk duduk memesan minuman, setelah menolak terlalu banyak gadis secara tidak langsung.
"Segelas Seven & Seven!" Ulang bartender sebelum memutar gelas di jarinya, menggelindingkannya dari bahu kembali ke genggamannya dengan luwes. Bartender itu lalu menuang Seagram ke gelas highball itu dalam posisi yang di luar akal sehat, tapi terlihat tanpa usaha -khas atraksi sirkus.

Bahkan bartendernya kelas atraksi, benak Karma sambil bersiul kagum.

"Ini pesananmu." bartender itu mengumbar senyum komersil sambil menyodorkan Seagram's wiski pesanannya. Mukanya sedikit mirip Isogaii, membuat Karma membayangkan bahwa profesi itu sebetulnya cocok juga untuk Isogaii Yuuma teman sekelasnya. "Bartender ya.." gumamnya. Memang cocok.

"Terima kasih." Remaja berwig hitam itu sempat tersedak meneguk minumannya, belum terbiasa dengan minuman keras.

Begitu juga dengan dunia gemerlap ini, sebuah kebisingan yang tidak ia sukai. Dari mengamati saja, ia dapat melihat bahwa klub ini dipenuhi oleh orang orang yang datang lebih dari sekadar minum-minum. Di antara kerumunan orang-orang berdasi, para borju yang kalah judi, dan gelas-gelas yang kosong, sebuah sosok berbadan besar menangkap perhatiannya.

"Pilihan yang bagus, bukan?" ia mendengar pembicaraan pria itu.

"Ketat di bandara, longgar di pelabuhan." suara seorang gadis, terhalang penampilannya oleh punggung pria besar itu.

"Nona, kamu benar-benar tahu apa yang kamu bicarakan." ujar pria itu sambil bergelak tawa.

Mereka lalu berlanjut berbincang dalam bahasa asing. "Portugis?" batin Karma. Tetapi ada sesuatu yang janggal dengan pria besar dan wanita itu. Menenggak minumannya dengan seksama, sambil mendengar pembicaraan yang sulit ia mengerti. Beberapa barisan kata yang mencurigakan, mendorong perlunya mencari tempat aman untuk mengamati mereka berdua. Apa yang janggal?

"!"

Ternyata itulah pria sama yang tadi berbincang-bincang dengan Sumon. Pria kekar itu berambut cukur, berjas serasi dengan enam cincin bertumpuk di keempat jari kirinya, mendampingi warna matanya yang abu mencolok. Pria itu tengah berbincang-bincang dengan seorang wanita cantik, terlihat muda, mungkin umur 20-an. Rambut pirang lurus, manik matanya berwarna lavender iolit. Dari lipstik, kuku, stilletto tinggi, dan balutan gaun tidak berpunggung, semua serba merah. Satu kesan darinya; matanya berbahaya.

"Kamu memperhatikan orang yang sama?" seorang pria yang duduk di samping Karma menyenggol sikutnya.

"Hah?" Karma hampir saja senewen, mengira samarannya terbongkar. Rupanya cuma pria paruh baya yang mabuk-mabukan.

"Iya, wanita seksi dengan gaun merah itu." tutur pria di sampingnya yang tampak seperti pengawai kantoran biasa. "Taruhan, pria itu pasti pacarnya." ujarnya sambil menggeleng kepala. Ia menghembuskan nafas panjang. "Sayang sekali."

Apa-apaan sih tua bangka ini, pikir Karma pada awalnya.

Tunggu dulu. Ia terhenyak dengan apa yang ia baru saja sadari. Gadis itu mungkin kuncinya untuk mendekati Sumon.

Bzt. Vibrasi dari kantongnya.

"Aku tidak tahu jam berapa, tapi aku harus mempersiapkan sesuatu."
-dari Asano.

Sebagian dari dirinya, entah kenapa menyayangkan bahwa Asano tidak disini sekarang, karena sesuatu mengatakan padanya bahwa pasangan itu tampak janggal. Dan bila manuver Gakushuu ternyata bertolak belakang dengan usahanya, akan terjadi masalah. Matanya kembali ke pasangan itu. Bagaimana caranya mendekati mereka? Lalu sesuatu menyadarkannya.

"Hei, paman." ia menganggukkan kepalanya ke arah pasangan itu.

"Kau lihat itu? Pria itu sedang membuatnya bosan setengah mati." ujar Karma dengan nada mengejek.

"Masa?" Pria di sampingnya mengernyitkan mata sambil memperhatikan.

"Kau betul juga." jawabanya sambil menggeleng-geleng kepala.

"Ya, kau mungkin benar anak muda. Tapi kau coba pun, ia tidak akan mau kau belikan minuman." lanjut pria itu sambil meneguk birnya.

"Taruhan kau tak akan bisa."

"Oh ya?"

Pria kekar di sampingnya beranjak pergi dari gadis ini. Kesempatannya.

"Paman, kau lihat saja." Dan Karma beranjak dari kursinya.

Sosoknya dengan luwes membaur di antara kerumunan, berjalan melewati orang-orang berdansa, tidak lagi berusaha untuk menyembunyikan dirinya. Langkah demi langkah, wanita itu tampak semakin jelas di matanya.

"Hm?"

Wanita itu mengibaskan rambutnya, meneguk minumannya sambil melingkari kakinya. Semakin dekat, Karma dapat melihat lebih jelas; matanya yang sepertinya mengamati ruangan, caranya mengerlingkan matanya terhadap segelintir yang memperhatikannya dari jauh –wanita yang sadar akan kecantikannya sendiri. Lalu matanya jatuh pada Karma, hanya semeter jauh darinya. Sedikit terkejut bahwa ia tidak menyadari ia dihampiri.

"Daquiri." Karma memesan ke bartender dan berjalan ke duduk di kursi di sampingnya. Mata wanita itu seperti membesit pandangannya, menelitinya dari kepala ke ujung kaki. Kesannya yang santai itu membuat Karma berhati-hati, pandangan tajamnya membedakannya dari wanita biasa yang hanya duduk cantik.

"Dan Singapore Sling untuk wanita mempesona ini." Karma lalu duduk di sampingnya, memberatkan suaranya.

"Kamu.." wanita itu mengedipkan alis matanya.

"-memperhatikanku." ia menyisir rambut pirangnya ke belakang.

"Singapore Sling untuk nona ini." bartender mengedipkan matanya, lalu meletakkan kedua pesanannya. Karma mengangguk pada wanita itu, menekankan bahwa minuman ini traktirannya.

"Hm, favoritku." ujar wanita itu, terpesona dengan pilihannya.

"Orang tadi itu pacarmu?" tanya Karma sambil menyenderkan kepalanya.

"Hm.. Yang mana?"tanya wanita itu sambil meneguk minumannya.

"Kau tahu maksudku." ujar Karma.

Mata merkurinya jatuh pada lipstik merahnya menempel ke ujung gelas itu. Ia mengelap bekas lipstik itu dengan jarinya.

"Tahukah bahwa Portugis terdengar indah—"

Mengoleskannya di bibirnya sendiri.

"—indah di bibirmu."

Wanita itu mengedipkan mata satu dua kali, terkesima dengan tutur katanya. Melempar rambut pirangnya ke belakang, ia tertawa lepas, tidak mempercayai apa yang ia baru dengar. "Kamu.." ia tidak bisa menyelesaikan kalimatnya sambil tergelak bebas. Semakin ia lihat, wanita itu terlihat lebih muda dari yang ia kira. Gelak tawanya sungguh menular.

"Mamoru." wanita itu membisikkan nama belakangnya.

Wangi parfum itu sedikit menyita perhatiannya.

"Nobuhiko." ujar Karma.

Wanita itu berparas begitu memikat, Karma bahkan bisa merasakan tatapan-tatapan iri dari sekitarnya. Menyilangkan kakinya, memperlihatkan tungkainya yang panjang, seperti sengaja. Karma mengangkat alisnya. Apa dia berusaha merayuku? batin Karma, tidak tahu apa yang harus dilakukan dalam situasi seperti ini.

"Mamoru, maukah kamu berdansa denganku?"

Kerjapan alis mata.

"Dengan senang hati."

Bingo. Karma tersenyum dalam kemenangan.


Kerumunan orang ini membuat Karma sulit untuk membaca bibir mereka. Matanya berpindah dari pemimpin geng dan wanita yang berdansa di depannya itu. Untuk sementara Karma memutuskan untuk membaur di antara kerumunan lebih lanjut, mengekstrak informasi dari wanita di depannya.

"Kamu pintar berdansa." wanita itu berkata, bibirnya terbaca di balik musik keras.

"Oh ya?" Karma dapat mendengar sepatunya sendiri.

Gerakan wanita itu tidak mengumbar tubuh, di luar gambaran remaja itu. Sebaliknya, setiap hentakan serasi dengan setiap gerakan musik. Wanita itu merapatkan tubuhnya dan Karma mulai merasakan sinyal-sinyal yang begitu tampak. Manik mata berwarna iolit itu terus memburu matanya, tidak membolehkan selipan baginya untuk mengamati targetnya.

Suatu perasaan tidak enak datang padanya. Namun gelombang kerumunan ini menghalanginya untuk mengetahui apa yang sedang terjadi. Sementara di luar jangkauan matanya; Sumon Eikichii masih duduk melipat kaki, pipa tembakau di tangan.

"Hei, Nakano." Pemimpin geng itu memanggil anak buah yang berdiri di sampingnya.

"Ya bos?"

"Kamu dari tadi memperhatikan gadis berambut coklat itu kan?"

Sumon menunjuk ke gadis berbalut gaun ungu gemerlap, tengah duduk di kursi bar. Spontan anak buah itu menunduk malu, sambil menyisip pandangan ke gadis itu.

"Maaf bos.."

"Gadis itu jatahmu." ujarnya tanpa ekspresi sambil meneguk minumannya,

"Benarkah?!" anak buahnya itu tidak percaya dengan apa yang didengarnya.

"Cepat, sebelum kamu menyia-nyiakan biusnya." Pemimpin geng itu tersenyum sinis, lalu meletakkan tembakaunya.

"Aku ingin ditinggal sendiri." cukup satu sentakan jari dan ia pun disana seorang diri.

Perlahan-lahan, mulutnya tersulam kembali tertutup. Sebuah ketenangan menyelimutinya ketika ia bersandar, melipat tangannya di depan dada sambil berkontemplasi. Matanya menyipit, seakan-akan sedang mengamati seluruh jangkauan ruangan ini.

"Seseorang sedang memperhatikanku." rangkaian kata dari bibirnya terbaca.

Secara insting, remaja yang mengamatinya dari jauh itu langsung siap siaga. Mata emasnya mencari-cari sebuah sosok di antara kerumunan.

"Apa yang kamu rencanakan, bajingan..." benak Karma dengan tidak sabar. Ada sesuatu yang tidak ia belum mengerti dari rencana si pemimpin geng itu. Kenapa ia mencarinya kembali setelah sekian lama ini dan apa yang ia inginkan. Ia mulai merasa badannya panas berluruh keriangat, berdansa dengan kerumunan, menunggu kesempatan yang sepertinya tidak datang-datang.

"Aku akan berdansa." ujar pemimpin geng itu, meletakkan minumannya.

Pemimpin geng itu berdiri, mata emasnya melesat menyapu ruangan. Dan Karma dapat merasakan bahwa pandangan menusuk itu

-jatuh padanya.

Pemimpin geng itu berjalan semakin mendekati tengah kerumunan, tidak salah lagi bahwa ia melihat Karma. Badannya menegang, bersiap untuk konfrontasi yang jelek.

Hanya semeter jauhnya.

"Kamu." nada yang dingin menusuk.

Karma merasakan adrenalinnya mengalir deras dengan setiap inci ia mendekat.

"Su-"

Dan sosok itu melangkah melewatinya.

Matanya terbelalak lebar, tidak mempercayai apa yang baru saja terjadi. Pemimpin geng itu hanya berjalan melewatinya, seperti ia tidak ada.

"Kamu memperhatikanku dari tadi." ia mendengar suara Sumon dari belakang. Karma membalikkan badannya dengan spontan. Ternyata, pemimpin geng itu sedang berbicara dengan wanita itu.

"Memperhatikanmu?" wanita itu bersuara, menghempaskan rambutnya.

"Aku dapat melihat semua di ruangan ini." suaranya mengundang, bernada bariton.

"Oh, kamu tidak salah lihat?" tutur gadis itu, bulu mata lentiknya mengibas.

"Mungkin." Gadis itu menggigit bibirnya dengan mengundang, manik matanya menatap pemimpin geng itu dari mata ke ujung kaki, lalu mendekatkan diri ke telinga pria itu.

"..."

"Apa yang ia bisikkan?" batin Karma dengan frustasi.

"Kalau begitu, mari kita membicarakan hal-hal yang lebih menarik." Dan demikian Sumon dan gadis itu pergi melawan arah kerumunan, tangannya berpaut di lengan pemimpin geng itu.

Wanita itu menoleh balik padanya, bibirnya membentuk rangkaian kata;

"Sam-pai nan-ti."

Dan begitu ia menghilang dengan targetnya, meninggalkannya seperti itu saja

"Sial." batin Karma. "Seperti Bitch-sensei saja."

Tapi ada sesuatu yang janggal.

Anehnya, gadis-gadis yang tadi bersewileran di samping sumon seperti menghilang. Demikian juga anak buahnya, beberapa menyebar di sekitar ruangan. Matanya jatuh pada sebuah minuman di tangan anak buahnya dan benda aneh yang ditaruh ke gelas minuman itu.

"Obat tidur..?!" tubuh Karma langsung menegang.

"Ini Sumon." tutur salah satu anak buahnya sambil memberikan gelas itu.

"Gimlet?" Sumon menawarkan segelas minuman keras ke wanita itu.

"Minuman itu..!" Karma tidak mempercayai apa yang sedang terjadi. Minuman itu ditaruh obat tidur dan wanita itu akan- Tapi Karma tidak bisa mendekati mereka begitu saja.

Wanita itu mengambil gelas itu di tangannya, lalu menghirup aromanya.

"Ini bukan gin." gumam wanita itu sambil menatap gelasnya.

"Bukan. Gimlet Vodka." tambah Sumon, menghembuskan asap melingkar.

Bibirnya menyentuh ujung bibirnya ke gelas itu dan Karma rasanya ingin berlari dari ujung ruangan untuk menghentikannya. Sejenak sebelum ia menenggaknya, wanita itu secepat jentikan jari, mengarahkan pandangannya ke Karma.

"..."

Panik bercampur amarah di mukanya itu tertangkap oleh wanita itu, menghentikan Karma di langkahnya. Manik iolet itu menatapnya lekat-lekat, seakan ia mengerti kegentingan di air mukanya.

"Apa yang sedang menarik perhatianmu?" tanya pemimpin geng itu. Mata emasnya menatap ke kerumunan, mencari apa yang dilihat wanita itu.

"Vodka." gumam wanita itu, menggoyang-goyang minumannya, memberi sejenak spasi di kalimatnya. Ia menutup matanya lekat-lekat.

"Aku benci vodka."

.

.

.

.

"!"

Tiba-tiba semuanya gelap gulita di matanya, membuat Karma tidak dapat berkutik. Sebuah keheningan menyapu ruangan sebelum terdengar suara-suara orang di ruangan itu.

"Apa-apaan..!"

"Apa yang sedang terjadi...?!"

"Mati lampu?"

"Cih, Ini menyebalkan."

Ruangan itu perlahan-lahan semakin terang dengan orang-orang membuka layar telepon genggam mereka. Menggunakan sedikitnya cahaya itu, Karma melontarkan pandangannya kembali ke targetnya untuk menemukan dua hal, bahwa-

Pertama, minuman berobat bius itu sama sekali tidak tersentuh.

Kedua, wanita itu tidak ada.

Ternyata dugaanya memang benar, wanita itu bukan wanita biasa.

KLIK.

Tiba-tiba ruangan itu terang kembali, menyilaukan mata Karma.

"Harap tenang semuanya. Kami sempat mengalami gangguan panel listrik"

"Lampu sudah nyala!"

"Genset..?"

Sementara di antara kebisingan itu, targetnya tampak sama kagetnya dengan Karma.

"Sumon?!" anak buahnya menghampirinya.

"Mana wanita itu?" pemimpin geng itu bangkit dari sofanya. Tidak satu pun anak buahnya yang dapat menjawab. Ia menggeleng kepala, menyesali kelengahannya.

"Dia mencopetku." ujarnya dengan gusar, menyimpan pipa tembakaunya.

"Kejar dia." Matanya menunjuk ke arah pintu belakang, lalu matanya jatuh ke kerumunan.

Mata emasnya jatuh ke Akabane Karma.

"Aku punya urusan."

Langkah demi langkah dan jarak mereka mendekat, air mukannya menyiratkan kesenangan yang janggal. Kekhawatirannya akan wanita tadi telah membuat gerakan Karma terlalu tampak, terlalu mencolok baginya. Mata merkuri itu menyipit dalam rasa tidak suka. Dari cara ia berjalan, dari pandangan matanya, sudah jelas bahwa samarannya terbongkar.

"..." Keheningan tipis di antara perasaan yang bergejolak di dalamnya.

Murka mulai menyingsing di wajah Karma, bergulir waktu yang ia habiskan bersama dengannya. Persaudaraan dan pengkhianatannya. Semakin beringas perasaan dalam dirinya, melihat pemimpin geng itu kembali menikmati semua emosi yang berkecamuk di mata merkurinya -seperti yang ia lakukan waktu itu, waktu yang sudah begitu lama. Ingatan yang segar seperti kemarin. Langkah santai yang mengingatkan betapa mudahnya ia dulu membuangnya, kini menghampirinya.

"Sudah lama sekali, bajingan." suaranya bergemuruh di tenggorokannya.

Setelah sekian lama, akhirnya mereka berhadap-hadapan.

"Akabane Karma." namanya seperti bergulir begitu alami dari lidahnya. "-aku seharusnya tahu." pemimpin geng itu menyimpan tangannya di sakunya. Mata emasnya jatuh di pipa tembakau di genggaman tangan Karma, sebuah pesan yang jelas diterima.

"Kamu menerima undanganku, Karma." ia mengangkat pipanya, menghembuskan lingkar asap yang begitu familier, begitu lekat di memorinya.

Murka itu kembali merebus darahnya, hasrat yang ingin mencabiknya seketika.

"Aku sudah tidak sabar menanti reuni ini."

.

.

.

.

Author's Note: Maaf hiatus panjang sekali. Tapi syukurnya akan diupdate lagi kok, enggak akan selama ini tentunya. Penampilan Asano harus menunggu dalam skenario ini. Lihat saja kejutannya ;)