Bites: Chapter 1


Masih terlalu dini hari untuk seseorang terbangun dari tidurnya.

Sementara itu, laki-laki bersurai merah pucat dengan manik yang senada dengan surainya itu tengah menundukkan kepalanya, menepatkan posisi bibirnya dengan bibir perempuan itu.

Tapi—

Sekali lagi, ia mengurung niat yang menurutnya sangat tidak adil itu dengan menggigit bibirnya sambil mendecih.

Kali ini ia memposisikan bibirnya dengan keningnya,

"Aku mencintaimu, Haruka. Tidak. Aku mencintaimu, Hinamori Aiko. Sial. Aku terlalu mencintaimu. Aku harus memilikimu"

Laki-laki bersurai merah pucat itu mengecup kening perempuan bersurai coklat yang tengah terbaring, berkelana di alam mimpinya.

Membuka mulutnya yang menunjukkan taringnya, berniat untuk menggigit leher jenjang perempuan itu. Merasakan darah itu mengalir keluar dari luka gigitan taring yang ia buat.

"sial." Sekali lagi ia mengurungkan niatnya untuk merasakan darah manusia.

Ya. Sudah lama sekali ia tak merasakan darah manusia. Kelinci dan darah hewan saja tidak membuat nafsu akan darah hilang sepenuhnya. Apalagi dengan perempuan itu tengah tertidur dengan rambutnya yang tidak menutupi lehernya itu. Membuat laki-laki itu semakin tak tahan akan suara darahnya yang mengalir di pembuluh darahnya.

"Engg~" terdengar suara perempuan itu tengah mengerang. Membuat laki-laki bersurai merah itu dengan panik melompat keluar dari kamar perempuan itu melalui pintu yang mengarah langsung ke balkoni di kamar perempuan bermanik onyx itu.

Mengerjapkan matanya, tubuhnya digelitik oleh hawa dingin yang menyeruak masuk ke kamarnya.

"Are? Siapa yang membuka pintu balkon?" dengan jantungnya yang berdegup kencang, takut kalau ada sesuatu yang memasuki rumah, perempuan itu melangkah dengan pelan lalu menutup dan mengunci pintu itu.

Setelah dirasanya aman, ia kembali berbaring dengan kelopak matanya yang kembali terasa berat. "Siapa ya? Rasanya tadi ada yang menyentuh?—tidak. Rasanya memang seperti ada yang mengecup keningku. Atau itu cuma mimpi?—"

Sementara itu, dari bawah, laki-laki bersurai merah itu memandangi perempuan yang ia puja itu dalam diam.

"Cih. Yang tadi itu hampir saja." Katanya sambil mencengkram erat novel seri pertama Lord of The Rings milik perempuan itu lalu melesat pergi.


A Kuroko no Basket fanfiction

"Bites"

by Hana Aizen

Disclaimer:

Kuroko no Basket milik Fujumaki-sensei. Hana hanya meminjam beberapa tokoh dari manga yang super duper luar biasa keren itu. Dan Hana meminjam karakter vampire serta beberapa episode salah satu TV series dari The CW, The Vampire Diaries


Summary: Hinamori Aiko, siswi SMA Teiko itu menjadi rebutan 7 vampire tampan karena ia adalah doppleganger seorang wanita yang mereka sukai 100tahun yang lalu. Mereka bertujuh saling berusaha untuk mendapatkan hati Hinamori dan mengubahnya untuk menjadi vampire tanpa menghilangkan sisi kemanusiannya.

Warn: Reverse harem fanfict, Vampire!GoM, Vampire!Nijimura, Human!OC, OOCness, a lot of typo (maybe!sorry!), alur tidak menentu (kadang cepat, kadang lambat), rated bisa berubah-ubah untuk safety Hana pake rated M sekarang. Too much changing POV.


[Hinamori's POV]

"Hng~ Hari minggu. Enaknya males-malesan. Tapi—"

'Hari ini kau kena shift pagi sampai siang. Jangan terlambat. ;)

-Kagami Taiga'

Pesan teks tersebut yang membuatku menjadi sedikit kesal.

Lututku masih terasa sakit karena jatuh kemarin. Dengan langkah gontai aku menuju kamar mandi.

Mandi dan berkeramas membuatku segar kembali,

Mengambil hairdryer yang tergeletak di atas meja rias.

Melihat pantulan tubuhku yang masih terbalut handuk dan rambut yang basah.

"Huh—Kagami apa tidak bisa mengizinkanku beristirahat hari ini?"

Mengeringkan rambut sambil terus memikirkan kejadian dini hari tadi.

Pintu balkon yang terbuka. Perasaan kening dikecup.

Ah—

Dan, satu lagi orang yang membuatnya bingung dari kemarin.

Dimulai dari pelajaran sejarah. Sejarah Era/Zaman di Jepang akan dibahas di bab terakhir. Tapi..

Ah, mungkin hal itu sedikit tidak menggangguku karena bisa saja Akashi menyukai pelajaran sejarah, jadi pertanyaan itu sangat mudah baginya.

Hm, dan wajah dan tangan dinginnya yang pucat.

Apa ia sakit?

Pemakaman.

Dari mana ia mengetahui hal tersebut?

Luka.

Kenapa raut dan suaranya berubah menjadi parau ketika melihat lukaku yang mengeluarkan darah.

Apa dia berlari secepat itu?

Aku menekan tombol 'turn off' yang terdapat di hairdryer itu sambil mendesah kecil.

Terlalu banyak pertanyaan. Terlalu banyak menaruh perhatian pada orang lain. Tapi..

Ia membuatku penasaran.

"Akashi Seijuuro." Aku mengucap namanya sambil mengenakan pakaian pelayan cafe 'Bar&Grill'

Kemeja berkerah berwarna biru tua yang simple dan celana jeans hitam.

Mengikat rambut ikalku yang berwarna coklat.

"Mari selesaikan dan segera menghabiskan waktu dihari Minggu." Aku berkata dengan mantap sambil memandang pantulanku di cermin.


"Kau sudah sampai, Hinamori. Cepat bantu aku." Ucapan pertama yang aku dengar datang dari laki-laki bersurai merah gelap itu sambil membawa nampan berisi gelas-gelas kosong.

"Hee?~ Bukannya aku yang menjadi bartender hari ini? Ogah ah ngebantuin Kagami." Aku menjulurkan lidahku yang langsung membuatnya kesal.

"Kuso! Hinamori-teme!"

"Bakagami!"

Kagami dengan kesal berjalan menuju dishwasher dan mengambil pesanan lain.

Ah, ngomong-ngomong soal Kagami, laki-laki itu adalah sahabat dekatku di tempat kerja part-timeku ini dan teman satu sekolah. Kami jarang sekali mendapatkan kelas yang sama. Dan ia bergabung di club basket bersama dengan Momoi yang menjadi manager tim basket SMA Teiko.

Aku mengenakan celemek berwarna hitam dan mengenakan tanda pengenalku.

Membersihkan meja dan merapikan gelas-gelas kaca yang biasa digunakan untuk menyajikan berbagai jenis minuman bar.

Aku mendengar ketukan meja yang berada dibalik tubuhku dan membuatku seketika menoleh ke arah sumber suara.

Aku melihat anak laki-laki dengan surai biru laut, kulit tan, dan tubuhnya terlihat kekar.

"Oi, Ona. Berikan aku whiskey." Ucapnya dengan nada bosan.

Laki-laki itu masih terlihat seperti anak SMA yang baru menginjak kelas 2 atau setidaknya 3.

"Hoi. Kau dengar tidak?" ujarnya membuatku dengan panik mengangguk.

Aku memberikannya shot glass yang biasa digunakan untuk menyajikan whiskey.

Menuangkan whiskey itu secara perlahan ke gelasnya selagi matanya tak melepaskan pandangannya dariku. Membuatku sedikit canggung.

"Seharusnya anak seusiamu tidak meminum whiskey, kau tahu?" ceplosku sambil meletakkan botol whiskey di rak penyimpanan botol.

"Memangnya kau tahu usiaku?" tanyanya sambil mengangkat shot glass yang hendak di teguk isinya itu sambil menyeringai.

"Mungkin usiamu tak jauh dariku." Kataku acuh sambil membalikkan badanku. Kembali merapikan publik bar itu.

"Aomine."

"Ha?"

"Aomine Daiki. Namaku Aomine Daiki." Katanya sambil meneguk habis whiskey itu dalam satu tegukan.

"—Lagi." katanya sambil menyodorkan gelasnya.

Aku menuangkan whiskey itu kembali ke gelasnya.

"Kau belum memberi tahukan namamu."ucapnya selagi aku meletakkan botol whiskey itu diatas meja.

"Hinamori Aiko. Kau bisa membacanya disini. Kau tahu?" kataku sambil menunjukkan pin name tag yang terletak di celemekku.

Aku kembali membalikkan badanku untuk melanjutkan pekerjaanku yang sempat aku tinggalkan itu.

"—Aomine-nii, pagi-pagi sudah minuma saja. Apa tidak apa-apa untukmu?" kata seseorang yang sepertinya mengambil tempat duduk di sebelah laki-laki bernama Aomine Daiki itu.

"Urusee lah, Tetsu." Katanya sambil kembali meneguk habis whiskey itu dalam satu tegukan.

Tak lama aku telah menyelesaikan pekerjaanku dan kembali menghadap Aomine yang sepertinya memintaku untuk mengisikan gelasnya lagi.

"Apa kau mau lagi?" aku menawarkan botol yang masih terdapat whiskey yang memenuhi separuh botolnya.

"Tidak. Sepertinya cukup." Kata seseorang.

"KYAA!" pekikku saat melihat orang yang sepertinya sudah duduk di sebelah Aomine sedaritadi.

Dari mana laki-laki itu muncul?

Ah, benar juga. Dia yang tadi bicara dengan Aomine.

Nii?

Apa dia adiknya Aomine?

Ha~ Masa bodoh.

Laki-laki bersurai biru muda itu tampak terkejut sekali saat aku menatapnya balik.

"Haruka?" Suaranya yang terlalu kecil seperti sedang berbisik itu tidak dapat kudengar.

"He?"

"Oi, Tetsu!" pekik Aomine tiba-tiba.

Aku terus saja memandangi wajah laki-laki besurai baby blue dan navy blue tersebut secara bergantian.

Selang beberapa detik, wajah pemilik surai baby blue, atau yang tadi dipanggil si-Aomine itu dengan nama Tetsu kembali datar.

"Apa kau mau whiskey juga?" tanyaku sambil menawarkan botol kaca berisi minuman beralkohol tersebut.

"Bukankah tadi Hina—kamu melarang anak seumuran kami meneguk minuman itu?"

Tunggu.

Dia bilang apa tadi?

Hina?

Namaku?

Ah, mungkin dia mengetahuinya dari name tag milikku.

Aku menaikkan sebelah alisku dan memandangnya dengan wajah sarkatis.

"Hm. Tapi tadi sepertinya kau tahu namaku." kataku sambil mengembalikan botol itu.

Aomine sedaritadi diam sambil mengangkat shot glassnya yang kosong didepan bibirnya sambil memandangku.

"Kau punya name tag, Hinamori-san." Katanya dengan wajah datar. Tatapannya yang kosong membuatnya sulit sekali membaca ekspresinya.

Laki-laki bernama Tetsu itu berdiri sambil menarik Aomine agar bangkit dari tempat duduknya.

"Terima kasih, Hinamori-kun. Kami harus pergi. Berhati-hatilah dengan si merah." Katanya sambil mengeluarkan uang dari dompet di dalam saku celanya itu. Meletakkan beberapa lembar yen diatas meja lalu beranjak pergi dengan Aomine yang terus meronta untuk dilepaskan.

Aneh.

Tubuhnya kecil tapi kuat sekali untuk menarik tubuh orang yang badannya lebih besar daripada dia.

Hm..

Dan satu lagi perkataannya yang mengangguku.

Si Merah.

Siapa?

Rambutnya merah gitu?

Kagami?

Atau—

Akashi?

Tidak mungkin mereka mengenal Kagam-kuni dan Akashi-kun kan?

Dan akhirnya aku larut dalam pemikiran yang hinggap di pikiranku.

Melayani pelanggan dan berharap agar shiftku segera berakhir.

"Oi, Hinamori. Istirahat dulu." Kagami menghampiriku di meja bartender sambil melepas tali appronnya.

Aku yang masih membersihkan meja dengan kain pembersih segera mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan yang sepi karena Kagami memberikan tanda 'CLOSED: Break Time' di pintu masuk.

"Ah—sudah waktunya istirahat. Sebentar. Aku selesaikan dulu."

Dan, selesai.

Melepaskan appron biruku lalu meregangkan otot leherku sambil memandang Kagami dengan mengerucutkan bibirku.

"Ada apa?" tanyanya.

Aku menggeleng sambil mengangkat kedua bahuku dengan bosan lalu berjalan ke sampingnya.

"Aku akan membuatkanmu sesuatu. Kau mau makan apa?" tanyanya sambil berjalan ke arah dapur Bar&Grill, sementara aku berjalan ke tempat duduk.

"Aku tidak lapar. Hanya sedikit mengantuk. Jadi.. aku mau kopi saja." Kataku sambil menarik tempat duduk lalu mendudukinya dengan menghela nafas panjang.

Tanpa menjawab pertanyaanku, Kagami menuju ke dapur, disusul dengan suara gaduh—memasak di dapur.

"Hm.. dia baik sekali. Memang seperti itu. Walaupun sedikit keras kepala dan pemarah."

Selang beberapa menit, ia telah kembali dengan membawa daging steak berukuran ekstra, minuman bersoda dengan gelas medium, serta secangkir kopi.

Aku menerima kopi yang diberikan Kagami dengan mengucapkan terima kasih sambil tersenyum kecil.

"Aku lihat, sedaritadi wajahmu murung sekali. Ada apa? Bukankah seharusnya kau senang karena ada Lake Party malam ini?" tanyanya sambil memotong daging steaknya. Pandangannya tidak tertuju padaku, melainkan pada layar televisi yang menampilkan acara berita siang.

Lake Party adalah pesta di danau yang biasa diadakan oleh siswa SMA Teiko tanpa sepengetahuan pihak sekolah. Biasanya mereka berpesta BBQ sambil lomba memakan jelly hingga mual. Dan, sebenarnya aku tidak ingin mengikuti acara itu. Mengingat aku hanya akrab dengan Momoi, Aida-senpai, Kiyoshi-senpai, Hyuuga-senpai, ah, dan banyak lagi. Sebenarnya aku berteman dengan teman-teman Momoi di club basket, mengingat Kagami juga berada di klub tersebut.

"Benar juga. Ada Lake Party malam ini. Apa benar aku terlihat murung? Hm.. Sepertinya aku sedikit bingung saja. Apa kamu memperhatikan dua pelanggan pertama yang datang ke tempat bartender?" tanyaku sambil bertopang dagu, memperhatikan laki-laki bersurai merah hati itu.

"Terjadi kematian misterius yang menggemparkan. Kematian yang kabarnya disebabkan oleh—" suara pembawa acara itu sempat mengusikku dan menghentikanku dari aktifitas memandang Kagami.

"Ah, ada pembunuhan? Jarang sekali terjadi di daerah ini." batinku sambil menyeruput cappucinoku.

Sepertinya Kagami juga tidak terlalu mendengarkan perkataanku barusan. Ia menghentikan acara makan besarnya itu dan memandang layar televisi lekat-lekat.

"Yang kabarnya disebabkan oleh gigitan hewan itu sempat menggemparkan."

Dan, tampaklah video reporter yang tengah melaporkan dari tempat kejadian.

Dua lubang tepat di leher. Darah yang sekarang mengering.

"—Korban dinyatakan meninggal karena kehabisan darah yang keluar dari lubang di lehernya."

Dua orang. Meninggal ditempat. Dan menurut laporan wartawan tersebut, satu orangnya ditemukan tak jauh dari tempat korban yang satu lagi dengan menggenggam ponsel.

"Dia sudah kembali." Kagami mengucapkannya terlalu pelan.

"Apa?"

"Lupakan." Katanya sambil berdiri membereskan piring steaknya.

Tiba-tiba saja sikapnya berubah menjadi dingin dan merengut.

"Kau sudah selesai?" tanyaku sambil terburu-buru menenggak cappucinoku.

Kagami tidak menjawabku dan meninggalkanku terbengong di tempatku duduk.

'Dia' siapa?


[AUTHOR's POV]

"Sekarang jelaskan padaku! Apa kau yang melakukan kekacauan ini?!" Akashi melempar koran harian itu ke pangkuan Nijimura dengan wajah merah padam karena perasaannya yang berkecamuk ingin memukul kakaknya itu.

Nijimura yang tidak menggubris kata-katanya membuat Akashi semakin geram dan membuatnya mencengkram kerah baju Nijimura.

"Kau dengar aku tidak?!"

Semakin Akashi tersulut emosi, semakin Nijimura mengembangkan seringainya, "ya, seperti itu adikku."

"Cih." Akashi melepaskan cengkramannya.

"Maka daripda itulah aku melarang dia kembali. Melarang semuanya kembali." Batin Akashi.

"Ketauhilah dimana tempatmu berdiri, Nijimura."

"Ketahuilah siapa yang tertua disini, Seijuuro."

Ucapannya membuatku semakin marah dan ingin mematahkan lehernya.

"Ingat siapa yang paling kuat disini, Nijimura." Kataku sambil berjalan menajauhi ruang keluarga.

"Ingatlah siapa anak haram di keluarga ini."

BUAKH!

Satu pukulan mendarat di pipi tirus Nijimura. Membuatnya tertawa terbahak melihat ekspresi adiknya yang menunjukkan aura hewan liar itu.

"Kenapa kau marah? Bukankah kau kuat karena Otou-sama belum menyadarinya waktu itu? Membuat Otou-sama menyuruh Oka-sama menenggukkan ramuan itu?" katanya sambil menepis tangan Akashi.

"Diam."

"—Membuatmu jadi semakin hina. Ah, aku ingat sekali bagaimana dirimu ketika Otou-sama memukuli serta menghinamu, Seijuuro." Nijimura terus-terusan memanas-manasi hati Akashi.

KRAKK!

Akashi memutar kepala Nijimura. Terdengar bunyi 'KRAK' dari tulang leher Nijimura dan membuatnya meninggal—pingsan—seketika.

Tidak ada gunanya membunuh Original hanya dengan mematahkan lehernya dengan cara memutar kepalanya. Mereka harus ditusuk dengan kayu pohon oak yang memiliki umur setara dengan umur Original.

Vampire Original.

Alias vampire pertama dan tertua di muka bumi.


Malam telah tiba, kali ini Akashi tengah membaringkan tubuhnya diatas kasur dikamar pribadinya. Memandangi novel Lord of The Rings milik Hinamori yang kemarin tertinggal di pemakaman itu.

"Lake Party ya? Kalau aku ikut, pasti dia mengacau dan tak mungkin meninggalkanku dengan perasaan gembira." Akashi membatin sambil mengepalkan kedua tangannya.

Akashi memang memiliki konflik batin dengan kakaknya yang satu itu semenjak kematian Haruka.

Sebenarnya, dia tidak tahu kenapa. Dia ingin sekali membunuh kakaknya yang ia anggap sebagai bajingan itu. Tapi.. disatu sisi, Akashi menyayangi kakaknya tersebut. Bagaimana tidak?

Akashi teringat ketika Nijimura begitu melindunginya saat ayahnya selalu menuntut untuk mengalahkan para warewolves itu.

Menerima pukulan dan hinaan setiap saat.

Selalu merasa terasingkan dari kelima saudaranya yang lain.

Sebenarnya, Kise, Kuroko, Midorima, Aomine, dan Murasakibara adalah anak dari ibu Akashi dan Nijimura, hanya saja mereka bukan vampire original. Mereka diubah oleh Akashi dan Nijimura. Sudah menjadi takdir mereka. Sudah menjadi kutukan mereka berdua untuk merubah keluarganya sendiri menjadi segerombolan vampire.

Ibu mereka adalah penyihir terkuat abad itu, dengan Ayah mereka yang keras kepala dan liar, serta bersifat otoriter.

"Aku ingin ada yang membunuh mahluk-mahluk hina itu!" sedaritadi ocehan ayah Nijimura dan Akashi berkecamuk di telinga mereka.

"Aku ingin kau, menciptakan mahluk yang dapat mengimbangi mereka."sambungnya sambil menunjuk tepat ke wajah ibu mereka.

Ingin hati mereka menengahi sikap ayah mereka yang keras, tapi apa daya? Mereka malah terlihat tidak apa-apanya dibandingkan dengan ayahnya yang menjadi seorang pemburu.

Suara ketukan pintu menyadarkan Akashi dari lamunannya.

Ia berdiri dan berjalan ke arah pintu dan menjumpai laki-laki dengan surai berwarna hijau lumut,

"Apa kau yang mematahkan lehernya, nanodayo?" tanyanya sambil bersandar di ambang pintu kamarnya.

"Dia berisik sekali." Kata Akashi sambil memasukkan tangannya kedalam saku celananya.

"Tidak mungkin. Apa dia memulainya dengan mengataimu lagi, Akashi?" tanyanya sambil melipat tangannya di depan dadanya.

Diantara semua saudaranya, Akashi paling dekat dengan Nijimura dan Midorima.

"Cih. Apa kau tidak punya urusan lain selain menggangguku dengan pertanyaan itu, Shintaro?" Akashi masih berdiri di tempatnya, membaca ekspresi lawan bicaranya yang selalu bersikap dingin tetapi sebenarnya peduli itu.

"Aku telah merapikan kamarku yang sudah lama aku tinggalkan, nanodayo. Selain itu, aku mendapat pesan dari salah seorang dari SMA Teiko bahwa akan ada Lake Party. Sebenarnya, aku berencana untuk menghadirinya. Tapi setelah aku pikir-pikir lagi, acara ini terlalu bodoh, nanodayo." Ucap laki-laki bersurai hijau itu sambil mendengus pelan.

Perkataannya itu membuat Akashi menaikkan sebelah alisnya, "Kau banyak bicara, Shintarou"

Dengan kalimat terakhirnya itu, Akashi memutuskan untuk kembali menutup pintu kamarnya lalu mengeluarkan nafas panjang sambil memandangi pantulan dirinya di cermin lemari bajunya yang berukuran sangat besar.

"Sepertinya, tidak ada salahnya mencoba untuk pergi kesana." Batin Akashi sambil mengambil beberapa langkah ke kasurnya, mengambil foto hitam-putih. Foto yang sama dengan yang malam sebelumnya. Foto yang selalu ia simpan di jurnalnya. Sosok difoto tersebut yang membuatnya melakukan hal tersebut.

Menghembuskan nafas sekali lagi. Dadanya terasa sesak jika mengingat perempuan itu.

Perempuan yang sudah berani-beraninya meninggalkan perasaannya. Perempuan yang selalu ia tunggu kehadirannya tapi tak kunjung datang.

"Haruka. Tidak. Hinamori bukan Haruka."

Ia menghempaskan tubuhnya di kasurnya sambil memejamkan matanya, membayangkan kejadian saat dini hari ini, ia hampir saja membuat Hinamori terbangun.

Ia menggenggam novel Lord of The Rings milik gadis itu.

"Baiklah sudah kuputuskan. Aku akan datang ke Lake Party."


TBC?

Mind to RnR?