Kuroko no Basket © Fujimaki Tadatoshi

Story © Karina Luna

"Ini penyakit yang terjadi karena berbagai hal. Yang terjadi pada pasien adalah karena benturan keras." Dokter melanjutkan penjelasannya hati-hati.

"… saya sudah tahu itu." Akashi kembali merasa bersalah.

"Penyakit ini berkembang di otak kecilnya, menyebabkan saraf motoriknya terganggu. Pada tahap awal kadang-kadang penderita akan mendadak kehilangan keseimbangan, kehilangan kontrol alat gerak, sampai pada yang paling parah adalah kehilangan kontrol tubuh."

"Tunggu, saya pernah mendengar penyakit seperti itu. Apakah itu Degenerasi Spinocerebellar? Tapi, kenapa karena benturan?" Ogiwara teringat sesuatu. Yah, kadang-kadang jika ada waktu ia suka membaca hal-hal yang berbau kedokteran seperti ini.

"Pada awalnya kami mengira demikian. Namun setelah beberapa lama, pasien mengalami keluhan seperti sakit kepala yang tidak tertahankan, sering mimisan, juga kehilangan beberapa ingatan yang seharusnya tidak bisa dia lupakan."

Ogiwara dan Akashi tertegun. Mereka ingat hal itu. Keluhan yang seharusnya tidak dialami penderita Degenerasi Spinocerebellar.

"Kemudian saya memutuskan untuk menangani dia lebih intensif. Setelah menjalani beberapa tes dan CT Scan akhirnya diketahui penyakitnya adalah…" Dokter menghela nafas. Memberi jeda agar Ogiwara dan Akashi lebih siap. Sedangkan yang mendengarkan hanya bisa menahan nafas. "… tumor otak, tepatnya di otak kecilnya, dan sedikit menyebar ke otak besarnya."

Pemuda berambut coklat dan merah itu shock berat. Menunduk dalam-dalam. Matanya perlahan mengeluarkan air mata. Hati mereka layaknya ditusuk-tusuk sebuah pisau. Perasaan yang begitu mendalam tentang teman yang merubah nasib mereka itu sungguh menimbulkan gejolak yang dahsyat dalam jiwa maupun raga.

"Penyakit ini susah disembuhkan dengan operasi mengingat posisinya yang sulit dijangkau. Kemudian kami menyarankan agar ia menjalani kemoterapi, namun tubuhnya menolak. Usaha terakhir yang saya bisa adalah memberikannya obat untuk mengurangi rasa sakitnya, sekaligus melarangnya bermain basket lagi agar tidak terjadi benturan seperti itu dikemudian hari." Dokter tetap menjelaskan dengan hati-hati. Rupanya dokter ini telah memperhatikan Kuroko dari awal hingga saat ini. Buktinya, dia mengingat semuanya. Nampak di matanya, Kuroko adalah pasien yang aneh sekaligus unik.

"… dan ia tak pernah bilang pada saya soal itu." Akashi menimpali.

"Ya, saya tahu. Dia bersikeras sampai akhirnya penyakitnya semakin parah dan koma seperti beberapa minggu yang lalu. Tapi pada akhirnya saya takjub pada pasien unik ini. Seakan ia membalas kerja keras saya selama hampir dua tahun belakangan." Raut wajah dokter itu berubah girang. Ogiwara dan Akashi hanya bisa menghapus ekspresi sedih mereka dengan wajah kebingungan dan saling berpandangan satu sama lain.

"Memangnya ada apa, dok?" Akashi dan Ogiwara penasaran.

"Sehari setelah dia sadar dari koma, kami melakukan beberapa pemeriksaan intensif. Menurut perkiraan saya, akan sulit baginya untuk sadar kembali walau dalam waktu 3 tahun sekalipun. Tapi, dia sadar bahkan dalam kurun waktu kurang dari 2 minggu. Hasilnya sungguh mengejutkan. Dengan tekadnya sendiri, tubuhnya membentuk antibodi yang menyerang sel tumor tersebut, dan mengecilkan ukuran sel tersebut secara signifikan. Dalam terapi yang ia jalani, ia juga sangat cepat berkembang. Semangat hidupnya sungguh tinggi. Sekarang, kami dapat memastikan bahwa ia sudah sembuh. Terima kasih pada kalian yang sudah membakar semangatnya yang sempat padam itu. Kalian pasti sangat berarti baginya." Dokter itu terlihat begitu senang. Ogiwara dan Akashi bernafas lega. Yah, kalau soal keajaiban, Kuroko adalah ahlinya.

"Syukurlah. Tapi, soal kejadian yang kemarin…, kenapa dia bisa tiba-tiba jatuh? Anda mengatakan bahwa dia sudah sembuh kan? Anda mengatakan bahwa ia tidak apa-apa namun sebenarnya tidak kan?!" Raut wajah Akashi berubah serius, setengah emosi.

"Eh?!" Ogiwara terkejut. Dia tidak tahu apa-apa soal itu.

"Saya baru sadar dia punya penyakit lain yang hampir mirip." Dokter itu menunduk dalam.

"A… APA?!" Akashi dan Ogiwara berteriak bersamaan.

"Degenerasi Spinocerebellar, ia akhirnya benar-benar punya penyakit yang itu. Tapi penyakit itu baru menyerangnya." Dokter menghela nafas.

"Ka… kalau begitu… dia tidak bisa sembuh?" Ogiwara teringat. Belum ada yang bisa sembuh dari penyakit itu. Namun, untuk pengobatan bisa dilakukan terapi. Itu berarti..., Kuroko takkan bisa bermain basket? Ia takkan bisa bertanding melawan Ogiwara kelak?

"Ya, begitulah. Untung saja penyakitnya itu masih dalam tahap ringan jadi tidak sulit bagi kami untuk menetralisirnya dengan terapi. Namun itu semua tidaklah menjamin kesembuhannya. Penyakit ini merupakan kelainan yang belum bisa kami pecahkan." Entah kenapa wajah dokter itu terlihat datar seakan tak terjadi sesuatu yang penting,dan tentu saja Ogiwara merasa tersinggung dengan hal itu.

"Kenapa dokter terlihat tenang-tenang saja?!"

"Tenang dulu. Kuroko Tetsuya ini pasien yang menurut saya cukup aneh dan unik. Sejauh ini, berkat dia, kami menemukan beberapa metode yang efektif dan efisien untuk pasien dengan penyakit sepertinya. Setidaknya saya bisa tenang karena kalian ada bersamanya."

"Eh?"

"Selama kurang lebih 2 tahun ini, saya terus mendengar ceritanya. Begitu kuat perasaannya sebagai teman pada kalian hingga membuatnya kuat seperti ini. Saya minta kalian tetap mendukungnya dan berharap agar ia dapat melakukan keajaiban lagi."

Bagi Akashi, itu hanyalah sekedar omong kosong. Sebuah harapan yang keasliannya patut dipertanyakan. Lebih tepatnya..., harapan palsu?

"Baik, terima kasih dokter. Kami mohon pamit. Jika biayanya kurang, cukup bilang pada saya." Akashi mendadak berdiri. Tetap dengan sikapnya yang anggun ala orang kaya. Ekspresinya berubah dingin, namun nampak ada sedikit rasa marah dan kecewa pada dokter itu dalam wajahnya. Sama seperti saat ia membereskan masalah Haizaki di Teiko. Walau bagaimanapun juga nampaknya sifat itu belum sampai sedingin Akashi di Rakuzan. Ia pun cepat-cepat menarik tangan Ogiwara dan pergi dari ruangan, sementara yang ditinggalkan hanya tersenyum aneh disana.

"A... Akashi? Ada apa?" Ogiwara sedikit trauma dengan ekspresi dingin itu. Bahkan ia merasa lebih pantas jika ini disebut fobia.

"Lebih baik kita segera pergi sebelum mendengar lebih banyak harapan palsu darinya. Lama-lama kau akan tenggelam dalam kata-kata manis itu dan kehilangan kewaspadaanmu terhadap Kuroko. Lagipula perasaanku mengatakan akan terjadi sesuatu, dan semakin lama perasaan itu makin kuat." Ujar Akashi sembari tetap menarik tangan Ogiwara dan berjalan cepat menuju pintu keluar. Sementara yang ditarik hanya bisa mengikuti dengan sedikit berlari dan tersandung-sandung.

"... aku juga sama."

"Maaf, Ogiwara. Kau punya waktu berapa lama?" Akashi berbicara dengan tergesa-gesa.

"Hm..., selain sekolah, aku punya waktu kapanpun aku mau. Memangnya ada apa?"

"Aku titip Kuroko sampai aku kembali. Awasi dia dan laporkan jika ada sesuatu. Sepertinya aku tidak bisa mengawasinya dalam 2 hari." Ia terlihat panik.

"Eh? Kenapa? Kenapa bukan salah satu anggota Kiseki no Sedai saja?" Akashi menjawab dengan melempar pandangan pada seseorang berjas hitam yang posisinya agak jauh. Ia memandang mereka berdua –lebih tepatnya Akashi– dengan wajah khawatir. Pada mulanya Ogiwara agak bingung, kemudian –entah kenapa– ia bisa mengerti hanya dengan melihat mata Akashi.

"Hanya kau yang ada disini sekarang, jadi, aku titip Kuroko ya. Sampai jumpa!" Akashi segera berlari menuju orang berjas hitam itu. Ogiwara hanya mengangguk pelan, dan melongo melihatnya. Walau begitu, ada sedikit pandangan perasaan iba pada Akashi. Entah kenapa, ia merasa anak itu tidak akan baik-baik saja.

"Jadi tugasku akan bertambah, huh?" Ogiwara berbicara sendirian sambil berjalan malas, menyeret langkahnya, dan menendang beberapa kerikil tak bersalah yang ada di jangkauannya. Pandangannya melayang jauh. Degenerasi Spinocerebellar itu sebenarnya tidaklah mengerikan selama tidak ada kecelakaan yang terjadi seperti yang terjadi pada Kuroko kemarin. Dan itu berarti mau tidak mau ia harus melakukan tugas dari Akashi untuk melawan rasa kekhawatirannya itu. Bagi mantan kapten Kiseki no Sedai itu, nampaknya membaca pola pikir, karakter, dan perilaku seseorang di masa depan bukanlah hal yang sulit. Ogiwara hanya bisa mendengus. Membayangkan kemampuan orang itu saja rasanya mengerikan, bagaimana dia bisa menghadapinya? Ah tidak, sekarang Ogiwara tak punya rasa takut lagi terhadap Akashi. Yang tersisa hanyalah perasaan segan. Entahlah, mungkin segan karena kemampuan dan sifatnya itu?


"Hei Tetsu, kau ingin ditemani siapa hari ini? Yah, kau tahu..., kami semua membolos hari ini dan besok adalah hari libur. Jadi, kau boleh memilih." Aomine menawarkan sesuatu.

"Tidak usah, Aomine-kun."

"Tch, ayolah Tetsu. Tidak ada salahnya sekali-kali memilih kan?" Aomine memeluk nakal pundak Kuroko erat seperti yang sering dilakukannya di Teiko..., sebelum perubahan sikapnya tentunya.

"Sakit, Aomine-kun." Kuroko berlaku manja. Sebetulnya tidak sakit sama sekali, malah terasa nyaman baginya. Membuat ingatan semasa Teiko kembali menelusuri ingatannya.

"Hh..., kenapa nggak kita semua aja sih? Kalian semua kan punya waktu untuk hari ini dan besok." Kagami berlagak santai. Kedua tangannya dilipat kebelakang. Satu matanya terbuka seperti mengintip yang lain, sedangkan satunya menutup santai. Yang lain membalas dengan senyuman, seakan mengerti maksud sebenarnya dari kata-kata Kagami. Yah, sebuah kata-kata simpel yang memiliki makna yang dalam.

"Lebih baik tidak usah. Lihatlah, aku sudah baik-baik saja." Kuroko memaksakan dirinya berdiri, dan memang tak ada sesuatu yang buruk terjadi. Hanya saja Kuroko merasa sedikit pusing dan mengakibatkan tubuhnya sedikit oleng.

"Te... Tetsu-kun! Tidak perlu memaksakan diri! Lihatlah! Kau masih pusing bukan?" Momoi menyadari hal itu, bahkan sebelum Kuroko oleng. Bagaimanapun juga dia adalah manager yang hebat. Memprediksi apa yang akan terjadi menggunakan data yang ia punya adalah keahliannya.

"Hm ayo cepat kembali ke rumah Kurochin agar aku bisa cepat-cepat makan maiubo ku disana." Kata Murasakibara sambil melirik kea rah Midorima.

"Salahmu sendiri! Makan dengan berdiri apalagi jalan itu tidak baik -nanodayo!" Midorima menyahut.

Obrolan pagi itu terasa hangat dan menyenangkan. Canda tawa memenuhi mereka, seakan rasa takut dan gelisah yang mereka rasakan beberapa waktu lalu sirna dengan cepat. Bahkan Kagami dan anggota tim Seirin lain merasa nyaman dalam keadaan seperti ini. Kadang beberapa dari mereka berpikir, inikah yang dirasakan Kuroko sebelum perubahan sikap Kiseki no Sedai di Teiko? Namun seketika sebuah pemikiran yang mengganggu datang. Kurang lebih pemikiran itu seperti ini, "pasti berat menghadapi perubahan yang mendadak pada diri teman-teman. Dimana satu persatu dari mereka meninggalkanmu dengan cepat." Begitulah. Kemudian perasaan sakit dan kesepian mengalir dalam hati mereka, namun segera ditepis agar suasana menyenangkan ini tidak segera berakhir.

"Ah, apa tidak terlalu banyak siswa Seirin disini -ssu? Apa guru kalian tidak akan sadar -ssu?" Kise menyadari sesuatu.

"Ah?! Benar juga?!" Semua anggota Seirin berpandangan.

"Kalau begitu aku akan minta izin sekarang juga." Pelatih mengambil tindakan cepat.

"Maafkan aku." Kuroko merasa bersalah.

"Ah, tak usah minta maaf, Kuroko-kun!"Jawab pelatih sambil menepuk-nepuk pundak Kuroko. Sementara yang ditepuk hanya menunduk.

Tanpa disadari mereka sudah sampai pada tujuan, yaitu rumah Kuroko. Tanpa basa-basi lagi mereka langsung masuk agar Kuroko bisa langsung istirahat. Memang terasa ramai, namun tak lengkap rasanya jika tidak ada orang yang sedang dipikirkan Kuroko saat ini. Siapa lagi kalau bukan karena Akashi dan Ogiwara? Dan yang paling penting, keadaan Akashi lah yang paling Kuroko khawatirkan saat ini. Meski hanya rumor yang lewat, dan didasarkan pada perkataan Midorima saat di Teiko, mungkin Akashi akan kena marah saat ini. Ayahnya itu..., sangat formal dan ketat. Kuroko hanya bisa berharap karakter Akashi yang baik itu tidak hilang.

Dari kejauhan terlihat anak yang seumuran dengan mereka sedang mengawasi dan sesekali menekan tombol-tombol di hpnya. Sepertinya sedang melaporkan keadaan sesuatu yang diawasinya. Ya, rambut coklat dan sisa nasi di pipinya itu bisa jadi pengenal. Siapa lagi kalau bukan Ogiwara. Entah kenapa, ia tak mau masuk. Hanya ingin mengawasi dari jauh. Ada sebersit rasa malu pada Kuroko. Dirinya saat di Meiko begitu cepat menyerah padahal dia tahu beban yang dirasakan Kuroko lebih berat. Pada akhirnya ia hanyalah manusia lemah yang punya mental sekecil batu kerikil.

Sudah ada beberapa hal yang ia laporkan pada Akashi seperti "Kuroko sudah sampai rumah", "Kuroko berdiri dan sedikit oleng, sepertinya karena pusing", dan sebagainya. Namun tak ada balasan. Lama-lama ia berhenti melapor. Sepertinya ia hanya mengganggu kapten berambut merah yang penuh wibawa itu. Baru saja ia mengantongi ponselnya, Akashi sudah mengirim SMS.

"Kenapa berhenti? Teruslah melapor, tapi maaf aku belum bisa membalasnya sekarang." Kira-kira begitulah isinya. Ogiwara menghela nafas. Anak ini benar-benar tahu hal ini akan terjadi. Sedikit menakutkan rasanya.

Kemudian, dibalik keramaian, Kuroko menyadari ada sesuatu yang aneh. Terlihat jelas di jendela kamarnya bahwa ada yang mengawasi. Ogiwara langsung mendengus dan segera bersembunyi dibalik pohon sakura yang sedang mekar itu. Entah Kuroko sudah sempat melihatnya atau belum.

"Ogiwara-kun?"

"Ada apa, Kuroko?" Kagami menyadari kata-kata Kuroko dibalik keramaian yang dibuat oleh pembicaraan Kiseki no Sedai dan Seirin itu. Semuanya langsung terdiam, memusatkan pandangan pada Kuroko yang melihat ke jendela.

"Tidak, aku merasa melihat Ogiwara-kun disana. Tapi ternyata tak ada apa-apa."

"Biar kususul, Tetsu."

"Tidak, itu mungkin hanya imaji – Aomine-kun!" Belum sempat Kuroko menyelesaikan kata-katanya, Aomine sudah bergegas keluar. Akhirnya, Ogiwara berhasil "diseret" kedalam oleh Aomine dengan wajah yang ditekuk penuh rasa bersalah.

"Maafkan aku, Kuroko. Aku telah 'menguntit'mu." Kata Ogiwara.

"Kalau Ogiwara-kun ingin masuk, tidak ada yang melarang kok." Balas Kuroko dengan polos. Lalu Aomine yang ada disebelah Ogiwara menepuk pundak anak berambut coklat itu. Disaat itulah Ogiwara menyadari Aomine sedang tersenyum hangat padanya, seperti menyambut kedatangan seorang teman. Lalu disaat ia memperluas pandangannya, terlihatlah senyuman semua orang. Senyuman yang sama dengan Aomine. Kemudian ia pun yakin bahwa tak lama lagi tatapan dingin semasa Teiko itu akan lenyap sepenuhnya dan takkan membuatnya bermimpi buruk lagi.

Rombongan mereka pun bertambah. Rasanya semakin ramai saja. Ogiwara jadi pusat pembicaraan sekarang. Namun entah kenapa tak ada yang menanyakan alasan ia mengintai Kuroko dari jarak jauh seperti itu. Mungkin saja karena mereka adalah anak SMA yang baru menjalin hubungan persahabatan. Karena itulah tak ada rasa keraguan karena itu.

"Ngomong-ngomong, kalian tidak penasaran dengan tingkah lakuku tadi?" Tanya Ogiwara sedikit takut. Semuanya menatap polos padanya. Yang ditatap malah bergidik ngeri melihat tatapan itu entah kenapa.

"Oh iya kami lupa, hahaha." Momoi membalas.

"Lagipula kita kan teman, tak ada alasan untuk mencurigai satu sama lain, Shige." Aomine sok akrab dan entah kenapa mendadak alim.

"Shi… Shige?" Ogiwara mendadak minder. Hanya orang terdekatnya yang memanggil seperti itu, kecuali Kuroko tentunya.

"Tidak ada alasan untukku mencurigaimu –nanodayo." Midorima dengan sifat tsundere nya yang sedang kumat sedang membenarkan kacamatanya malu-malu sekarang.

"Walaupun kalian tak mau mendengarnya, rasanya aneh kalau aku tidak memberitahunya setelah tertangkap basah seperti ini. Sebenarnya…" Padahal mereka bilang tidak mau mendengarnya tapi terlihat jelas ekspresi antusias dari mereka saat Ogiwara mengatakan demikian. Ogiwara menghela nafas. "Dasar, padahal kalian mengatakan tidak mau mendengarnya. Tapi kalian terlihat antusias tau!"

"Yah, sebenarnya sih kami juga ingin tau." Kagami mendesah.

"Hm baiklah. Sebenarnya Akashi titip Kuroko padaku."

"HE?!" Mereka semua terkejut. Ternyata dalang dibalik semua ini adalah Akashi.

"Sepertinya dia takkan bisa mengawasi Kuroko dalam 2 hari, dan kebetulan aku bertemu dia setelah menyelesaikan urusanku di rumah sakit tadi. Dan… alasan kenapa aku bersembunyi karena kupikir… aku akan merusak suasana menyenangkan ini."

Keadaan menjadi sunyi.

"Kau itu ngomong apa sih? Mana mungkin kau merusak suasana ini? Justru sebaliknya tau!" Kagami tersenyum nakal diikuti tim Seirin yang lain.

Hanya Kuroko yang tidak bisa tersenyum sekarang.

"Ada apa, Kuroko?" Kapten Hyuuga bertanya.

"Tidak, bukan apa-apa. Rasanya… Akashi-kun… dalam… keadaan… yang… mengkhawatirkan." Lagi-lagi Kuroko mendadak bicara dengan tersendat-sendat seperti saat baru saja siuman dari koma. Memang benar dia sedang menghawatirkan Akashi namun yang membuatnya mematung bukanlah itu. Ogiwara yang menyadari penyebabnya hanya bisa terdiam. Bagaimanapun juga ia harus merahasiakan bahwa dia telah mengetahui penyakit Kuroko yang sebenarnya.

"Kurokocchi?" Kise mendekat dengan pandangan menyelidik.

"Tak apa, Kise-kun. Tiba-tiba saja tenggorokanku terasa serak." Jawab Kuroko panik.

"Sepertinya memang benar kalau penyakitmu belum sembuh benar -nanodayo."

"Kalau begitu, besok Kurochin kuantar terapi ya?" Murasakibara berbicara dengan mulut penuh dengan makanan.

"Kalau begitu aku ikut!" Momoi antusias.

"Tidak usah. Besok kalian temani aku sampai siang saja. Sore hari aku akan ke rumah sakit untuk terapi. Dan untuk Ogiwara-kun, kumohon jangan mengintaiku besok."

Akhirnya dengan berat hati mereka mengangguk tanda setuju. Tapi sebenarnya Ogiwara masih ingin mengintai Kuroko sampai besok. Akashi sudah memberi amanah padanya. Jika ia menyuruhnya mengawasi Kuroko dalam 2 hari pasti ada sesuatu. Maka ia bertekad untuk mengintai secara sembunyi-sembunyi lagi.


Esoknya, sesuai yang dijanjikan, tidak ada yang menemani Kuroko terapi. Hanya saja Kuroko diantar untuk menuju rumah sakit. Yah, mereka memaksa. Terapi berjalan lancar namun disela-sela proses terapi...

"Temanmu yang berambut merah dan coklat, yang menjengukmu kemarin, tidak datang?" Dokter bertanya pada Kuroko.

"Tidak, aku melarangnya datang. Bukankah selalu seperti itu? Kenapa hanya mereka berdua yang anda cari?"

Sementara diluar…

"Ah, sial!"

Ogiwara merasa hidungnya gatal. Sialnya, dia tidak bisa mengintai Kuroko yang sedang didalam ruang terapi itu. Sialnya lagi, ia lupa memberitahu pada dokter itu bahwa jangan sampai Kuroko tahu bahwa kemarin, ia dan Akashi mendatanginya.

Kembali ke dalam ruang terapi.

"Kemarin mereka berdua datang padaku. Kupikir kau tahu karena kata mereka, kau mengijinkan untuk kemari."

"Maaf, apa mereka bertanya tentang penyakitku?"

"I…iya, maafkan aku."

"Anda menjawabnya?!"

"Maafkan aku. Mereka bilang bahwa kau sudah mengijinkan, jadi…"

"Saya sudah pernah bilang bahwa saya takkan pernah memberitahu mereka! Apa anda lupa? Kalau begitu, saya permisi!" Kuroko berlagak sopan –padahal biasanya tidak jika didepan dokter itu– dan segera beranjak pergi.

"Tunggu! Terapimu belum sele –"

BRAK!

Ini pertama kalinya Kuroko marah dan membanting pintu seperti itu. Bahkan, dokter yang sangat dihormatinya itu tidak dipedulikan. Seperti seseorang yang lain. Seperti bukan dirinya.

Ia berlari kencang. Entah kenapa ia yakin betul Ogiwara sedang berada disekitar tempat itu. Ia mencari ke segala arah, dan akhirnya menemukan yang ia cari. Lagi-lagi Kuroko memergoki Ogiwara yang sedang mengintai dan bersembunyi di pojok pintu kamar mandi.

"Ogiwara-kun!"

"A… ada apa, Kuroko?" Ogiwara ketakutan melihat ekspresi Kuroko yang marah seperti itu.

"Kau tahu kan?!"

"Ta… tahu apa?"

"Soal… penyakitku." Ekspresi Kuroko berubah sedih.

"Eng… enggak kok."

"Sudahlah, Ogiwara-kun. Jangan mengelak lagi." Kuroko menunduk lesu.

"La… lagipula aku tidak menganggap itu sesuatu yang serius kok."

"Bohong. Untuk apa Ogiwara-kun dan Akashi-kun berkomplot untuk mengintaiku dalam 2 hari?" Kuroko menatap tajam Ogiwara, tepat di matanya.

"Em… itu…"

Tiba-tiba ponsel Ogiwara berdering. Kuroko menyahutnya. Bulu kuduk Ogiwara berdiri. Keringat dingin mengucur deras.

"Halo, Ogiwara? Dimana posisimu sekarang?" Kata seseorang diujung telepon.

"Akashi-kun!" Kuroko menjawab. Hening sesaat, lalu terdengar suara telpon diputus.

Kuroko memutuskan untuk tetap disana. Entah kenapa, ada sebersit pemikiran bahwa Akashi akan segera kesini. Mungkin saja dia tahu bahwa Ogiwara akan bersembunyi disini. Ternyata benar, tak lama kemudian pemuda berambut merah itu datang didepan mata mereka.

"Maafkan aku, Kuroko." Akashi datang dengan terengah-engah.

"Tak apa, Akashi-kun. Tapi jangan bilang pada siapapun tentang ini."

"Baiklah, tapi kau harus janji untuk menjaga kesehatanmu sebaik mungkin, Kuroko."

"Akashi-kun tahu kan? Penyakit ini bukanlah penyakit serius."

"Tapi…"

"Sudahlah, ayo kita keluar."

Mereka bertiga pun keluar ke taman rumah sakit. Sebenarnya Kuroko tidak marah, hanya saja, ia merasa cemas. Jika ada yang tahu pasti rasanya tidak nyaman. Tapi tidak ada salahnya juga jika ada yang tahu hal itu. Pemikiran orang berbeda-beda bukan? Entahlah, mungkin Kuroko sendiri yang naïf.

"Akashi-kun, Ogiwara-kun, maafkan aku."

"Tidak masalah, Kuroko."

Kuroko ingin berkata lagi namun tak bisa membuka mulutnya. Untunglah tak ada yang sadar.

"Hei Kuroko, kalau tak salah terapimu belum selesai kan?"

"Iya."

"Kenapa tidak dilanjutkan?"

"Aku marah pada dokter itu dan kalian berdua."

Hening sesaat. Kuroko lupa bahwa tadi ia sudah minta maaf.

"Em…, Kuroko? KUROKO?!"

Entah kenapa Kuroko pingsan lagi. Tubuhnya kejang. Untung saja mereka masih di lingkungan rumah sakit jadi bisa cepat-cepat menolong Kuroko. Mereka membawanya ke dokter itu lagi.

Kuroko kenapa lagi?


"Halo, Kagami?"

"Ah? Akashi? Ada apa?"

"Segera ke rumah sakit yang biasa."

"Eh? Kenapa?"

Telepon ditutup. Karena penasaran, Kagami cepat-cepat menuju rumah sakit yang dimaksud. Rumah sakit tempat Kuroko biasa dirawat. Ada perasaan khawatir di hatinya. Bukan sesuatu yang maklum jika Akashi meneleponnya seperti itu.

Setelah turun dari bus, Kagami segera berlari dengan tersandung-sandung karena tali sepatunya bahkan belum diikat. Tanpa sadar air matanya mengalir. Padahal ia belum tahu apa yang sedang terjadi. Hatinya mengatakan agar dia cepat-cepat.

"Hosh… hosh… ada apa… Akashi?"

"Oh Kagami, cepatlah masuk ke ruangan itu."

"Hah?!"

Kagami masuk pelan-pelan. Disana ada Kuroko yang sedang terbaring lemah. Tapi dia masih sadar. Walau begitu ia sudah tak sanggup untuk tersenyum lagi. Tak bisa lagi mengucapkan "ohayou" seperti biasanya. Rambut acak-acakan yang biasanya terlihat lucu itu kini terlihat menyesakkan.

"Kuroko? Kau kenapa?"

Tidak ada jawaban. Kuroko masih terengah-engah dengan berbagai alat terpasang pada tubuhnya. Persis seperti saat ia tersadar dari koma.

Kagami memandang dokter dengan mata sayu. Ada banyak pertanyaan yang harus ia temukan jawabannya sekarang. Dokter itu membisikkan sesuatu dengan hati-hati.

"Ini adalah kesempatan terakhirmu bertemu dengannya." Dokter membisikkannya di telinga Kagami dengan pelan. Namun reaksi yang didapat justru sebaliknya.

"HAH?!" Kagami melompat kebelakang seakan tak percaya.

Kemudian Kagami berbalik, tidak lagi menatap Kuroko. Ia malu jika tidak kuat menghadapi keadaan seperti ini didepan Kuroko. Teman yang selama ini menyembunyikan rasa sakitnya dalam kepolosannya.

"Kuroko, kau itu kuat. Kau akan tetap bersama kami kan? BENAR KAN?!"

"Ka… ga… mi-kun"

"Maaf Kuroko, aku tak bisa membiarkanmu melihatku sekarang. Kau…, akan tetap bersama kami kan?" Kagami menangis. Air mata mengucur deras dari matanya.

"Ka… ga… mi-kun, ma…af…kan…. A…ku." Kuroko berkata lemas.

"Sudahlah Kuroko. Kalau berbicara sama dengan menyiksamu, lebih baik diamlah!" Suara Kagami juga tersendat karena rasa sedihnya ini. Namun Kuroko tak mau berhenti berbicara. Ia melanjutkan kata-katanya yang tadi.

"Ka…ga…mi-kun, a…ku… pergi….du…lu…."

"Kuroko, jangan berkata… seperti itu… hiks…"

Sepi, sunyi, hening, tak ada jawaban. Hanya bunyi nyaring pendeteksi detak jantung yang ada disamping kasur Kuroko sekaligus disamping Kagami memecah kesunyian, menandakan tidak adanya detak jantung dari pasien yang bersangkutan. Ogiwara dan Akashi menerobos masuk kedalam setelah mendengar suara itu. Mereka berlari, berlinangan air mata, dan memeluk Kuroko erat-erat. Mereka berteriak sekencang-kencangnya, namun bagi Kagami itu hanyalah kesunyian. Ia tak bisa mendengar apa-apa lagi kecuali suara Kuroko barusan. Permintaan maaf yang begitu singkat sampai ia tak bisa percaya. Suara lembut itu terus terngiang-ngiang di telinga Kagami.

"Kuroko…" Panggil Kagami pelan. Makin lama makin keras, dan sangat keras sampai terdengar di luar ruangan. "KUROKOOOOO!"

Kagami cepat-cepat berbalik badan dan melihat Kuroko sudah terbaring tak bernyawa di hadapannya. Wajah itu terlihat tenang, tapi tidak dengan orang disekitarnya. Kini, 3 teman dekat Kuroko telah menyaksikan kematian Kuroko tepat didepan mata mereka.

Setelah sedikit puas memeluk dan menggoncang-goncang tubuh Kuroko yang tak merespon itu, Kagami berlari dan menubruk dokter yang hanya melihat mereka dengan pandangan sedih itu.

"HEI KAU! KENAPA BISA BEGINI, HA?!" Kagami menarik kerah baju dokter tersebut.

"Maaf, ternyata dia belum sembuh sepenuhnya. Masih ada sel kanker yang tumbuh di daerah vital otaknya."

Kagami terkulai lemas. Ia terduduk tak percaya.

"Kan…ker?"


Tibalah hari pemakaman Kuroko. Diiringi tangisan duka yang dalam, perlahan makam itu dipenuhi semua orang yang mengenal Kuroko. Orang tua Kuroko akhirnya pulang, dan menyesali keacuhannya terhadap anak mereka. Tapi terlambat sudah, Kuroko sudah tiada.

"Kuroko, apa kau akan ikut sedih jika aku bersedih seperti ini?" Kagami mengatakan hal itu sambil meletakkan bunga didepan makam Kuroko.

Ia terus mencoba tidak bersedih namun tak bisa. Apalagi mantan rekan setimnya di Teiko yang sekarang berseragam Akademi Too itu shock berat, bersama Momoi tentunya.

Kuroko's POV

"Tentu aku akan bersedih, Kagami-kun."

Kagami sama sekali tidak mendengarkan kata-kataku. Aku ingin bersama dia sekali lagi, tapi nampaknya sudah tidak bisa. Dengan wujud transparan ini aku hanya bisa memandanginya dari jauh sambil melayang-layang di udara.

Aku terus mengikutinya kemanapun dia pergi. Saat disekolah, aku duduk di tempatku biasa duduk. Disana ada bunga beserta potnya, menandakan rasa duka cita. Aku hanya bisa meniup-niup bunga itu dengan bosan. Berharap Kagami-kun bisa merasakan tiupan ini juga.

"Kuroko?"

Kagami-kun menghadap ke arahku. Aku memanggil-manggil namanya namun ia tak menjawab. Apa dia merasakan tiupanku tadi?

"Ah, Kuroko kan sudah tiada."

Ternyata dia tidak merasakannya. Ia masih saja menangis. Terkadang…, jika sedang sepi dia bisa berteriak kencang memanggil namaku. Yang bisa aku lakukan hanya berkata, "Aku disini, Kagami-kun" sama seperti saat dia tidak melihatku karena hawa keberadaanku yang tipis ini.

Satu persatu tempat kenangan kami dia datangi. Berkali-kali aku berusaha agar dia bisa melihatku namun sia-sia. Bahkan klub basket Seirin diliburkan sementara. Padahal aku ingin klub itu terus berjalan walau aku sudah tiada.

Sampai pada akhirnya kami tiba di makamku. Aku melihat-lihatnya, ternyata banyak juga yang menaruh bunga disana. Padahal aku yakin, hawa keberadaanku yang tipis ini membuat orang-orang tidak menyadari ketidakhadiranku, dan terkadang itu membuatku senang karena mereka tak khawatir.

Entah kenapa, tubuhku makin menghilang. Kakiku sudah tidak terlihat lagi. Aku masih ingin mengucap sesuatu yang tak sempat aku ucapkan. Tapi… dengan keadaan seperti ini…

"Kagami-kun! Partnerku! Tetaplah berjuang bersama Seirin hingga akhir! Dan biarkan diriku seperti phantasmagoria yang tenggelam dalam birunya warnaku ini! Kau tidak boleh membiarkan dirimu dan yang lain tenggelam dalam kesedihan! Buatlah yang lain bahagia!"

Aku mengucapkan kata-kata itu sekuat tenaga, berharap Kagami-kun bisa mendengarnya.

"Ku… Kuroko? KUROKO?! Tunggu aku, Kuroko! Aku… masih ingin… tetaplah bersamaku, KUROKOO?!" Kagami-kun mencoba meraih tanganku. Aku terkejut ternyata dia menyadari keberadaanku disini. Dan sambil tersenyum aku mengucapkan kata terakhir…

"Sayonara, Kagami-kun…"