"I fell in love with you because of the little things you never knew you were doing."

unknown

.

.

.

.

.

.

DISCLAIMER: I DO NOT OWN NARUTO. All publicly recognizable Naruto characters, settings, etc. are the property of SJ and the mangaka. No money is being made from this work. No copyright infringement is intended. Big influence from LOVE 911 / Bandage / Band Aid, Korean Movie (2012) starred Han Hyo Joo and Go Soo! Almost total same-plot! I write this only for fun!

.

.

.

.

Warning (s): AU, Drama, and OOC (I made Naruto 30 y.o and Sakura 27 y.o as an excuse for the OOC-ness, haha :D)

.

.

Segelas kopi, berharap bisa mengurangi sisa pening.

Perempuan itu terburu-buru. Ia berjalan cepat. Di bahu kanannya, tergantung tali tas selempang, sementara tangan kirinya sibuk membawa segelas kopi dari kedai di dekat rumah sakit. Sampai di pintu masuk ruangannya, ia menepuk pipinya keras, berharap kantuknya bisa segera hilang.

Moegi mendadak muncul di pintu ruangannya, tepat ketika perempuan itu memakai jas putihnya dengan sedikit malas—lehernya masih kaku karena salah posisi tidur.

"Dokter Haruno?"

Sakura mendekat ke mejanya, menyesap kopinya sedikit sembari melirik Moegi, salah satu perawat di rumah sakit. "Wajahmu kenapa pucat begitu?" tanya Haruno tenang.

"Pasien yang kapan hari—" Moegi mengulum bibirnya cemas.

"Yang?" ulang Haruno.

"Yang kauminta pulang, Sakura-chan." Ino mendadak muncul di belakang Moegi, memijat kepalanya. "Sungguh, kita akan dapat masalah besar."

"Sebenarnya apa yang kalian bicarakan?" Haruno Sakura mengernyitkan keningnya, merasa pening menguasainya lagi. "Dan lagi, kalau ada pasien darurat, kenapa kau masih di sini?" tanya Sakura pada Ino, rekan sesama dokternya.

"Ada Tsunade-sama yang menanganinya."

Mata Sakura kali ini melebar. Ia mendadak kehilangan kantuknya. Kalau sampai kepala dokter rumah sakit ini sampai turun tangan, berarti ini masalah serius.

"Kau masih ingat pasien perempuan yang mengeluh sakit kepala? Beberapa hari lalu, kau memberi resep dan menyuruh suaminya yang berdandan emo itu untuk membawanya pulang. Masih ingat? Kepalamu belum terbentur, kan?" Nada Ino makin meninggi.

"Ada apa dengan pasien itu?"

"Waktu itu kau memulangkannya karena mengira itu hanya sakit ringan karena efek dihajar suaminya. KDRT kaubilang—"

"Ino! Jangan berbelit-belit. Ada apa?!"

"Wanita itu masuk rumah sakit lagi pagi ini. Pendarahan hebat di dalam kepala. Dan saat itu kau memulangkannya tanpa melakukan tes CT scan, hanya karena kau yakin itu hanya KDRT biasa. Wanita itu koma."

"Ap-apa?" Sakura mengerjap. Tidak bisakah paginya lebih buruk dibanding sekarang?

"Suaminya mengamuk karenamu. Kau salah diagnosa, dan wanita itu, kemungkinan tertolongnya makin tipis. Saking mengamuknya, sampai kita menelepon bantuan 911. Sampai ada petugas terluka juga."

Sadar atau tidak, jemari Sakura bergetar. Mukanya yang putih makin memucat.

"Bersiaplah kalau dia akan menuntutmu. Kautahu kemungkinan terburuknya, kan?"

Sakura menelan ludah. Tentu saja ia tahu.

Ia bisa kehilangan lisensi kedokterannya.

.

.

.

.

EMERGENCY LOVE

.

.

.

Namanya Uzumaki Naruto.

Sakura mendapatkan nama petugas pengabdi masyarakat, dari divisi pemadam kebakaran itu, setelah Tsunade memarahinya habis-habisan tadi di rumah sakit. Tentu saja, pengaduan atas kesalahan diagnosa bisa berakibat sangat-sangat buruk untuk rumah sakit—dan tentunya karir Sakura sendiri.

Tapi sama seperti yang dikatakan Ino, ada petugas yang sempat kena hantam bogeman dari tangan Uchiha Sasuke, suami pasien yang Sakura yakini, adalah pelaku kekerasan.

Dalam satu ruangan di gedung pusat pemadam kebakaran Tokyo, Sakura berhadapan dengan petugas bernama Naruto itu. Rambutnya pirang, kulitnya kecokelatan terbakar, dan matanya biru seperti warna langit.

"Ehmm." Sakura berdeham sembari merapikan rambut sebahunya yang berantakan. Ia tak paham kenapa Naruto memandangi jam tangannya, sementara jemarinya mengetuk-ketuk meja.

Laki-laki itu bergeming.

Sakura mulai kesal sendiri. Perempuan itu menghela napas sangat panjang lalu tersenyum lebar—membuat Naruto mengernyitkan dahinya.

"Sepertinya luka di sudut bibirmu belum kering!" seru Sakura. Tangannya terulur, menggapai hidung dan bibir Naruto.

Tentu saja Naruto menepis tangan Sakura, menatap perempuan itu tak percaya.

"Mungkin ada patah di hidungmu? Atau rahang?"

"Sebenarnya kenapa kau mencariku?"

Sakura tersenyum lebar lagi. "Ah, itu. Kudengar, suami pasien di rumah sakit tempatku bekerja, dia memukulmu, kan?"

"Lalu?"

"Sebenarnya aku tahu dia itu orang jahat." Sakura memukul meja dengan kepalan tangannya. Perempuan itu mengernyit, mengelus buku-buku tangannya karena sakit. "Nah, itu dia. Apa kau tidak ingin menuntutnya?"

"Apa?"

Jadi, Ino punya ide gila. Kalau petugas pirang ini mau menuntut laki-laki emo itu, ia bisa saja punya alasan bahwa diagnosanya waktu itu tidak salah—bahwa memang ada unsur kekerasan dalam rumah tangga. Dengan begitu, ada setitik cahaya kalau lisensi kedokterannya takkan terancam dicabut.

"Apa maksudmu?"

"Apa kau tidak ingin menuntutnya?"

Naruto mendecak. "Kepalamu ini terbentur, ya?"

Sakura melongo.

"Laki-laki itu marah karena istrinya sekarat. Tentu saja dia membuat keributan. Dia sudah cukup gila karena membayangkan istrinya akan mati. Emosinya sedang tidak stabil, dan kaupikir aku akan menuntutnya hanya karena ujung bibirku sobek sedikit?"

Sakura terdiam.

"Maaf, Nona. Aku sedang sibuk." Naruto bangkit berdiri.

Sakura buru-buru mengikutinya ketika Naruto dengan santainya keluar dari ruangan.

"Ayolah. Kau yakin? Se-emosi apa pun, memukul petugas pengabdi masyarakat itu tetap salah," cerocos Sakura sembari berjalan menyejajari Naruto.

Lelaki pirang itu menoleh tajam.

"Yakin?"

"Kau ini sinting, ya?"

Seumur Sakura hidup selama dua puluh tujuh tahun ini, tak sekali pun ia mendengar orang menyebutnya sinting.

Naruto melangkah pergi lagi.

Sakura masih mengejarnya. "Hei, Naruto."

Naruto menoleh tajam lagi karena Sakura memanggilnya tidak dengan Uzumaki.

"Yakin?"

Naruto mendengus panjang, mendorong Sakura dan mengabaikannya.

"Hei—"

"Kautahu? Aku bahkan bisa lebih kejam daripada laki-laki emosi tadi!" Naruto mengangkat tangannya, seolah akan memukul kepala Sakura.

Sakura tertawa kikuk.

"Mau pergi sekarang, tidak?!"

.

.

O.o.O.o.O

.

.

Baiklah.

Mungkin isi kepala Sakura memang terbentur. Tapi lelaki bernama Naruto itu juga sepertinya tidak waras. Permintaan Sakura sederhana. Dengan kedatangan dokter cerdas sepertinya, harusnya Naruto bisa sedikit mempertimbangkan usul Sakura.

'Whoah, perempuan secantik Haruno Sakura—yang cantiknya tentu nomor dua setelahku—dilirik sedikit pun tidak oleh petugas pemadam kebakaran dekil itu?'

Ejekan Ino pagi ini membuat darah Sakura mendidih. Sakura mendengus panjang, langsung keluar dari apartemen dengan berdandan secantik mungkin. Kemeja tipis yang manis, dan rok warna pastel selutut.

"Cuacanya bagus sekali pagi ini…" Sakura menghirup angin pagi.

Senyum terkembang sempurna di bibirnya. Sedikit jejak matahari pagi yang hangat menyentuh satu sisi wajahnya. Perempuan itu memejamkan matanya. Angin yang menenangkan menggelitik kulitnya, sekaligus membelai-belai rambut sebahunya.

"Nona! Cepat turun dari sana!"

Suara speaker.

Sakura mengernyitkan alisnya. Melongok ke bawah jembatan, kapal tim SAR melaju di sekitar bawah jembatan sungai, meneriakinya dengan speaker.

"Bunuh diri tidak menyelesaikan apa pun!"

Speaker yang bergaung itu membuat Sakura mendecak.

"Hei, Nona!"

Suara speaker lagi, kali ini dari jembatan. Beberapa petugas SAR menjaga jarak dari Sakura, memastikan Sakura tak akan lompat dari jembatan—bunuh diri.

"Naruto! Ini keahlianmu!" dorong Kiba tak sabar.

Seorang petugas, menepuk dahinya sendiri. "Sejak kapan negosiasi adalah keahlianku?" desis Naruto. "Tapi negoisasi memang tidak akan mempan untuk perempuan gila seperti ini!"

Mata Sakura memicing. Naruto mengeluh dengan suara lantang, tentu saja Sakura mendengarnya. Sakura berbalik. Kakinya masih menjejak di tepian besi jembatan. Tangan Sakura menunjuk-nunjuk Naruto. "Hei, Kau! Siapa yang kaubilang perempuan gila, hah!"

"Orang waras mana yang berdiri di pinggir teralis jembatan?"

"Memangnya dosa kalau ingin menghidup angin pagi?!" Sakura menggerutu dan menjejak kakinya kuat-kuat. Perempuan itu lupa dengan sepatu high heels yang dipakainya. "Dasar, Petugas Jele—"

Naruto melotot.

"AAAHHH!" Kaki Sakura terpeleset. Perempuan itu terhuyung ke belakang dalam sedetik, bersiap jatuh meluncur ke sungai dengan posisi kepala di bawah.

Semua orang ikut memekik. Naruto yang jaraknya paling depan, tentu saja tak sempat memekik. Ia langsung maju, meraih kaki Sakura yang masih sempat ia jangkau. Gadis itu terjungkal ke belakang. Setengah tubuhnya terjulur terbalik dengan kepala mengarah ke sungai.

"DEMI TUHAN, TOLOONG! TOLOONG AKUU!"

Naruto menahan paha Sakura. "Kau! Sungguh! Kaukira aku ini sedang apa?!"

"IBUUU! AYAAAH! AAAAHHH!"

Naruto mendecak. "Kalau kau ingin adegan romantis seperti Titanic, tidak bisakah kau tidak melibatkan petugas SAR?!"

Sakura tetap berteriak-teriak.

Angin berembus kuat di jembatan—

—dan rok Sakura naik hingga ke dadanya.

Naruto membatu.

Kain itu melayang-layang.

Yang terlihat sekarang … celana dalam berenda?

"JANGAN LIHAT! JANGAN LIHAT!" Sakura berusaha membenahi posisi roknya yang berkibar-kibar, bergerak terus menerus dan membuat Naruto mendecak tak karuan, "KUBILANG JANGAN LIHAT!"

"Kaukira aku ingin melihat?!"

"Akan kubunuh kau setelah ini?!"

Naruto menoleh ke rekan-rekannya. Naruto melongo. Rekan-rekannya di belakang malah menertawakannya. "Sial! Bantu ak—"

Rok Sakura melambai lagi.

.

.

O.o.O.o.O

.

.

Di dalam kabin mobil tim SAR, Kiba menyetir dengan tenang. Sesekali Tenten—satu-satunya anggota SAR perempuan—yang duduk di samping kursi kemudi, melirik ke belakang. Wanita yang dibilang Naruto sebagai perempuan gila itu duduk tenang di kursi tengah, sesekali melempar pandangannya ke luar jendela mobil. Naruto duduk di sampingnya, menyilangkan kedua tangan di dadanya. Mata Naruto terpejam, tak mau ambil pusing dengan wanita di sampingnya.

"Nona, alamatmu benar sesuai tanda pengenal ini?"

Sakura menoleh pada Tenten. Di jemarinya, tergapit kartu tanda pengenal penduduk. "Iya. Itu alamat orang tuaku."

"Kami akan mengantarkanmu ke alamat ini," celetuk Kiba. "Meski jauh sekali," imbuh Kiba lirih.

"Oh, aku tidak tinggal di situ. Aku tinggal di apartemen dengan temanku."

Kali ini Naruto membuka matanya. Lelaki itu melotot pada Sakura.

"Hah?!" Tenten dan Kiba memekik bersamaan.

"Tentu saja. Kalau kau tanya apa itu alamatku, tentu saja itu alamatku. Tapi bukan berarti domisiliku sekarang di situ, kan?" Senyum Sakura terkembang polos.

Naruto mendesis mendengarnya.

"Aku carikan kartu namaku sebentar."

"Sudah kuduga. Orang gila mana yang mau menempuh jarak dari Kyoto cuma untuk menghirup udara pagi?" decak Naruto.

"Kau tadi benar-benar tidak berniat bunuh diri, kan?" sahut Lee dari kursi belakang—yang sebenarnya sedari tadi berbisik-bisik dengan Shino dan Shikamaru, yang lebih banyak berdeham dibanding menanggapi Lee.

"Tentu saja. Mana mungkin aku bunuh diri? Aku masih muda, cantik, masa depanku masih panjang. Kenapa aku harus bunuh diri?"

Naruto menatap Sakura dengan tatapan tak percaya.

"Ah, sudah! Aku bisa gila kalau mengingat kejadian tadi." Sakura menggeleng-gelengkan kepalanya kuat-kuat. Ia melirik tajam pada Naruto. "Seseorang baru saja melihat apa yang seharusnya tak boleh dilihat," desisnya.

Kiba tersedak.

"Ah, perkara celana dalam, ya?" celetuk Lee enteng. Tangan Lee terjulur, menepuk bahu Naruto dari belakang. "Keberuntungan pagi-pagi."

Naruto mengangkat tangannya, memukul kepala Lee. "Keberuntungan kepalamu! Itu kesialan!"

"Berani-beraninya kau bilang itu kesialan!" pekik Sakura. "Aku yang dirugikan di sini!"

"Kau ini benar-benar sinting, ya!"

"Terus saja kau sebut aku sinting!" seru Sakura. "Aku bisa melaporkanmu atas tindakan pelecehan!"

Naruto menggerutu, mendengus keras. "Memang bagusnya tadi kubiarkan kau jatuh ke sungai. Biar mati dimakan hiu."

"Mana ada hiu di sungai!" Sakura memukul lengan Naruto.

"Hei!" Naruto melotot lagi.

"Apa!"

"Aishh! Bisa gila aku!" Naruto mengacak rambutnya frustrasi. "Kiba! Biar aku yang menyetir. Bisa penuaan dini kalau aku terus berdebat dengan perempuan gila satu ini."

Sakura menggembungkan pipinya. Matanya memicing. Ia ingin membalas Naruto, namun ia mendadak ingat tujuan utamanya. Kenapa ia malah cari masalah terus dengan Naruto. Padahal lelaki ini bisa menyelamatkan karir kedokterannya? Sakura mengulurkan tangannya, menepuk lengan Naruto yang tadi ditonjoknya, membelainya. "Ah, gomen, ne. Jangan marah begitu."

Naruto menepis tangan Sakura. Ia tak merespons.

Sakura mengerucutkan bibirnya. Perempuan itu lalu menoleh ke belakang. "Apa salah kalau aku mengomel karena celana dalamku kelihatan?" tanya Sakura pada Lee. Wajah Lee merona hebat, terbata tanpa bisa mengeluarkan jawaban. "Aku dirugikan, kan?" Mendadak, Sakura membuat suara imut. Mata hijaunya membulat, mencari dukungan.

Kiba terkikik di depan.

"Tentu saja itu wajar," sahut Tenten. "Aku juga pasti akan … malu." Suara Tenten melemah, mendadak malu sendiri. Ia berdeham kuat-kuat.

"Tuh." Sakura menggeser duduknya, merapat pada Naruto. Mata besarnya berkedip-kedip pada Naruto.

"Itu. Ketidaksengajaan. Paham?"

Sakura masih mengerucutkan bibirnya.

"Kau ini sebenarnya ingin apa? Menuntutku karena menyelamatkan nyawamu?"

"Ah! Aku ada ide!" seru Sakura. "Aku akan memaafkan dan melupakan pelecehan tad—"

"Sekali lagi kau sebut-sebut pelecehan, kulemparkan kau ke sungai setelah ini," geram Naruto.

"Itu pembunuhan, Naruto-kun!" seru Lee.

"Iya, Naruto-kun!" seru Sakura dengan suara imut yang dibuat-buat.

"Kau ini!"

"Kau mau menuntut Naruto apa, Nona?" tanya Kiba, mulai penasaran.

"Mudah. Kau pasti bisa dan akan menyanggupinya."

Semua orang di kabin mobil—kecuali Naruto—mulai mendengar ucapan Sakura baik-baik. Sepertinya permintaannya seru. Mungkin menyuruh Naruto menari? Atau membersihkan apartemen? Atau minta maaf dengan cara yang unik yang bisa membuat rekan-rekannya tertawa?

"Kencan denganku, ya!"

Semua mata melotot.

Hanya Sakura yang masih tersenyum lebar.

Tentu saja Naruto yang paling kaget. "Kau ini gila, ya—"

"Mau, kan?"

"KIBA! BERHENTI!"

Mobil van besar itu terhenti seketika, berdencit keras.

.

.

O.o.O.o.O

.

.

Sakura memasang wajah datar. Sesekali napas beratnya terembus keras. Dua lelaki di hadapannya memandanginya. Membaca tanda pengenalnya dan mengetikkannya di sebuah komputer. Hanya ada suara helaan napas beratnya, diselingi suara cetikan kibor komputer. Sakura mengeja plakat nama di dada dua lelaki berseragam di depannya. Jiraiya, dan satunya, yang lebih muda bernama Maito Gai.

Dahi Sakura berkerut.

"Jadi, Nona, karena kau diantarkan ke sini—"

"AAARGGGHHH!" Sakura berteriak keras, frustrasi. Wajah menyebalkan Uzumaki Naruto masih terngiang di kepalanya. Begitu turun dari mobil tadi, ia menyeret Sakura—yang tentu saja berontak—dan berakhir Naruto mengangkat tubuh Sakura ke bahunya, seperti mengangkat karung beras.

"Nona, pasalmu bisa bertambah. Melakukan tindakan meresahkan dan mengganggu ketenangan masyarakat."

Sakura merengek.

Berani-beraninya Naruto mengirimnya ke kantor polisi!

.

.

O.o.O.o.O

.

.

"HAAAH! Pagi ini cerah sekali!" Naruto bersiul sembari menyetir mobil tim SAR. Ia bersiul-siul dan tertawa, bahkan sesekali bersenandung riang.

Tenten melirik kawan-kawannya di kursi belakang.

"Senpai, apa tidak keterlaluan mengirimnya ke kantor polisi?"

"Lebih baik ketimbang kukirim ke rumah sakit jiwa, kan?" balas Naruto riang. "Perempuan gila! Mimpi apa aku pagi-pagi bertemu orang sakit jiwa seperti itu."

Tenten menoleh ke belakang. Banyak rekannya memasang wajah prihatin. Kiba mengangkat kedua bahunya sementara Lee banyak mengembuskan napas panjang. Shikamaru dan Shino hanya menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Ah bagaimana nasibnya, ya?" Lee berkata miris.

"Siapa peduli!" Naruto tertawa lagi—entah kenapa merasa sangat puas.

.

.

O.o.O.o.O

.

.

"Aku juga menganggapmu pamanku sendiri, Paman!" Sakura berseru riang. Entah kenapa, pagi ini ia lapar sekali. Mi ramen instan yang disuguhkan untuknya begitu menggoda. Energinya banyak terkuras. Di hadapannya, duduk melingkari meja yang sama, Jiraiya dan Gai sibuk memandangi layar ponsel Sakura. Jiraiya sesekali mencomot tisu di ujung meja, menyeka hidungnya yang mimisan.

"Kami-samaaa~" serunya berulang kali. "Jangan menganggapku paman. Anggap aku kakakmu!" serunya, masih sibuk memandangi layar ponsel Sakura yang ia pegang.

Sakura tersenyum kikuk. "Jadi, denda karena tuntutan kesalahanku bisa kita bicarakan lagi, kan?"

"Ya, ya, nanti saja." Hidung Jiraiya kembang kempis. Ia tertawa-tawa. "Astagaa."

Di ponsel Sakura, ada foto-foto Ino. Foto liburan di Okinawa saat musim panas, dengan tubuh seksi Ino dibalut bikini biru, bermain-main air dan berjemur di pantai.

"Ahh," Jiraiya menyeka darah di hidungnya.

Sekali ini, foto-foto seksi Ino menyelamatkannya.

"Inilah alasan aku masih melajang sampai sekarang. Huwahahahaa!"

Gai mengacungkan jempolnya. "Semangat masa muda yang membara!"

Sakura menikmati ramennya lagi. Paling tidak, perhatian dua opsir polisi di depannya teralihkan. Semoga dendanya bisa dikurangi—kalau bisa dihilangkan sekalian.

"Paman—maksudku, Kakak. Sebenarnya, aku tidak berniat bunuh diri tadi. Kalian masih ingat petugas yang mengantarkanku ke sini, kan?"

"Ah, Naruto-san! Aku kenal baik dengannya! Dia pernah ikut militer."

"Dia alasanku melakukan semua ini." Sakura mengeluh lirih. "Kenapa sulit sekali menarik perhatian laki-laki?"

"Menarik perhatian laki-laki itu bakat." Jiraiya melirik Sakura sebentar.

"Dan usaha!" imbuh Gai.

"Ah, benar, usaha."

Sakura menjatuhkan kepalanya di meja. "Tapi sepertinya dia benar-benar membenciku. Sikapnya menyebalkan."

"Kau sedang mendekati lelaki dewasa, bukan anak sekolahan. Gunakan pesonamu sebagai wanita," jelas Jiraiya. "Implant dada misalnya?" Jiraiya tertawa, masih memandangi foto-foto seksi Ino.

Sakura memicingkan matanya. Lama-lama ia bisa gila sungguhan!

"Kurasa, kau hanya perlu mendekatinya lebih keras," terang Gai. "Kalau dia mundur, desak terus sampai dia tidak bisa mundur."

"Ya, ya, ya," Sakura menjawab malas-malasan.

Seorang opsir mengetuk pintu ruangan. Jiraiya buru-buru berdeham dan menyembunyikan ponsel Sakura di bawah meja.

"Salam, Pak. Saya mau mengantarkan poster-poster ini." Opsir muda itu meletakkan setumpuk poster di meja Jiraiya—yang memasang wajah serius dan berwibawa. Opsir itu lalu berbalik pergi meninggalkan ruangan. Gai meraihnya dan membacanya saksama.

"Ah, open recruitment."

"Apa itu?"

"Rekrut terbuka untuk masyarakat umum yang ingin membantu para pengabdi masyarakat. Kau ingin daftar?"

"Untuk ap—" Sakura mengernyitkan alisnya. "Apa termasuk untuk tim SAR?"

"Tentu saja," jawab Jiraiya. "Ah, juga, kalau kau ikut itu, kami bisa menulis laporan bahwa itu pengganti dendamu. Mau?"

Mata Sakura mendadak berbinar.

Mendesak sampai yang didesak tak bisa mundur, kan?

"Naruto, tamat riwayatmu," desis Sakura penuh kemenangan.

.

.

O.o.O.o.O

.

.

"AACHOO!"

"Kau flu, Senpai?" tanya Tenten heran.

"Tidak." Naruto menggosok hidungnya.

"Mungkin ada yang membicarakannya sekarang?" celetuk Kiba. "Misalnya, wanita cantik yang tadi? Haruno Sakura, kan, namanya?"

Naruto menoleh tajam. Tapi ia kemudian tertawa. "Mungkin ia sedang meratap di kantor polisi, menyesal karena mencari gara-gara denganku."

Tawa Naruto pecah lagi—namun kemudian ia bersin untuk kedua kalinya.

.

.

.

TBC

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

A/N

Kembali lagi dengan fic multichap yang ringan. Sudah berapa tahun ya, gak menulis 'TBC' di akhir fic? :)

Karena based on movie, jadi reader boleh cari movienya kalau penasaran. Hampir sama, cuman dimodifikasi di beberapa scene. Ada yang hilang, ada yang ditambahkan. Fic ini hanya untuk having fun aja. Kebetulan tokoh Han Hyo Joo di movienya juga dokter, punya sohib berbodi seksi juga.

Sorry Naruto-nya OOC. But I'm just a FF author, right? Yang bisa bikin super IC ya mangakanya—even I doubt it =P Bayangkan Narutonya umur 30, ya, udah lelaki dewasa.

Cuma 9 chapter! Sudah selesai diketik. Silakan teror saya setiap hari Jumat, karena saya ngepost updatenya Jumat sore, atau paling lambat Sabtu siang—sekalian bisa jadi temen bacaan weekend. Happy reading, ya, Reader!

Akhir kata, promo sekalian, untuk yang penasaran dengan tulisan original Masahiro 'Night' Seiran. Temukan novel Forgive to Forget (nama pena Daisy Ann) di toko buku seluruh Indonesia, bisa Gramedia, Togamas, dan toko buku lain :) Terima kasih :D

REVIEW?

.

.

.

.

.

.

V