Malam itu, salju turun, menutup setiap jalan di kota London menjadi putih. Semua penduduk bergegas pulang, ingin cepat-cepat menghangatkan diri di depan pemanas ruangan atau perapian, yang penting nyaman. Bahkan beberapa toko tutup lebih cepat hari itu.

Jalanan masih tampak ramai, dipadati oleh keluarga-keluarga yang sedang berjalan-jalan menikmati keindahan malam, anak-anak menempelkan hidung ke etalase toko, beberapa merengek minta dibelikan, kebahagiaan tampak memenuhi wajah mereka,

Kecuali satu.

Walau sekarang masih musim dingin, tubuh mungilnya hanya dilapisi selembar kaus tipis berlengan pendek dan celana pendek selutut yang sudah kumal. Kedua telapak kakinya yang dilindungi sepasang sepatu tua yang sudah robek-robek menapak jalanan sambil terseok-seok. Perutnya berteriak kelaparan, tubuhnya yang dihiasi lebam kebiruan gemetar menahan dingin.

Lagi-lagi, dia kehilangan tempat tinggalnya.


Flashback: 30 minutes ago.

Bocah itu berbelok ke sebuah gang kecil yang kotor, tempatnya biasa berlindung dari udara dingin yang menusuk. Matanya terbelalak melihat tiga sosok remaja berusia 15 tahun tengah menegak bir sambil bermesraan dengan cewek tak dikenal tepat diatas 'tempat tidur'nya. Cepat-cepat anak itu menghampiri berandalan tersebut.

"Oh, Tetsuya ya? Halo." Seorang berandalan bertubuh pendek mengangkat botol kacanya, menyambut anak kecil itu. Anak itu menatap si berandalan, meminta penjelasan.

"Siapa dia, James?" tanya salah satu gadis.

"Jangan pikirkan dia, Lizzie, dia hanya salah satu anak yang tinggal di panti asuhan kami dulu. Hoy, Kuroko, kami ambil tempatmu, kau carilah tempat baru untukmu." Berandalan berambut hitam tertawa kencang sembari melempar sebotol bir kepada temannya yang berambut abu-abu, "Untukmu, Haizaki."

Bocah bernama Kuroko Tetsuya itu sontak menggeleng kuat. Kedua matanya menatap Haizaki penuh kemarahan.

"Apa? Kau mau menentang kami?" pemuda yang dipanggil Haizaki itu menatap Kuroko tajam.

Kuroko memukul-mukul perut Haizaki dengan kedua tangan mungilnya sambil berteriak tak jelas, tentu saja usahanya tak membuahkan hasil apapun. Haizaki yang kesal mengayunkan kakinya dan menendang perut kuroko hingga terpental.

Kuroko terbatuk-batuk, belum sempat mengontrol nafasnya, Haizaki kembali menonjok wajahnya, "kalau kau mau bicara, katakan saja! Jangan berteriak tak jelas begitu! Kau membuat telingaku sakit!"

"Ayolah, Haizaki, kau tau kan kalau dia memang tak bisa bicara?" pemuda pendek itu terkekeh, "itulah kenapa dia dibuang ke panti asuhan,"

"Kau benar juga, Al," pemuda berambut hitam tertawa mengejek.

Air mata menetes membasahi tanah, Al yang melihat hal itu langsung menjambak rambut kuroko dan mengangkat wajah Kuroko dengan wajahnya, "Apa? Kau tak senang dikatakan bisu?" tanyanya sambil membanting anak itu ke tanah.

"Sudah bisu, cengeng pula!" James ikut menendang anak berusia enam tahun itu.

"Sebaiknya kau mati saja, dasar sampah, kau membuatku muak!" geram Haizaki.

"Astaga, hentikan itu, Al," ucap gadis lainnya, namun bukan nada kasihan yang tersirat dalam suaranya, melainkan nada mengejek.

"Baiklah kalau itu maumu, darling."

James menendang bahu Kuroko sebelum akhirnya kembali ke samping Lizzie, meninggalkan bocah yang tengah meringis kesakitan itu.

"Ah, apa ini? selimut?" Haizaki mengangkat selimut Kuroko tinggi-tinggi tepat didepan hidung pemiliknya. Benda itu tak bisa disebut selimut juga, hanya selembar koran edisi enam bulan yang lalu. Kuroko mengangkat tangannya, hendak merebut koran itu, namun Haizaki segera menginjak tangannya, "Koran tua begini ga ada gunanya." Ucapnya sembari menyalakan pemantik.

Kuroko terbelalak. Tepat di depan matanya, 'selimut' yang selalu melindunginya dari rasa dingin berubah menjadi serpihan abu.

"Pergi sana, kutu!" Haizaki mengangkat tubuh Kuroko dan dijatuhkan begitu saja di depan gang, sementara dirinya sendiri kembali ke dalam.

Kuroko tak punya pilihan lain selain pergi. Kedua matanya meredup seiring langkah kakinya yang terseok-seok ke jalanan, berbaur dengan pejalan kaki lainnya.


Itulah dia, seorang gelandangan.

Sebetulnya hidupnya dulu tidak buruk. Dia lahir dalam keluarga yang sederhana, ayahnya seorang peternak, ibunya juga. Namun ketika dia lahir, semuanya berubah.

Pada masa mudanya, ibunya adalah gadis yang malas. Ketika gadis-gadis lain belajar cara merawat bayi dan mengurus rumah tangga, ibunya justru bermain di ladang. Alhasil, sang ibu tak tau bagaimana merawat putranya itu. Dia kebingungan ketika hendak memandikan Kuroko. Sepintas ide muncul di kepala sang ibu.

Sebuah ember menjadi tempat mandinya. Ibunya menggenggam kedua tangan mungilnya, kemudian mencelup-celup dan memutar-mutar bayi Kuroko ke dalam ember seperti kantung teh. Sang bayi yang menangis diabaikannya.

Tidak manusiawi, memang.

Karena terlalu sering menjerit saat dimandikan, pita suara Kuroko rusak ketika dia berusia 19 bulan. Ayahnya menceraikan ibunya karena hal itu dan mengambil hak asuh kuroko. Namun belum genap setahun merasa aman dalam lindungan sang ayah, beliau terserang penyakit yang tengah mewabah di daerah itu dan meninggal. Setelah lewat masa berkabung, kerabat ayahnya menitipkannya di sebuah panti asuhan, tempatnya dan ketiga berandalan itu tinggal.

Kenapa Kuroko bisa berakhir di jalanan? Karena dia tak tahan dengan kehidupan di panti asuhan itu. Mereka semua hanya disuruh bekerja, makanan hanya diberikan sehari sekali, itupun hanya sesendok sup encer. Kuroko adalah anak pertama yang berhasil melarikan diri dari panti tersebut, disusul Haizaki, James dan Al.

Bruk.

Kuroko terhuyung ke belakang, hampir saja terjatuh seandainya tangannya tidak ditarik seseorang.

"Ah, maaf, aku tak melihatmu." Ucap orang itu, "Apa kau terluka?"

Kuroko menggeleng pelan tanpa mengangkat wajahnya, pemuda yang menabraknya itu menatap matanya yang tampak kosong, "Kau-"

"Taiga, ayo cepat, nanti tokonya keburu tutup!" seru seorang pria berambut hitam dengan poni yang menutupi mata kirinya.

"Ah, tunggu aku, Tatsuya!" serunya sembari menghampiri pemuda itu.

Kuroko menatap kepergian orang itu sebelum kembali berjalan, kedua matanya melirik kesana kemari, mencari tempat untuk tidur. Dilihatnya sebuah toko roti yang sudah tutup, sepertinya dia bisa tidur semalam disana.

Kuroko menyeret kakinya menuju emperan sebuah toko roti yang sudah tutup. Tepat di depan pintu, dia meringkuk seperti kucing. Kedua tangannya memeluk tubuhnya yang terasa sakit dan kedinginan.

Lelah. Kuroko terlalu lelah dengan apa yang selalu dia terima. Baru saja dia menutup mata, seember air mengguyurnya hingga terbangun.

"Jangan tidur disana, sialan! Kau mengotori tokoku dengan tubuh kotormu itu!" seru sang pemilik toko dari lantai dua.

Kuroko segera melarikan diri, kedua kakinya terus berlari, sejauh mungkin dari toko itu. Rasa dingin yang menerpanya meningkat dua kali lipat karena bajunya yang basah, jantungnya protes minta berhenti, namun Kuroko mengabaikannya.

Setelah merasa cukup jauh, Kuroko memperlambat laju larinya secara perlahan, dan kembali berjalan menyusuri jalan. Pandangannya sudah berkunang-kunang sejak disiram tadi, kakinya sudah gemetar hebat, kepalanya serasa dihajar dengan gada berduri, sakit sekali.

Tubuh Kuroko limbung, dan detik berikutnya, dia sudah terkapar di jalanan.

Walau begitu, orang-orang yang melihatnya tak melakukan apa-apa. Mereka melihatnya seperti melihat pajangan di etalase, tak sedikitpun terbesit rasa kasihan dalam hati mereka. Seorang pria yang melihatnya 'berbaik hati' untuk menendang tubuhnya yang lemas ke pinggir jalan, merapat dengan pagar rumah orang, kemudian meninggalkannya begitu saja.

"Ibu, kakak itu kenapa?" Kuroko melirik seorang anak kecil yang tengah menunjuknya.

"Biarkan saja," ucap sang ibu gusar.

"Tapi, sepertinya kakak itu sakit-"

"Diam, turuti ibu, Oliver!" bentak sang ibu sambil menarik tangan putranya.

Begitulah kerasnya hidup seorang gelandangan; dikucilkan dan tidak dicintai.

Pandangannya semakin samar, namun Kuroko tersenyum.

Apa sudah waktunya untukku bertemu penciptanya? Sayang sekali, padahal dirinya baru menjejak dunia selama enam tahun, bahkan belum sempat mengunjungi tempat-tempat lainnya. Tapi, bagi Kuroko, itu bukan masalah. Setidaknya, dia takkan menderita lagi di dunia ini.

Kuroko hendak menutup mata, namun seseorang tampak mendekatinya. Orang berambut merah gelap tampaknya tengah berbicara padanya, namun mulutnya yang menggigil tak mau membuka. Perlahan-lahan, kelopak matanya tertutup, dan pada saat yang bersamaan, tubuhnya terasa hangat dan terangkat.


Disclaimer: Kuroko no basuke punya Fujimaki-sensei, zettai wa boku da #ngaco #abaikan

Title:

Main Character: Kuroko Tetsuya, Kagami Taiga.

Genre: family, hurt/comfort

Rate: K+


Pemuda berambut merah itu menguap lebar.

"Kalau menguap, tutup mulutmu, dasar kuda nil." Pria berambut hitam yang panjang rambutnya hingga menutupi mata kirinya itu menepuk mulut sepupunya dengan koran yang dibelinya.

"Aduh! Sakit tau, Tatsuya bodoh!" geram pemuda itu.

"Warui, kau membuatku malu sih." Ucap Himuro Tatsuya, nama pemuda berambut hitam itu.

"Aku hanya menguap-apa maksudmu mengataiku kuda nil?!" Kagami Taiga berteriak kepada Himuro.

"Taiga, otakmu itu koneksinya lama juga ya." Sindir Himuro pelan.

Kagami membuang muka ke jalanan. Menyebalkan, liburannya kali ini hanya dilewatkan berdua dengan sepupunya yang setahun lebih tua darinya, orang tuanya yang seharusnya ikut malah membatalkannya karena alasan pekerjaan. Entah kenapa, sepanjang tahun ini orangtuanya selalu sibuk, keduanya jarang sekali berada di rumah, kalaupun ada, pasti suasananya menjadi canggung.

Pemuda itu menghela nafas kesal. Dia benar-benar kesepian jika berada sendiri di rumah. Bukan kekanakan atau apa, tapi dia juga butuh teman, setidaknya yang hidup, bukan boneka teddy yang diberikan ibunya 9 bulan lalu. Halo? Kagami bukan anak kecil berusia 5 tahun, sekedar informasi, tahun ini dia akan memasuki usia legal untuk membaca majalah 'ehem ehem' yang sering ditunjukkan sahabatnya, Aomine Daiki, saat duduk di bangku SMA, masa dia diberikan boneka teddy?

"Kau kelihatan galau, ada apa?" Tanya Himuro begitu melihat raut wajah Kagami yang sebelas duabelas dengan orang yang kumisnya dilumuri kotoran anjing.

"Tidak ada apa-apa." Jawab Kagami malas.

"Yakin? Wajahmu menunjukkan kalau kau sedang galau." Himuro mengangkat sebelah alisnya.

"Sudah kubilang aku tak apa-apa." Kagami mulai kesal.

"Kau bisa cerita padaku, Taiga."

"Aku tak apa-apa, kau tuli ya? Tak usah kepo, Tatsuya, kau bukan ibuku!" bentak Kagami.

Keduanya terdiam, beberapa pejalan kaki berhenti dan menatap mereka, Tatsuya terkejut setengah mati. Sejak mereka masih kecil, tak pernah sekalipun Kagami membentaknya. Walau mereka sering bertengkar, sepupunya itu tak pernah berani membentaknya.

Kagami yang menyadari tindakannya langsung menunduk malu, "Maaf…"

"Tak apa-apa, aku mengerti kok." Tatsuya tersenyum, kemudian berbalik mendahului Taiga, "Kau berhutang penjelasan padaku, otoutou. Tapi aku takkan memaksamu untuk bicara."

Kagami mengepalkan kedua tangannya.

"Ngomong-ngomong, rumahku sudah dekat. Mau mampir sebentar?" tawar Himuro.

"Ah, tak usah, aku juga ingin langsung ke hotel dan tidur." Jawab Kagami.

Himuro menatap Kagami lurus, kemudian tersenyum kecil, "Baiklah, sampai jumpa."

Kagami menatap punggung sahabatnya yang menghilang dibalik pintu, kemudian kembali berjalan menuju hotel tempatnya menginap. Sepanjang jalan, Kagami melamun. Pemandangan orang yang lalu lalang (entah kenapa) berhasil menarik perhatiannya, tatapannya mengarah ke sebuah keluarga, sang putra menggenggam kedua tangan orangtuanya, tertawa senang sambil menarik keduanya. Di tempat lain, dua anak kecil tengah berbagi es krim dengan ayahnya, sementara ibunya tertawa kecil sambil membersihkan mulut putra putrinya.

Hati Kagami terasa teduh melihat pemandangan itu, dalam hati kecilnya pemuda berwajah sangar namun berhati malaikat ini membayangkan dirinya menyusut menjadi anak kecil, berharap dengan begitu orangtuanya akan memberi perhatian penuh.

"Ng?" perhatiannya tertuju pada satu objek. Kagami menyeberang jalan dengan tergesa-gesa, dadanya dipenuhi rasa gusar begitu melihat sesosok anak kecil terbaring di pinggir jalan.

Begitu tiba di seberang, barulah Kagami bisa melihat sosok itu dengan jelas.

Sosok itu adalah seorang anak laki-laki, dengan tubuh basah kuyup dan penuh lebam, terbaring dengan mata tertutup dan nafas yang hampir tak bisa dirasakan. Sekali lihat, semua orang tau kalau anak itu adalah seorang gelandangan kotor.

Dia berlutut, menepuk bahu anak itu, dan mengguncang-guncang tubuh mungil itu sedikit.

"Hey, kenapa kau tidur disini?"

Tak ada reaksi. Tubuh anak itu berayun ke depan dan belakang dengan lemah ketika Kagami mengguncangnya.

"Hey, hey, kau kenapa?"

Wajah Kagami tampak cemas, tangannya berpindah dari bahu ke pergelangan, betapa terkejutnya dia begitu merasakan denyut nadi yang lemah dibawah kulit itu. Buru-buru, dilepaskannya mantel tebal miliknya, menyelimuti tubuh itu dengan mantelnya, kemudian mengangkat dan menggendong anak itu seperti bayi.

Kagami segera berlari menuju hotel tempatnya menginap, sambil mendekap anak itu dengan erat. Dia tak tau kenapa dia melakukan ini, tapi ada sesuatu di hati kecilnya yang memaksanya melakukan itu.

Dengan cepat Kagami masuk ke kamarnya, mengabaikan pertanyaan seorang resepsionis tentang anak itu dan langsung membaringkan anak itu di tempat tidur. dilepaskannya semua pakaian dekil dan basah anak itu, berlari ke koper, mengambil sebuah sweater dan memakaikannya ke tubuh ringkih yang tengah telanjang itu dan menyelimutinya dengan selimut tebal.

Diambilnya sebuah handuk kecil dari tasnya, merendamnya dalam sebuah baskom berisi air panas, memerasnya, kemudian menempelkan handuk itu ke dahi si bocah. Senyuman lembut-yang jarang sekali ditunjukkan pada siapapun-terukir pada wajahnya ketika bocah itu menggeliat pelan. Kagami kembali menempelkan jemarinya ke kulit pucat sang anak, merasa kalau anak itu tak lagi sedingin tadi, lalu mengecek nadinya.

"Yokatta, nadinya sudah mulai teratur," gumam Kagami sambil membetulkan sweaternya yang dipakai anak itu lalu menarik selimut hingga ke leher. Tubuhnya sangat kecil, cukup satu sweater milik Kagami untuk menutup seluruh tubuh si bocah. Berat tubuhnya juga terlalu ringan untuk ukuran tubuhnya.

"Kenapa anak sekecil dia bisa berakhir di jalanan?"

Tangannya yang sedikit gelap karena terlalu sering surfing mengusap kepala bocah yang masih tak sadarkan diri itu. Kemudian berbaring di sofa di samping ranjang, menggunakan jaket sebagai selimut, dan dalam waktu singkat dengkuran halus terdengar dari bibirnya.


Kelopak mata itu terbuka, mengerjap-ngerjap untuk menyesuaikan matanya dengan cahaya sekitar.

Hal pertama yang ia sadari adalah; dia sudah berpindah tempat.

"Apa aku sudah mati?" pikirnya. Seingatnya, dia terkapar di pinggir jalan, lalu pandangannya kabur, tapi dia merasa diangkat oleh seseorang berambut merah. Apa orang itu adalah malaikat?

Tubuh dan nafasnya terasa hangat, walau masih terasa lemah, kedua iris aquamarinenya bergulir ke kanan, menatap sinar matahari yang mengintip malu-malu dari balik gorden.

"Matahari…" batinnya, "Berarti aku belum mati?"

Sayup-sayup telinganya mendengar suara dengkuran, Kuroko melirik ke arah yang berlawanan, dan terkejut bukan main.

Di atas sofa berwarna krem, sesosok pria tertidur lelap. Alis uniknya tampak saling bertautan, tampak kurang nyaman dengan posisi tidurnya. Otak Kuroko berusaha untuk menganalisa kemungkinan yang terjadi atas dirinya.

Satu, dia memang sudah mati.

Dua, dia sedang bermimpi.

Tiga, dia…diculik?!

Kuroko panik, kalau memang dia diculik, dia harus segera melarikan diri. Kuroko tak tau apa dirinya sudah berada diluar kota London atau belum, yang jelas dia harus keluar dari tempat asing ini.

Dengan kekuatan yang tersisa, Kuroko berusaha untuk turun dari tempat tidur, namun belum sempat melangkah, kakinya melemas dan tubuhnya terjatuh ke karpet tebal, meredam suara berdebam akibat mencium lantai.

Suara tersebut sontak membangunkan Kagami dari tidur indahnya. Kedua matanya dikucek sementara mulutnya menguap lebar. Kuroko gemetar ketakutan begitu melihat 'penculik'nya telah bangun.

"Lho? Kemana anak itu?" Kagami panik begitu menyadari tempat tidurnya kosong, matanya berkilat cemas sambil menganalisa ruangan itu, baru saja mau menyerah ketika kedua iris crimsonnya menangkap sosok mungil berambut biru terduduk di karpet, merapat ke ranjang.

Menghela nafas lega, Kagami berjalan mendekati anak itu. Sekali melangkah, Kuroko akan semakin merapatkan diri dengan ranjang, "Halo, sudah merasa baikan?" tanyanya sembari mengulurkan tangan, hendak mengelus kepala mungilnya. Refleks, Kuroko memejamkan mata dan semakin merapat ke ranjang, Kagami terkejut melihat reaksi bocah itu, dan mengurungkan niatnya.

Kuroko membuka matanya sedikit, bingung melihat orang itu justru tampak sedih. Reaksi macam apa itu?

"Ano…" Kagami kembali bersuara, "Apa kau…lapar?"

Sedikit tersentak, Kuroko menggeleng kecil, dia tak mau percaya begitu saja pada pemuda ini, bisa saja dia akan memasukkan obat tidur ke supnya dan membawanya pergi setelah dia tertidur, kan?

Kruyuk.

Kagami tertawa kencang, Kuroko tak bisa menahan semburat merah yang menghiasi wajahnya ketika perutnya mengkhianati dirinya.

"Sudah kuduga kau memang lapar," kekeh Kagami sambil menghapus air mata tawanya, "Kau mau sup bawang? Aku akan memesannya untukmu."

Kuroko menunduk, memainkan jemari-jemari mungilnya.

"Kau tak perlu memikirkan uang, aku akan membayarnya untukmu." Tambah Kagami lagi. Dia tau, dari gelagat anak itu, kalau si bocah sedang memikirkan uang untuk membayar semangkuk sup itu.

Malu-malu, Kuroko mengangguk kecil.

Kagami tersenyum dan menepuk kepala Kuroko pelan, membuat sang empunya tersentak. Kedua matanya menatap punggung pemuda yang tengah menelepon itu, tangan kanannya mengelus kepala yang tadi menerima sentuhan dari si pemuda.

Sentuhan itu sangat berbeda. Berbeda dari pengasuh di panti asuhannya dulu, berbeda dari ibunya, berbeda dari paman penjual roti yang dulu pernah memberinya sekeping roti. Hampir sama dengan ayahnya, namun jauh lebih lembut dan…hangat?

Saking asyiknya melamun, Kuroko sampai tak sadar kalau pemuda tadi sudah berada di depannya. Dia tersentak kaget begitu tangan Kagami yang besar menyentuh dahinya.

"Demamnya masih belum turun," gumamnya sambil mengangkat dan membaringkan tubuh mungil itu di tempat tidur, Kagami kembali mengompres dahi Kuroko dengan handuk kecil, "Apa luka-lukamu terasa sakit? Kau mau aku mengompresnya juga?"

Kuroko mengangguk kecil. Kagami mengambil selembar handuk kecil lainnya, membasahinya dengan air hangat, dan mengompres lebam di pipi Kuroko. Bocah itu mendesis nyeri begitu handuk hangat itu menempel di pipinya, "Namaku Kagami Taiga, kau?" Tanya Kagami.

Kuroko terdiam, kemudian menjawab tanpa suara, 'Kuroko Tetsuya.'

"Hah?" Kagami mendekatkan telinganya ke mulut anak itu, berpikir kalau anak itu terlalu lemah untuk bicara, "Kau bilang apa tadi? Siapa namamu?"

Kuroko menggeleng, dia menatap mata Kagami dan membuka mulutnya, berusaha, setidaknya, untuk menyebutkan namanya. Namun yang keluar dari mulutnya hanyalah kata-kata tak jelas.

"Uoo…aeuia…"

Kagami tersentak. Ditatapnya wajah si bocah yang tampak mau menangis, "Kau…tak bisa bicara?"

Sambil menggigit bibir bawahnya, Kuroko mengangguk.

DING DONG.

"Ah, sepertinya pesanan kita sudah tiba." Kagami beranjak dari tempat tidurnya dan berjalan menuju pintu, "Tunggu sebentar ya, akan kubawa masuk."

Kuroko menatap Kagami sejenak, kemudian menyentuh handuk hangat yang mengompres lengannya. Dalam hati Kuroko mengutuk dirinya yang tak bisa bicara. Untuk orang yang telah menyelamatkannya, setidaknya Kuroko ingin Kagami mengetahui namanya.

"Maaf membuatmu menunggu," ucap Kagami sembari meletakkan nampan diatas nakas, kemudian duduk di samping Kuroko, "Boleh kau sebutkan namamu sekali lagi?" Tanyanya lagi.

Kuroko menggigit bibir bawahnya.

"Tak usah ragu-ragu, ucapkan saja." Katanya sambil tersenyum.

"Guoo etuwa!" kali ini diucapkan dengan kencang. Wajah Kuroko kembali memerah ketika menyadari ucapannya masih tidak jelas.

"Kuroko…Tetsuya?"

Kuroko tersentak kaget dan menoleh kepada Kagami dengan cepat, hanya menatap cengiran lebar di wajah pemuda itu, "Aku hanya membaca gerakan mulutmu. Namamu Kuroko Tetsuya, kan?" Tanyanya.

Kuroko mengangguk.

"Nah, Kuroko," Kagami mengangkat tubuh lemah Kuroko, menumpuk bantal di balik punggung bocah itu, kemudian menyandarkannya ke tumpukan bantal empuk itu. Kagami mengusahakan posisi Kuroko cukup nyaman untuk anak itu, barulah mengambil semangkuk sup bawang, "Ayo makan."

Kuroko mengambil mangkuk itu. Air liurnya menetes ketika indera penciumannya menangkap bau sedap yang menguap dari mangkuk itu. Dengan tergesa-gesa, Kuroko menyendok sup dan langsung menelannya.

"Kkh…" erang Kuroko, lehernya terasa terbakar ketika sup itu meluncur masuk ke perutnya.

"'Taku, makan pelan-pelan, Kuroko," Kagami mengambil selembar tisu dan membersihkan pipi Kuroko yang terkena sedikit sup, diambilnya mangkuk sup dari tangan Kuroko, meniup-niup sup yang tertampung di sendok aluminium itu, "Ayo, aaa…" Kagami mengarahkan sendok itu ke mulut Kuroko.

Ragu-ragu, Kuroko memakan sup itu. Seketika dia terbelalak. Sensasi rasa yang memenuhi mulut dan menghangatkan perut, benar-benar nikmat!

"Enak, bukan?" Kagami terkekeh, melihat wajah Kuroko yang berseri-seri entah kenapa membuatnya merasa senang. Bukan senang biasa, dia sendiri tak bisa menjelaskan perasaan yang sedang memenuhi dadanya saat ini, seolah-olah perasaan Kuroko ikut menular padanya.

"Na, Kuroko, apa kau bisa menulis?" Tanya Kagami.

Kuroko menggeleng sedih.

"Membaca?"

Gelengan lagi.

Kagami menepuk kepala Kuroko pelan, "Kalau begitu, aku akan mengajarkannya padamu."


Kuroko itu jenius. Dalam kurun waktu kurang dari seminggu, bocah bersurai biru langit itu sudah lancar menulis dan membaca. Sebagai hadiah, Kagami memberikan sebuah notes kecil dan pensil pada Kuroko agar dia bisa menuliskan apa yang hendak dikatakannya.

Notes berwarna biru muda itu diikatkan tali pada salah satu kawatnya, bukan sembarang tali, tali itu berwarna merah gelap dan lebar, tali itu biasa digunakan anak-anak untuk mengalungkan gadget mereka. Pensil kecil berwarna biru muda terselip diantara kawat-kawat penghubung notes itu. Kuroko tampak senang dengan hadiah itu, dia segera menuliskan 'terima kasih' diatas halaman pertama dan menunjukkannya pada Kagami.

"Sama-sama," Kagami menepuk kepala Kuroko lembut, "Oh iya, boleh aku bertanya?"

"Silahkan." Jawab Kuroko diatas notesnya.

"Kenapa kau bisa berakhir di jalanan? Kemana orangtuamu?" Tanya Kagami sedikit ragu.

Kuroko terdiam. Kepalanya tertunduk dalam, tangannya terkulai di sisi tubuhnya.

"A-ah, kalau kau tak mau menjawabnya, aku akan mengganti-"

Perkataan Kagami terpotong ketika tangan Kuroko mulai bergerak dan menulis beberapa kata, "Orangtuaku sudah bercerai, ayahku meninggal."

"A-ah…"

"Mereka mengirimku ke panti asuhan. Aku tak tahan, jadi aku kabur."

Kagami terdiam, "jadi…kau tak punya keluarga?"

Kuroko menggigit bibirnya.

"Dua minggu lagi…" Kagami menyandarkan punggungnya ke dinding, menatap keluar jendela, "Aku akan pulang ke Jepang."

"K-kau bukan orang London?" Tanya Kuroko kaget.

"Aku hanya turis, Kuroko, aku sedang liburan."

Kuroko menunduk sedih, baru saja dia merasa bahagia, berpikir kalau dia bisa mengunjungi orang ini ketika akhir pekan, namun harapannya pupus begitu saja.

"Kuroko," Kagami beringsut maju, memeluk tubuh mungil itu dengan lembut, "Tinggallah bersamaku."

Kuroko tersentak, dia semakin bingung ketika Kagami mengeratkan pelukannya, "Ikutlah denganku…ke Jepang…"

"Ikut…ke Jepang…?" Kuroko menatap Kagami bingung.

"Kau tak punya keluarga disini kan? Aku juga takut meninggalkanmu sendiri disini, kalau-kalau kau akan berakhir seperti kemarin, karena itu, ikutlah denganku." Pinta Kagami, "Aku takkan memaksa kalau kau tak mau ikut."

"Tapi…keluarga Kagami-san…" Kuroko tak mampu menulis kalimat berikutnya.

"Aku akan membujuk mereka agar memperbolehkanmu tinggal, atau aku akan mengirimkanmu ke panti asuhan disana, walau aku tak mau." Kagami tersenyum lembut, "Aku akan melindungimu, Kuroko, aku takkan membiarkanmu terlantar seperti orangtuamu."

Kuroko menunduk, "Aku mau, tapi…"

"Tapi?"

"Aku tak punya uang…"

Kagami mengangkat dagu Kuroko, "Kau tak perlu memikirkannya, aku akan menanggu seluruh kebutuhanmu, aku akan menyekolahkanmu, aku akan membesarkanmu sebagai anakku sendiri."

Kuroko menangis, dadanya terasa hangat ketika Kagami kembali mendekapnya lembut, membuatnya teringat akan dekapan sang ayah dulu. Begitu nyaman, hangat dan membuatnya merasa aman. Kuroko memantapkan hati dan kembali menulis, "Aku mau."


"Kau yakin mau membawa Tetsuya-kun ke Jepang?"

Hari itu, Himuro mengantarkan Kagami dan Kuroko ke bandara, pemuda raven itu awalnya sedikit terkejut mengetahui Kagami mau membawa pulang seorang gelandangan sebagai 'oleh-oleh' (oke, itu hanya pemikiran Himuro saja). Dia baru mengetahui hal itu kemarin, ketika Kagami mengajaknya ke department store untuk membeli beberapa potong pakaian 'yang layak' untuk Kuroko.

"Tentu saja, aku tak tega mengembalikannya ke jalanan." Jawab Kagami sembari mengenggam tangan Kuroko yang berdiri di sampingnya, bocah itu tampak sedikit takut, cemas dan khawatir, "Aku juga sudah mengurus surat-suratnya. Dia resmi menjadi anakku sekarang."

"Tapi, bagaimana kalau paman dan bibi tak menyetujuinya? Dan kau bilang, dia anakmu?! Hell, kau masih 17 tahun, Taiga!"

"Aku pastikan mereka mau menerimanya. Lalu apa masalah kalau aku mengangkat anak? Aku sudah bisa membuat KTP tahun ini."

Himuro menghela nafas kesal, "Ya, terserahmulah."

Kagami nyengir lebar, "Kalau begitu, kami masuk dulu. Kuroko, ayo ucapkan sampai jumpa pada paman Himuro."

"Taiga, usiaku masih 18 tahun, seharusnya Tetsuya-kun memanggilku 'kakak' bukan 'paman'." Protes Himuro jengkel. Dia merasa panggilan 'paman' membuatnya merasa tua.

"Kuroko kan anakku, berarti kau pamannya dong?" kekeh Kagami.

"Cih."

Kuroko menulis sesuatu diatas notes kecilnya, merobek lembaran itu, lalu menyodorkannya pada Himuro sambil menunduk malu-malu. Himuro mengambil kertas itu dan membacanya. Senyum tipis terulas diwajah pemuda itu, dia berlutut, menyamakan tinggi dengan bocah itu, dan mengelus kepalanya lembut, "Sampai jumpa lagi, Tetsuya-kun. Baik-baik ya disana."

Kuroko yang tak pernah diperlakukan selembut ini sontak menyembunyikan diri dibalik tubuh Kagami. Tatsuya yang terkejut melihat reaksi tersebut hanya bisa terdiam.

"Ah, maaf Tatsuya, Kuroko masih belum terbiasa diperlakukan seperti itu," Kagami mengelus kepala Kuroko, "Ayo, tidak apa-apa kok."

Kuroko yang menyadari kelakuannya langsung keluar dan membungkuk dalam, sikap yang diajarkan Kagami untuk menunjukkan penghormatan atau permintaan maaf kepada seseorang. Tatsuya menepuk-nepuk bahu Kuroko, "Jangan terlalu dipikirkan. Aku mengerti kok." Ucapnya lembut.

"Kuroko, jaketmu miring," Kagami segera membetulkan jaket yang dipakai kuroko. Himuro tersenyum kecil, Kagami yang ini benar-benar seperti ayah yang baik.

"Kalau begitu, sampai jumpa, Tatsuya!" Seru Kagami sembari menarik kopernya memasuki bandara, sebelah tangannya menggenggam tangan mungil Kuroko.


(Skip time: Japan.)

"Ah, akhirnya sampai juga."

Kagami menghela nafas lega begitu keluar dari bandara. Udara Tokyo yang sejuk menyapa hidungnya, seolah menyambut kedatangan tuan muda Kagami di negeri matahari terbit ini.

Kedua iris crimson itu melirik anak kecil yang tengah digendongnya. Mungkin karena lelah akan perjalanan panjang, bocah London itu langsung tertidur pulas begitu tiba di bandara. Kagami tidak kesulitan menggendongnya, dikarenakan berat tubuh Kuroko yang ringan, walau sudah sedikit lebih berat daripada pertama kal Kagami menemukannya.

"Tuan muda, anda sudah tiba?" sapa seorang supir yang berdiri disamping mobil mercedez benz berwarna hitam. Kagami mengenal orang itu, supir pribadi keluarganya, Hyuuga Junpei.

"Ah, tolong bawakan koperku, Hyuuga." Pinta Kagami.

"Baik." Hyuuga membungkuk, ketika mengangkat kepalanya, dia terkejut bukan main, "T-tuan muda, siapa anak itu?" tanyanya.

"Oh, dia anakku." Jawab Kagami santai.

Hyuuga terkejut bukan main. Namun segera mengendalikan diri dan membukakan pintu untuk Kagami. Kagami masuk ke dalam mobil, membaringkan Kuroko disampingnya dengan pahanya sebagai bantal anak itu. Tanpa membuang waktu, mobil mewah itu melaju ke jalanan.


"Tadaima~" Taiga mengucapkan salam begitu membuka pintu. Yakin kalau salamnya takkan dijawab, Taiga membuka sepatunya dan sepatu Kuroko, lalu berjalan menuju kamarnya di lantai dua.

"Taiga-pyoooooon!"

Kagami Yuko menerjang putranya dengan kecepatan super dan memberinya pelukan erat, "Okaasan merindukanmu, Taiga-pyon!"

"Kendalikan dirimu, Yuko," Kagami Izanagi menghela nafas melihat kelakuan istrinya yang tampak agresif.

"Uhuk, Ayah? Ibu?" Taiga sedikit terkejut melihat kehadiran orangtuanya. Bukannya mereka sibuk?

"Bagaimana liburanmu, Taiga-pyon? Pasti membosankan ya? Maaf ya, kami berdua terlalu sibuk,"

"I-Ibu, kau akan membuatnya kehabisan nafas!"

"nya?" Yuko melepaskan pelukannya dan menurunkan pandangannya, saat itulah dia menyadari keberadaan Kuroko yang masih tertidur namun tampak kesulitan bernafas untuk beberapa saat.

"A-Apa?" Izanagi terkejut bukan main. Seingatnya, putranya tidak membawa siapapun saat ke London kemarin, kenapa pulangnya malah membawa seorang anak kecil?

"Kyaaa! Imutnya!" Yuko bersiap untuk memberikan pelukan maut pada bocah mungil itu, namun Izanagi keburu menahannya, "Yuko, jangan membunuh anak tak berdosa." Bisik Izanagi seram.

"Mou," Yuko menggembungkan pipinya.

"Taiga, siapa dia?" Tanya Izanagi.

"Ayah, bisakah kita bicarakan hal ini nanti? Kuroko masih tidur." Pinta Taiga.

Izanagi menghela nafas, "Baiklah, kami akan ke kamarmu 30 menit lagi."

"Tapi-"

"Yuko." Izanagi menatap istrinya tajam. Yuko menggembungkan pipinya, "baiklah."

Taiga segera naik ke kamarnya, membaringkan Kuroko diatas tempat tidur dan menyelimutinya, notes kecil itu diletakkan diatas meja. Taiga tersenyum lembut melihat wajah tidur si bocah yang begitu polos, dielusnya pipi Kuroko yang sudah lebih berisi kemudian berbaring disampingnya.


"Jadi, bisa kau jelaskan, Taiga?"

Taiga duduk diranjang, bersama sang ibu disampingnya, sedangkan sang ayah duduk diatas kursi belajar milik Taiga, Kuroko masih tertidur pulas.

"Dia…anakku." Ucap Taiga.

JDERR.

Izanagi dan Yuko terkejut bukan main.

"A-apa yang kaulakukan, Taiga?! Dengan siapa dan kapan kau melakukannya?!" Tanya Yuko heboh.

"Kau telah mencemari nama baik keluarga Kagami, Taiga! Bagaimana kalau perusahaan Akashi mendengarnya?! Kita bisa bangkrut, tau?!" semprot Izanagi.

"Tolong dengarkan aku dulu!" geram Taiga. Kuroko bergerak gelisah, mungkin terganggu karena kericuhan di kamar itu. Segera, Taiga menepuk-nepuk paha Kuroko, dan bocah itu kembali tertidur pulas.

Setelah orangtuanya duduk tenang, Taiga menjelaskan, "Saat aku di London, aku melihat anak ini terkapar di jalanan, hanya memakai selembar kaos tipis pendek dan celana pendek, babak belur dan basah kuyup di tengah musim dingin, aku membawa dan merawat dia di hotel," ujar Taiga,

"Lalu?"

"Kuroko itu bisu." Gumam Taiga. Izanagi dan Yuko terkejut.

"Aku mengajarinya membaca dan menulis, Kuroko menguasainya dalam waktu singkat. Dia bercerita kalau dia tak punya keluarga. Ayahnya sudah meninggal dan dia melarikan diri dari panti asuhan, Kuroko selalu mendapat perlakuan buruk dari warga," jelasnya, "seperti saat aku menemukannya, dia dalam kondisi kelaparan, 'tempat tinggal'nya direbut dan dia dihajar oleh orang yang merebut tempatnya, dan ketika dia hendak tidur didepan pintu toko roti, pemiliknya menyiramnya dengan seember air dingin."

Yuko menutup kedua mulutnya, sementara Izanagi menggigit bibirnya, "lalu, kenapa kau membawanya kemari dan mengakuinya sebagai anakmu?"

"Karena," Taiga menggigit bibirnya, "Aku tak tega meninggalkannya di jalanan. Aku kesepian, dia juga kesepian. Dan aku berpikir, mungkin dengan membawanya kemari kami takkan kesepian lagi."

"Kenapa kau merasa kesepian?" Tanya Izanagi.

"Karena kalian selalu sibuk." Taiga berujar lirih sembari menatap kearah lain.

Baik Izanagi maupun Yuko langsung terdiam. Mereka sadar kalau mereka terlalu sibuk sampai tak sempat meluangkan waktu untuk putra mereka, dan sekarang putra mereka justru mengangkat seorang anak, apa mereka masih bisa bersantai bersama Taiga?

"Ayah, ibu, kumohon," Taiga menatap kedua orangtuanya, "Biarkan Kuroko tinggal disini!"

"Taiga…"

"Aku akan menanggung biaya hidupnya, aku akan membesarkannya dengan baik, kumohon," Taiga menggigit bibirnya, "Aku…"

Izanagi dan Yuko saling tatap, mereka mengerti kalau niat Taiga itu baik, tapi ada beberapa keraguan dalam pertimbangan mereka.

"Taiga, apa kau sungguh-sungguh melakukannya?" Tanya Izanagi.

"Ya!" jawab Taiga tegas.

"Kau yakin mau mengangkat anak ini?"

"Ya!"

"Bagaimana kalau kau tidak serius?" Tanya Izanagi.

Taiga terdiam.

"Kau harus menyerahkannya ke panti asuhan, bagaimana?"

Bibir bawah digigit, kemudian mengangguk terpaksa.

"Baik, anak itu boleh tinggal disini." Izanagi tersenyum lembut.

Taiga menatap ayahnya dengan tatapan berbinar, "Arigatou, ayah!" ucapnya senang.

"Tapi ingat," Taiga kembali menatap sang ayah, "anak ini bukan hewan atau mainan, yang bisa kau abaikan begitu saja, kau harus sungguh-sungguh. Dia anakmu, ingat itu!"

"Aku mengerti, aku takkan menelantarkannya." Jawab Taiga tegas.

"Soal biaya hidup, ayah akan menanggungnya. Kau cukup mengurusnya saja."

"Terima kasih, ayah!"


Langsung aja ke chapter 2 ^^