Disclaimer: Kuroko no basuke punya Fujimaki-sensei, zettai wa boku da #ngaco #abaikan

Title: Boku no Jinsei no Monogatari (The Story of My Life)

Main Character: Kuroko Tetsuya, Kagami Taiga.

Genre: family, hurt/comfort

Rate: T

A/N: chapter kedua dari sebuah fic (kebut) yang dipersembahkan untuk ultah Kagami Taiga dan first event Kakuro shipper Indonesia! \(^O^)/


Kuroko terbangun dari tidurnya, mengerjap bingung melihat suasana disekitarnya. Kamar yang luas dengan dinding berwarna biru lembut dan ranjang yang empuk, ini bukan kamarnya. Seketika dia teringat, seorang pemuda mengangkatnya sebagai anak, lalu orang itu membawanya ke Jepang, dan saat di pesawat, dia tertidur.

Bocah bersurai aquamarine itu langsung panik. Dia tak menemukan 'ayah'nya di ruangan ini, apa dia tertinggal di pesawat? Lalu seseorang membawanya untuk dijual? Kuroko langsung melompat turun dari ranjang dan berlari kearah pintu, mencoba membuka pintu.

CKLEK.

"Lho? Pintunya tak dikunci?" Kuroko mengerjap bingung. Ditatapnya sekeliling, mencari keberadaan notesnya. Matanya terpaku ke meja belajar, itu dia!

Segera Kuroko mengambil notes itu dan keluar kamar secara diam-diam. Sambil menuruni tangga, matanya berusaha mencari pintu keluar. Ketika melewati ruang keluarga, matanya terpaku pada seorang pria yang duduk membelakanginya. Rambut orang itu berwarna merah gelap, persis Kagami, Kuroko langsung berlari dan memeluk orang itu sambil menghela nafas lega.

"Paman, siapa dia?"

"Eh?" kuroko mengangkat wajahnya, matanya terbelalak ketakutan begitu menyadari kalau yang dia peluk bukan Kagami, melainkan orang lain yang mirip dengan Kagami. Tubuhnya yang gemetar langsung bergerak, bersiap untuk lari.

"Kuroko? Kau sudah bangun?"

Kuroko segera menoleh kesamping, di depan pintu, Taiga berdiri sambil tersenyum kepadanya, langsung saja Kuroko bersembunyi dibalik tubuh besar Taiga.

"Hey, kau kenapa?" Tanya Taiga.

Takut-takut, Kuroko menunjuk kedua orang yang tengah menatapnya bingung.

"Taiga, siapa dia?" Tanya si pemuda berambut biru.

"Anakku." Jawab Taiga enteng, mengabaikan temannya yang sudah terbatuk-batuk karena tersedak teh.

"A-anak?!"

"Ah," Taiga terkekeh geli, kemudian menggandeng Kuroko mendekati kedua orang itu, "Mereka orangtuaku. Dan yang biru itu Aomine Daiki, temanku," Ketika Kuroko menatapnya bingung, Taiga berlutut dan mendorong punggungnya, "Ayo, perkenalkan dirimu.

Ragu-ragu, Kuroko membungkuk, lalu menulis dengan tangan gemetar, "n-namaku K-Kuroko Tetsuya, s-s-salam kenal, Kagami-san, Aomine-san."

Yuko tersenyum lembut kepada Kuroko, "Salam kenal juga, Tetchan," ucapnya sembari mengangkat tangan untuk mengelus kepala bocah itu, namun Kuroko kembali memeluk Taiga ketakutan.

"Kuroko terbiasa menerima kekerasan, jadi secara insting dia pikir kau mau memukulnya." Jelas Taiga begitu melihat tatapan bingung dari ibunya.

"Tetsuya-kun, kau sudah menjadi bagian dari keluarga ini, jadi kau harus memanggil kami 'kakek' dan 'nenek'," ucap Izanagi lembut sembari mengelus Kuroko, dia bisa merasakan tubuh mungil itu berjengit ketika tangannya menyentuh kepalanya.

Pelan-pelan, Kuroko menatap Izanagi, lalu menulis, "Maafkan aku, Kagami-san."

Izanagi tersenyum, "Boleh aku menggendongmu, Tetsuya-kun?" Tanyanya.

Kuroko tampak terkejut, lalu mengangguk kecil.

Izanagi segera mengangkat tubuh mungil Kuroko dan menatap matanya, "Namaku Izanagi, panggil aku kakek Nagi." lalu menunjuk istrinya, "ini istriku, panggil dia nenek Yuko." Ujarnya lembut, mengabaikan tatapan kesal Yuko.

"Baik, Kakek, Nenek." Kuroko menunjukkan notesnya malu-malu.

"Iza-chan, curang sekali hanya kau yang bisa menggendong Tetchan." Protes Yuko.

"Kau mau digendong nenek?" tanya Izanagi. Kuroko mengangguk kecil, dan sekejap kilat Yuko sudah memeluknya erat, Taiga hanya bisa tersenyum melihatnya.


Sudah enam bulan Kuroko tinggal di rumah Kagami, bocah itu sudah mampu menyesuaikan diri dengan keluarga barunya. Dia merasa beruntung, ayahnya begitu perhatian padanya, kakek dan neneknya juga sangat baik, mereka mengajarinya banyak hal, Kuroko juga begitu semangat untuk mempelajari hal baru yang diajarkan kakek dan neneknya.

"Taiga,"

Taiga menghentikan permainan basketnya dengan Kuroko, dia menoleh, menatap ayahnya yang mengintip dari balik pintu, "Ada apa?"

"Aku mau bicara denganmu, ini penting." Ujar Izanagi.

"Ya, baiklah." Sahut Taiga, dia mengecup dahi Kuroko sebelum beranjak masuk, "Kau main dulu ya, ayah tak akan lama."

"Baik, Ayah." Jawab Kuroko diatas kertas, Taiga mengacak rambutnya sejenak sebelum masuk ke dalam.

Kuroko kembali mempelajari teknik dribble yang diajarkan Taiga, terus berlatih sampai satu suara menginterupsi kegiatannya.

"Hey."

Kuroko menoleh kesamping, tepat disamping bench, seorang pemuda berambut biru tua menatapnya tajam. Kuroko mengenal orang ini, teman sekelas Taiga yang sering diundang mampir ke rumah Kagami untuk bertemu ayahnya.

"Oh, Aomine-san." Sapa Kuroko sambil tersenyum tipis.

Tanpa alasan yang jelas, Aomine meninju pipi Kuroko, Kuroko yang tak memperkirakan serangan ini langsung jatuh terjerembap.

Kuroko memegang pipinya, cepat-cepat tangannya menulis diatas kertas, "Aomine-san, kenapa kau memukulku?"

"Dasar sampah."

Kuroko membatu, kaki Aomine yang menginjak bahunya diabaikan.

"Semenjak kau datang, semuanya berubah. Kagami tak peduli lagi denganku. Dia lebih memperhatikanmu daripada aku. Kau merusak hidupku!" tendangan dilayangkan ke pinggang, Kuroko hanya bisa meringis menahan sakit.

"Dulu, dia selalu mengundangku datang, tapi sejak kau datang, melihatku pun tidak!" Aomine kembali menendang Kuroko, "kau juga merebut Izanagi-san dan Yuko-san dariku!"

Kuroko terbatuk-batuk, tangannya yang gemetar kembali menulis diatas notes kesayangannya, "Kenapa kau marah karena ayah lebih memperhatikanku?"

Pipi yang sama kembali ditinju, Kuroko hanya bisa menahan sakit.

"Kau itu membebani mereka, tau?" Ucap Aomine dingin, kakinya menginjak pipi Kuroko, "Kau pikir mereka senang mengurusmu? Tidak. Mereka terpaksa. Izanagi-san dan Yuko-san terpaksa menerimamu karena permintaan putra kesayangan mereka."

Bocah itu hanya bisa diam.

"Mereka tak pernah menerimamu. Mereka hanya berpura-pura menerimamu, karena tak ingin Taiga kecewa."

Dadanya terasa sesak.

"Kau juga membebani Taiga. Kau pikir mengurus seorang anak yang bisu itu mudah? Tidak. Dia harus ekstra sabar untuk menerka apa yang kau katakan. Bahkan jika kau menuliskannya, dia harus setengah mati menerjemahkan tulisanmu yang seperti cakar ayam itu."

Aomine meludah ke wajah Kuroko, "Sampah sepertimu tak layak tinggal bersama keluarga Kagami." Ucapnya sebelum berlalu, meninggalkan Kuroko yang masih terbaring di lapangan.


"Ayah serius?!"

Izanagi mengangguk. Taiga menatap ayahnya dengan tatapan berbinar, "Seorang teman ayah mau mendonorkan pita suara putranya yang sudah meninggal, kita tinggal mengurus administrasi, dan Tetsuya bisa segera menjalankan operasi."

Rasanya Taiga ingin berteriak sekeras mungkin, mendengar kalau anaknya akan mendapat pita suara membuatnya ingin melompat ke ring basket sekolahnya. Taiga memeluk ayahnya girang, "Arigatou, ayah!"

"Sebaiknya kau jelaskan ke Tetsuya, agar dia tidak takut saat ke rumah sakit nanti."

Tanpa menjawab, Taiga segera berlari ke lapangan, dia tak sabar untuk memberitahu Kuroko kabar ini. Kepalanya langsung membayangkan perkiraan ekspresi bocah itu ketika dia menyampaikan beritanya, pasti menggemaskan, batinnya.

"Kuroko-" Taiga terpaku begitu melihat Kuroko.

Kuroko duduk di bench, matanya menatap kosong ke bola ditangannya, ekspresinya murung, kalau Taiga tak salah lihat, air mata menggenang di kedua pelupuk mata anak itu, dia bahkan tak menyadari kedatangan Taiga.

Taiga duduk disamping Kuroko, "Hey, kau kenapa?" Tanyanya.

Kuroko tampak terkejut, tangannya menghapus air mata yang hampir mengalir lalu menulis, "Tidak apa-apa kok."

Taiga mengelus pipi kiri Kuroko lembut. Kuroko meringis.

"Ada apa?" Taiga menatap pipi Kuroko, dia terkejut bukan main melihat lebam keunguan di pipi anaknya, "Kenapa ini? Siapa yang melakukannya?" tanyanya sedikit marah.

Kuroko menggeleng, "saat aku mencoba Shoot, bolanya memantul keras dan mengenai pipiku." Jawabnya.

Taiga tau lebam itu bukan karena kena bola, Taiga tau seseorang telah melakukan ini pada anaknya, namun Taiga memutuskan untuk diam, menghargai keputusan Kuroko, "Kalau begitu, ayo kita obati lukamu." Ucapnya sembari menggendong Kuroko.


"Tetchan, pipimu kenapa?" tanya Yuko melihat pipi Kuroko yang sedikit bengkak.

"Kena bola, nek." Jawab Kuroko.

"Astaga, lain kali hati-hati," Yuko mengelus kepala Kuroko lembut.

Izanagi bingung melihat cucunya, bocah itu tampak murung sejak selesai main basket tadi, tidak seperti biasa yang selalu tersenyum manis dan membuat orang diabetes.

"Taiga, apa kau sudah memberitahu Tetsuya?" Tanya Izanagi.

"Ah, aku lupa." Celetuk Taiga, Kuroko menatap ayahnya bingung, "Tetsuya, beberapa bulan ini, kami sudah mencari, dan akhirnya menemukan donor pita suara untukmu, setelah operasi, kau pasti bisa bicara."

Kuroko tampak terkejut, "Donor pita suara? Kenapa kalian tak memberitahuku?" Tanyanya.

"Kami ingin memberi kejutan untukmu." Jawab Izanaki sambil tersenyum.

"Bukankah itu bagus, Tetchan? Kau akan berbicara," Yuko memeluk Kuroko erat.

Taiga tersenyum simpul, namun senyumnya hilang begitu melihat Kuroko yang tetap tak berekspresi, malah tambah murung. Semua orang, termasuk maid dan chef, bergembira atas kabar bahagia ini, namun kenapa Kuroko malah murung? Taiga berusaha untuk tidak memikirkannya, mungkin anak itu sedang bad mood.

"Kuroko, kenapa seharian ini kau murung terus?" Tanya Taiga sesaat sebelum tidur.

"Tidak apa-apa, ayah." Jawab Kuroko.

"Kau bisa bercerita padaku kalau kau mau."

"Aku baik-baik saja, sungguh." Kuroko tersenyum sambil menunjukkan notesnya.

"Baiklah kalau begitu, oyasumi, Kuroko." Taiga mengecup dahi Tetsuya lembut, kemudian berbaring. Kuroko hanya bisa menggigit bibirnya.


"KUROKO!"

Teriakan itu memecah pagi yang hening di kediaman Kagami. Izanaki dan Yuko langsung terbangun karena teriakan itu.

"Ada apa?" Tanya Yuko yang masih mengantuk.

"Ibu, ayah, kalian lihat Kuroko?!" Tanya Taiga panik.

"Tidak, memangnya Tetsuya kenapa?" Tanya Izanagi.

"Kuroko hilang!" seru Taiga.

"Apa?! Bagaimana bisa?!" Yuko ikut panik.

"Aku tak tau, waktu aku bangun, Kuroko sudah tak ada disebelahku!" pemuda itu tampak mau menangis.

"Bukannya itu bagus?"

Serentak, ketiga kepala itu menoleh kearah pintu, "Ao…mine?"

"Semenjak anak itu datang, kalian terbebani kan?" pemuda biru tua itu berjalan mendekat, "saking beratnya, kalian sampai melupakan yang lain kan? Bahkan aku tak pernah diundang kemari lagi."

"Kau…" Taiga menggeram, "Jadi kau yang menghajar Kuroko kemarin?!"

"Apa salahnya? aku hanya memberinya pelajaran," Aomine mengangkat bahunya cuek, "Toh bocah itu sudah sadar, dia sudah pergi kan? Berarti kalian sudah bebas dari beban-"

Serta merta, sebuah bogem mentah melayang ke pipi Aomine, "Siapa bilang aku merasa terbebani, hah?!" raung Taiga, amarahnya memuncak, dia tak menyangka kalau sahabatnya tega melakukan ini.

Aomine mengelus pipinya, "Bukankah kalian memaksakan senyum kalian ketika pertama kali anak itu datang kemari? Bahkan Taiga selalu melamun saat istirahat, kalian terpaksa menerimanya kan?"

"Kau salah! Kami tak mau terlihat sedih di depan dia!" bentak Izanagi.

Aomine tercengang, jarang sekali pria itu terlihat marah besar seperti ini.

"Kami semua sudah mengetahui masa lalunya yang kelam, kami hanya ingin membuatnya bahagia, namun bayangan masa lalunya selalu terpintas di kepala kami setiap kali melihatnya. Itulah kenapa kami memaksakan diri untuk tampak bahagia didepannya."

"Kenapa kau ikut campur dalam urusan keluargaku Ahomine teme?!" bentak Taiga, "Aku tak mau peduli lagi padamu, buluk! Kalau sampai terjadi sesuatu pada Tetsuya, aku takkan membiarkanmu tenang!" geramnya sembari berlari keluar.

"Tetchan, dia masih kecil, bagaimana kalau ada yang menculiknya?" Yuko terisak.

"Jangan khawatir, Yuko, kita akan menemukannya. Ayo cepat kita susul Taiga,"

Keduanya segera pergi, meninggalkan Aomine yang masih membatu di tempat duduknya.


Bocah mungil itu berjalan lesu menembus keramaian, wajahnya murung, kepalanya tertunduk, dia tak tau kemana kakinya melangkah, yang dia inginkan adalah pergi sejauh mungkin, menjauh dari keluarga itu. Bukan karena benci, namun dia benci hidup sebagai parasit.

Bruk.

Karena keasyikan melamun, Kuroko menabrak seseorang. Pria itu tampak sedikit terkejut mendapati Kuroko didepannya.

"Gomenasai," Kuroko menulis diatas notes kecilnya. Pria itu tersenyum kecil dan berlutut didepannya, "Kau tak apa-apa? Apa kau terluka?"

Kuroko menggeleng kecil.

"Kemana orangtuamu? Apa kau tersesat?" tanya pria itu lagi.

Kuroko menggeleng, ragu-ragu, dia menunjukkan notesnya, "aku lari dari rumah."

"Hm? Kenapa kau lari dari rumah? Apa orangtuamu sering bertengkar hingga kau tak tahan? Apa ayahmu sering memukulimu? Apa mereka-"

"Anda salah."

Pria beriris emerald itu terdiam, "mereka semua sangat baik."

"Lalu kenapa kau melarikan diri?" tanya pria itu.

Kuroko terdiam.

"Namaku Midorima," ujarnya, "Namamu?"

"Kuroko Tetsuya." Balas Kuroko.

"Nah, Kuroko," Midorima mengulurkan tangannya pada Kuroko, "bagaimana kalau kita duduk sebentar sambil mendengarkan ceritamu?"


"Hm…jadi begitu?" midorima mengangguk setelah mendengar cerita Kuroko.

Kuroko meletakkan cokelat hangatnya di bangku taman dan menulis, "aku tak mau membebani mereka lebih lama lagi."

"Siapa bilang mereka terbeban?" Tanya Midorima.

"Aomine-san." Balas Kuroko.

"Siapa Aomine-san?"

"Teman ayahku."

"Dan kau lebih mempercayai orang itu daripada ayahmu sendiri?"

Kuroko menunduk.

"Dengar, Kuroko," Midorima mengelus kepala bocah itu, "apa yang dikatakan orang belum tentu benar. Walau Aomine-san bilang begitu, belum tentu ayahmu berpikir demikian."

"Darimana aku bisa tau kalau ayahku tidak berpikir begitu?" tanya Kuroko.

"Duduklah disini, jangan pergi kemanapun. Kalau ayahmu tak mencarimu, berarti Aomine-san benar. Tapi kalau dia mencari dan menemukanmu," Midorima beranjak berdiri, "Kau tau artinya kan?"

Pria berambut hijau itu menatap arlojinya, "Ah, aku harus segera berangkat kerja. Tak apa kan kalau kau sendiri disini?"

Kuroko mengangguk.

"Kalau begitu, sampai jumpa lagi," ucapnya sembari melenggang pergi, meninggalkan Kuroko di taman itu.


"Kuroko! Sial, kemana dia pergi?!"

Pemuda bersurai crimson itu terus berlari, celingak-celinguk mencari keberadaan bocah berambut biru muda, perutnya yang berkonser diabaikannya, selama Kuroko belum ketemu, dia tak akan berhenti. Matahari sudah bersiap kembali ke peraduannya, namun bocah itu masih belum ditemukan.

"Kuroko…" Taiga menyerah, air matanya mengalir dalam diam, pemuda itu merasa gagal menjadi ayah, dia tak bisa melindungi anaknya dari temannya sendiri, tak bisa meyakinkan anak itu kalau dia tak pernah keberatan mengangkatnya.

"Kuso…" isaknya.

"Mencari seseorang?"

Taiga mengangkat wajahnya, terkejut melihat seorang pria berambut hijau berdiri didepannya, "Y-ya, anak laki-laki, berambut biru muda, kau melihatnya?" tanyanya tanpa basa-basi.

"Dia di taman, sepertinya menunggumu." Ujar orang itu.

"Terima kasih." Ucapnya. Tanpa membuang waktu, Taiga segera melangkah menuju taman.

"Hey,"

Taiga berbalik, menatap punggung pria itu, "jaga dia baik-baik."

"Aku juga tau."


"Kuroko!"

Kuroko yang setengah tidur langsung terkejut melihat kedatangan Taiga, "Kagami-san?"

"Apa-apaan kau? Kenapa kau melarikan diri?" Tanya Taiga, "kenapa kau memanggilku Kagami-san?"

"Kagami-san. Kumohon, biarkan aku kembali ke London."

Taiga tercengang membaca kalimat itu, "K-Kuroko…"

"Aku menghargai semua yang telah kalian berikan kepadaku, jujur, aku senang berada disini."

"Lalu kenapa kau mau kembali ke London?" Tanya Taiga.

"Aku tak mau membebani kalian lagi,"

Taiga terdiam membaca tulisan itu, "Sudah diterima disini saja, aku sudah senang. Kalian juga mau memberiku pita suara agar aku bisa bicara. Tapi,"

Air mata menetes, membasahi notes kecil itu, Kuroko terus menulis walau matanya mulai buram, "Tapi, kalau kalian memang tak menerimaku, aku tidak masalah, aku memang parasit,"

Taiga mengepalkan tangannya.

"Toh, pada akhirnya, kita bukanlah siapa-siapa. Kau tetap memanggilku dengan nama keluargaku, berarti hubungan kita tetap 'gelangangan' dan 'penyelamat', kan? Maka dari itu, aku-"

Belum selesai Kuroko menulis, tubuhnya sudah ditarik dan dipeluk dengan erat oleh Taiga, "Aku tak pernah keberatan dengan keberadaanmu, Kuroko."

Kuroko terdiam.

"Saat aku di London, aku memang sengaja mengunjungi banyak panti asuhan untuk mengadopsi anak, namun tak seorangpun yang kuinginkan. Aku sengaja memilihmu, Kuroko. Karena kau berbeda dengan anak-anak lainnya."

Kuroko menenggelamkan wajahnya ke ceruk leher sang ayah, menangis pelan, "ayah dan ibuku juga tak pernah keberatan menerimamu. Mereka justru senang, karena keberadaanmu, hubunganku dengan orangtuaku tak secanggung dulu lagi, kami bisa berkumpul dan bersenang-senang kembali, semua karena kau, Tetsuya."

Bahu mungil itu bergetar pelan, Taiga menarik dan mendekapnya semakin erat, "Kau adalah anakku, Tetsuya, dan aku adalah ayahmu. Mana mungkin aku tak menginginkanmu? Kalau itu memang benar, kau sudah mati kedinginan disana."

"Maafkan aku."

Tulisan itu tampak gemetar dan dipenuhi air mata, tapi Taiga tetap mampu membacanya, "Maaf karena aku meragukan kalian, maaf karena aku melarikan diri, maaf-"

Taiga menahan tangan Kuroko, "aku sudah memaafkanmu, Tetsuya, jangan menangis lagi." bisiknya.

"Tetsuya!"

Kuroko dan Taiga menoleh, Izanagi dan Yuko segera menghampiri keduanya, "astaga, Tetchan, kau baik-baik saja? kenapa kau melarikan diri?" tanya Yuko sembari berlutut didepan Kuroko dan menggenggam kedua tangannya erat.

"Maafkan aku, nenek." Kuroko menunjukkan notesnya sambil menunduk. Air mata Yuko langsung tumpah, didekapnya tubuh mungil Kuroko dengan erat, "jangan membuat kami khawatir, Tetchan."

Izanagi mengusap kepala Kuroko lembut, "jangan ulangi lagi, oke?"

Kuroko mengangguk pelan, Izanagi langsung memeluk Kuroko, "Aku benar-benar mengkhawatirkanmu, bodoh," bisiknya menangis dalam diam.

"Ma-"

"Tak usah meminta maaf lagi," Izanagi menggenggam tangan Kuroko, "Terima saja hadiah dari kami kalau kau menyesal."

Kuroko terdiam, "Tetchan, kau mau kan?" Tanya Yuko.

"Un."

"Anak pintar," Izanagi menggendong Kuroko kecil, "Mulai sekarang, kau takkan memakai nama Kuroko lagi. Mulai sekarang, namamu adalah Kagami Tetsuya, mengerti?"

Anggukan kecil diterima sebagai jawaban, Izanagi tersenyum, "Kalau begitu, semuanya masuk ke mobil, kita akan pergi makan sekarang."

"Yosha!" Seru Taiga, "Tetsuya, kau mau makan apa?" tanyanya.

Tetsuya menatap Izanagi bingung, "Vanila milkshake? Kau mau mencobanya?" usul Izanagi. Tetsuya mengangguk penuh semangat.

"Osu, ayo ke majiba!" Taiga berlari masuk ke mobil, "Tetsuya, ayo kemari."

Dan malam yang indah itu dihabiskan keluarga kecil ini dengan makan bersama di sebuah restoran cepat saji, berbagi kehangatan bersama-sama, sekaligus menyambut kembali anggota keluarga mereka yang baru.


"tiga hari lagi."

Tetsuya menatap Taiga yang tampak galau, "ya, aku tau."

"Bagaimana perasaanmu?" tanya Taiga.

"Biasa saja, aku sudah siap. Untuk yang terburuk sekalipun." Tetsuya menunjukkan notesnya sambil tersenyum simpul.

Taiga ikut tersenyum dan mengacak-acak surai biru langit Tetsuya, pandangannya kembali tertuju ke pemandangan di depan sana dari atas bukit, menikmati semilir angin yang menyegarkan.

"Ayah,"

Notes kecil berwarna biru muda menarik perhatiannya. Taiga menatap putra kecilnya, "Hm?"

"Setelah ini, aku bisa berbicara kan?"

"Tentu saja," jawab Taiga sambil tersenyum kecil.

"Lalu, apa yang harus kulakukan setelahnya?"

"Ha? tentu saja berbicara."

"Apa yang harus kukatakan?"

Taiga terdiam, "apa maksudmu?"

Tetsuya mengedikkan bahu, kemudian kembali menulis, "aku ingin, setelah mendapatkan suaraku, aku bisa menggunakannya untuk menyemangati orang-orang yang bernasib sama sepertiku. Aku ingin suaraku tak hanya berbicara, tapi juga mampu membangkitkan semangat setiap orang yang terpuruk."

Taiga tampak berpikir sejenak, lalu tersenyum kepada putranya, "bagaimana kalau kau menceritakan kisahmu?"

"Kisahku?"

"Ya."

"Apa yang menarik dari kisahku?"

"Entahlah, namun kau bisa berbagi pengalamanmu kepada mereka, agar mereka bisa mensyukuri hidup." jawab Taiga asal.

Tetsuya tampak bingung sejenak, namun akhirnya tersenyum manis, "aku mengerti, ayah,"


2 minggu kemudian...

"Saya buka ya, Tetsuya."

Tetsuya mengangguk kecil. Dokter berambut hijau itu membuka perban yang melilit lehernya, diikuti tatapan khawatir dari Izanagi dan Yuko. Tetsuya melirik ke sekeliling ruangan, tak mendapati sosok sang ayah dimanapun.

"Ayah mana?" Tetsuya menunjukkan notesnya.

"Taiga belum pulang sekolah, tapi dia akan langsung kemari setelah pulang." jawab izanagi, diliriknya arloji perak pemberian Yuko, "kurasa sebentar lagi-"

Pintu menjeblak terbuka, menampilkan sosok Kagami Taiga yang masih memakai gakuran dan membawa tas sekolah, "Tetsuya bagaimana? Berhasil tidak?!" tanyanya heboh. Tampangnya saat ini tak jauh berbeda dari pria yang sedang menunggu kelahiran anaknya.

"Belum," Izanagi memukul kepala Taiga dengan korannya. Taiga hanya bisa meringis sambil memegang kepalanya yang benjol tiga tingkat.

"Hihihi,"

Suara kekehan kecil menyapa indera pendengaran mereka, membuka mereka secara refleks menoleh ke sosok anak kecil diatas ranjang yang tengah menutup mulutnya sambil memalingkan wajah.

"Tetsuya?" Taiga mencengkeram bahu Tetsuya.

Bocah kecil itu menoleh, menunjukkan senyuman termanisnya.

"C-coba panggil aku,"

"Ayah." Suara lembut itu kembali terdengar, Tetsuya tersenyum kecil sambil memeluk Taiga, "Halo Ayah."

"T-Tetchan…"

"Halo Kakek, Nenek." Sapanya sambil tersenyum. Ketiganya menatap Midorima, yang tengah mengacungkan jempolnya yang berbalut perban.

"Operasinya berhasil." ujar Midorima.

"Ah..." Taiga memeluk erat Tetsuya sambil menghapus air mata bahagianya, "arigatou, kami-sama." bisiknya. Izanagi dan Yuko ikut merangkul bocah itu, terlalu bahagia bahkan untuk sekedar berkata selamat.

"Sekarang, ayah tak perlu khawatir lagi kalau mau menyekolahkanku." Tetsuya menyandarkan kepalanya di pundak Taiga.

"E-eh? Apa maksud-"

Tetsuya menunjuk selembar brosur yang mengintip dari tas Taiga. Izanagi menatap brosur itu, "SD Seirin?"

"Ah, kurasa sekolah itu cukup bagus, jadi aku mau mendaftarkan Tetsuya kesana." Ujar Taiga sambil menggaruk pipinya.

"Menurutku SD Teiko juga bagus." Komentar Izanagi.

"Tapi SD Seirin kan bekas sekolahku."

"Makanya, Tetsuya harus bersekolah di tempat lain."

"Mou, kalian berdua," protes Yuko, "kenapa kalian malah meributkan sekolah? Tetchan jadi merasa bersalah tuh."

Izanagi dan Taiga langsung menatap Tetsuya yang tampak murung sambil memainkan jemarinya.

"T-Tetsuya, jangan terlalu dipikirkan," Izanagi menepuk kepala Tetsuya.

"Iya, kami kan mengharapkan yang terbaik untukmu." Tambah Taiga.

"Tapi, kalau kalian sampai ribut, lebih baik tak usah," bisik Kuroko pelan.

"Baik, kami takkan meributkannya lagi." Taiga menepuk kepala Kuroko dengan lembut.

"Tetsuya sudah bisa pulang tiga hari lagi," Ujar Midorima, "seminggu kemudian, kembalilah untuk check up. Beri dia makanan yang ringan seperti bubur atau susu, jangan langsung memberinya makanan yang berat, bisa merusak pita suaranya."

"Kami mengerti, terima kasih." Ucap Taiga.

"Banyak-banyak istirahat ya, Tetsuya." Midorima mengedip kepadanya, dibalas dengan senyum penuh makna dari bocah itu.

"Arigatou, sensei." Ucapnya.

"Kalau begitu, nenek akan membuatkan bubur yang lezat untuk Tetchan besok, mau kan?" Tanya Yuko.

"Un, arigatou, nenek."

"Beserta susu vanila?" Tanya Izanagi.

Kuroko mengangguk semangat.

"Kalau begitu, kau harus istirahat sekarang." Nasihat Taiga. Tetsuya langsung berbaring, membiarkan Taiga menarik selimutnya hingga leher, lalu ketiga orang itu mengecup dahinya bergantian, "Oyasumi, Tetsuya."

"Oyasumi," tak sampai lima menit, bocah itu sudah tertidur pulas.


"Tetsuya…Tetsuya…"

Tetsuya membuka matanya, "Papa!"

Pria bersurai biru langit itu membentangkan tangannya, menyambut terjangan dari bocah mungil yang tertawa bahagia.

"Tetsuya sekarang sudah mendapat keluarga baru ya. Apa Tetsuya bahagia?"

"Ya! Ayah sangat sayang sama Tetsuya, kakek dan nenek juga." Sahut bocah itu senang.

"Yokatta ne, akhirnya papa bisa melepaskan Tetsuya." Pria itu bangkit berdiri, mengelus kepala si kecil dengan lembut.

"Papa mau kemana?" Tanyanya polos.

"Tempat yang indah." Jawab pria itu, "Tetsuya, pita suara itu merupakan anugerah dari yang diatas, jadi, gunakan suaramu untuk orang lain." Nasihatnya sebelum menghilang.

Tetsuya tersentak bangun, menyadari kalau dirinya masih berada dirumah sakit. Tangannya bergerak mengelus tenggorokannya, "Untuk…orang lain?"


"Hee? Jadi papamu mengunjungimu dalam mimpi?" Tanya Taiga sambil membawa tas di satu tangan, sementara tangan lain menggenggam tangan Tetsuya.

"Iya, papa bilang suaraku ini harus digunakan untuk orang lain," jawab Tetsuya. Taiga terkekeh geli, "Bahkan papamu sepemikiran denganku, eh?"

"Berarti papa memang memilihmu." Tetsuya tersenyum lebar, "Aku akan menuruti apa yang papa dan ayah bilang, akan kugunakan suara ini untuk membangun semangat orang lain."

"Minggir, ini emergency!"

Sebuah brankar melewati mereka, Taiga segera menarik Tetsuya menepi, Tetsuya bahkan tak sempat melihatnya saking cepatnya.

"Mengerikan sekali." Decak Taiga, "ada apa?" Tanyanya pada seorang perawat yang kebetulan lewat.

"Tabrak lari,"Jawab suster itu, "belasan orang tewas di tempat kejadian, tapi wanita ini dan anaknya masih bertahan, padahal mereka yang tertabrak paling parah."

Tepat setelah suster itu selesai menjawab, brankar lainnya lewat, dan Tetsuya bisa melihat jelas sosok yang terbaring diatasnya.

Seorang anak laki-laki, berambut merah terang yang nyaris tak terlihat karena tertutup darah, kira-kira sepantaran usianya, terbaring lemas dengan darah memenuhi sekujur tubuhnya. Wajah anak itu, entah bagaimana dapat Tetsuya lihat, tampak putus asa dan sedih.

"Kasihan, padahal masih kecil," Tetsuya bisa mendengar suara ayahnya,"Ayo pulang."

Tetsuya mengangguk kecil, dan Taiga langsung menggandengnya menuju parkiran, dimana Hyuuga Junpei sudah menanti mereka.


.

.

.

Aku sudah pernah mengalami masa-masa kelam dalam hidupku.

Diperlakukan tak manusiawi oleh ibuku, dibuang oleh kerabat ayahku, dan disiksa di panti asuhan.

Dulu, aku berpikir, kalau hidupku sudah tak ada artinya lagi.

Tapi, seseorang telah mengubah pemikiranku.

Dia rela dan mau mengangkatku, manusia hina ini, menjadi anaknya.

Dari seorang yang dianggap sampah, kini aku menjadi seorang yang berharga.

Kisah hidupku memang mengerikan dan tak bisa dilupakan begitu saja.

Tapi, jika kisah hidupku bisa kugunakan untuk membangkitkan semangat orang lain, maka tanpa ragu aku akan menceritakannya.

Karena aku telah melewati masa-masa kelam itu, maka aku ingin membantu orang lain untuk keluar dari sana juga.

Karena aku pernah diselamatkan, maka aku ingin menyelamatkan juga.

Dan ketika kulihat anak laki-laki bersurai scarlet itu duduk sendirian dibawah pohon apel dengan wajah murung, tanpa ragu aku mendekatinya.

Karena aku juga ingin hidupku berguna untuk orang lain.

Inilah kisahku.

-Kagami Tetsuya.

.

.

.

FIN


Ano, belom telat kan?

Akhirnya, setelah marathon seminggu, cerita ini kelar juga /lap keringat

Cerita ini dipersembahkan untuk ultah Kagami Taiga dan first event Kakuro shipper Indonesia, OTANOME, SEIRIN NO ACE! #telatwoi

Kenapa Fei ngga bikin romance kayak yang lain? Sejujurnya, romance adalah genre yang paling tak Fei kuasai ga tau kenapa X( dari kemarin udah coba bikin romance tapi gagal terus, jadinya bikin ini aja (ini juga absurd ya T,T)

Ini aslinya oneshot lho, cuma karena kepanjangan Fei jadiin twoshot aja :v

Terima kasih untuk panitia yang telah membuat event ini, otsukare! \(^o^)/ pasti ribet ya mengurus event ini? Saya mewakili teman-teman yang lain mengucapkan terima kasih banyak telah mengadakan event yang menantang ini. Saya juga senang karena bisa bersaing bersama kalian semua

/senyum lima jari

/dilempar tomat oleh author lainnya.

Kalau begitu, saya undur diri. Silahkan tinggalkan komentar kalian di kolom review ^^

-Zhang fei.