Fang memain-mainkan jarinya dengan wajah tertunduk muram. Kedua kaki yang terbalut sepatu sedikit kebesaran diayun pelan di sisi depan kursi plastik yang didudukinya. Sesekali ia melirik ke pintu dengan raut gelisah, menanti sesuatu.

"Jangan sedih begitu, Fang," seorang gadis kecil berkerudung berujar lembut di sebelahnya. "Hanya karena kita sama-sama diadopsi, bukan berarti kita tak bisa bertemu lagi, 'kan? Kita masih bisa saling mengunjungi," katanya.

"Tapi ... bagaimana kalau tempat tinggal kita nanti saling berjauhan? Akan sulit bagi kita untuk bertemu," ucap Fang pelan.

"Kita bisa saling berkirim surat. Bagaimana menurutmu?" usul Yaya dengan senyum lebar terukir di wajahnya. "Kita bisa meminta papa dan mama angkat kita nanti untuk mengirimkan suratnya."

"Kau yakin kita bisa saling berkirim surat?" tanya Fang ragu.

"Tentu!" sahut Yaya antusias. "Kita sudah bisa menulis, 'kan? Jadi tidak akan terlalu sulit."

Fang terlihat berpikir sejenak, sebelum akhirnya mengangguk kecil. Senyum tipis perlahan terulas di bibirnya yang sedari tadi melengkung turun.

"Kau janji akan mengirimu surat?"

"Setiap hari, kalau kau mau," kata Yaya.

Fang tersenyum. "Baiklah. Aku juga akan mengirimu surat setiap hari," ujarnya. Ia mengulurkan jari kelingkingnya ke arah Yaya. "Ayo kita saling berjanji."

Yaya mengangguk dan langsung menautkan jarinya dengan jari Fang. "Janji ya, kau akan mengirimu surat setiap hari."

"Um, janji," Fang mengangguk mantap dan tersenyum lebar.

Saat itu Fang tidak tahu, bahwa janji kecil mereka tak akan pernah terwujud setelahnya.

.

.

.

"The Story of Us : Chapter 9"

By Fanlady

Disclaimer : BoBoiBoy © Monsta. Tidak ada keuntungan material apa pun yang diambil dari fanfiksi ini.

Warning(s) : AU, teen!chara(s), siblings!BoBoiBoyYaya, BoYa, slight!FaYa, OOC, miss typo(s).

.

.

.

Suasana taman bermain yang ramai dan ceria sangat bertolak belakang dengan suasana hati Fang saat ini. Ia nyaris tak tersenyum sejak tadi, mengawasi dengan ekspresi sebal dua sosok pemuda dan seorang gadis yang tak diinginkannya hadir di sini. Harusnya ini menjadi hari yang sangat menyenangkan untuk Fang. Ia sudah menunggu-nunggu kesempatan seperti ini sejak bertemu kembali dengan Yaya. Tapi kenapa acara kencan yang seharusnya berjalan mulus malah berakhir berantakan seperti ini?

"Fang?"

Fang menoleh pada Yaya yang sedari tadi berjalan tanpa suara di sebelahnya. Gadis itu pasti menyadari suasana hati Fang yang buruk, karena ia terlihat merasa bersalah.

"Maaf. Kau pasti kesal, ya, aku mengajak mereka ikut?" tanya Yaya takut-takut.

'Tentu saja aku kesal! Kita, 'kan, harusnya kencan berdua!' Fang ingin membalas seperti itu, namun mana mungkin ia tega membentak Yaya?

"Tidak, kok. Ke taman bermain memang lebih bagus kalau pergi bersama teman-teman, 'kan?" kata Fang, sebisa mungkin memaksakan diri tersenyum.

"Oh, syukurlah. Kupikir kau marah padaku karena tidak memberitahumu bahwa mereka juga akan ikut," ucap Yaya, terlihat lega.

Fang meringis. 'Aku tidak marah padamu, Yaya. Hanya pada para penggangu itu,' batinnya sengsara.

"Kalau begitu mau mencoba wahana bersama-sama?" usul Yaya, sama sekali tak menyadari pergolakan batin Fang. "Kau mau naik yang mana?"

"Terserah kau saja," balas Fang, mengangkat bahu.

Yaya mengamati wahana-wahana di sekitar mereka, menimbang-nimbang wahana mana yang sebaiknya mereka coba lebih dulu.

"Naik roaller-coaster sepertinya seru. Bagaimana menurutmu?" kata Yaya.

"Boleh saja," Fang mengangguk menyetujui.

Yaya tersenyum cerah. "Bagus, kalau begitu. Ayo!" Ia menggandeng tangan Fang dan menariknya pergi untuk menyusul BoBoiBoy, Gopal, dan Ying yang sudah berjalan lebih dulu di depan.

Mau tak mau, Fang kembali tersenyum tipis merasakan genggaman Yaya di antara jemarinya. Meski sudah beberapa tahun berlalu, kehangatan yang dirasakan Fang tetap sama. Ia menyukai bagaimana tangan Yaya selalu menggenggamnya erat, seolah tak ingin melepaskannya. Dan Fang berharap jari-jari mungil itu tetap akan menggenggamnya erat sampai kapan pun.

.

.

.

"Hoeek!"

BoBoiBoy menepuk-nepuk punggung Gopal yang tengah memuntahkan isi perutnya di tong sampah, hanya sesaat setelah mereka turun dari wahana roller-coaster.

"Makanya, kalau memang tidak kuat, jangan sok memaksakan diri," Ying mengomel sambil berkacak pinggang.

"Iya, nih. Kau kebanyakan gaya, Gopal," BoBoiBoy ikut mencela sementara terus menepuk-nepuk punggung sahabatnya itu.

"Kalian jangan bilang begitu. Kasihan Gopal," ujar Yaya menengahi. Ia memandang sedikit khawatir pada pemuda gempal itu. "Kau baik-baik saja, Gopal?"

"Rasanya aku mau mati ..." Gopal mengerang penuh nestapa.

"Jangan berlebihan. Kau tidak akan mati cuma karena naik roaller-coaster," kata BoBoiBoy, memutar bola mata. "Aku akan membelikanmu minuman. Kau tunggu di sini saja dengan yang lain."

"Aku ikut, BoBoiBoy," kata Yaya.

"Baiklah, ayo."

BoBoiBoy melirik ke arah Fang yang sedari tadi hanya duduk diam di kursi taman tak jauh dari mereka. Wajahnya terlihat masam saat mengawasi Yaya yang berjalan mengikuti BoBoiBoy. BoBoiBoy tak bisa menahan diri untuk tak tersenyum mengejek, yang dibalas dengan ekspresi cemberut oleh Fang.

"Kalau begitu kami pergi beli minuman dulu," kata BoBoiBoy. "Kalian mau titip sesuatu?"

"Aku jus apel," kata Ying.

"Aku minuman apa saja terserah," ujar Gopal tak berdaya seraya menghempaskan dirinya di sebelah Fang.

"Kau mau pesan minuman apa, Fang?" tanya Yaya lembut.

"Teh lemon saja," balas Fang singkat.

"Baiklah," Yaya mengangguk, "ayo, BoBoiBoy."

BoBoiBoy mengangguk dan berjalan bersama Yaya meninggalkan teman-teman mereka. Baru beberapa langkah mereka berjalan, terdengar seruan Gopal.

"Sekalian beli makanan, ya!"

BoBoiBoy memutar bola mata bosan, dan Yaya hanya terkekeh geli. Mereka sama-sama mengacuhkan Gopal dan meneruskan langkah untuk mencari gerai minuman.

"Ngomong-ngomong, Yaya," ucap BoBoiBoy setelah mereka berjalan cukup jauh. "Fang kelihatannya tidak suka ya, kami ikut?"

"Eh, tidak kok. Fang bilang justru lebih bagus kalau ramai," kata Yaya ceria.

BoBoiBoy meringis. Ia tahu adik angkatnya ini kadang memang kelewat polos, tapi tidak pekanya tak perlu segitunya juga, 'kan? Jelas-jelas Fang sedari tadi terlihat kesal dengan kehadiran mereka. BoBoiBoy tak tahu harus menertawakan atau justru mengasihani nasib Fang atas ketidak-pekaan Yaya. Bagaimanapun ia sendiri juga kadang dibuat susah dengan sikap tidak peka Yaya yang sedikti overdosis.

"Kau tahu tidak, BoBoiBoy? Dulu, saat masih kecil, aku dan Fang pernah berjanji akan pergi bersama-sama ke taman bermain," kata Yaya tiba-tiba. "Tapi itu tidak pernah terwujud. Karena, yah ... kami dulu tinggal di panti asuhan. Untuk membeli mainan saja harus menabung berbulan-bulan, apalagi ke taman bermain."

BoBoiBoy terdiam beberapa saat, sebelum berujar dengan hati-hati. "Jadi, karena itukah dia mengajakmu ke taman bermain hari ini?"

Yaya mengangguk. "Dia bilang ingin menepati janjinya. Jadi tentu saja aku menerima ajakannya dengan senang hati," ujarnya, tersenyum tipis.

BoBoiBoy tertegun. Ada sedikit rasa nyeri yang mendadak menyerang jantungnya saat ia akhirnya menyadari sesuatu. Ekspresi Yaya, dan juga nada suaranya saat membicarakan Fang, terdengar ... berbeda. Suaranya menjadi lebih lembut, dan juga sorot asing di matanya itu ... Yaya tak pernah menatap siapa pun dengan sorot mata seperti itu.

Hati BoBoiBoy serasa diremas kuat saat ia kembali teringat fakta bahwa ... Yaya memang menyukai Fang.

"Ah, itu ada mesin penjual minuman!" Yaya menunjuk ke depan dengan mata berbinar. Ia segera menarik BoBoiBoy yang hanya mengikutinya tanpa mengucapkan apa-apa.

BoBoiBoy hanya berdiri diam mengawasi sementara Yaya memilih minuman yang akan dibeli untuk teman-teman mereka. Gadis itu sibuk berceloteh dengan suara riang, tak menyadari ekspresi muram BoBoiBoy yang berdiri di belakangnya.

"Kau mau apa, BoBoiBoy? Jus jeruk?" tanya Yaya, memalingkan wajahnya ke arah BoBoiBoy.

"Terserah kau saja," gumam BoBoiBoy pelan.

"Oke, dua jus jeruk untukmu dan juga aku," kata Yaya. Ia mengambil kaleng-kaleng yang meluncur keluar dari mesin berwarna merah itu. "Bantu aku, BoBoiBoy. Aku tak bisa membawa semuanya."

BoBoiBoy mengambil tiga kaleng dari tangan Yaya, sementara Yaya memegang dua sisanya.

"Oke, sekarang kita beli makanan. Menurutmu kita harus beli apa?"

"Terserah kau saja."

Yaya menoleh pada BoBoiBoy dan mengerutkan keningnya. "Kau kenapa, BoBoiBoy? Kenapa kau jadi terlihat muram begitu?" tanyanya heran.

"Aku tidak apa-apa," balas BoBoiBoy datar.

"Oh, ayolah, jangan bohong padaku. Apa ada sesuatu yang menganggumu?"

BoBoiBoy terlihat bimbang. Haruskah ia bertanya langsung saja pada Yaya? Tapi BoBoiBoy tak yakin ia akan sanggup mendengar jawaban gadis itu nanti.

"Bolehkah—aku bertanya sesuatu?" ucap BoBoiBoy akhirnya.

"Tentu saja. Kau boleh bertanya apa pun padaku," kata Yaya.

"Apa kau—menyukai Fang?"

Kedua manik karamel Yaya membelalak. Ia nyaris saja menjatuhkan kaleng-kaleng minuman yang dipegangnya, namun berhasil menahannya tepat waktu.

"A-apa maksudmu?" Yaya bertanya gugup.

"Aku ingin tahu ... bagaimana perasaanmu pada Fang," ujar BoBoiBoy, berusaha menelan rasa pahit tak menyenangkan di mulutnya.

"A-aku— aku—"

"Kau sudah janji tidak akan menyembunyikan apa pun dariku, 'kan?"

Kata-kata itu sukses menohok Yaya. Gadis itu menundukkan wajah, tak berani memandang langsung ke arah BoBoiBoy.

"Kau menyukai Fang, Yaya?" BoBoiBoy kembali bertanya pelan, dan menyiapkan hati untuk mendengar jawaban Yaya.

"Aku ..."

"BoBoiBoy! Yaya!"

Keduanya tersentak dan segera menoleh. Gopal dan Ying tengah berjalan menghampiri mereka, sementara Fang mengikuti dengan ogah-ogahan di belakang.

"Kenapa kalian lama sekali, sih? Kupikir kalian tersesat," kata Gopal.

Yaya tersenyum merasa bersalah. "Ah, maaf ... kami cuma—"

"—bingung mau memilih minuman yang mana," sambung BoBoiBoy. Ia melirik Yaya yang kembali menolak untuk menatap matanya.

"Ya ampun, milih minuman aja pakai acara bingung segala," sungut Gopal. Ia melirik kaleng-kaleng minuman yang dibawa BoBoiBoy dan Yaya. "Jadi punyaku yang mana, nih?"

"Nih, kola untukmu," kata BoBoiBoy seraya menyerahkan salah satu kaleng yang dipegangnya pada Gopal.

"Thanks."

Gopal langsung membuka tutup kaleng dan meneguk menumannya seperti oang yang benar-benar kehausan. Keheningan merayap di antara mereka, membuat suasana canggung menjadi tak bisa dihindari.

"Ehem," Ying berdeham pelan, berusaha memecah atmosfir canggung yang menggantung di udara. "Jadi ... sekarang kita mau ke mana?" ujarnya dengan suara seceria mungkin.

"A-ah, iya, ya ... Ayo kita lihat-lihat wahana lain yang bisa kita naiki," sahut BoBoiBoy mengikuti nada ceria Ying.

"Jangan naik roller-coaster lagi," Gopal menimpali dengan ekspresi horor.

"Cih, kau ini lembek sekali, Gopal," cibir BoBoiBoy. Ia lalu menoleh pada Yaya yang masih bergeming di belakangnya. "Ayo, kita pergi, Yaya." Yaya mengangguk.

BoBoiBoy membiarkan Yaya berjalan mendahuluinya bersama Ying, sementara matanya tak henti mengawasi punggung gadis itu yang melangkah menjauh.

Salahkah ... jika BoBoiBoy merasa takut bahwa suatu hari nanti Yaya benar-benar akan melangkah pergi dari hidupnya?

.

.

.

"Jadi, ceritakan padaku apa yang terjadi."

Ying akhirnya berhasil menyeret Yaya menjauh dari ketiga teman lelaki mereka, dengan beralasan meminta Yaya menemaninya ke toilet. Sejak tadi ia sudah penasaran melihat perubahan sikap BoBoiBoy dan Yaya yang seolah saling menjauh sejak mereka berdua pergi membeli minuman. Tadinya Ying berharap bisa memberi BoBoiBoy sebanyak mungkin kesempatan untuk berduaan dengan Yaya dalam acara jalan-jalan mereka hari ini. Tapi kenapa mendadak kedua kakak-adik itu jadi bersikap dingin satu sama lain?

"Eh ... apa maksudmu? Aku tidak mengerti," gumam Yaya, sebisa mungkin tidak menatap kedua safir Ying.

"Oh, ayolah. Kau dan BoBoiBoy sejak tadi bersikap aneh. Apa terjadi sesuatu?" tanya Ying langsung pada intinya.

"Umm ..." Yaya memilin-milin ujung kerudungnya gugup, tak tahu harus berkata jujur atau mencari alasan dan berbohong. Gadis itu menghela napas panjang, sebelum akhirnya mendongak dan memandang wajah Ying yang menuntu jawaban darinya.

"Ying ... menurutmu, bagaimana reaksi BoBoiBoy kalau tahu aku menyukai seseorang?" tanya Yaya lirih.

Ying tertegun. "Memangnya ... kau sedang menyukai seseorang? Siapa?" tanyanya was-was, meski Ying merasa sudah tahu jawabannya.

"Err ..." Yaya menggaruk pipinya yang sedikit merona, tak tahu harus menjawab apa.

"Tolong jangan bilang kau menyukai Fang." Yaya meringis, membuat Ying seketika mengerang karena tebakannya tepat sasaran. "Oh, Yaya ... ada banyak orang lain yang bisa kau sukai. Kenapa harus Fang?" ucap Ying putus asa.

"Memangnya kenapa dengan Fang? Dia orang baik, kok," kata Yaya, berusaha membela Fang meski wajahnya kini semakin memerah malu.

"Bukan itu masalahnya, Yaya ..." desah Ying. Ia menghela napas panjang dan memijit pangkal hidungnya. "Sejak kapan kau menyukainya?"

"Sejak ... dulu ..." gumam Yaya malu-malu, "Fang itu cinta pertamaku ..."

Oh, bolehkah Ying memesan tiket untuk pindah ke planet lain saja sekarang? Kekhawatiran terbesarnya menjadi kenyataan dalam sekejap mata. Bukannya Ying tak suka jika sahabatnya menyukai seseorang. Hanya saja ia tahu siapa yang akan merasa paling tersakiti dengan fakta ini.

Dan lagi, kenapa harus Fang?

"Jadi ..." Ying menarik napas, mencoba menenangkan kembali pikirannya. "Apa BoBoiBoy sudah tahu tentang hal ini? Karena itukah kalian bertengkar?"

"BoBoiBoy belum tahu ... tapi tadi dia memang bertanya tentang itu ..." ucap Yaya pelan.

Ying mendesah pelan. Ia tak heran jika BoBoiBoy menanyakan itu pada Yaya. Selama ini memang itu yang dikhawatirkan pemuda itu, 'kan?

"Apa menurutmu BoBoiBoy akan marah padaku kalau tahu aku menyukai Fang?" tanya Yaya cemas.

"Dia tidak akan marah, hanya sangat terluka dan patah hati," Ying bergumam sangat lirih sehingga Yaya tak bisa mendengarnya.

"Eh, apa?" tanya Yaya bingung.

"Tidak, tidak apa-apa," kata Ying, "menurutku BoBoiBoy pasti tidak akan setuju kalau mendengar kau menyukai Fang. Kau 'kan tahu dia sangat protektif padamu."

"Ya, aku tahu ... Karena itu aku tak bisa memberitahunya. Aku takut BoBoiBoy akan marah dan membenciku ..." Yaya tertunduk sedih, bingung tak tahu apa yang harus dilakukannya.

"Tak apa, kau tak perlu mengkhawatirkan itu. Kau tahu BoBoiBoy tidak mungkin membencimu," Ying tersenyum menenangkan. "Menurutku, untuk saat ini lebih baik kau tak memberitahu BoBoiBoy. Cobalah ... menunggu saat yang tepat ..."

Yaya menggigit bibirnya, namun akhirnya mengangguk. "Terima kasih, Ying ... aku bersyukur sudah cerita padamu," ucapnya penuh terima kasih.

"Sama-sama. Aku juga senang kau mau menceritakannya padaku," balas Ying. Ia tersenyum, meski dalam hati merasa bersalah pada BoBoiBoy.

Maafkan aku, BoBoiBoy ... aku hanya tak ingin melihatmu terluka ...

.

.

.

Fang duduk seorang diri di tepi kolam ikan dengan air mancur yang menyemburkan air sebening kristal ke udara. Ia menatap permukaan kolam yang sedikit keruh, mengawasi ikan beragam warna yang berenang di bawahnya. Lemon tea yang hanya tersisa seperempat kaleng diteguknya kembali sampai habis. Fang lalu meremas kaleng kosong itu hingga tak berbentuk dan melemparkannya ke dalam tong sampah tak jauh di sana. Kaleng itu meluncur mulus dan mendarat dengan tepat di tempat sampah.

Helaan napas kasar meluncur dari celah bibirnya. Ia melirik ke arah BoBoiBoy dan Gopal yang tengah mengobrol di sebuah gerai makanan hanya beberapa meter dari tempatnya berada. Pandangannya kemudian menyapu ke sekeliling, mencari-cari sosok gadis merah jambu yang sejak dua puluh menit lalu tak juga kembali setelah 'diculik paksa' oleh Ying.

Fang bukan orang bodoh. Ia tahu ada sesuatu yang terjadi di antara BoBoiBoy dan Yaya saat mereka pergi berdua untuk membeli minuman tadi. Sikap keduanya menjadi berubah setelah kembali. Dan Fang benar-benar penasaran ingin tahu apa yang terjadi.

Tapi jangankan bertanya atau berbicara pada Yaya, mendekat saja ia sulit dengan Ying yang terus menempeli Yaya dan menjaga gadis itu sejauh mungkin dari Fang.

Sebelumnya Fang merasa ia akan sulit untuk mendekati Yaya karena adanya BoBoiBoy, namun tampaknya musuh yang harus lebih dulu dikalahkannya justru adalah Ying.

"Oi, Fang. Kau tidak mau makan?"

Fang mendongak dan melihat Gopal sudah berdiri di hadapannya, dengan BoBoiBoy yang berada tepat di belakangnya dan memandang Fang dengan sorot benci.

Gopal menyodorkan bungkusan kentang goreng berlumur saus dan mayones pada Fang. "Nih, mau?"

"Tidak, terima kasih," tolak Fang.

"Ya sudah kalau tidak mau," Gopal menarik kembali kentang gorengnya dan melahapnya dengan penuh syukur. "Ngomong-ngomong Ying dan Yaya kok lama, ya?"

"Perempuan 'kan memang selalu lama kalau ke toilet," komentar BoBoiBoy.

"Benar juga."

Fang memilih untuk tidak ikut dalam percakapan mereka dan kembali memusatkan perhatiannya pada ikan-ikan yang berenang di kolam.

"Hei, teman-teman!"

Seruan dengan nada tinggi khas Ying membuat ketiga pemuda itu menoleh. Kedua gadis yang sedari tadi ditunggu mereka akhirnya memunculkan diri juga setelah puluhan menit berlalu.

"Kenapa lama sekali, sih?" gerutu Gopal, begitu Ying dan Yaya telah kembali bersama mereka.

"Lama apanya? Cuma beberapa menit, kok," balas Ying kalem.

"Beberapa menit? Lebih dari setengah jam kau bilang 'cuma beberapa menit?'"

"Sudahlah, Gopal. Yang penting sekarang mereka sudah kembali," kata BoBoiBoy, tak ingin mendengar pertengkaran. "Sekarang kita lanjut saja atau pulang?" tanyanya.

"Jangan pulang dulu! Nanti malam ada pertunjukan kembang api, lho. Sayang kalau kita tidak nonton!" kata Ying antusias.

Sepasang iris violet Fang otomatis melirik Yaya, yang ternyata juga tengah menatapnya sejak tadi. Mereka sama-sama saling memalingkan wajah yang merona saat mata mereka saling bertemu.

"Oh, bagus juga kalau bisa lihat kembang api," kata Gopal bersemangat. "Bagaimana menurutmu, BoBoiBoy?"

"Yah, kedengarannya menyenangkan ..." sahut BoBoiBoy, meski tidak terdengar seantusias kedua temannya.

"Kau juga ingin lihat kembang api, 'kan, Yaya? Kau 'kan suka sekali kembang api," ucap Ying, menoleh pada sahabatnya.

"Ya, tentu saja," balas Yaya, tersenyum tipis.

"Kau juga mau ikut, Fang?" Ying akhirnya berpaling pada Fang dengan tatapan ketus. Fang hanya mengangkat bahu tak acuh. "Yah, kalau kau mau pulang juga tak apa, kok. Kami tidak akan mencegahmu," lanjut Ying lagi.

Fang memutar bola mata pada gadis berkacamata itu. Ying pikir bisa mengusirnya begitu saja? Huh, jangan harap.

"Aku ikut," kata Fang.

"Whoa, akhirnya Fang bicara!" seru Gopal, sedikit terlalu heboh. Keempat temannya memandangnya dengan tatapan bosan. Ia hanya cengengesan tanpa rasa malu.

"Yah, kalau begitu kita semua akan tetap di sini sampai nanti malam untuk menonton kembang api," kata BoBoiBoy kemudian. "Sekarang kita mutar-mutar saja dulu sambil menunggu waktu malam."

BoBoiBoy lalu mengajak Gopal pergi tanpa sekali pun melirik ke arah Yaya. Fang mengawasi mereka berdua dan benaknya semakin diliputi rasa penasaran tentang apa yang sebenarnya tengah berlangsung di antara keduanya.

"Ayo, Fang, kita juga pergi," ajak Yaya lembut.

Fang mengangguk, nyaris tak bisa menahan diri untuk tersenyum saat kembali bertatapn dengan gadis itu. Namun aura menyeramkan yang menguar dari Ying membuat Fang hanya memasang muka datar dan mengangguk.

.

.

.

"Duh, mereka semua di mana, ya?"

Yaya menoleh cemas ke sana-kemari, mencari keberadaan teman-teman dan juga kakaknya. Dua cone es krim yang mulai meleleh tergenggam di kedua tangannya sementara ia berjalan terdesak-desak di antara padatnya orang yang ingin menonton pertunjukan kembang api. Yaya sedikit menyesal mengapa ia berinisiatif membeli es krim seorang diri dan tidak mengajak minimal salah satu temannya. Ia tidak menyangka keadaan akan menjadi seramai ini hanya dalam beberapa menit dan membuatnya langsung kehilangan jejak teman-temannya.

"Apa aku telepon mereka saja, ya? Tapi dengan tangan penuh begini bagaimana mau memegang HP?" Yaya terus bergumam cemas pada dirinya sendiri.

Gadis berkerudung merah itu terus berjalan menyelip-nyelip di antara kerumunan orang. Beberapa kali ia terdorong dan nyaris menjatuhkan es krimnya. Yaya akhirnya berhasil keluar dari kerumunan padat orang-orang yang berkumpul di pusat taman bermain untuk menyaksikan pertunjukan kembang api yang akan dimulai dalam beberapa menit lagi. Ia berjalan ke tepi taman yang dipagari oleh besi warna-warni seukuran pinggang Yaya yang membatasi taman itu dengan sungai di seberangnya.

Yaya menyenderkan diri di pagar besi yang dingin. Ia menghembuskan napas lega setelah akhirnya tak lagi terhimpit di tengah orang-orang yang berdesak-desakan. Tapi Yaya tetap merasa khawatir karena tersesat seorang diri. Pasti teman-temannya tengah panik mencarinya, terutama BoBoiBoy.

"Yaya!"

Ekspresi cemas Yaya langsung sirna begitu melihat Fang tengah berlari menghampirinya. Pemuda itu berhenti tepat di depannya dan sedikit membungkuk kehabisan napas.

"Astaga, kerumunan orang-orang itu benar-benar bencana besar," ujarnya terengah. "Kupikir aku akan mati terhimpit."

Yaya tergelak. "Jangan berlebihan, Fang. Itu cuma kerumunan manusia biasa," ucapnya geli.

"Ya, tapi mereka seperti sekumpulan hyena yang sedang berburu mangsa," kata Fang, menggelengkan kepala tak percaya. "Daripada itu, Yaya, kau dari mana saja? Aku panik sekali mencarimu ke mana-mana!"

"Cuma kau yang panik?"

"Yah, tidak, sih. Yang lain juga panik. Terutama kakakmu itu," kata Fang mencibir. "Dia bahkan sampai mengancam orang-orang di pusat informasi agar segera menemukanmu."

"Oh, sudah kuduga," gumam Yaya, tertunduk merasa bersalah. "Aku terbawa arus kerumunan orang, dan tahu-tahu saja aku sudah kehilangan jejak kalian ..."

Fang memandang Yaya yang menundukkan wajah dan mengusap lembut puncak kepala gadis itu. "Tak apa. Yang penting kau baik-baik saja," katanya.

"Di mana yang lain?" tanya Yaya.

"Semuanya berpencar mencarimu. Dan aku bersyukur aku yang menemukanmu duluan."

"Eh, kenapa?"

"Karena akhirnya kita bisa berduaan lagi," kata Fang lirih. "Hari ini harusnya kau dan aku bersenang-senang, 'kan? Tapi kita nyaris tidak bisa bicara lebih dari beberapa patah kata," lanjutnya masam.

"Maaf ..." Yaya menggigit bibirnya merasa tiak enak. Ia tahu harusnya tidak mengajak yang lain ikut serta, tapi ia juga tak bisa begitu saja menolak syarat yang diberikan BoBoiBoy. Karena jika ia menolak, Yaya tahu ia tak akan punya kesempatan untuk pergi bersama Fang.

"Yaya, aku ..."

Kembang api meledak di atas kepala mereka dengan suara keras yang meredam semua suara lainnya. Bunga api beraneka warna dan bentuk tercurah di langit malam sehitam tinta.

"Wah, indah sekali ..." gumam Yaya kagum. Ia mendongak dengan mata berbinar. Sepasang manik karamelnya memantulkan bunga-bunga api di atas, membuatnya terlihat ikut berkilau cantik. "Fang, kau lihat itu? Kembang apinya indah seka—"

Yaya membelalak saat Fang tiba-tiba menariknya mendekat. Es krim yang sebagian besar telah meleleh terlepas begitu saja dari tangannya atas reaksi kaget Yaya dengan apa yang dilakukan Fang setelahnya. Pemuda itu meraih kedua wajah Yaya, dan tanpa mengucapkan apapun menyentuhkan bibirnya yang dingin ke bibir Yaya.

.

.

.

to be continued

A/N :

Adakah yang masih menunggu kelanjutan fic ini? Atau malah masih adakah yang ingat sama fic ini? Aku sendiri aja udah lupa sebagian besar ceritanya sih :"D

Aku nggak akan bosan minta maaf karena nggak bisa sering-sering update lagi. Aku nggak punya semangat buat lanjutin nulis, sih. Kalau aja nggak ada yang ingatin untuk lanjutin fic ini, mungkin udah kutelantarin beneran tanpa dilanjut lagi.

Bukannya aku sengaja nelantarin. Mungkin ada beberapa yang liat aku publish fic-fic baru, tapi fic lama nggak pernah dilanjutin. Aku cuma mencoba menemukan passion untuk nulis lagi, makanya coba nulis fic-fic baru. Tapi tetap aja semuanya terasa hambar.

Sekali lagi aku minta maaf untuk semua yang masih nungguin kelanjutan fanfic-fanfic punyaku. Aku nggak bisa janji bakal lanjut, tapi nggak bisa bilang bakal discontinue juga. Doain aja aku nggak makin labil dan mbeneran nelantarin semua ficnya, ya.

Oh, iya, kalau boleh aku mau nanya pendapat. Aku baru baca ulang fic ini dari awal dan ngeliat kalau gaya nulisku udah jauh berubah. Di awal aku sering pake bahasa nggak baku buat percakapan, tapi sekarang semuanya udah baku banget. Readers sekalian lebih nyaman baca yang baku atau nggak baku kalau untuk percakapan? Silakan kasih pendapatnya di kotak review jika berkenan.

Makasih banyak untuk yang udah menyempatkan diri membaca. Dan makasih yang lebih banyak lagi untuk yang masih tetap nungguin kelanjutan fic ini.

Sampai jumpa di chapter berikutnya~ (semoga)