Disclaimer : Semua nama tokoh di sini milik Monsta, aku cuma minjem bentar aja.
Warning : Mengandung sedikit OOC ness (?), absurd, gaje, humor gagal, dll
Yaya memeriksa isi tasnya sekali lagi dengan seksama, memastikan bahwa ia tidak melupakan apa pun. Setelah yakin tak ada barang yang terlupa, Yaya pun melangkah turun dari kamarnya di lantai dua dan berjalan ke arah dapur. Pemandangan pertama yang disaksikannya adalah sang suami yang tengah duduk di meja makan sambil menyuapi putra terkecil mereka. Sementara dua putranya yang lain sedang asyik bermain adu pedang dengan menggunakan sendok makan mereka.
"Halilintar, Taufan, kan Mama sudah bilang, kalau lagi makan tidak boleh main-main," ujar Yaya lembut sambil mengelap butiran nasi dari wajah kedua putra kembarnya itu.
"Ah, maaf Yaya, aku sudah melarang mereka bermain, tapi mereka tidak mau mendengarkanku," kata Boboiboy yang masih sibuk menyuapi Gempa, si kembaran ketiga.
"Mereka berdua memang bandel sekali," keluh Yaya sambil menggeleng-gelengkan kepala saat melihat kedua putranya itu kembali bermain dnegan sendok mereka. "Mungkin lebih baik aku membatalkan perjalanan ini," gumam ibu dari tiga anak kembar itu.
"Kau tidak perlu khawatir. Aku bisa menjaga mereka bertiga," kata Boboiboy berusaha menenangkan istrinya,
"Kau yakin?" tanya Yaya ragu. Bukannya ia tidak percaya dengan kemampuan suaminya, hanya saja Yaya tau betapa nakalnya ketiga putra kembarnya itu, terutama Halilintar dan Taufan. Gempa memang terlihat lebih penurut daripada kedua kakaknya, tapi bocah itu juga sering membuat ibunya kewalahan dalam mengurusnya.
"Tenang saja. Lagipula aku tidak akan menjaga mereka sendirian, aku kan bisa berpecah jadi tiga," kata Boboiboy sambil tersenyum.
"Benar juga," gumam Yaya. Ia memandangi ketiga putranya yang akan ia tinggalkan bersama suaminya selama dua hari.
Yaya kini berkerja sebagai seorang guru SMP. Kemarin, kepala sekolah di SMP tempatnya berkerja meminta Yaya untuk menjadi pembimbing murid-murid yang kan mengikuti Olimpiade di luar kota. Sebenarnya guru lain yang mendapatkan tugas itu, tapi karena guru itu mendadak tidak bisa pergi, maka Yaya lah yang diminta untuk menggantikannya.
Semalam Yaya merasa sangat kebingungan, karena ia tidak mungkin pergi ke luar kota dan meninggalkan ketiga putranya. Dan ibunya yang biasa ia titipkan anak-anaknya saat ia pergi bekerja, sedang pergi berlibur bersama teman-temannya. Tapi akhirnya Boboiboy, yang membuka sebuah restoran di pusat kota, memutuskan untuk tidak pergi bekerja dan menawarkan diri untuk mengurus rumah dan tiga putra kembar mereka. Boboiboy memiliki banyak karyawan di restorannya, jadi tidak masalah jika ia meliburkan diri sehari atau dua hari.
"Sudah selesai mengecek barang? Tidak ada yang tertinggal, kan?" tanya Boboiboy sambil melirik tas Yaya yang diletakkan di lantai dapur.
"Ya, aku sudah mengecek semuanya," kata Yaya, juga melirik ke arah tasnya. "Kau yakin bisa mengurus mereka, kan?" tanyanya lagi, masih sedikit khawatir.
"Tentu saja. Lagipula aku sudah lama tidak menghabiskan waktu bersama mereka. Ini pasti akan jadi menyenangkan," ujar Boboiboy sambil menatap ketiga jagoan kecilnya.
"Baiklah kalau begitu," ucap Yaya akhirnya. Ia mengecek jam di tangannya. "Aku harus segera berangkat."
"Ayo kuantar sampai ke depan," kata Boboiboy. Ia bangkit dari kursinya dan menggendong Gempa. "Halilintar, Taufan, ayo kita antar Mama ke depan.
Kedua balita itu menyudahi adu pedang mereka dan segera melompat dari kursi dengan riang. Yaya menggandeng mereka berdua, sedangkan Boboiboy menggendong Gempa dengan sebelah tangannya sementara tangan satunya lagi ia gunakan untuk membawa tas Yaya.
Setelah memasukkan barang bawaannya ke dalam mobil, Yaya pun berpamitan pada suami dan ketiga putra kecilnya.
"Nah, Mama pergi dulu. Halilintar, Taufan, ingat, kalian nggak boleh berantem lagi, ya? Gempa, jangan keluyuran keluar rumah tanpa izin dari Papa ya," kata Yaya sambil berjongkok di depan tiga putra kembarnya.
"Oke, Mama!" jawab ketiganya serempak.
"Mama pulangnya jangan lama, ya," ucap Gempa dengan wajah sedih.
"Mama nggak lama, kok. Besok juga Mama udah pulang," kata Yaya sambil mengelus kepala Gempa.
"Mama bawa pulang mainan, ya," kata Taufan.
"Hali juga mau mainan!" seru Halilintar.
"Iya, iya. Nanti Mama beliin mainan untuk anak-anak Mama. Tapi janji jangan nakal, ya?" kata Yaya.
"Oke!" sahut ketiganya riang.
Yaya pun memeluk dan mencium ketiga putranya sebelum berpamitan kepada Boboiboy.
"Aku pergi dulu," ucap Yaya sambil menyalami tangan Boboiboy.
"Ya. Hati-hati di jalan," kata Boboiboy. Ia mengecup sekilas kening Yaya sebelum mengantarnya ke mobil.
"Dadaaah Mama!" seru Halilintar, Taufan, dan Gempa sambil melambai riang ke arah Yaya. Ibu mereka balas melambai sebelum akhirnya menghilang bersama mobilnya.
"Nah, sekarang kita mau ngapain?" tanya Boboiboy pada ketiga anaknya.
"Nonton TV!" seru Taufan bersemangat.
"Main mobil-mobilan!" seru Halilintar.
"Menggambar!" seru Gempa tak mau kalah.
"Baiklah. Ayo kita lakukan semuanya," kata Boboiboy. Ia kemudian mengajak ketiganya masuk ke dalam dan membawa mereka ke ruang keluarga. Ayah dari tiga anak kembar itu kemudian menyalakan TV dan memilih channel yang menayangkan kartun anak-anak. Setelah itu ia mengambil buku gambar dan krayon untuk Gempa dan juga mobil-mobilan Halilintar.
Ketiga anak kembar itu kini tengah sibuk dengan kegiatan mereka masing-maisng. Halilintar dengan mobil-mobilannya, Taufan yang tengah duduk manis sambil menonton televisi, dan juga Gempa yang sibuk mencoret-coret buku gambarnya dengan krayon. Boboiboy menatap mereka dengan puas. Ternyata tidak sesulit yang ia bayangkan, tinggal memeberikan apa yang mereka mau, dan ketiganya akan jadi anak yang manis dan penurut.
"Hmm, mungkin lebih baik sekarang aku membereskan rumah," gumam Boboiboy. Ia kemudian menatap ketiga putranya. "Tapi berbahaya juga kalau meninggalkan mereka tanpa pengawasan," gumamnya lagi.
Sebuah ide akhirnya terbersit di benaknya. Boboiboy segera berlari ke kamarnya dan mengambil jam kuasa yang disimpannya di laci lemari.
"Boboiboy kuasa tiga!" serunya setelah memakai jam berwarna jingga itu. Tak butuh waktu lama, kini di kamar Boboiboy berdirilah tiga pecahan elemennya.
"Nah, sekarang ayo kita bagi tugas," kata Halilintar. "Gempa, tugasmu mengambil cucian di mesin cuci dan menjemurnya di belakang. Taufan, kau harus membersihkan dapur dan juga mencuci piring. Aku yang akan menyapu di ruang tamu dan ruang keluarga sambil menjaga anak-anak," jelasnya.
"Kau yakin bisa menjaga mereka sendirian?" tanya Taufan sangsi.
"Tentu saja. Mereka kan cuma anak-anak, apa susahnya, sih?" ujar Halilintar sambil memutar bola matanya.
"Kalau begitu aku akan langsung ke bawah," kata Gempa.
"Aku juga," lanjut Taufan.
Ketiga elemental Boboiboy pun keluar dair kamar dan berpisah di bawah tangga. Gempa menuju ke arah mesin cuci, Taufan ke dapur, dan Halilintar ke ruang keluarga.
Saat ia tiba di sana, yang pertama kali dilihat Halilintar adalah Taufan dan Halilintar kecil yang tengah menonton TV berdua. Mobil-mobilan yang tadi dimainkan Halilintar tergeletak begitu saja di karpet. Kemudian barulah Halilintar menyadari bahwa si kembar ketiga tidak ada di ruangan itu.
"Halilintar, Taufan, di mana Gempa?" tanya pemilik elemen petir itu dengan sedikit panik.
"Keluar," jawab keduanya polos.
"Ke mana?" tanya Halilintar lagi, semakin panik.
"Nggak tau," jawab Taufan.
"Mungkin Gempa main sama Choco," jawab Halilintar kecil.
"Siapa Choco?" tanya Halilintar bingung.
"Kucing," jawab Halilintar kecil, masih dengan wajah polosnya.
Elemental Boboiboy yang berpakaian serba merah dan hitam itu pun buru-buru berlari ke luar untuk mencari Gempa dan meninggalkan kedua putranya yang lain di ruang keluarga.
.
.
.
Taufan menatap tumpukan piring kotor di dapur sambil menghela nafas pelan. Kenapa piring kotornya ada sebanyak ini, sih? batinnya. Yah, wajar saja, Yaya sejak semalam sibuk mempersiapkan perjalanan ke luar kotanya, sehingga ia lupa untuk mengurusi piring-piring kotor ini. Setelah melepaskan jam kuasanya dan meletakkannya di meja makan, Taufan pun akhirnya menghampiri tumpukan piring itu dan mulai mencucinya satu persatu.
Tarikan kecil di celananya membuat Taufan sedikit terlonjak. Ia menunduk dan melihat Gempa kecil tengah memandangnya sambil kedua tangannya memeluk seekor kucing dengan bulu putih kecokelatan.
"Ada apa, Gempa?" tanya Taufan sambil mengelap tangannya yang basah dengan kain lap.
"Papa, Choco mau makan," kata Gempa sambil menunjukkan kucingnya pada Taufan.
"Kamu dapat darimana kucing ini?" tanya Taufan heran sambil memandangi kucing di tangan Gempa. Seingatnya Boboiboy dan Yaya tidak pernah memelihara kucing.
"Gempa nemu di jalan. Tapi, Mama bilang nggak boleh pelihara," jawab Gempa.
Taufan berjongkok agar bisa sejajar dengan Gempa. "Kalau Mama udah bilang nggak boleh, berarti Gempa nggak boleh bawa Choco ke dalam rumah lagi. Mengerti?" ujarnya lembut.
"Tapi Choconya kasian. Dia nggak punya rumah, dan Choco juga lapar," kata Gempa dengan wajah sedih.
"Kalau gitu sekarang kita kasih Choco makan. Tapi setelah itu, Choconya harus dilepasin lagi. Oke?" ucap Taufan.
"Papa juga nggak bolehin Gempa pelihara Choco?" tanya Gempa, mata cokelatnya terlihat berkaca-kaca.
Taufan buru-buru menenangkan Gempa, sebelum anak itu mulai menangis. "Boleh kok Gempa pelihara Choco. Tapi harus minta izin Mama dulu," kata Taufan.
"Mama udah bilang nggak boleh," ucap Gempa dengan suara bergetar.
"Nanti biar Papa yang ngomong ke Mama. Gimana?" tanya Taufan.
Gempa mengangguk senang, membuat Taufan menghembuskan nafas lega. Ia kemudian mengambil sebuah piring dari lemari dan mengisinya dengan nasi dan ikan untuk kucing yang dipungut Gempa itu. Setelah itu Gempa pun asyik bermain dnegan kucingnya, sehingga Taufan bisa kembali melanjutkan kegiatannya mencuci piring.
.
.
.
Gempa mengangkat sekeranjang penuh cucian dan membawanya ke halaman belakang. Langit terlihat cerah dan matahari juga bersinar terik, cuaca yang bagus untuk menjemur pakaian. Baru saja Gempa mengambil sepotong baju dari keranjang dan meletakkannya di tali jemuran, Halilintar tiba-tiba muncul sambil terengah-engah.
"Gempa, kau melihat Gempa?" tanya Halilintar panik.
"Hah?" tanya Gempa bingung.
"Gempa kecil. Apa kau melihatnya?" Halilintar kembali bertanya dengan tak sabaran.
"Tidak, kenapa? Gempa hilang?" tanya pemilik elemen tanah itu, ikut-ikutan panik.
"Waktu aku turun ke ruang keluarga Gempa sudah tidak ada di sana. Halilintar dan Taufan bilang dia pergi bermain dengan kucingnya," kata Halilintar.
"Memangnya kita punya peliharaan kucing?" tanya Gempa heran.
"Mana aku tau!" ucap Halilintar kesal. Di saat genting seperti ini, justru Gempa malah menanyakan hal itu. "Aku akan pergi mencarinya di dalam rumah."
"Kalau begitu aku akan cari di luar," kata Gempa. Keduanya kemudian berpencar mencari Gempa kecil.
Halilintar berjalan masuk lewat pintu belakang dan melangkah ke dapur. Ia melongok ke dalam dan langsung menghembuskan nafas lega saat melihat Gempa kecil tengah duduk di lantai sambil mengelus seekor kucing dengan bulu putih kecoklatan.
"Gempa! Darimana saja kamu? Papa mencarimu kemana-mana," kata Halilintar sambil berjalan menghampiri kembaran ketiga itu.
Gempa mendongak dan menatap Halilintar dengan bingung. Ia kemudian menoleh dan memandangi Taufan yang masih sibuk mencuci piring.
"Kenapa Papa ada dua?" tanya Gempa.
Taufan dan Halilintar saling berpandangan. Benar juga, ini pertama kalinya mereka berpecah menjadi tiga di depan anak-anak. Wajar saja Gempa merasa bingung.
"Begini Gempa, Papa sebenarnya bisa berpecah jadi tiga. Yang ini, yang pakai baju merah, namanya Papa Halilintar, dan ini Papa Taufan," jelas Taufan sambil menunjuk Halilintar dan dirinya sendiri.
"Papa Halilintar dan Papa Taufan? Kenapa namanya sama kayak kak Hali dan kak Taufan?" tanya Gempa lagi.
"Umm, Papa juga nggak tau. Mama yang bersikeras menamai kalian seperti itu," kata Taufan sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
"Apa Papa Gempa juga ada?" Bocah kecil itu terus memandangi kedua papanya dengan penasaran.
"Iya ada. Tunggu biar Papa panggilkan," kata Halilintar. Ia berlari keluar untuk memanggil Gempa, dan kembali tak lama setelahnya bersama elemental ketiga.
"Oh, Gempa. Ternyata kau di sini. Syukurlah," ucap Gempa lega saat melihat kembaran ketiga yang memiliki nama sama dengannya itu.
Anak berumur 3 tahun itu memandang ketiga ayahnya dengan wajah bingung bercampur penasaran. "Jadi Gempa punya tiga Papa?" tanyanya.
"Yah, begitulah," jawab Gempa sambil melirik kedua pecahannya yang lain.
"Kenapa biasanya cuma satu?" tanya bocah kecil itu lagi.
"Papa nggak bisa berpecah tiga setiap saat. Cuma di waktu-waktu tertentu aja. Misalnya kalau Papa harus membantu orang, atau kalau Mama lagi sibuk dan Papa harus jagain rumah," jelas Halilintar.
Gempa akhirnya mengangguk paham. Ia kembali mengelus kucingnya sambil terus memandang ketiga ayahnya dengan tatapan ingin tahu.
"Nah, ayo kita kembali ke tempat kakak-kakakmu," kata Halilintar. Ia segera menggendong Gempa kecil, yang langsung memeluk kucingnya, dan membawanya kembali ke ruang keluarga. Setelah Halilintar pergi dengan membawa Gempa kecil, Taufan dan Gempa kembali melanjutkan aktivitas mereka masing-masing.
.
.
.
Halilitar dan Taufan kecil masih tenggelam dalam keasyikan mereka menonton televisi saat Halilintar kembali bersama Gempa. Ia mendudukkan anak itu di depan TV, di sebelah kedua kakak kembarnya.
"Halilintar, Taufan, Papa mau ke belakang sebentar. Jaga adik kalian supaya tidak kabur lagi, ya?" ujar Halilitar pada dua kembaran tertua.
"Oke, Papa," jawab keduanya bersamaan.
"Gempa, jangan pergi kemana-mana lagi, ya? Nonton TV saja sama Halilintar dan Taufan," kata Halilintar lagi.
Gempa mengangguk kecil. Ia pun kemudian ikut menonton TV bersama kedua kakaknya, sementara Choco bergelung di pangkuannya.
Setelah yakin Gempa tidak akan menyelinap keluar lagi, Halilintar pun pergi ke belakang untuk mengambil vacuum cleaner. Karena sibuk mencari Gempa, ia belum sempat menjalankan tugasnya membersihkan ruang tamu dan ruang keluarga.
Saat Halilintar kembali, lagi-lagi hanya ada dua anak yang berada di ruang keluarga. Kali ini si kembaran kedua yang menghilang.
"Halilintar, di mana Taufan?" tanya Halilintar sambil memijat kepalanya. Baru juga ditinggal sebentar, lagi-lagi ada satu anak yang menghilang.
"Taufan bilang mau minum di dapur," jawab Halilintar kecil tanpa mengalihkan pandangannya dari televisi.
Pemilik kekuatan elemen petir itu menghela nafas. Ia menoleh ke arah Gempa yang ternyata telah tertidur di karpet sambil memeluk kucingnya. Baru saja Halilintar hendak pergi ke dapur untuk mengecek Taufan, sesuatu melesat masuk dari arah pintu.
"Whiiii!"
Halilintar ternganga melihat si kembaran kedua terbang berputar-putar di atasnya. Bocah kecil itu tertawa tergelak-gelak sambil merentangkan kedua tangannya, menikmati tubuhnya yang melayang di atas ruang keluarga.
"Taufan!" seru Halilintar panik bukan main. "Bagaimana bisa ..."
Sebuah jam tangan kebesaran berwarna biru muda melingkar di lengan kanan putra kedua Boboiboy dan Yaya itu. Itu pasti jam kuasa milik Taufan. Entah bagaimana anak itu bisa mendapatkannya, yang jelas Halilintar harus segera menurunkan Taufan dari atas sana, sebelum ia jatuh.
"Taufan, cepat turun! Nanti kamu bisa jatuh!" seru Halilintar, berusaha mengejar Taufan yang terus terbang dengan gembira.
Halilintar kecil yang tengah asyik menonton televisi, merasa terusik dengan suara berisik ayahnya dan akhirnya mengalihkan pandangan matanya dari film kartun yang tengah ditontonnya. Manik cokelatnya berbinar saat melihat adik kembarnya tengah melayang di atas kepalanya, sementara sang ayah sibuk mengejar si kembaran kedua itu dengan panik.
Sang kembaran tertua segera berlari dengan kaki-kaki kecilnya menuju sebuah rak buku yang terletak di sudut ruangan. Ia kemudian mulai memanjati rak itu agar bisa menggapai adik kembarnya yang masih terbang berputar-putar di langit-langit ruang keluarga.
"Halilintar! Jangan naik ke situ, bahaya!" seru Halilintar saat melihat si kembar yang memiliki nama sama dengannya itu sedang memanjat rak buku. Ia segera menurunkan Halilintar kecil dan mendudukkannya kembali di karpet.
"Tapi Hali juga mau kayak Taufan," rengek Halilintar kecil.
"Nggak boleh, bahaya!" kata Halilintar dengan nada sedikit meninggi. Kesabarannya kini mulai menipis. Di antara ketiga elemental Boboiboy, memang diirnyalah yang paling sulit mengontrol emosi. Mungkin seharusnya ia tidak menawarkan diri untuk menjaga ketiga anak kembar ini.
Jeritan Taufan membuat jantung Halilintar mencelos. Ia berbalik dan melihat si kembaran kedua meluncur jatuh saat jam kuasa yang dipakainya —yang memang terllau kebesaran untuk lengan mungilnya— terlepas. Untunglah Halilintar sempat menangkapnya sebelum anak itu jatuh menghantam lantai.
Mungkin karena terkejut, atau karena takut, Taufan langsung menangis begitu Halilintar berhasil menangkapnya. Entah karena alasan apa, Halilintar kecil akhirnya juga ikut menangis. Halilintar terlihat kebingungan setengah mati melihat dua anak kembar itu menangis berbarengan. Gempa yang sedari tadi tertidur, akhirnya terbangun karena mendengar tangisan kedua kakaknya. Sudah cukup bagi Halilintar melihat kedua kembaran tertua menangis, kini si kembaran terkecil juga mulai ikut-ikutan menangis.
Gempa dan Taufan yang telah selesai mengerjakan tugas mereka, buru-buru berlari ke ruang keluarga saat mendengar tangisan ketiga kembaran itu. Saat tiba di ruangan itu, mereka melihat tiga anak kecil itu menangis, sementara Halilintar tengah menjedukkan kepalanya berulang kali ke lantai.
"Halilintar, apa yang terjadi?" tanya Taufan bingung melihat pemandangan di hadapannya.
"Aku tidak tahan lagi!" seru Halilintar frustasi, masih terus membenturkan kepalanya ke lantai.
"Tenanglah dulu, Halilintar," ujar Gempa. Ia menghampiri ketiga putranya dan berusaha menenangkan mereka.
Halilintar dan Taufan kecil terdiam saat melihat Gempa. Wajah polos mereka terlihat kebingungan saat melihat ketiga elemental Boboiboy.
"Kenapa Papa ada tiga?" tanya Taufan kecil bingung.
Taufan dan Gempa saling berpandangan, sementara Halilintar masih sibuk melampiaskan emosinya seorang diri.
"Jadi kita harus memperkenalkan diri lagi, ya?" gumam Taufan, diiringi anggukan dari Gempa.
"Begini Halilintar, Taufan. Papa punya jam kuasa yang bisa membuat Papa berpecah jadi tiga. Jadi yang ini namanya Papa Halilintar," kata Gempa sambil menunjuk Halilintar. "Yang ini Papa Taufan," lanjutnya lagi, kali ini menunjuk Taufan.
"Dan ini Papa Gempa," lanjut Taufan, menunjuk Gempa.
"Kenapa nama Papa jadi sama dengan kami? Bukannya Mama biasanya panggil Papa Boboiboy?" tanya Halilintar kecil bingung.
"Umm, iya. Itu nama asli Papa. Tapi kalau berpecah tiga, namanya jadi sama seperti kalian," jelas Gempa.
"Kenapa bisa kayak gitu?" tanya Taufan kecil.
"Ceritanya panjang. Nanti kalau kalian sudah besar, pasti Papa ceritain," ujar Gempa.
Ketiga anak kembar itu mengangguk-angguk. "Berarti Papa Halilintar itu papanya Hali, Papa Taufan papanya Taufan, dan Papa Gempa papanya Gempa?" tanya Halilintar lagi.
"Bukan begitu. Kami semua sebenarnya sama. Papa Halilintar juga papanya Taufan dan Gempa, dan Papa Taufan dan Papa Gempa juga papanya Halilintar. Kalian mengerti?" jelas Gempa lagi.
Ketiga anak kecil itu kembali mengangguk. Gempa pun mengelus kepala mereka dengan lembut.
"Mungkin lebih baik kita bersatu kembali, supaya mereka tidak bingung lagi," saran Taufan. Gempa dan Halilintar mengangguk setuju. Ketiganya kemudian berdiri berdampingan dan bersiap menyatu kembali, sampai Taufan tiba-tiba menyadari bahwa ia belum memakai jam kuasanya.
"Ah, jam kuasaku masih di dapur. Aku akan pergi mengambilnya," kata Taufan.
"Tidak perlu," ucap Halilintar. Ia mengambil jam kuasa Taufan yang tadi dijatuhkan oleh Taufan kecil dan membrikannya kepada pemilik kekuatan angin itu.
"Kenapa bisa ada di sini?" tanya Taufan bingung.
"Tadi Taufan kecil mengambilnya dan menggunakannya," kata Halilintar.
"Benarkah? Taufan bisa menggunakannya?" tanya Taufan bersemangat.
"Ya. Dia tadi terbang berputar-putar di langit-langit," jawab Halilintar, berusaha agar tidak emosi lagi.
"Sungguh? Wah, anak Papa memang hebat," puji Taufan sambil mengelus kepala Taufan kecil.
"Hebat? Dia bisa jatuh dan terluka tau!" kata Halilintar kesal. "Kalau lain kali kau meletakkan jam kuasamu sembarangan lagi, aku tidak akan segan-segan menghajarmu," ancam pemilik kuasa petir itu.
"Kau pikir aku takut dengan ancamanmu?" balas Taufan.
"Oh, kau berani menantangku?" Petir berkilat-kilat di sekeliling Halilintar, membuatnya terlihat mengerikan.
"Sudahlah. Jangan bertengkar di depan anak-anak," lerai Gempa. Ia melirik ke arah tiga anak kembar yang tengah melongo melihat ayah-ayah mereka bertengkar. "Ayo, kita bersatu kembali," ujarnya.
Hanya dalam waktu beberapa detik, ketiga elemental Boboiboy pun kembali bersatu. Ayah dari tiga anak itu mendesah pelan, dan merasa sedikit kelelahan.
"Kemana papa-papa yang lain?" tanya Gempa kecil.
"Mereka harus pergi beristirahat. Nanti kapan-kapan mereka pasti datang lagi," ujar Boboiboy lembut.
Tiga balita itu mengangguk paham. Boboiboy menatap jam di dinding yang menunjukkan pukul 11 siang. Sudah hampir waktunya makan siang. Persediaan di kulkas sudah hampir habis. Ini berarti Boboiboy harus pergi ke supermarket untuk membeli bahan-bahan untuk dimasak.
"Kalian mau ikut Papa belanja?" tanya Boboiboy pada ketiga jagoan kecilnya.
"Mau!" sahut ketiganya antusias.
"Kalau begitu, ayo kita siap-siap," kata Boboiboy. Ia menggendong si kecil Gempa, dan menggandeng Halilintar dan Taufan, kemudian membawa ketiganya naik ke kamar untuk berganti baju.
.
.
.
TBC
Awalnya mau buat one shot, tapi akhirnya diputuskan untuk jadiin two shot aja, biar nggak terlalu panjang.
Ide cerita udah muter-muter di kepala sejak kemarin, karena nggak tahan akhirnya dituangkan jadi fic.
Memang terlalu gaje dan absurd, tapi mudah-mudahan bisa sedikit menghibur u.u
Oke, see you in next chapter.
Review, please?
