Slave

Disclaimer:

All the caracter from the Naruto is Masashi Kishimoto's

This FanFiction is original by Yoshi Funf-kun

Thanks for Devy Fatmawati who "beta-ing" this FanFiction.

Genre: Hurt/Comfort, Romance

Rated: M

Pair: Sasuke Uchiha x Hinata Hyuuga

[Slight: SasuSaku, NaruHina, NaruSaku]

WARNING!

OOC, AU, Typo, Sekali lagi ini rate M (MATURE! MATURE SODARA-SODAra! ALIAS BUAT 17+) bab awal masih nggak ada anu-anunya mungkin di chap depan.

Dan... NO FLAME! mau bacot soal pair silahkan saja, saya tidak peduli.

.

.

.


Konoha International High School atau biasa dikenal dengan KIHS adalah sebuah sekolah bergengsi tinggi dan terkenal hampir di seluruh tanah Jepang. Letaknya hanya beberapa meter dari timur Tokyo. Membuat sekolah swasta ini menjadi cukup strategis.

Jangan tanyakan lagi kualitas pendidikan dari sekolah yang memiliki luas lebih dari 5 hektar ini. Hampir setiap tahun siswa mereka dikirim untuk mengikuti olimpiade baik di bidang pelajaran maupun olahraga. Dan hasilnya, mereka dipastikan pulang membawa piala kemenangan.

Dan karena pendidikan spesial yang dimiliki KIHS, biaya pendidikan bersekolah di sana tidaklah remeh. Hampir seluruh peserta didik KIHS memiliki orang tua yang berpengaruh di Jepang. Uchiha–keluarga konglomerat yang kabarnya menguasai hampir 50% keuangan Jepang. Uzumaki–keluarga parlementer paling berpengaruh di Jepang. Hyuuga–kekayaannya hampir menyamai Uchiha. Haruno–keluarga pendiri yayasan pendidikan internasional sekaligus pemilik sah KIHS. Dan beberapa keluarga berpengaruh lainnya.

Bahkan dalam hal penggolongan kelas pun tidak main-main. Setiap tahun kenaikan diadakan pre-test yang nantinya akan menentukan kelas mana yang akan dihuni sang siswa nantinya.

Seperti halnya kelas 3-1 yang disebut-sebut sebagai kelasnya para jenius. Kelas berisi para siswa berotak encer yang sudah ditempat lama di KIHS.

"Yoo~ Selamat pagi semuanya," sebuah sapaan ceria menggema dari arah pintu kelas 3-1. Senyuman lima jari dan lambaian tangan entah pada siapa itu seakan sudah menjadi bel pagi kelas 3-1.

Uzumaki Naruto. Siswa jenius peraih olimpiade Tennis internasional. Berambut pirang jabrik dan memiliki tanda lahir beberntuk kumis kucing, yang entah kenapa membuat pemuda itu nampak semakin manis.

"S-selamat p-pagi, N-Naruto K-Kun," sebuah kikikan pelan terdengar dari seorang gadis yang duduk tidak jauh dari Naruto.

Hyuuga Hinata. Salah satu siswi kebanggaan KIHS. Saat ini Hinata memiliki sebuah riset tentang pengembangan pakanan hewan.

"Yosh. Kali ini jawabanmu sedikit lebih jelas Hinata-chan," Naruto menimpali.

Hyuuga muda itu hanya bisa menundukkan wajahnya yang memerah.

"Haaahhh~ santai sekali kau. Hari ini kita ada ujiannya Kakashi-sensei loh." Sebuah helaan nafas dan gumanan terdengar.

Haruno Sakura. Sisiwi jenius yang sudah dilirik oleh rumah sakit besar Tokyo karena segudang prestasi yang dimilikinya.

"Matematika kan?" Naruto menyebutkan materi pelajaran yang dipegang oleh Kakashi-sensei, berikutnya kepala dan matanya sudah berpaling ke arah siswa yang duduk di sebelah kanannya. "Temeeeee~"

"Tidak." Sebuah kata singkat, padat, dan jelas terdengar.

Uchiha Sasuke. Idola seluruh siswi di KIHS. salah satu CEO termuda di Jepang, apalagi untuk ukuran pemiliki Uchiha Corporation.

"Cih. Sekali-kali berbaik hatilah padaku Teme."

"Sudah-sudah kalian berdua," Sakura menyudahi pertengkaran antara makhluk blonde dan raven tersebut.

"Sakura-chan aku heran bagaimana kau bisa bertahan dengan Sasuke," Naruto menunjuk wajah Sasuke dengan telunjuk tan miliknya.

"Ahahaha..." Sakura hanya bisa tertawa garing saat Naruto mulai meracau begitu.

Semuanya nampak tenang. Berlangsung baik-baik saja dan seperti biasa. Sebuah hari-hari normal yang dimiliki siswa-siswi jenius.

Naruto sudah duduk tenang di meja paling depan. Beberapa detik lalu bel masuk pelajaran sudah berbunyi dengan nyaring . Kelas 3-1 seketika menjadi hening dan tenang.

Pintu geser kelas 3-1 tiba-tiba terbuka dan munculah sosok pria setengah baya dengan rambutnya yang sudah beruban–julukan dari Naruto–dengan memakai masker memasuki kelas.

"Bagaimana? Kalian sudah siap?" Kedua bola mata hitam Kakashi mengedar ke seluruh penjuru ruangan kelas 3-1.

"Tentu saja kalian siap. Letakkan seluruh peralatan kalian ke dalam tas dan di atas meja hanya ada alat tulis," perintah Kakashi-sensei.

Serentak seluruh siswa kelas 3-1 melaksanakan apa yang diperintahkan oleh Kakashi-sensei!

.

.

.

Kelas 3-1 seakan menjadi kelas paling sunyi diantara seluruh kelas di KIHS. Bahkan bunyi jarum jam pun bisa terdengar. Seluruh siswa nampak serius mengerjakan lembaran soal yang sudah dibagikan oleh Kakashi-sensei sejak setengah jam yang lalu.

Hinata dengan tenang meletakkan pensilnya dan bernafas lega. Ia telah berhasil menyelesaikan soal-soal ujiannya. Mata lavendernya menatap lurus ke depan terlihat bayang-bayang seorang pria berambut blonde tengah sibuk mengerjakan ujiannya.

Ruam panas pada wajah Hinata kembali membuat wajahnya memerah. Lucu, pria blonde itu sangat lucu. Hinata menerka pasti akan menyenangkan jika bisa mengamati wajah sang pria yang sedang kesusahan mencari jawaban untuk setiap soal.

Hinata terkikik geli.

"Baik waktu habis. Yang duduk di belakang tolong tarik jawabannya ke depan," ucap Kakashi-sensei mutlak.

Hinata duduk di bangku paling belakang segera berdiri, mengambil kertas jawabannya, dan berjalan kedepan dengan mengambil setiap kertas jawaban teman-temannya.

Hingga pada bangku terdepan pekerjaan Hinata terhenti. Itu meja Naruto. Si Uzumaki masih terus saja berusaha mengerjakan sisa-sisa soal yang belum terselesaikan. Dengan penulisan berkecepatan tinggi, membuat semua tulisannya tidak karuan.

Lucu. Naruto selalu saja berhasil membuatnya tersenyum samar seperti ini. Detak jantung dalam dada Hinata mulai bertambah ritmenya setiap detik ia mengamati si pirang yang berwajah kesusahan. Hinata menunggu. Menunggu Naruto dengan ikhlas memberikan kertas jawabannya.

"Uzumaki! Uzumaki Naruto! Letakkan pensilmu dan serahkan jawabanmu!" suara baritone khas pria paruh baya Kakashi-sensei menggema disertai dengan pukulan keras pada meja guru, "Hyuuga ambil kertasnya!"

"Tunggu! Tunggu Hinata! Sebentar!" Naruto menambah kecepatan menulisnya.

"Hoy Naruto sudah selesai!" dari arah belakang Kiba mendorong-dorong punggung Naruto.

"Uzumaki!"

"Naruto!"

"Hyuuga tarik jawabannya!"

Hinata yang merasa namanya terpanggil menjadi kebingungan. Dia tidak bisa seenaknya menarik jawaban Naruto. Yang benar saja, tangannya saja sudah gemetaran sejak tadi.

"Hoy Naruto!" Kiba berteriak lagi dari belakang.

"Iya iya!" Dengan ogah Naruto memberikan jawabannya dan segera menolehkan kepalanya kebelakang—ke arah Kiba, "Kiba kau berisik sekali sih!"

Setelah menerima jawaban dari Naruto, Hinata segera memberikan semua jawaban soal kepada Kakashi-sensei.

"Baik. Sampai jumpa pada pertemuan berikutnya," setelah mengakhiri ucapannya, Kakashi-sensei melangkahkan kakinya keluar kelas 3-1.

Naruto dengan kedutan menempel pada dahinya mengamati kepergian Kakashi-sensei dengan wajah jengkel. "Si Uban sialan itu! Soal yang diberikan sama sekali tidak manusiawi!"

"Haah… Kau saja yang terlalu bodoh untuk mengerjakan soal mudah seperti itu Naruto," Sakura dari belakang menimpali.

Naruto dengan segera memutar kepalanya ke belakang dan menghadap si kepala pink.

"Ayolah Sakura-chan. Kau sama sekali tidak membantuku tadi," Naruto menghembuskan nafasnya berat.

"Ini Ujian Naruto. Bukan tugas," Sakura sweatdrop.

Mata sapphire Naruto tidak sengaja melirik seorang siswa yang tengah membaca sebuah buku bercover membosankan dan memiliki judul tak kalah membosankan. Dari balik buku tebal yang dibaca sang siswa terlihat sembulan rambut raven.

"Hei Teme, bagaimana menurutmu ujian si uban tadi?"

Uchiha Sasuke menurunkan bukunya dan dengan tatapan datarnya ia menimpali, "sangat mudah."

"A-apa!?" Menyebalkan! Rasanya seperti ingin melempar puluhan rasnegan shuriken ke arah wajahnya yang datar itu. Bayangkan saja, dengan wajah datarnya dia berkata santai bahwa soal yang tidak manusiawi itu sangat mudah. "Aku mengerti Teme… soal tadi memang sangat mudah…" Naruto mengeratkan giginya menahan kobaran api kesal dalam dirinya.

Hinata dari belakang terus mengamati setiap tingkah dari Naruto. Sesekali bibirnya mengembang membentuk senyuman setiap kali mendapati si pirang bertingkah konyol.

"Ah, Hinata-chan bagaimana denganmu? Kau mendapatkan kesusahan tadi?" Sakura tersenyum ke arah Hinata.

"Eh?" Hinata mengejamkan matanya sesekali. Sekarang pandangan Naruto ikut terarah kepadanya.

Blush. Dengan cepat ruam merah menguasai wajahnya yang bersih.

"A-anno… a-aku t-ta-tadi… a-agak k-kesusahan d-di n-no-nomor l-lima s-saja k-kok…" Akhirnya Hinata menyelesaikan kalimatnya. Kepalanya masih menunduk menatapi tangannya yang menyengkram kuat rok birunya.

Konyol sekali rasanya. Padahal ia sekarang sedang berbicara dengan Sakura. Naruto hanya tidak sengaja memperhatikan tadi. Kenapa mendadak jantungnya seakan mau melompat keluar sekarang? Debarannya bahkan sampai terdengar di telinganya. Sebegitu hebatnya kah tatapan mata biru Naruto kepadanya?

"Nomor lima yah… aku juga hampir mengalami kesulitan di situ. Tapi syukurlah aku tahu cara penyelesainnya dengan cepat," Sakura kembali tersenyum.

"Menurtku dari nomor satu sampai sepuluh tadi menyusahkan semua," Naruto kembali menggerut.

"Mungkin nilaimu akan menjadi yang terburuk di kelas Naruto," Sakura menaikan satu alisnya berniat mengejek Naruto.

"Jangan begitu lah Sakura-chan…"

"…" sekilas kedua mata kelam milik seorang Uchiha bungsu melirik ke arah gadis lavender yang duduk di belakang deretan bangku Naruto.

.

.

.

"Hinata, kau menyukai Naruto kan?"

Sakura dan Hinata sedang berada di kantin sekolah sekarang, bel istirahata sudah berbunyi lebih dari 15 menit yang lalu.

"UHUK! Uhuk… ukh…" Hinata yang tengah asyik meminum jus lemon tiba-tiba tersedak setelah mendengar pertanyaan yang dilontarkan oleh Sakura. Jus lemon yang seharusnya mengalir masuk melewati kerongkongannya, menjadi masuk ke dalam tenggorokannya dan membuatnya terbatuk.

"Ah! Maaf! Maaf!" Sakura dengan cepat membersihkan cipratan jus lemon pada pakaian dan mulut Hinata dengan sapu tangannya.

"Tak apa, Sakura-san," Hinata mengambil alih sapu tangan Hinata dan membersihkan dirinya sendiri.

"Jadi… aku benar kan? Kau menyukai Naruto?" Sakura kembali mengulang pertanyaanya.

Hinata terdiam sejenak. Kepala levendernya ia tundukkan.

"Naruto memang keren dan periang sih, jadi hal yang wajar jika kau menyukainya Hinata."

Hinata mengangguk perlahan.

Sakura tersenyum lebar setelah mendapat jawaban dari Hinata. "Haah, si bodoh itu. Sama sekali tidak peka bahwa ada gadis semanis dirimu yang sedang menyuakinya," Sakura menghelakan nafasnya.

"T-Tapi jangan katakan hal ini kepada Naruto-kun!" Hinata dengan segera mendongkakkan kepalanya dan menatap Sakura lekat—walau dengan ruam merah di wajahnya.

"Iya tenang saja, aku juga… akan membantu hubunganmu dengan Naruto."

"B-benarkah S-Sakura-s-san?"

Sakura mengangguk.

"Syukurlah, terima kasih Sakura-san," Hinata tersenyum tulus dan menggenggam kedua tangan Sakura.

Sebuah dering ponsel terdengar.

"Ah? Ponselmu berbunyi Hinata."

"Benar. Maaf, sebentar Sakura-san," Hinata bangkit dari duduknya dan mengambil ponsel dari saku blazer-nya.

"Tou-sama?" Hinata berguman bingung. Jarang sekali ayahnya menelepon di jam sekolah seperti ini. Mendadak firasat buruk menguasai pikirannya.

Digesernya permukaan layar ponsel touch-screen miliknya untuk mengalihkan pada penerimaan telepon. Kemudian didekatkannya ponsel tersebut pada telinganya.

"Hinata?" suara Hiashi dari sebrang sana seketika menyeruak membuat firasat buruk Hinata menguat. Nada ketakutan begitu ketara pada suara ayahnya barusan.

"I-Iya Tou-sama?"

"Dengarkan Tou-sama Hinata…" Hinata menahan nafas menyadari nada bicara ayahnya yang sama sekali tidak main-main, "Hyuuga bangkrut!."

DEG.

Hinata membatu seketika. Jatungnya berdetak dengan sangat perlahan.

"Tou-sama akan menjemputmu sekarang dalam 5 menit. Tunggu Tou-sama di ruang kepala sekolah. Tou-sama akan menjelaskan semuanya. Telepon ini disadap." Dan telepon ditutup secara sepihak oleh kepala keluarga Hyuuga.

"…" Hinata masih terdiam. Walau pada teleponnya sekarang hanya terdengar bunyi 'Tuut-Tuut' putus-putus.

Melihat Hinata seperti itu tentunya membuat Sakura memiliki tanda tanya besar.

"Hinata? Ada masalah?" Sakura mulai bangkit dari duduknya dan mendekati Hinata.

"…" Hinata masih terdiam.

"Hinata?"

"…" Hinata tak menjawab. Tapi tangannya mulai menjauhkan ponselnya dari telinganya dan ia menatap layar ponselnya. Di sana tertera sebuah kata, 'Sorry, this IP was blocked.' Ponselnya telah terblokir. Perkataan ayahnya sama sekali bukan candaan.

"Hinata?" Kini Sakura sudah berdiri di depan Hinata yang tengah menundukkan kepalanya.

"Hei, ada apa Hinata?" Sakura memegang kedua bahu Hinata. Menggoyangkannya pelan.

Hinata terus membisu. Membuat kedua alis Sakura bertaut khawatir.

Emerald Sakura melebar seketika saat melihat sebuah cairan bening mengalir turun pada wajah Hinata yang tertutupi rambut lavendernya. Pundak Hinata juga terasa bergetar hebat.

"Hinata! Hinata! Ada apa sebenarnya!?" Sakura sudah tidak bisa menahan rasa penasaran dan rasa khawatirnya.

"Hyuuga… bangkrut… Tou-sama akan segera menjemputku. Aku harus segera menuju ruang kepala sekolah," Hinata menepis tangan Sakura dan segera berlari menuju ruang kepala sekolah.

.

.

.

Setelah kembali dari kelasnya dan mengemasi buku-bukunya—yang tentu saja membuat Hinata mendapat beberapa pertanyaan dari seluruh temannya karena merasa aneh dengan Hinata yang tiba-tiba muncul dan mengemasi seluruh barangnya–Hinata tanpa sopan santun membuka ruang kepala sekolah.

Seorang wanita paruh baya menyambut Hinata dengan tatapan tidak suka. Perempuan itu terlihat sangat cantik dengan rambut pirang dan mata jade miliknya.

Melihat penampilan Hinata yang acak-acakan dan kabar di telivisi pada ruangannya yang sedang menyala menyiarkan sebuah berita panas membuatnya mengerti apa yang terjadi.

"Masuklah Hyuuga. Silahkan duduk," dengan nada berwibawa sang kepala sekolah—Tsunade Senju—mempersilahkan Hinata duduk.

Perlahan Hinata memasuki ruangan itu dan segera menuju sofa yang dimaksud setelah menutup ruang kepala sekolah.

"Ibu mengerti apa yang terjadi. Dan barusan Hyuuga Hiashi—ayahmu—sudah menelepon," Tsunade menopangkan dagunya pada kedua tanganya yang tertaut.

Dan tanpa berselang beberapa detik, pintu ruangan serba coklat itu kembali terbuka. Menampakan seorang pria bermata athemys yang sama dengan milik Hinata dengan ekspresi yang lebih acak-acakan.

"Senju-san, saya di sini untuk menjemput anak saya," tanpa basa-basi Hyuuga Hiashi mengizinkan anaknya untuk pulang.

Masih dengan wajah tenangnya Tsunade berkata, "semoga anda bisa menyelesaikan masalah ini dengan cepat Hyuuga-san."

Hinata yang mengerti kalimat kepala sekolah barusan juga bermakna ia diizinkan untuk pulang bersama ayahnya, segera bangkit dan keluar ruangan kepala sekolah bersama ayahnya.

"Dengarkan baik-baik Tou-sama Hinata."

Keduanya kini sedang berada dalam mobil Porsche 356A lama milik Hiashi Hyuuga. Pertanyaan kembali muncul pada benak Hinata. Kenapa ayahnya menggunakan mobil tua ini? Bukannya ayahnya sudah malas menggendari mobil tua itu karena biaya perawatannya yang kelewat mahal?

Hinata menegguk ludahnya mempersiapkan diri.

"Hyuuga bangkrut. Hoshigaki menghancurkan pasar saham dan membuat Hyuuga tersandung korupsi saham dunia, FBI mengira ini bagian dari bentuk baru penjajahan Jepang. Maka mereka bertindak cepat dan menyita semua asset perusahaan dan keluarga. Aburame, dan Akimichi juga tersangkut masalah ini. Jaringan ponsel Hyuuga diblokir. Semuanya di sadap. Oleh sebeb itu ayah menggunakan mobil tua ini karena susah untuk disadap.

"Sekarang kita akan pulang. Jangan kaget jika nanti kau melihat perusahaan properti mengangkut barang kita. Tou-sama akan membawamu memasuki ruang rahasia milik Tou-sama dan memberikanmu sejumlah uang. Kau harus gunakan uang itu sebaik mungkin sampai Tou-sama menyelesaikan masalah ini. Mengerti Hinata?" Hiashi mengakhiri cerita panjangnya.

"T-Tunggu Tou-sama. Lalu bagaimana dengan H-Hanabi!?"

"Hanabi akan dititpkan pada kerabat jauh ibumu yang di Mexico. Semua keluarga besar Hyuuga tengah dalam kesusahan. Tidak ada satupun keluarga Hyuuga yang bisa membantu kita. Aku juga sudah menyiapkan sebuah apartemen kecil milik kenalan lama Tou-sama, kau bisa tinggal di sana dengan gratis."

Di depan Hinata, pemandangan lalu lintas terlihat sangat ramai, namun entah kenapa pandangannya sangat kosong. Hampa!.

Beberapa jam lalu semua terlihat sangat normal. Perasaan lega setelah berhasil menyelesaikan ujian, perasaan jatuh hati yang ia rasakan kepada Uzumaki Naruto, perasaan bahagia atas persahabatanya di kelas 3-1, kemana perginya semua perasaannya tadi?

"Dan satu lagi Hinata…"

Hinata mendongkakkan kepalanya.

"Mulai sekarang kau sudah tidak bisa bersekolah lagi di KIHS karena uang yang ayah berikan untukmu lebih baik kau gunakan untuk biaya hidup, dan untuk berjaga-jaga dari para agen yang akan membawamu karena kasus ini lebih baik kau tidak ke sekolah."

Athemys Hinata terbelalak seketika.

To Be Continuted-


Hai! Hai! kembali lagi dengan Yoshi Funf-kun~

Melalui judul baru cerita saya ini, saya ingin meminta maaf keada seluruh reader di sini yang membaca The Polaroid Camera dan Dark Love. Keduanya telah dijemput oleh sang maha kuasa alias saya sudah kehilangan ide cerita dari kedua cerita tersebut. Sekali lagi maafkan saya.

Mengenai chapter awal ini, sepertinya genrenya masih Friendship yah, tapi yasudahlah nanti chap depan semoga Friendshipnya ilang.

Yosh~ Yosh~ Bagaimana perasaan sodara-sodara setelah membaca cerita di atas?

Mual? Muntah? Letih? Lesu?

Silahkan tuangkan semuanya di kolom review

Sign- Yoshi Funf-kun