Ying memandang langit langit kamar Yaya, melamun.

Ia melamunkan tentang orang yang kini tertidur di atas meja belajar sana. Orang yang dengan sukarela berbagi kamar dan kehidupan padanya. Orang yang dulu ia injak injak dan ia hina habis habisan. Orang yang ia tidak bisa pahami jalan pikirnya sampai sekarang, dan membuat ia juga tak bisa memahami jalan pikirannya sendiri.

Yaya...

Mengapa ia bisa tiba tiba menjadi baik padanya? Bukankah seharusnya ia marah marah dan tidak sudi bersama Yaya sekarang? Mengapa ia begini, bahkan sampai membelikan sepeda motor dan gadget untuk mereka berdua? Apa yang membuat ia menjadi sebaik ini? Ying menggelengkan kepalanya. Apakah dia kesetanan? Atau mungkin lebih cocok disebut 'kemalaikatan'. Mungkin malaikat memang benar benar merasukinya hingga begini.

Ya, mungkin.

.

.

.

Warning: rating T, genrenya angst, pairing Ying x Yaya as a friend, gatau apa ada cinta cintaannya atau nggak.

Boboiboy charas are Animonsta's

Happy reading!

.

.

.

Pagi hari.

Ying mengerjapkan matanya, melawan kantuk dan mengumpulkan kesadaran. Sudah 2 malam ia tidur di tempat ini. Jujur, bagi tubuhnya ia sangat merindukan kasur lamanya yang super empuk, bukannya tidur di kasur yang murahan seperti ini. Ying terduduk dan mengelus punggungnya, matanya lurus menghadap Yaya yang tertidur di meja belajar. Ying menggelengkan kepalanya, menjejakkan kaki di atas lantai dan mulai melakukan peregangan. Syukurlah, Yaya adalah anak yang pembersih –ia kira semua orang kelas menegah kebawah kehidupannya sangat kotor—, jadi ia tak perlu merasa jijik. Setelah merasa tubuhnya lebih segar, ia mengambil handuknya dan bergegas mandi.

Ying melangkah ubin demi ubin, melihat ke kanan dan ke kiri sembari melangkahkan kaki menuju kamar mandi. Ia berjalan lebih lambat, ingin menikmati suasana pagi dan keindahan rumah ini. Ia tahu betul, arsitektur dan desain rumah ini tidaklah sembarangan meskipun ukurannya tidak terlalu besar. Mungkin keluarga pemilik rumah ini cukup lumayan, pikirnya. Kakinya perlahan berhenti melangkah, matanya fokus mengamati kaca buram dengan struktur yang indah dan halus, membatasi jalannya dengan dapur. Tangannya bergerak mengamati kaca tersebut, kaca ini mirip dengan yang berada di dapurnya. Walaupun sama sama indah dan kelihatannya mahal, kaca ini kualitasnya jauh dengan yang berada di rumahnya dulu. Ia mulai bernostalgia sesaat.

Namun nostalgianya menguap saat fokusnya teralihkan pada siluet yang berada di balik kaca itu. Matanya membelalak, dan secara spontan ia menutup mulutnya yang menganga. Bukan, itu bukan hantu. Itu hanyalah siluet seorang remaja, sepertinya. Namun bukan itu yang membuatnya kaget, melainkan...

Pakaian yang dipakai anak itu...

Bukan seragam sekolah yang sama dengannya, kan?

Ying mencoba lebih fokus melihatnya. Siluet itu terlihat sedikit tinggi darinya, samar samar terlihat sedang mengambil air minum. Ying mundur sedikit ke arah pinggir kaca lalu kepalanya muncul sedikit dari samping kaca, dan shock saat ia melihat bahwa yang dipakai anak itu benar benar seragam sekolah yang sama dengan miliknya. Ying ingin melihat wajahnya, namun sayang posisi anak itu memunggungi dirinya.

Ying segera berlari hingga sampai ke depan pintu kamar mandi. Dengan nafas terengah engah, ia kembali memikirkan suatu fakta yang baru ditemuinya tadi. Seorang anak laki laki yang sedang minum di dapur dan menggunakan seragam yang sama dengan seragam sekolahnya. Apa itu anak keluarga rumah ini? Berarti... anak keluarga rumah ini bersekolah di tempat yang sama dengannya?

Atau mungkin itu penghuni kos yang lain... siapa namanya? Kak Fadil? Fahmi? Entahlah, Ying lupa. Tapi kata Yaya kedua teman kosnya sudah kuliah, berarti bukan mereka. Jadi itu siapa? Hanya orang yang berkunjung? Ying melirik jam tangannya, jam setengah lima pagi. Siapa yang mau datang pagi pagi begini?

Ya... kemungkinan besar itu anak pemilik rumah ini.

Tunggu, berarti dia sejak lama sudah satu sekolah dengan Yaya juga, kan?

Ying mulai bergosip di dalam kepalanya sendiri.

[Kepala1 : apa dia memiliki hubungan dengan Yaya?

Kepala2 : ah, masa? Lagipula Yaya itu kan pendiam. Dan lagipula Yaya itu kan udik, eh.

Kepala1 : udik udik gitu dia yang nolong yang punya ini kepala loh.

Kepala2 : tapi kamu yakin kalau Yaya punya hubungan sama anak itu?

Kepala1 : tapi yang terpenting, siapa anak itu?]

Ying menggelengkan isi kepalanya yang mulai tidak jelas itu, lalu segera masuk ke dalam kamar mandi

I

Yaya membuka matanya dan mendapati ia tertidur lagi di meja belajar. Badannya terasa lelah, dan rasanya ia ingin mencatat di kepalanya baik baik bahwa ia harus tidur di kasur nanti malam. Ia sedikit membersihkan wajahnya dengan sapuan tangan, dan mendapati bahwa tidak ada Ying di kamarnya. Pasti sedang mandi.

Yaya beranjak, mengambil handuknya lalu keluar dari kamar. Baru selangkah berjalan, ia melihat anak laki laki seumurannya tengah menyampirkan tasnya di bahu. Ia tak terlalu sering berbicara dengannya, tetapi tidak jarang juga. Ya, paling terkadang mengobrol ringan saja. Dia tidak bisa dikatakan berteman dengan Yaya, tetapi tidak menghindar juga. Intinya, mereka berdua terlalu sibuk dan juga tidak terlalu mau untuk sering bertatap muka.

Namun, jika melihatnya sekarang, tak mungkin Yaya pura pura tidak sadar dan berjalan ke arah kamar mandi. Tidak sopan bukan bila tidak menegur anggota keluarga yang telah menyediakannya tempat tinggal dan bahkan memberikan beberapa bantuan padanya? Jadi ia memutuskan untuk pergi kesana dan menyapa.

"Hei— pagi pagi sekali."

Dia yang sedang memakai sepatu menoleh ke arah Yaya. "Oh, Yaya. Selamat pagi. Ya biasalah, kau tahu kan?" Ia melihat handuk yang tersampir di bahu Yaya. "Mau mandi?"

Yaya mengangguk. "Iya, tapi sedang ada orang didalam. Jadi aku menunggu."

"Oh, kemarin Ibu berkata bahwa kau membawa seorang teman untuk tinggal bersamamu."

"Ya, begitulah." Yaya samar samar mendengar suara pintu kamar mandi terbuka. "Oh, sepertinya dia sudah keluar. Aku mandi dulu ya."

Anak itu hanya mengangguk dan Yaya melangkah menjauh, menuju kamar mandi. Bahkan dia tidak menanyakan siapa teman yang Yaya bawa. Dia kelihatan buru buru tadi, pikir Yaya. Namun Yaya juga tak berharap respon balik dari anak itu, jadi dia hanya menggelengkan kepalanya dan menuju kamar mandi. Tepat setelah Yaya berdiri di depan kamar mandi, Ying keluar dengan handuk melilit di kepalanya.

"Lama sekali."

Ying membuang muka dan mengangkat dagunya, "kalau mandi itu harus detail membersihkannya. Apalagi, jika sabunnya tidak terlalu bagus."

Padahal sabun yang di kamar mandi itu bermerek menengah keatas, pikir Yaya. Karena mereknya tergolong lumayan mahal, maka Yaya memakainya sedikit saja, sekedar agar tubuhnya bersih. Namun sepertinya lain kalau itu adalah Ying. Ya, dia kan jiwanya orang kaya.

Yaya meraih gagang pintu, "aku juga detail kok tapi cepet, huh." Lalu menutup pintunya.

"HEI CEPAT KAU MANDI, ATAU KUTINGGAL!"

I

Sebuah sepeda motor matic melaju menembus dinginnya angin pagi, menerbangkan sedikit daun daun yang berserakan di pinggir jalan. Ada 2 orang gadis berpakaian seragam SMA tengah membawa setumpukan koran di kaki bagian depan dan seorang tengah memegangi sebuah kotak yang berisi puluhan kotak susu. Di seragam mereka, tertempel pin plakat kecil yang mengkilap bertuliskan nama Yaya dan Ying.

"Hey, aku kan ikut kerja, berarti gajimu dibagi dua."

Ying cemberut di balik helmnya, "terserah kau."

Jam setengah 6 pagi, mereka berkeliling kota mengantar susu dan koran dari rumah ke rumah, berbekal kertas yang berisi daftar nama pelanggan dan alamatnya. Terkadang mereka tersesat dan Ying bahkan sudah mengumpat serta hampir menyerah, namun Yaya terus menyemangati Ying untuk menyelesaikan pekerjaannya.

"Capek tau! Nggak enak jadi orang miskin! Udik deh!" Sahut Ying dengan muka masam. Sedangkan Yaya hanya menahan tawa di belakangnya.

Setelah satu setengah jam mengantar pesanan, akhirnya semua sudah selesai dan kini mereka tinggal melaju menuju sekolah. Jalan raya sudah menjadi lebih ramai, tidak sesepi tadi. Yaya menikmati hembusan angin yang menerpa wajahnya. Yaya begitu mensyukuri nikmat Tuhan ini, dia memang sangat berterimakasih pada Ying karena dia juga yang membuat Yaya tidak lelah berjalan kaki ataupun mengayuh sepeda ke sekolah. Diam diam Ying ternyata gadis yang baik hati, batin Yaya.

Tak terasa, mereka sudah sampai di dekat sekolah. Namun sekitar 50 meter dari gerbang masuk, Ying menghentikan sepeda motornya.

"Turun."

Yaya yang baru saja memuji Ying di dalam hatinya, melongo. "Ha?"

"Turun, aku tidak mau ketahuan tinggal bersamamu. Aku boleh jatuh miskin, tapi aku tidak mau dianggap udik sepertimu. Turun!"

Apa apaan ini, batin Yaya. Namun ia tetap menjejakkan kakinya di tanah. Toh, ia juga sudah lelah berdebat dengan Ying. "Ya ya ya Tuan Putri gadungan, silahkan jalan."

"Good." Lalu Ying melajukan sepeda motornya ke arah gerbang sekolah, sementara Yaya bersungut sungut berjalan sendiri. Untung dia sudah terbiasa.

I

Ying seharusnya tahu mengendarai sepeda motornya tidak akan menaikkan pamornya kembali. Ying seharusnya tahu menaiki sepeda motor membuatnya tetap terlihat rendahan di mata siswa siswi sekolah yang elit itu. Ying, mengapa ia berpikiran begitu pendek?

Setelah memarkirkan sepeda motornya di parkiran khusus sepeda motor, Ying bercermin di kaca spionnya dan merapikan rambutnya yang berantakan karena terhembus angin tadi.

"Uh, menyusahkan saja."

Setelah dirasa cukup rapi, Ying berjalan melalui koridor utama, tetap tidak menghiraukan kasak kusuk para murid tentangnya. Dengan langkah yang cukup tergesa gesa, Ying segera berbelok menuju deretan loker, dan alangkah terkejutnya dirinya saat melihat loker miliknya penuh bermacam coretan ejekan, hinaan, dan kata kata kotor.

Masih hidup? Apakah kau jual diri? Hahahahaa!

Gelandangan tidak tahu malu

Go to hell btch.

Orang sepertimu seharusnya pindah saja ke pinggir laut.

MISKIN! MAMPUS!

Satu kata yang langsung tercetus di benak Ying: ia dibully. Rasanya ia ingin mengecat kembali pintu loker yang penuh kata kata yang menyakitkan itu, namun ia kuatkan hatinya untuk membuka lokernya. Dan alangkah kagetnya saat ia mendapati lokernya penuh oleh sampah.

"Hoek—"

Ia menutup mulut dan hidungnya pertanda tak tahan. Aroma makanan basi dan segala macamnya langsung menguar dari dalam loker dan menusuk indera penciumannya. Ying hanya berharap buku bukunya tidak rusak. Ying mengambil sapu yang berada di sudut dinding dan dengan setengah menangis ia mengeluarkan sampah sampah tersebut dengan sapu.

"Hiks—"

"Hey, Ying menangis!" Kepala Ying menoleh ke arah sumber suara, dan matanya menangkap sekitar belasan murid yang tengah menatapnya dengan wajah puas. Dan tragisnya, mereka semua dahulu adalah temannya, termasuk Suzy dan Amy disana.

"Ewh, menjijikkan!"

"Ying babu sih sudah biasa dengan sampah begituan."

"Oh iya, sekarang Ying makannya pakai sampah, iya kan?"

Seorang siswi berjalan ke arah Ying dan berpura pura mengendus tubuh Ying. Beberapa detik kemudian, dia menutup hidungnya dengan wajah sok masam. "Uh, mungkin dia mandi juga pakai sampah!"

Setelah puas mengolok oloknya dengan alasan tak berdasar, gerombolan kesebelasan tadi pun meninggalkan Ying yang menitikkan air matanya. Dia bukanlah Yaya yang kuat seperti baja lahir batin, ia termasuk gadis yang lemah. Sejenak ia ragu bahwa ia dapat melewati ini semua hingga setahun kedepan.

Apakah ia bisa?

Ia tak yakin.

Setelah merasa lokernya lebih baik, ia segera mengambil buku pelajaran hari ini dan ia dapat mencium buku bukunya tersebut agak bau. Ia mengeluarkan sebotol parfum dari tasnya dan menyemprotkannya di sekitar loker dan buku. Lalu Ying mengunci lokernya dan berlari menuju kelas, takut terlambat.

"Sedikit lagi, ayolah..." Ying melirik jam tangannya, hampir jam setengah delapan. Jika terlambat sedikit saja, bisa bisa ia terkena hukuman. Badannya sudah berkeringat dan penampilannya sudah acak acakan, tetapi ia tak peduli. Pokoknya sampai kelas dahulu.

BRAK!

Ying menggeser pintu kelas dengan keras saking terburu burunya. Belum ada guru, dan kini seluruh murid di kelas tengah menatapnya... lucu?

"Eh, ada babu masuk kelas..."

"Bibi, dari mana saja?"

"Dekil ih jijik."

"Baru mulung sampah cyin?"

Sekali lagi, dalam pagi ini Ying mendengar hinaan dan ejekan yang ditujukan padanya. Ying menutup kedua telinganya dengan busa imajiner, dan melangkah ke kursi yang satu satunya kosong, tepatnya di samping kanan Yaya. Ya, setidaknya Yaya sedari tadi hanya diam saja.

Ying mendudukkan badannya di kursi dan setengah berbisik. "Yaya..."

Yaya tidak bergeming.

Ying mengerutkan dahi, "eh, Yaya—"

"Eh, 'Tuan Putri'." Yaya menoleh ke arah Ying dengan tatapan tajam. "Putri, gadis 'udik' seperti hamba tidak pantas berbicara dengan Putri."

Yaya kembali fokus pada bukunya, sedangkan Ying mengernyitkan dahinya. Apa yang terjadi pada Yaya? Kenapa dia membalas sapaan Ying dengan kata kata sarkasme seperti itu? ? Ying memijat pelipisnya yang mau meledak. Sudah dibully, diacuhkan Yaya pula. Kenapa pula Yaya harus bersikap acuh padanya?

Apakah Yaya... marah padanya? Kenapa?

.

.

.

TBC

A/N: halohaloooo! xD chapnya pendek ya? Ya kebiasaan-_- wkwkwk ya tapi lumayanlah 2k, kan kan kan? XDD

Dan entah kenapa aku pengen nulis ini:

Hp lama Ying itu iphn 6s plus rose gold, gadget Ying Yaya sekarang adalah smsng galaxy A3, laptop yang dibelikan Ying itu smsng ATIV book 2 AMD NP275E4V-K03ID. Nama merknya agak diplesetin dikit(?) yang iseng silahkan search barangnya di google xD

Aku nggak tau mau ngomong apa lagi wkwkw, yang jelas makasih udah mau baca dan jangan lupa review, XOXO! ^^