y-e-l-l-o-w

Disclaimer: Masashi Kishimoto owns Naruto and Maynard Plant owns the song, Canvas. This fanfiction is inspired by blanc.'s Canvas.

Summary: Ino dan Sai tertarik dengan satu hal yang sama—seni. Ini hanyalah sebuah kumpulan ficlet mengenai kisah cinta mereka. AU!SaiIno.

Warning: AU, OOC, ficlet, nggak jelas, setiap chapter tidak selalu berhubungan, profanity, don't like don't read.


"Yellow makes me smile. I always keep it for a rainy day."


Hari itu atelier masih terkunci, begitu pula dengan jendela kaca yang masih tertutup dengan rapat. Tetangga mereka berkumpul dan bergossip ria mengenai keadaan mereka. Inilah pertanda bahwa ada sesuatu yang terjadi kepada pasangan seniman itu. Yamanaka Ino dan Sai selalu membuka jendela kaca atelier mereka agar menghilangkan bau cat minyak yang menyengat. Tentunya, dugaan mereka itu benar. Suatu kejadian yang membuat Ino dan Sai tidak melukis. Jawabannya adalah ... Ino sakit. Walaupun suami dari pasangan seniman itu ingin menyentuh kanvas putih dan juga palet lukisnya yang sangat kotor, dia lebih memilih untuk menemani istrinya yang masih terbaring di atas ranjang dan tidak berdaya.

Sai mengelus punggung Ino dengan halus dan bertanya, "Bagaimana perasaanmu sekarang?"

Wanita itu membalut dirinya dengan selimut tebal. Napas seakan tidak beraturan dan kepalanya merasa seperti ditusuk jarum. Dengan suara yang serak, Ino menjawab, "Aku masih mual dan mungkin sebentar lagi aku bisa muntah."

Dia memerhatikan istrinya yang bangun ketika subuh dan muntah di kloset duduk selama lebih dari satu jam. Sai tidak pernah melihat Ino yang seperti ini. Tidak, selama ini Ino mempunyai tubuh yang kebal—mungkin lebih kebal daripada dirinya. Biasanya, Ino akan merawatnya ketika dia terkena flu ataupun demam karena lelah. Yamanaka Ino itu seperti ibu dan juga istri untuk Sai. Sekarang, situasi pun tertukar. Dia merawat Ino yang terlihat pucat itu.

Sai memeluk istrinya dan berbisik. "Kau akan baik-baik saja. Sekarang, kita harus ke rumah sak—"

"Tidak. Aku tidak mau," sahut Ino sambil menarik baju suaminya.

"Kau sakit, Ino."

"Aku benci rumah sakit," ucapnya sambil mengelus dadanya dengan pelan, "Lagipula ... Kurasa ini karena keracunan makanan. Mungkin sushi bento yang kubeli di supermarket sudah tidak segar."

"Jika kau keracunan makanan, seharusnya aku juga. Aku makan sushi bento itu bersamamu."

Sai tidak percaya istrinya keracunan makanan. Tidak mungkin lebih tepatnya. Ino hanya merasa mual dan muntah-muntah. Rasanya gejala ini sangat familiar untuk lelaki kewarganegaraan China itu. Sebagai penggemar sastra, adegan ini sangat klise. Sai menutup matanya sampai dia menemukan jawaban itu dalam sekejap. Dia tahu penyakit apa yang miliki.

"Apakah kau—"

Lelaki itu sadar. Dia melepaskan pelukan mereka. Tanpa sungkan, dia mengambil dompet dan ponsel yang berada di atas meja makan. Memang, istrinya itu masih polos. Seharusnya seorang wanita mengetahui kondisi tubuhnya. Dia ingat bahwa mereka pernah melakukannya tanpa proteksi. Ah, sial. Sai tidak pernah berpikir bahwa ini akan terjadi.

"Sai? K-Kau mau ke mana?!" teriak Ino yang masih merasa tidak enak badan.

Lelaki itu tidak menjawab dan tanpa sungkan berlari ke supermarket. Hari itu, hujan sangat deras dan Sai tidak berpikir untuk membawa payung. Dia tidak bisa berpikir dengan jernih. Di dalam hatinya, dia tidak ingin ini terjadi. Dia ingin hidup bersama Ino selamanya. Hanya Ino.

Sai pun masuk ke supermarket kecil dekat rumah sewaannya dan mencari benda itu. Ya, tes kehamilan. Ketika lelaki itu ke bagian produk itu, dia hanya melongo dan menatap rak itu. Dia tidak tahu produk mana yang harus dia beli. Satu-satunya teman yang berpengalaman di bidang seperti ini adalah ...

"Naruto, aku butuh bantuanmu," ucapnya setelah sahabatnya menjawab panggilannya, "bawa Hinata jika bisa. Aku sedang di supermarket."


Mata Uzumaki Naruto terbelalak ketika dia melihat sahabatnya berada di bagian produk tes kehamilan. Apa yang sudah Sai lakukan sekarang? Naruto hanya menggeleng kepalanya dan berkata, "kau butuh bantuanku hanya untuk ... ini?"

"Kau sudah mempunyai istri dan juga anak. Kurasa kau bisa membantuku dengan hal seperti ini."

Sahabatnya menghela napas dan memilih produk tes kehamilan yang pernah Hinata pakai ketika dia mengandung anak pertama mereka, Boruto. Setelah mereka membeli alat tes kehamilan, mereka pun pulang bersama. Seperti biasa, Sai harus mendengar ocehan sahabatnya mengenai kehamilan, mengurus anak, dan keuangannya yang sangat pas sepanjang jalan. Entahlah, Sai tidak pernah memikirkan hal seperti ini sebelumnya. Hidupnya bersama Ino dan seorang anak? Dia tidak pernah membayangkannya. Tetapi dia tidak pernah membenci anak-anak. Ya, dia hanya tidak menduga ini akan terjadi. Mungkin saja kehidupannya akan berubah ketika bayi di kandungan Ino lahir ke dunia ini. Dia merasa tidak ada salahnya dengan sebuah perubahan di hidupnya. Lagipula, hidupnya pun berubah ketika Ino hadir di kehidupannya yang kelam itu.

Ketika mereka sudah di depan rumah sewaan milik pasangan seniman itu, Naruto memutuskan untuk pulang dan tidak ingin mengganggu momen Sai dan Ino sebagai suami-istri. "Sebaiknya aku pulang, Sai. Kau harus berbicara dengan Ino. Jangan membuatnya marah dan apa pun yang terjadi, kau harus menerimanya."

Naruto menepuk bahu sahabatnya dan berpamitan. Sai tersenyum, merasa bersyukur mempunyai Uzumaki Naruto sebagai sahabat satu-satunya. Dia pun masuk ke rumah sewaannya dan membawa alat tes kehamilan itu. Saat lelaki itu membuka pintu rumah mereka, Ino sedang duduk di ruang makan mereka. "Sai, aku sangat khawatir denganmu! Kau tidak menjawab panggilanku seperti biasa!"

"Aku tahu mengapa kau seperti ini, Ino," aku Sai sambil meletakkan alat tes kehamilan itu di atas meja.

"I-Ini ... Sai, aku tidak mungkin hamil!"

"Cobalah. Kau tidak tahu jika ini akan terjadi."

Ino menghela napas dan membawa alat tes kehamilan itu ke kamar mandi. Entahlah jika dia benar, Sai tidak peduli. Dia tidak akan menolak jika dia akan menjadi seorang ayah. Ya, asalkan Ino bahagia. Sai pun menunggu di depan kamar mandi dan memejamkan matanya.

Ketika dia mendengar suara pintu kamar mandi terbuka, wanita itu tersenyum sambil mengelus perutnya. Sai mengerti bahasa tubuh tersebut. Ino mendongak dan melihat reaksi suaminya. Entah mengapa ekspresi Sai terlihat palsu. Senyuman yang menghiasi wajah Ino pun semakin pudar. "Sai, maaf jika kau tidak—"

Lelaki berwarganegaraan China itu mengerti dengan apa yang istrinya ingin katakan. "Siapa bilang aku tidak ingin mempunyai anak bersamamu?"

"Eh?"

"Ino, ayo kita bangun keluarga kecil ini," bisik lelaki itu sambil menangkup wajah istrinya. Senyumannya sangat tulus membuat Ino terdiam. Di tahun keenam setelah mereka bertemu, Ino dan Sai memutuskan untuk membesarkan anak mereka dengan tangan mereka sendiri.


Updated: 30.12.2015, 2.30PM (GMT+7)


A/N: Oke. Maaf kalo chapter ini kurang bagus TvT Terlalu cepat kah? Tinggal 2 chapter lagi sebelum Canvas selesai~