Dia menari di dalam otak.
Menebar personanya pada setiap sudut pikiran.
Menggaungi gejolak batin yang tak kunjung padam.
Lenyap…Hilang…Musnah.
Pergi tanpa sebait ucap perpisahan.
Kan melarang tiada hak.
Tuk menggapai tak mampu.
Hilang sudah dibalik kepulan awan sendu.
Kencang ditarik belati hitam penusuk jiwa.
Sekelebat titah manis sang petuah pada hambanya.
Hamba yang hadirnya tiada tersadarkan.
Layangkan gubahan intonasi dari bayangan kelu.
Terhenyak seketika pergi segencar dia datang.
Kelambu merah bergaris tipis penghalang insan.
Menari syahdu menyemat dua cucu nabi Adam.
Bulir-bulir ekspresi masih bungkam berlindung naungan topeng.
Kepalsuan… Kegundahan… Kenyataan.
Menyatu bagai partitur kesunyian.
Boboiboy copyright to monsta
This story is mine.
Warning: OOC.
Happy reading
.
.
Gadis berhijab merah muda itu menghela nafas panjang. Tidak ada balasan dari sang sahabat pena. Membaringkan diri di atas kasur, Yaya membaca kembali sepenggal e-mail terakhir yang dia terima sebulan lalu.
Mungkin ini email terakhir dariku. Maaf bila mengejutkanmu seperti ini.
Yaya, kau gadis terhebat yang pernah ku kenal. Kau selalu menyemangatiku saat ku terpuruk, mendengar keluh kesahku tiap waktu, mendampingiku dalam segala hal, dan banyak lagi. Mungkin itu tak berarti apa-apa bagimu, tapi sungguh… terimakasih. Dan maaf, mungkin segala kebaikanmu takkan bisa ku balas.
Aku tahu kau takkan merindukanku, tapi salam perpisahan ku rasa perlu ku sampaikan. Kau tau Yaya? Aku salah karena berpikir bisa menang. Takdir Tuhan terlalu kejam. Aku benci mengatakan ini, tapi sebaiknya kau melupakanku. Aku tidak bisa berteman denganmu lagi, maaf. Banyak hal yang ingin ku wujudkan untuk dunia nyataku.
Tetap tersenyum, Oke? Selamat tinggal. Senang berkenalan denganmu, Gadis Biskuit.
Matanya terpejam erat. Rasanya masih tidak percaya. Bagaimana tidak? Semua begitu tiba-tiba, baru kemarin mereka bercengkrama melalui surel.
Yaya bukannya tidak paham akan kondisi kesehatan sahabatnya. Pemuda itu pernah bercerita tentang tumor yang mendekam dalam tubuhnya. Tapi sepanjang percakapan mereka di surel, tak sekalipun pemuda itu pernah menyerah. Lalu dengan email terakhir itu…apa artinya sesuatu yang buruk telah terjadi? Yaya menggelengkan kepalanya kuat-kuat.
Yaya paham bahwa pertemanan mereka hanya terjalin melalui dunia maya, jadi tak salah jika dia mungkin ingin fokus untuk dunia nyatanya dan memilih untuk melupakan Yaya. Tapi kenapa? Bahkan Yaya tak menerima sedikitpun bait penjelasan. Walau tidak pernah bertemu, namun kedekatan mereka bagai surat dan perangko, lalu kini….
Gadis itu tidak mengerti. Jika memang pemuda itu tidak ingin mengenal Yaya lagi hanya karena Yaya adalah seorang teman dari dunia maya, setidaknya berikan Yaya alamat, foto, atau apapun yang bisa menghubungkan mereka di dunia nyata. Bukan tidak mungkin kan kalau suatu hari nanti mereka akan berjumpa di dunia nyata.
Jika hanya dengan sepenggal e-mail begini, dia justru jadi khawatir. Takut jika terjadi sesuatu dengan sang sahabat pena. Jakut jika…Ah bahkan Yaya tidak sanggup memikirkannya.
Tok…Tok…Tok
"Yaya…"
Tok…Tok…Tok
"Ayo keluar, kamu belum makan dari semalam lho."
Suara lembut Nyonya Yah terdengar dari balik pintu, sudah menjadi rutinitasnya selama satu bulan mengingatkan anaknya untuk menjamah dapur atau ruang makan setidaknya dua kali sehari.
"Iya Bu." Sahut Yaya dari dalam kamar.
"Cepat ya Nak, Ibu tidak mau kamu sakit."
Saat orang tuanya khawatir dengan keadaannya, Yaya sendiri masih memikirkan sang sahabat pena. Apakah dia baik-baik saja? Apakah email terakhir itu benar? Lantas kemana perginya laki-laki itu? kenapa dia meninggalkan Yaya begitu saja? Setidaknya dia bisa meninggalkan alamat, foto, atau nomor handphone yang bisa dihubungi. Yaya ingin mencarinya, Yaya ingin menemaninya jika dia ada masalah.
Makanan masuk ke mulutnya tanpa selera. Otaknya melayang pada pemuda itu. Benaknya diliputi kekhawatiran luar biasa. Pernah dia ingin mencari tahu alamatnya, tapi kemana. Pemuda itu terlalu menjaga privasi, padahal Yaya sudah mengirim alamat dan foto padanya. Sayang, Yaya tidak mendapat perlakuan serupa.
"Yaya berangkat Bu, Yah." Gadis itu menyalami kedua orang tuanya.
-o-
Yaya duduk sabar di tempat pemberhentian bis. Sesekali matanya melirik arloji merah muda di pergelangan kiri. Pukul 6.30. Yaya naik saat bus pertama berhenti. Matanya mencari kursi kosong. Ah! Ada di dekat jendela, kursi nomor tiga dari belakang, tepat di depan seorang gadis beralmamater sama dengannya . Kakinya langsung melangkah ke sana. Tanpa sengaja, telinganya menangkap suara rekaman alunan gitar akustik yang merdu, lengkap dengan dua gadis yang sibuk membicarakan penyanyinya.
"Kak Fang suaranya bagus." Komentar si gadis, salah satunya hanya menganggukkan kepala tanda setuju.
Jadi mereka siswi kelas satu, komentar Yaya dalam hati.
"Liriknya juga ngena banget, ah melting aku." Tambahnya lagi.
Yaya setuju, liriknya. Ah liriknya, tepat untuk dirinya saat ini. Merasa kehilangan yang diliputi kekhawatiran. Yaya berusaha meyakinkan diri seperti kata lagu tersebut.
Dia baik-baik saja…dia baik-baik saja
Nihil.
Bis berhenti sekali lagi, menaikkan dan menurunkan beberapa penumpang. Awalnya Yaya tidak begitu peduli, tapi ketika lantunan lagu itu menghilang dari pendengaran, fokusnya beralih ke arah dua siswa yang kini bagai cacing kepanasan, menahan teriakan sambil bertingkah tidak jelas dengan pandangan tidak teralihkan dari penumpang yang baru saja masuk, melewati kedua gadis itu dan mengambil kursi di samping Yaya.
Yaya mengenalnya, pria berkacamata nila yang mengenakan sarung tangan serta jaket berwarna ungu itu…
"Kyaaa…. Mimpi apa aku semalem bisa satu bis sama Kak Fang! Kalau kayak gini, aku mau naik bis setiap hari deh."
Spontan Yaya melirik ke samping. Hatinya berdegup, dirinya sendiri adalah pengagum rahasia pemuda itu. Sebenarnya Yaya sedikit heran, biasanya laki-laki itu membawa kendaraan sendiri, ada angin apa sampai dia naik bis.
Pemuda itu, Fang, memang terkenal di kalangan siswa juga guru, bahkan kegiatan isengnya bernyanyi sampai ada yang merekam dan menyebar, suaranya bagus memang. Dia juga pemain nomor satu yang dimiliki tim basket sekolah.
"Tunjukkan kartu penumpangnya." Seorang petugas menghampiri kursi Yaya. Gadis itu segera merogoh tas, mencari dompet tempatnya menyimpan kartu penumpang. Tidak ada.
Yaya panik, jangan-jangan dompetnya ketinggalan. Astaga.
"Kalau tidak ada kartu bisa bayar cash." Tambah orang itu lagi.
"Tunggu sebentar,… aku sedang-"
"Untuk kami berdua."
Yaya menoleh, petugas itu melakukan transaksi dengan Fang.
"Eh…m-maaf merepotkan, besok a-aku ganti." Sejak kapan dia gagap.
"Santai saja, kau Yaya kelas 11 III kan?"
Namamu, apalagi kelasmu sampai diketahui oleh seseorang yang kalian idolakan, bukankah itu kebahagiaan tersendiri?
Yaya mengangguk pelan. "Bagaimana kau tahu?"
"Kau pemilik account facebook Yaya si Biskuiter Sedap kan?
Seketika pipi gembulnya merona, nama alay. Ingatkan Yaya untuk menggantinya.
"Kau tidak pernah absen memberi like pada setiap postinganku. Bahkan semua komentarku juga kau like."
Gadis itu membeku. Sedetik kemudian bibirnya mengeluarkan tawa canggung. Salah tingkah. Duduknya saja sudah semrawut.
"Hehehe, iya." Yaya tidak paham di mana lucunya.
"Kemarin aku iseng buka profilemu, eh ngomong-ngomong statusmu galau semua. Baru putus ya?"
Degg…
Putus? Putus dari siapa? Pacar saja tidak punya.
Yaya itu jomblo konginetal, single sejak lahir. Status-status itu ditujukan untuk sang sahabat pena yang hilang kabarnya. Ah Yaya jadi teringat.
"Atau kau LDRan ya?"
Yaya melotot, asumsi yang sangat jauh dari realita.
"T-tidak, bukan begitu. Itu untuk sahabatku, sahabat dari jauh. Kabarnya menghilang begitu saja."
Remaja bernama Fang tersebut manggut-manggut.
"Yakin cuma sahabat? Menurut teori 90 persen persahabatan laki-laki dan perempuan pasti berakhir dengan cinta yang menimpa salah satu atau bisa jadi keduanya. Eh maaf kalau aku terlalu ikut campur."
Iya, Yaya pernah mendengar tentang teori itu, tapi sampai sekarang, dia selalu berusaha meredam tawa saat mendengarnya. Tapi, entah kenapa kalau berbicara dengan Fang, jadi berbeda.
"Ka-kami yang 10 persennya. Tidak masalah, aku…aku senang kok." Ternyata berbicara dengan idolamu tak semudah yang dibayangkan, kata-kata yang keluar dari mulut tidak bisa diatur.
Sepuluh menit Yaya berbicara dengan Fang, sepuluh menit indah yang tak Yaya inginkan berakhir. Yaya sedikit bercerita tentang masalahnya, sampai suara roda berderit mengakhiri percakapan mereka. Sebelum mengambil rute ke ruangan yang berbeda. Fang sempat memberi petuah untuk Yaya.
"Jangan terlalu khawatir. Pikirkan dirimu sendiri juga. Kau punya kehidupan nyata yang harus kau jalani. Dia juga berpesan padamu agar jangan tetap tersenyum kan. Yakinkan hatimu bahwa dia pasti baik-baik saja. Oke!"
Rasanya bagai ada kupu-kupu yang menari di sekelilingnya, disertai taburan bunga-bunga warna-warni sebagai background saat Fang melontarkan kalimat-kalimat itu. Gadis itu merasa…dipedulikan.
Yaya masih senyam-senyum bahkan setelah sampai di kelas. Tak pernah dia sangka, paginya di bus yang biasanya membosankan bisa jadi seindah drama korea maupun anime jepang. Memikirkan Fang ternyata mampu membuatnya lupa pada masalah dan keadaan.
"Hayo... ngelamunin apa…?"
Yaya tersentak saat kedua pundaknya disentuh mendadak oleh gadis yang telah lama berstatus sebagai sahabatnya.
"Amy…jangan mengagetkan begitu. Untung keluargaku tidak punya riwayat penyakit jantung." Keluh Yaya.
"Kau sih, sampai kelas bukannya menyapa sahabatmu ini, malah senyum kayak orang gila."
Sekilas bayangannya terlintas melewati pintu kelas. Yaya segera berlari beranjak dari kursinya, itu dia! Fang!
Kelas mereka berdekatan, jadi biasanya konsentrasi Yaya akan berfokus pada pintu menunggu Fang lewat depan kelasnya. Padahal tadi mereka sempat mengobrol.
"Ada apa sih?"
Lagi-lagi Amy mengacaukan khayalannya.
"Bukan apa-apa." Yaya kembali duduk sambil tersipu di kursinya. Selama ini tidak ada seorangpun yang tahu bahwa dirinya diam-diam mengagumi pemuda itu, kecuali sahabat penanya.
"Pipimu merah loh." Gadis itu –Amy, menarik kursi di depan Yaya.
"Apa ada sesuatu antara kau dan Fang?"
Oh sial! Rupanya Amy melihat siapa yang diperhatikan oleh Yaya.
"Tidak!" jawab Yaya tegas, terlalu tegas malah.
"Sudahlah…jujur saja… aku sering memergokimu diam-diam menatapnya saat di kantin. Iya kan?"
Yaya salah tingkah, rupanya aksi rutinnya saat istirahat sudah ketahuan.
"Hayoo… ngaku… kau menyukai Fang ya? Dia popular lho, pinter lagi, jadi ku rasa-uhp…" Belum sempat gadis melayu itu menyelesaikan kalimatnya, mulutnya sudah dibekap oleh seorang Yaya.
"Pelan-pelan dong bicaranya!" Yaya mendesis. Gadis itu meronta.
"Huh, kau mau membunuhku Ya. Membungkam sampai segitunya." Amy bersungut kesal sebelum ekspresinya berubah 180 derajat.
"Eh jadi benar kau menyukai Fang?"
"Sssttt! Jangan keras-keras."
Amy mengecilkan suaranya sembari menundukkan kepala, "Jadi kau menyukai Fang?" Ujarnya setengah berbisik.
"HAH? YAYA MENYUKAI FANG?"
Krikkrik…krikkrik
Semua mata tertuju pada seorang bocah, coret, pada seorang pemuda gempal berkulit gelap. Gopal memang tidak bisa menjaga mulut.
"Aku hanya bertanya." Ujarnya sambil mengendikkan bahu dengan wajah tanpa dosa. Sementara Yaya, jika saja dia punya kekuatan Jinny oh Jinny, dia sudah menghilang sekarang.
Giginya bergemeletuk, oh Tuhan, kenapa dia bisa punya sahabat seperti Gopal. Sedetik kemudian bisik-bisik mulai menyapa telinganya. Sampai satu menit yang lalu statusnya masih pengagum rahasia sang Casanova, Fang. Tapi sekarang…
Mungkin sudah saatnya Yaya menaikkan derajatnya dari penggemar gelap menjadi penggemar terang-terangan. Eh…
"Jadi kau mulai mengibarkan bendera perang Yaya, aku terima."
"Jangan harap aku akan menyerahkan Fang padamu!"
"Kau sih tidak ada apa-apanya."
Yaya menunduk. Itulah penyebab dia memutuskan menjadi pengagum rahasia. Terbukti, saat statusnya berubah, kucing manis sekalipun berganti peran menjadi macan garang. Mulai hari ini Yaya harus terbiasa menerima pandangan sinis dari antrian komunitas Penggemar Fang. Fansgirl pemuda itu memang terlalu banyak dan…mengerikan.
"Eh, bukannya Fang udah punya pacar ya?" salah satu siswa di kelas itu nyeletuk.
"Eh kata siapa? Setahuku tidak ada."
'Iya, dia itu sudah punya pacar, Ying kan." Tambah Gopal.
"Isu itu…! Isu!" Tegas siswi lainnya tidak mau kalah.
"Uhm… tapi setahuku, mereka memang berpacaran." Salah seorang siswi yang nampaknya tidak peduli status Fang mau punya pacar atau punya istri sekalipun, angkat bicara.
"Kau tahu darimana!" bentak siswi lainnya.
"Tuh kan, bener." Siswa laki-laki tadi merasa menang. Oke Yaya menyerah, kenapa jadi runyam begini.
"Aku sekelas dengan mereka waktu kelas sepuluh, mereka memang sangat dekat." Gadis itu berbicara sambil menopang dagu, seolah menyadari setiap ucapan yang akan keluar dari mulutnya begitu dinantikan, terutama oleh para fansgirl pemuda berambut raven itu.
"Tapi… mereka sudah putus."
Para siswi menarik nafas lega, siswanya? Menundukkan kepala.
"Sok tahu sekali." cibir siswa lainnya nampak tidak terima.
"Aku kan anggota OSIS, aku melihat mereka bertengkar saat malam ulang tahun sekolah." Jawab gadis dengan rambut diikat ke belakang itu dengan santainya.
Syukurlah, Yaya cukup lega mendengar penuturannya. Eh? apa yang dia pikirkan.
"Jadi kau mengintip mereka saat malam-malam? Wah diam-diam kau tukang ngintip ternyata…" Gopal mengeluarkan selorohan yang membuat seisi kelas tertawa.
"Apa katamu?!" Gadis itu menggebrak meja, memaksa teman sebangkunya untuk mengelus lengannya agar tidak marah.
"Sabar San…sabar…"
"Humph"
"Jadi ternyata, ketua kelas kita yang katanya galak itu suka mengintip orang pacaran." Semuanya tertawa, sang pelaku? Jangan ditanyakan, keadaannya mengenaskan, masih untung gadis itu tidak meninjunya.
Daripada ikut membuat ribut, Yaya lebih memilih duduk tenang di kursinya sambil memikirkan Fang.
Jadi Fang pernah berpacaran dengan Ying, gadis yang katanya gadis terpintar di angkatan mereka. Well sebenarnya tidak sepenuhnya seangkatan, gadis itu harusnya baru kelas sepuluh, tapi dengar-dengar, dia lompat kelas waktu sd. Tiba-tiba pikiran Yaya tertuju pada salah seorang penumpang di bis tadi.
-o-
Jam kosong. Apa yang terlintas di pikiranmu saat mendengar dua kata tersebut? Para siswa biasanya akan berhamburan memburu kantin, bersantai di kelas, maupun sengaja ke UKS untuk tidur.
Tapi Yaya berbeda. Jam kosong artinya ketinggalan pelajaran. Maka untuk alasan itu Yaya memilih pergi ke perpustakaan, belajar sendiri tentang materi pelajaran hari ini.
Satu jam berlalu, Yaya merasa belajarnya sudah cukup. Sekarang giliran memanjakan diri dengan fiksi.
Gadis itu memilah beberapa novel yang menurutnya bagus, kebanyakan novel cinta remaja. Ada juga beberapa buku pelajaran. Saat Yaya masih asik membaca synopsis novel di bagian rak buku fiksi. Bel berbunyi.
Aku keasyikan, sampai lupa waktu. Batin Yaya.
Diambilnya enam buku sekenanya yang sudah dia pisahkan. Beruntung perpustakaan sekolah tidak membatasi jumlah buku yang boleh dipinjam.
Matanya melirik bergantian pada jam tangan miliknya dan petugas perpustakaan, seharusnya gurunya sudah masuk. Oh gawat! Yaya ingat setelah ini pelajaran bahasa Jerman, jamnya guru terkiller satu sekolah!
Cepatlah…cepatlah
Segera setelah urusannya selesai dan mengucapkan terimakasih, Yaya bergegas menuju ruang kelasnya, lengkap bersama 6 buku dengan tebal masing-masing tak kurang dari satu inchi yang secara otomatis menghambat langkah dan penglihatan.
BRAKKK!
Tepat di belokan terakhir di ujung koridor menuju kelas, Yaya bertubrukkan dengan seseorang. Punggungnya sukses menghantam tembok, pantatnya bercidukan dengan lantai dari keramik, buku-bukunya berhamburan, dan sialnya hanya dia seorang diri yang jatuh. Orang yang menubruknya, atau lebih tepatnya orang yang ditubruknya hanya berdiri mematung sambil melihat keadaannya yang berantakan tanpa menawarkan bantuan sedikit pun.
Tolongin kek. Pekik Yaya dalam hati.
Gadis itu merapikan rok panjangnya yang sedikit tersingkap, memunguti satu persatu bukunya yang bertebaran, lalu berdiri mendongak pada pria yang lebih tinggi satu kepala darinya. Yaya kesal, setidaknya laki-laki itu mengucap maaf meski Yaya tahu dirinya yang salah, tapi bukankah dia yang menjadi korban.
Yaya menatap mata sang pemuda, menyeramkan, irisnya merah, seperti ruby, asing. Yaya tidak pernah melihatnya.
"Masuklah."
Yaya baru sadar dia berada di depan ruang kepala sekolah dengan pintu terbuka, reflek dia menunduk tanda memberi hormat. Remaja yang mengenakan jaket merah hitam itu melengos begitu saja di hadapannya. Tanpa suara, tanpa senyum, apalagi sedikit ucapan penyesalan.
Cowok hantu! Cuek sekali.
Yaya bergegas menuju kelasnya.
-o-
"Hah…hah…"
"Kau darimana sih? Tumben telat. Gak inget ya ini hari apa. Eh iya aku mau nanya ini-"
Yaya belum sempat mengatur pernafasannya, telinganya sudah dijejali berbagai pertanyaan oleh teman sebangkunya, Amy.
"Tunggu dulu, hah…biarkan aku… hah…hirup oksigen dengan tenang."
"Hehe…maaf," gadis berkulit sawo matang itu cuma nyengir. Yaya menggelengkan kepala, saking takutnya terlambat dia sampai berlari dari perpus, sampai nabrak pula. Matanya menengok ke meja guru.
"Tumben pak Hasbi belum datang."
Amy merapat, menyodorkan halaman di buku paketnya yang sudah distabillo pada Yaya. "Itu yang mau aku tanyain, tadi Bu Siwi datang beri tugas, pak Hasbi gak masuk, sakit katanya."
Dalam hati Yaya bersyukur terhindar dari hukuman. Bayangkan, terlambat satu menit di jam sang guru killer artinya membaca satu lembar teks full berbahasa jerman. Memikirkannya saja membuat Yaya ngeri. Gadis berhijab itu memang tidak terlalu menyukai mata pelajaran itu, bukan apa-apa. Tapi jika dengan bahasa melayu dan inggris saja mereka bisa berkomunikasi, untuk apa menambah lagi.
Lagipula orang Jerman juga belum tentu mau belajar bahasa melayu, lantas kenapa orang melayu harus menguasai bahasa Jerman. Bukankah setiap negara bisa sukses tanpa harus menguasai bahasa bangsa lain. Kenapa tidak berkaca pada Jepang saja. Bahkan bahasa inggris pun tidak diutamakan, tapi negara mereka sangat maju.
"Engh… kau tahu kan My, aku juga tidak mahir bahasa Jerman."
"Oh ayolah Yaya, setidaknya kau lebih baik daripada aku. Kau kan juara kelas, kau pasti bisa." Amy merengut, memanyunkan bibirnya.
Yaya meringis sembari menggaruk hijabnya.
Kelas yang tadinya ribut karena siswanya yang mendiskusikan tugas, hening sekejap saat pria berbadan tegap yang dikenal sebagai kepala sekolah memasuki ruangan. Dibelakangnya berdiri seorang pemuda bertopi hitam merah yang dihadapkan ke depan.
"Selamat pagi anak-anak. Selamat. Kelas kalian kedapatan anggota baru. Silahkan memperkenalkan diri."
Pemuda itu sedikit maju, "Halilintar." hanya itu.
"Psst…Yaya…lihatlah, ada anak baru, ugh… ganteng banget." Amy menyenggol Yaya yang masih khusyuk menerjemahkan teks bahasa jermannya.
"Ya Halilintar, silahkan pilih tempat dudukmu."
"Apasih?" Yaya melirik Amy yang pandangannya masih setia mengagumi wajah sang anak baru. Diikutinya arah mata sahabatnya itu, Yaya menoleh, itu kan…cowok hantu tadi.
"Saya mau duduk di sini."
Eh? apa-apaan!
"Ehem, Amy mungkin bisa pindah ke bangku di belakang."
Jelas ini KKN.
"Ungh…ba-baik Pak." Amy yang pada dasarnya penurut pada guru, apalagi kepala sekolah, segera memindahkan tas dan barang-barangnya. Pemuda baru itu pun langsung duduk menggantikan posisi Amy.
Yaya yang tidak terima, melancarkan protes.
"Pak, kenapa tidak dia saja yang duduk di belakang." Ujarnya sambil menunjuk si anak baru.
"Di sini angle-nya tepat menghadap papan. Penglihatanku agak terganggu. Aku tidak biasa duduk paling belakang."
Lalu kenapa memilih bangku nomor dua? Kenapa tidak paling depan saja!
Yaya ingin meneriakkan kalimat itu, tapi dirinya masih paham sopan-santun.
"Sudah…sudah…jangan ribut. Bapak tinggal dulu." kepala sekolah itu beranjak menuju pintu, baru sampai ambangnya, dia berbalik. "Halilintar, berbaurlah bersama teman barumu."
Yaya membuang muka ke luar jendela. Baru tadi pagi dia mengalami keberuntungan, sekarang justru sebaliknya. Tuhan memang mudah membalikkan nasib manusia. Baru beberapa menit yang lalu pemuda beriris aneh itu membuatnya kesal, sekarang taraf kekesalannya sudah berlipat ganda.
"Yaya…" terdengar suara bisikan namun masih bisa ditangkap telinga, Yaya menoleh, itu Amy.
"Kau sih! Kenapa mau saja disuruh pindah." Jelas itu bukan bisikan.
"Aku tidak berani membantah, tak apalah. Lagipula, sepertinya dia…" Amy mendelik pada pemuda di depannya. "sepertinya dia suka padamu."
Yaya hampir batuk mendengarnya, "Jangan bercanda!" Yaya melirik pemuda itu, ekspresinya masih datar, padahal Yaya yakin dia mendengar suaranya barusan.
"Mengenalnya saja tidak!"
.
.
To Be Continued
A/N
Aneh kenapa saya memposting fanfict ini lagi padahal sebelumnya sudah saya hiatuskan? Tidak ada alasan khusus. Hanya ingin menambah mood HaliYaya, dan lagi males ngelihat Yaya disakitin Hali mulu, jadi lanjut yang ini aja, sekalian buat hiburan, nulisnya ringan. *ketawa nista
Oh ya, silahkan dibaca dari awal meskipun merasa pernah membaca semuanya. Karena ada beberapa perubahan yang rasanya, ehm…cukup penting. Oke sekian.
Review Please.
