Summary : Bagaimana caranya kau luluhkan hati sedingin es ini? / "Haruskah aku membeci semua sikapmu padaku?" / "Aku menyerah." / NaruSaku

Pairing : Sakura x Naruto

Rate : bingung ( M kali ya?)

Genre : Friendship, romance, drama, family, hurt/comfort (maaf jika banyak typo, hehe)

Disclaimer : Naruto © Masashi Kishimoto

WARNING : 00C, alur gaje cerita buatanku, lebay (mungkin), author masih pemula (maklumi), untuk yang sengaja maupun yang tidak sengaja membaca fanfic abal-abal ini tolong review ya *0* (plak).

::

::

Don't leave me alone

::

::

Camera-rolling and action!

::

Sakura melangkahkan kakinya menuju tempat yang diberitahukan Konohamaru –dimana sang ayah berada. Bar, itulah tempat yang biasa dikunjunginya, bersenang-senang ditengah kesulitan mendera keluarga. Suatu hal yang amat dibenci sebagai statusnya sebagai anak sulung, yang tentunya mendapatkan kewajiban penuh jika memiliki ayah seperti itu bukan?.

Hidup senang seperti gadis-gadis lain? Tentu menjadi impiannya yang mungkin akan sulit tergapai. Bahkan jenjang kuliah yang seharusnya didapat rela Ia lepas demi menghidupi ketiga orang berharga dirumahnya.

Sesampainya disana, Sakura tak luput dari bisikkan dan godaan para lelaki jalang itu, yang entah sudah berapa umur mereka dengan tampang yang tidak sesuai. Ayolah kau pikir wajah tampan tak memungkinkan mereka sudah bekeluarga?

Gadis itu menoleh dan menelusuri setiap sudut Bar ini, mencari sosok yang kini Ia cari dan…

"Ayah." panggil Sakura saat melihat sosok laki-laki paruh baya –dengan dua wanita cantik disampingnya.

Sang ayah terlonjak kaget, menghampiri Sakura dengan tatapan emsoi. "Kau, kemana saja se –"

"Aku akan menuruti ayah, tapi dengan satu syarat." ujar Sakura tanpa mendengarkan sang ayah.

Laki-laki paruh baya itu mengerutkan alisnya, "Kau,"

Sakura menarik napas dalam dan menghembuskannya perlahan, "Rawat dan jaga Ibu baik-baik."

Sang ayah menyeringai penuh kemenangan, "Jangan khawatir, asalkan kau mengikuti perkataanku."

Sakura, gadis itu sudah membulatkan tekad agar sang Ibu terlepas dari jeratan kelam sang ayah. Mengorbankan diri adalah cara satu-satunya, toh jika memang yang terbaik dia juga tidak akan keberatan. Mungkinkah? Yang sedang dibicarakan adalah masa depan, yang dengan paksa ditentukan oleh sang ayah –dengan tujuan membebaskannya dari hutang.

Wajar kah?

"Kalau begitu, ikut aku."

::

::

Don't leave me alone

Naruto © Masashi Kishimoto

::

::

Emerald gadis merah muda ini bergerak pelan namun pasti, menelanjangi pemandangan mewah didalam Manshion ini. Mungkin, sudah sering Ia melihat keGlamour-an seperti ini, namun rasanya ada yang berbeda.

Tapi apa?

Gadis itu duduk disalah satu sofa samping sang ayah, menunggu sang empu istana mengeluarkan suaranya. Kedua manusia itu tengah menatap Sakura Intens, mungkin sejak pertama kali Ia memasuki ruangan ini.

Sakura sendiri sangat terganggu, apa menariknya sih memandangi gadis seperti dia? cantik? rasanya tidak, pastinya menurut mereka dari kalangan atas.

"Jadi, kau Sakura?" Tanya sosok wanita berambut hitam panjang.

Sakura mengangguk seraya tersenyum lembut, "Yoroshiku, Mikoto-sama."

Wanita itu tersenyum simpul, mengangguk dan kembali menoleh pada sang suami. "Bagaimana, ayah?"

Sakura mengernyitkan alis, bagaimana apanya? bukankah memang sudah menjadi keputusan mereka menjadikan dirinya sebagai pengganti hutang –untuk dinikahi, tapi dengan siapa.

Gadis itu mencengkram rok mininya, bagaimanapun ini sudah keputusan yang mutlak. Ia harus meninggalkan kenangan tentang perasaannya. Akh, dia teringat kediaman Namikaze, bagaimana jika dirinya benar-benar akan menikah? Masih bisakah Ia menemui mereka? Teman-temannya sesama Maid, dan juga ketiga Namikaze tersebut.

Oh Kami-sama, dirinya sungguh merindukan suasana disana, padahal baru beberapa jam meninggalkan tempat itu. Suasana yang begitu ramah meski ada sang tuan muda yang agak menyebalkan, tapi jujur Ia menyukainya. Hey!

"Kita serahkan saja padanya." Ujar laki-laki paruh baya itu –pemimpin clan Uchiha. "Hizashi, kau akan menerima segala keputusan anakku bukan?"

Ayah Sakura –Hizashi, mengangguk mantap, "Tentu tuan."

Sang pemimpin clan Uchiha itu hanya ber'Hn' saja, wajahnya Ia tolehkan pada sosok kacamata yang sedari tadi beridiri disampingnya. "Bagaimana, Kabuto?"

"Tuan muda sedang dalam perjalanan." ujar Kabuto mengangguk sopan.

Sakura yang mendengarkan itu semua hanya bisa diam, apapun yang akan terjadi ia akan berusaha untuk menerimanya. Ia masih menundukkan wajah meski kenop pintu besar diseberang sana berputar.

CKLEK.

"Aa, ternyata dia sudah datang." Ujar sang pemimpin Uchiha.

Menunjukkan sosoknya setelah menutup pintu, senyum berkembang diwajah tampan itu. Rambut Emo itu terlihat sangat jelas saat sang empu membungkukkan badan, "Tadaima, Tou-san."

Mikoto menghampiri sosok itu dan merangkul bahunya –mengiringnya kesofa dan duduk disebelah wanita itu, "Sasuke, inilah gadis yang Tou-san bicarakan." Ujarnya.

"Aa." Sasuke menatap Sakura Intens.

Sakura? sedari tadi gadis itu terpaku melihat sosok yang telah masuk keruangan ini. Bukan karena pesona atau tampangnya yang kelewat tampan, tapi karena Ia begitu mengenalnya. Ya, teman dari –akh bahkan sahabat dari sang majikan Namikaze Naruto.

Mungkin Sasuke tak mengenal Sakura karena sikapnya yang tidak peduli alias cuek, tapi gadis itu malah mengenal Sasuke dengan baik, tahu tentang sifatnya juga kemesumannya pada wanita manapun.

'Apa maksudnya ini?' batin Sakura bingung.

Untuk apa ada simesum Sasuke disini? apa mungkin dia bagian dari Uchiha? akh dia belum tahu itu.

"Apa keputusanmu, Sasuke?" tanya Mikoto.

Sasuke menyender pada sofa dan menopang kakinya, "Tanpa diminta pun, aku sudah mau menikahinya."

Eh? menikahi siapa? Sakura menatap Sasuke bingung.

Sang pemimpin Uchiha bangkit seraya mengambil ponsel dari balik saku-nya, "Baiklah, tentukan tanggal pernikahannya," Ujarnya datar. "Aku ada urusan."

Dengan begitu, Ia pun pergi dengan beberapa Bodyguard dan Kabuto dibelakangnya. Meninggalkan beberapa orang disana termasuk Sakura –yang tengah menunggu penjelasan langsung dari nyonya besar Uchiha ini.

"Jadi, Sakura." ujar Mikoto. "Kau akan menikah dengan Sasuke."

CTARRRR! Sakura membulatkan matanya, menutup mulutnya yang reflek terbuka tak percaya. Apa maksudnya itu? menikahi Sasuke, jadi selama ini Ia akan dinikahkan dengan laki-laki itu?

Kami-sama, cobaan apa lagi ini.

"Hizashi-san, anda bebas menentukan tanggal pernikahannya." ujar Mikoto sopan.

Hizashi menopang dagu, matanya melirik sang anak yang tengah menunduk dalam kemudian menyeringai. "Saya serahkan saja pada Sakura, nyonya."

Sakura mendongkak –menatap sang ayah bingung, mengapa harus dirinya? oh ini lebih menyakitkan dari apapun juga, bagaimana tidak? kau sendiri yang menentukan masa depanmu yang jelas-jelas bukan keinginanmu.

"A-aku, aku…" Sakura tak tahu harus bicara apa, bibirnya sungguh ngilu untuk mengatakan sesuatu.

Sasuke menatap Sakura datar, baginya tidak ada yang menarik dari gadis itu, tapi jika ada berlian didepan mata masa akan diam saja? Ia menyeringai, lumayan jika untuk sekedar hiburan –pikirnya.

'Tapi, rasanya aku pernah melihatnya.' batin Sasuke.

"Jangan dipaksakan, kau boleh menjawabnya lain waktu." ujar Mikoto saat melihat kebingungan Sakura.

Itu tahu! Sakura sangat memaksakan kehendaknya untuk mengikuti skenario sang ayah –tapi ini juga demi keluarganya.

Gadis itu mengangguk lalu tersenyum, "Arigaotu, Mikoto-sama." wajahnya Ia tolehkan pada Sasuke. "Maaf jika saya mengecewakan anda, tuan." Ujarnya se-sopan mungkin.

Deg! Sasuke terpaku saat Emerald itu menatapnya –meski tak ada yang berarti dari tatapan itu. Hatinya berdesir. Dengan cepat, laki-laki itu membuang pandangannya.

'Sial, aku ini kenapa?'

"Baiklah, hubungi kami jika kau sudah menentukannya." Mikoto tersenyum kearah Sakura.

"Hai."

"Eh? Sasuke, kau mau kemana?" Tanya wanita paruh baya itu saat melihat sang anak beranjak dari tempatnya.

Sasuke menoleh sebentar, "Urusanku sudah selesai kan? aku ngantuk." –lalu melenggang pergi.

Sakura menatap datar kepergian laki-laki itu, Ia tak menyangka jika dia-lah yang akan menjadi pendampingnya. Jodoh? Ia tak mau itu.

Kembali menundukkan kepala dan menutup mata, berharap semua ini hanyalah mimpi. Bangun esok pagi dengan sosok yang akan menyelamatkannya dari keburukan nasibnya kelak.

'Aku mohon.'

::

::

::

::

"Naruto!"

Sang pemimpin Namikaze ini mencengkram tangannya kuat, didalam sana –sang anak tak lagi berteriak, tapi itu malah membuatnya semakin kahwatir. Segera Ia tolehkan wajahnya pada kedua Bodyguard itu dan menganggukkan kepala.

Mereka pun segera mengambil posisi dan bersiap mendorbrak pintu besar itu dan…

BRAK! Berhasil, pintu dapat terbuka dengan paksa –memperlihatkan sosok yang tergeletak tak berdaya didepan sana.

"NARUTO!"

Minato dan Kushina segera berlari dan merengkuh pemuda Blonde itu –sedang terengah-engah dan menutup mata. Minato segera memerintahkan beberapa pelayannya agar membawa Naruto kerumah sakit.

Kushina memandang sang anak lirih, "Bertahanlah nak." Pintanya.

::

::

::

::

Sebuah mobil Merci hitam melaju tenang ditengah kerumunan kota Konoha, membawa kedua sosok yang terdiam satu sama lain. Gadis bersuari merah muda ini sesungguhnya enggan jika harus diantar dengan mobil semewah ini –baginya berlebihan. Toh rumahnya tak terlalu jauh dari kediaman Uchiha.

Tapi sang ayah malah dengan senang hati menerima tawaran itu.

Sakura memandang keluar jendela mobil dengan tatapan kosong, Ia sungguh tak percaya dengan apa yang terjadi hari ini. Padahal jika ingin diminta melunasinya, pasti Ia akan melakukannya dengan baik –tapi dengan cara yang sama. Uang dibayar dengan uang, bukan seperti ini.

Meski butuh bertahun-tahun untuk mengumpulkan uang sebanyak yang dipinjam sang ayah, Ia rela.

Sosok laki-laki paruh baya disampingnya ini masih sangat Ia hormati sebagai seorang ayah, walau sikap juga sifatnya selalu akan mengorbankan siapapun. Rasa kasih sayang Sakura begitu besar pada keluarga, harusnya Hiazshi tahu itu. Namun Ia begitu keji untuk sekedar mengakuinya.

Yang ada dipikiran laki-laki itu hanyalah uang dan kesenangan duniawi.

Sakura meraih ponselnya didalam saku, Ia menyalakan benda canggih itu yang sempat dimatikan saat berkunjung ke kediaman Uchiha, tidak sopankan jika ada yang menelpon ditengah pembicaraan.

Matanya membulat saat melihat beberapa –akh puluhan panggilan dari nomor yang sama. Dari Ayame, sebenarnya ada apa?.

Sabita kokoro no tobira no kagi wa

Itsumo chikaku de waratte iru kara
Katachi no nai yorokobi wo mitsuketai kara

Ponsel Sakura begetar, Ia segera mengambil dan melihat nama pemanggil yang tertera dilayar itu, 'Ayame-san?' Pikirnya.

"Moshi-moshi?" Sakura ber-ujar.

"Maaf Sakura jika aku mengganggu, tapi bisakah kau kerumah sakit sekarang?" Ayame terdengar panik.

Sakura mengernyitkan alis, keRumah sakit? "Memangnya ada apa, Ayame-san?"

"Tuan muda sedang dalam keadaan kritis, nyonya besar ingin kau segera kemari."

Apa? Naruto sedang kritis?

Sakura membulatkan matanya, apalagi ini?. "Baiklah, aku akan segera kesana."

Gadis itu menoleh pada sang ayah –yang masih menolehkan wajah keluar jendela, enggan berbicara sedikitpun dengannya. Sakura tahu jika sang ayah mendengar percakapannya barusan tapi tidak mau menanggapi.

"Ayah." Sakura mulai bersuara.

"Pergilah."

Sakura tersentak, apa dia salah dengar? Sang ayah mengizinkannya tanpa ada sebuah paksaan terlebih dahulu.

"Kau juga boleh menyelesaikan pekerjaanmu dikediaman Namikaze itu," Ujar sang ayah. "Setelah selesai, kau harus kembali dan segera menikah dengan Sasuke-sama."

Sakura mengangguk lemah, Ia tersenyum lembut pada ayahnya. "Terimakasih, ayah."

Setidaknya Sakura bisa pamit dengan cara yang lebih baik dengan mereka semua yang ada disana, meski mungkin pertemuan terakhir. Namun Ia sungguh berterimakasih.

"Juugo-san, tolong antar saya keRumah sakit Konoha." pinta Sakura pada sang sopir.

"Baik, nona."

::

::

::

::

Berlari ditengah kegelapan tak berujung seorang diri

Sosok itu tak menghentikan langkah dan pandangannya menelusuri lorong dengan tanpa pencahayaan sedikitpun, hanya sinar bulan nan redup itu. Napasnya kembali terengah saat rasa sakit kembali menjalar diseluruh tubuhnya, membuat lutut itu bergetar hebat dan tak kuat menopang berat tubuhnya.

Ia kembali bangkit dan melangkah tertatih-tatih.

Rasa tak pantas hidup memang cocok untuk dirimu yang begitu kotor

Ada, sebuah cahaya yang begitu kecil bagaikan titik bintang nan jauh disana. Sosok itu berlari dan tersenyum senang, coba menggapai cahaya itu namun begitu cepat menghilang. Ia terduduk lemas saat hal itu kembali berulang tanpa akhir. Berharap dalam hati jika ini mimpi Ia akan segera bangun dan menghadapi pahitnya hidup yang nyata.

Kembali, kau mendustakan kepercayaan mereka dan berpaling seperti tak memiliki hati

Sakit, seluruh tubuhnya merasakan sakit yang teramat sangat, bahkan didada. Mencengkram bagian itu kuat, tak sadar cairan liquid-nya mengalir deras dalam diam. Menyesali kesalahan yang tak pernah Ia bongkar selama ini, memendamnya seorang diri.

"Maafkan aku." Ujarnya lirih.

Ingin kau menghentikan waktu dan memutarnya secara sepihak

"Naruto!"

Sosok itu mendongkak, mencari sumber suara merdu yang bergema itu.

"Naruto!"

Mencoba berdiri dan berlari dengan tujuan yang berbeda dari sebelumnya

"Naruto, bertahanlah."

::

::

"Naruto, Kaa-san mohon bertahanlah." ujar Kushina tak henti-hentinya.

Menatap lirih wajah pucat sang anak, tubuh itu sungguh tak berdaya saat beberapa dokter membawanya keruang UGD. Blueshappire-nya sangat redup, sungguh seburuk apapun sikapnya namun Naruto saat ini bukanlah Naruto yang Ia kenal.

"Ka, Kaa-san."

Blam. Pintu itu tertutup, Kushina tetap memaksa masuk jika sang suami tidak menghalanginya –menenangkan wanita itu bahwa sang anak pasti akan baik-baik saja. meski dirinya sendiri sedang dihantui rasa khawatir yang amat sangat.

"Tenanglah, Kushina." ujar Minato. "Naruto akan baik-baik saja."

Kushina menggeleng lemah, "Naruto, Naruto."

"Kami harus melakukan operasi, ginjal dan saraf motoriknya sudah terluka parah."

Kushina mengeratkan kedua tangannya didepan dada, menatap pintu itu penuh harap. Kini sang anak sedang berjuang didalam sana, sebagai seorang Ibu patutlah rasa khawatir bisa sebesar ini –terlebih pemuda Blonde itu adalah anak semata wayangnya.

"Sakura, Sakura."

Blueshappire wanita itu melirik kelorong sebelah kanan, Ia masih belum melihat sosok yang sejak tadi ditunggu –yang mungkin akan sangat membantu.

"Dimana Sakura, Ayame?" tanya Kushina.

Ayame membungkuk sopan, "Sedang menuju kemari, nyonya."

Cklek. Tiba-tiba pintu terbuka, memperlihatkan sosok laki-laki paruh baya dengan jubah dokternya. Menggeleng lemah dan menatap kedua Namikaze tersebut.

"Obat penenangpun tak mempan, Naruto-sama masih dalam keadaan sadar," Ujar sang dokter. "Jika begini terus, kami tidak bisa melakukan operasi cepat."

Kushina terduduk lemas, Minato segera memeluk sang istri dan kembali menenangkannya.

"Mungkin harus ada yang menemaninya, terutama Sakura," Sambung dokter itu. "Naruto-sama terus menyebutkan nama itu."

Kushina dan Minato saling bertatapan, mereka sudah tahu itu. Sama halnya dengan beberapa pelayan dan Bodyguard –mereka semua menunggu kehadiran gadis itu.

"Maaf."

Semuanya menoleh kesumber suara, menatap sosok dengan surai merah muda sepunggungnya –tengah berlari dan melambaikan tangan. Berhenti sejenak mengatur napas dan berjalan cepat.

"Maaf aku ter–"

"Sakura?" Tanya sang dokter menunjuk Sakura.

Gadis itu mengangguk dengan tatapan bingung.

Sang dokter segera menyeret Sakura memasuki ruang UGD, meninggalkan sisa tanda tanya besar dibenaknya. Menatap semua orang termasuk kedua namikaze itu bingung –yang tengah tersenyum dan menatapnya penuh harap.

"Tolong dia, Sakura." gumam Minato.

Blam.

::

::

Emerald gadis itu menatap sosok yang tengah terbaring diatas tempat tidur pasien, begitu rapuh dan lemah, sangat berbeda dengan dirinya yang angkuh dan tak kenal ampun.

Kaki jenjangnya melangkah, mendekati sosok pirang itu. Sedikit tersentak karena Blueshappire-nya masih terbuka meski sedikit. Melirik gadis itu lama, kemudian tersenyum begitu samar.

"Ka-kau, datang." Ujarnya lemah.

Gadis itu –Sakura, duduk dibangku samping Naruto dan memandangnya lirih. "Maaf Naruto-sama, tidurlah sebentar." Pintanya. "Biarkan para dokter menyembuhkanmu."

Penenang, bagi mereka yang ada diruangan itu menganggap Sakura sebagai obat penenang pasiennya. Dengan suara nan merdu Ia lantunkan kata-kata penyemangat dan doa bagi pemuda itu.

Naruto menggeleng, "Aku benci disuntik, dan bau obat-obatan itu membuatku muak."

Oh ayolah, keadaanmu sedang tak mendukung untuk semua cemoohan itu, Naruto.

Sakura bersabar, semua kata-katanya seungguh tak berarti bagi pemuda itu. "Lalu, saya harus apa agar anda mau menurut."

Naruto menolehkan kepalanya lemah, sejujurnya rasa nyeri itu tak bisa tertahankan semenjak sadar dari pingsannya. Namun entah kenapa sedikit kekuatan muncul untuk sekedar melihat sosok disampingnya.

Hey, dia benar-benar jujur rupanya!

"Kalau begitu," Naruto menggenggam tangan mungil Sakura. "Cium aku."

Tak hanya Sakura, beberapa dokter dan suster disana ikut membelalakkan matanya. Sungguh nekat dan langka ada pasien seperti ini –ditengah keadaan kritis masih bisa meminta hal gila.

Sakura menghela napas berat, "Setelah itu, berjanjilah agar mau sembuh."

Naruto mengangguk.

Kami-sama, yang akan Sakura lakukan adalah hal pertama dalam hidupnya. Bahkan Firstkiss ini Ia relakan untuk sang tuan muda. Terdesak eh? nyatanya tidak ada pertentangan apapun dalam diri Sakura, apa artinya Ia sendiri tak keberatan?

Gadis itu mendekatkan kepalanya pada Naruto, memejamkan mata dan memosisikan diri sebaik mungkin. Berbeda dengan Naruto, pemuda itu malah membuka mata dan menatap aksi Sakura. Sesungguhnya ciuman itu juga pertama bagi Naruto.

Cup.

Semua yang ada disana hanya bisa terpaku saat bibir keduanya berpagutan, berciuman tanpa napsu hanya sekedar permintaan. Diantara para suster, ada juga yang menutup mata dan wajah mereka yang memerah.

Sungguh kejadian langka.

Sakura melepaskan ciumannya dan menoleh pada sang dokter, mengangguk mantap dan memberi kode.

"Baiklah, sudah waktunya penyembuhan anda, tuan." Ujar salah satu dokter.

Berakhir dengan rintihan sakit yang keluar dari mulut Naruto karena suntikan, akhirnya operasipun dimulai.

::

::

::

::

20.48 –Konoha Hospital

Dua jam penuh saat terakhir operasi dilaksanakan, masih belum ada kabar dari dalam. Mereka semua sedang dilanda kekhawatiran, bertanya-tanya apakah berjalan lancar?.

Minato menatap Kushina yang kembali mondar-mandir dan menggenggam kedua tangannya erat, mengucapkan kata-kata yang mengandung harapan besar bagi kesembuhan sang anak. Meski tubuhnya sudah digerumuti rasa letih, namun sepertinya kegundahan didalam hati begitu besar hingga semua itu tidak dirasakan.

Wajah cantiknya tak kunjung lepas dari pintu yang menghubungkan sang anak didalam sana, sedang berjuang melawan sakit dengan beberapa hal yang sesungguhnya Ia benci. Dan kembali, Blueshappire-nya menatap arloji itu –berjalan tanpa henti dan menunjukkan betapa tidak terbatasnya makhluk bernama waktu.

Cklek.

Tiba, waktu yang sangat ditunggu akhirnya tiba. Pintu itu terbuka dan kembali memperlihatkan sosok –akh tapi beberapa dokter dan suster rumah sakit itu. Mereka membungkuk sopan dan tersenyum pada Kushina juga Minato.

"Operasi berhasil, setelah ini Naruto-sama harus banyak beristirahat." Ujar sang dokter.

Kushina menitikkan air mata, mengucapkan kata-kata syukur tanpa henti. "Dokter, apakah kami bisa membesuknya sekarang?" pinta Kushina.

Sang dokter mengangguk, "Tentu."

"Kalian tunggulah disini." perintah Minato mengikuti sang istri memasuki ruangan itu.

Semua pelayan dan Bodyguard Namikaze segera membungkuk hormat. "Haik!"

Kushina segera berlari kecil dan menghapiri Naruto, pemuda itu tengah tertidur tenang. Blueshappire-nya menatap gadis merah muda yang kini membungkukkan badan dan tersenyum kerahnya.

"Kushina-sama, Minato-sama." ujar Sakura.

Perlahan namun pasti, wanita paruh baya itu memeluk Sakura erat dan kembali menangis tertahan. "Terimakasih, Sakura."

Sakura menggeleng seraya membalas pelukan Kushina. "Berterima kasihlah pada Kami-sama, nyonya."

Minato menghampiri sang anak dan membelai helaian Blonde itu, "Tapi sungguh, kau juga banyak membantu, Sakura."

Kushina melepaskan pelukannya dan memandang Naruto, rasa khawatirnya terbayar sudah. Sosok itu kini terlihat lebih baik, dan tentunya Ia berharap akan menjadi lebih baik.

"Apakah saat saya pergi, tuan muda kembali meminum Wine itu lagi, nyonya?" tanya Sakura.

Kushina mengangguk lemah, jemarinya mengelus pipi Naruto. "Dia sangat susah diatur."

Hati Sakura mencelos, orangtua mana sih yang tega melihat anaknya seperti ini? terkecuali ayahnya, mungkin. Tapi Kushina dan Minato kan berbeda, mereka sangat menyayangi Naruto meski seberapa bencinya pemuda itu pada mereka. Entah apa alasannya, tapi Sakura benci melihat sikap tidak peduli pada diri Naruto.

"Ngomong-ngomong, Ayame bilang sejak tadi kau sangat sulit dihubungi," ujar Kushina menoleh pada Sakura. "Kenapa?"

Sakura mendongkakkan wajah dan tersenyum kaku. "A-ano, itu…"

::

::

::

::

TbC

::

::

::

::

A/N : "Minna-chan, hehe dikit atau banyak nih?, habisnya chibi takut telat lagi kalau banyak :p *plak alas an gak logis!, untuk cemua yang sudah review syudah chibi baca, tapi maaf kalau ada saran belum bisa chibi kabulkan dichapter 2 ini, karena apa? Karena data ini juga data beberapa tahun lalu jadi gax mungkin chibi rubah T.T, ^0^ mungkin dichapter depan chibi akan realese saran dari para kalian cemua dichapter ini, silahkann *Duakk!

Dewa Mata Nochi Hodo ^^