Moon In The Dark Sky © Yue. Aoi

Naruto © Masashi Kishimoto

Rate : M (For Story Theme)

Genre : Romance/Hurt & Comfort

Character : Sasuke.U, Sakura.H

Note : Sakura Centric, OOC

.

.

Aku menatap iris onyx yang memandangku dengan tatapan dingin yang seolah memintaku untuk segera pergi. Aku membalas tatapan itu, berusaha menemukan kehangatan dan sedikit kelembutan yang dulu selalu kudapati di iris onyx itu.

Aku tak lagi menemukan kehangatan itu. Kehangatan itu telah sirna dan kini yang terlihat hanyalah tatapan dingin, seolah kehangatan itu hanya ilusi yang tak pernah ada.

"Hisashiburi, Sasuke-kun." Aku mengakhiri kalimat dengan senyuman, berharap bila pria itu juga membalas senyum ku.

Sasuke memandang sekeliling sebelum menatapku dengan tajam. Terlihat jelas jika pria itu sangat terganggu dengan keberadaanku.

"Siapa kau?"

Aku tersentak. Hati ku terasa sakit, namun aku menutupi nya dengan senyuman. Aku berusaha tersenyum selembut mungkin seolah tak terjadi apa-apa, karena pria itu adalah pasien ku saat ini dan juga seseorang yang pernah kukenal di masa lalu.

"Aku adalah Haruno Sakura, dokter yang bertugas menangani mu."

"Hn."

Pria tak menampilkan senyum di wajah nya, namun aku bersyukur karena setidaknya dapat mendengar suara nya. Aku bahkan tak menemukan kelembutan yang biasanya tersirat didalam suara pria itu. Aku merasa benar-benar asing.

Aku mengeluarkan sebuah stetoskop dari jas putih milikku dan menggunakan nya. Aku mengarahkan ujung stetoskop dan menatap kemeja hitam pria itu, berharap ia mengerti apa maksud ku. Seolah mengerti apa yang kumaksud, ia melepaskan kemeja nya.

Aku terkesiap ketika tatapan ku mendapati tubuh bagian atas Sasuke itu yang kini telanjang. Beberapa tahun telah berlalu dan tubuh pria itu tetap indah dan mengagumkan bagi seorang wanita sepertiku. Namun bukan keindahan tubuh nya yang membuatku terkesiap. Aku bukanlah dokter tidak professional yang akan mengagumi keindahan tubuh pasien ku.

Aku terkesiap mendapati luka-luka di sekujur tubuh Sasuke. Beberapa luka itu cukup lama dan mulai pudar, menyatu dengan warna kulit pria itu dan meninggalkan bekas. Namun beberapa luka itu masih cukup baru dan bahkan terdapat perban putih yang melilit bagian perut nya. Aku juga mendapati tattoo berbentuk naga berukuran cukup besar yang menghiasi punggung tegap nya yang selalu kulihat saat pelajaran renang di sekolah dan membuatku beserta gadis-gadis lain terpesona.

Aku mengarahkan ujung stetoskop itu ke bagian Sasuke dan bersyukur ketika aku dapat mendengarkan detak jantung nya. Aku dapat merasakan tatapan pria itu yang memandangku dengan tajam, seolah menganggapku sebagai ancaman. Aku kembali tersenyum mengetahui jantung pria itu masih berdetak meskipun aku tahu bila jantung pria itu pasti masih berdetak, jika tidak ia tak akan bisa berbaring sambil menatapku.

"Apakah sudah boleh pulang?"

Aku menggeleng.

"Belum. Kau baru saja menjalani operasi dan memerlukan perawatan, Sasuke-kun." Ujarku dengan serius.

Sasuke berdecih kesal dan menatap perban putih yang melilit perut nya dengan kesal. Pria itu bahkan tak menyadari jika aku masih berdiri dihadapan nya.

Sesungguhnya aku tak mengerti kehidupan seperti apa yang dimiliki Sasuke. Pria itu baru saja menjalani operasi pengangkatan peluru yang bersarang di perut nya. Pria itu bahkan memesan kamar VVIP dengan tingkat keamanan yang sangat tinggi ditambah dengan dua pria berbaju hitam yang mengawasi di dekat pintu dan seorang lagi yang mengawasi di sudut ruangan.

Aku menduga bila Sasuke bukanlah orang yang memiliki kehidupan biasa-biasa saja. Jika ia begitu berhati-hati, pastilah banyak orang yang mengincar nyawa nya. Aku menduga bila pria itu adalah orang yang sangat terkenal. Namun aku pernah mendapat pasien seorang aktor yang sangat terkenal baik di dalam maupun diluar negeri dan ia tidak sampai menjaga keamanan hingga seperti ini.

"Ano… ada sesuatu yang ingin kukatakan padamu. Namun bisakah kita berbicara hanya berdua saja." Aku menatap amplop coklat di tangan ku dengan ragu.

Sasuke menatapku dengan sangat tajam dari ujung kaki hingga kepala. Kurasa ia menduga apa maksud dari ucapanku dan aku segera menjelaskan nya.

"Ini mengenai kondisi kesehatan mu."

"Tak bisakah kau mengatakan nya sekarang saja?"

"Tentu saja jika kau tidak keberatan bila orang lain mengetahui hasil pemeriksaan kesehatanmu."

Sasuke melirik pria berbaju hitam yang sejak tadi mengawasiku sambil menyentuh jubah nya. Aku menduga bila pria itu adalah seorang body guard, namun penampilan pria itu terlalu sangar dan mencurigakan sebagai seorang body guard.

"Ibiki, bisakah kau keluar sebentar? Masuklah kembali ketika dokter itu sudah keluar dari ruangan."

Pria bernama Ibiki itu terlihat ragu, namun ia tak berani menolak perintah Sasuke. Ia segera menjawab, "Baiklah, Sasuke-sama."

Aku melirik pria bernama Ibiki yang segera bangkit berdiri dan meninggalkan ruangan. Ketika pria itu telah meninggalkan ruangan, aku segera mengeluarkan amplop coklat itu dan berkata dengan hati-hati.

"Apakah kau sudah siap jika mendengar penjelasanku, Sasuke-kun?"

"Hn."

Aku menatap wajah Sasuke. Aku tak mendapati sedikitpun keraguan dalam intonasi suara dan tatapan pria itu. Namun aku sendiri yang merasa bingung memikirkan cara yang tepat untuk memberikan penjelasan.

"Kuharap kau tidak terkejut, Sasuke-kun."

Sasuke menatapku dengan tidak sabar. Iris onyx itu berkilat penuh dengan emosi. Aku terkejut, sejak kapan Sasuke dapat menatapku seperti ini? Sasuke yang pernah kukenal beberapa tahun yang lalu tidak seperti ini. Sasuke yang dulu kukenal dan Sasuke yang kutemui saat ini adalah orang yang sama meskipun sulit bagiku untuk mempercayai nya. Wajah tampan dengan iris onyx sekelam langit malam, hidung mancung dan bibir merah tipis serta kulit putih bagaikan porselen itu masih tak berubah. Ia masih tetap menawan, tak peduli seberapa banyak ia telah berubah.

"Langsung saja pada inti nya."

Aku menghela nafas dan membuka mulut untuk memberikan penjelasan. Tenggorokanku seolah tercekat dan mulut ku terasa benar-benar kering.

"Ini hasil pemeriksaan untuk seluruh tubuh mu. Terdapat sesuatu yang abnormal di otak mu."

Aku mengeluarkan hasil pemeriksaan Sasuke. Ia meminta pemeriksaan seluruh tubuh kemarin dan hasil nya telah keluar beberapa jam kemudian. Namun aku menunda untuk memberitahu nya karena hasil pemeriksaan itu tak akan menyenangkan baginya.

"Terdapat sel kanker yang berkembang di otak mu. Saat ini telah mencapai tahap dua." Ujarku dengan serius. Aku bahkan sedikit menundukkan kepala, tak berani melihat ekspresi Sasuke.

Aku menunjukkan foto hasil pemeriksaan itu pada Sasuke yang menatap nya dengan ekspresi datar.

"Masih ada harapan bagimu untuk sembuh, Sasuke-kun." Ujarku dengan nada yang terkesan berusaha menenangkan. Aku yakin bila ia akan 'meledak' sebentar lagi. Mayoritas pasien ku terkejut jika mengetahui mereka mengetahui sel kanker berkembang di tubuh mereka dan beberapa bahkan histeris, begitupun dengan keluarga nya. Aku bahkan pernah mendapati beberapa pasien yang langsung menangis sesengukan dihadapanku, tak hanya wanita, namun juga pria.

"Hanya itu yang ingin kau sampaikan, Sakura?"

Aku terkejut dan segera menatap Sasuke yang sedang menatapku. Ia terlihat sangat tenang seolah berita yang kusampaikan adalah sesuatu yang tak berarti. Ekspresi dan intonasi suara nya datar. Ia bahkan terkesan tidak begitu peduli dengan penjelasanku.

"Ya."

Kami berdua saling terdiam dan ia menatapku dengan tatapan yang seolah mengusirku. Aku membalas tatapan nya dan segera berkata, "Kalau begitu aku akan keluar. Jagalah kesehatanmu, Sasuke-kun."

Aku membalikkan badan dan melirik Sasuke dengan ekor mata. Ekspresi wajah pria itu masih tak berubah dan ia sama sekali tak menatapku. Beberapa tahun yang lalu ia takkan bersikap seperti ini padaku. Ketika aku hendak meninggalkan nya, ia akan mengucapakan selamat tinggal sambil melambaikan tangan dan tersenyum atau setidaknya menggumamkan gumaman 'hn' khas nya.

Waktu dapat mengubah segala hal, baik mahluk hidup maupun benda mati. Begitupun dengan Sasuke, waktu telah mengubah penampilan kepribadian dan bahkan hati nya. Kurasa, mungkin akupun juga telah berubah tanpa kusadari dan kami berdua tak bisa lagi seakrab dulu. Aku memanggilnya dengan suffix –kun, namun aku merasa begitu jauh dengan nya.

Rasa penasaran terus mendesakku, seolah jika aku tidak menghapusnya dengan jawaban maka perasaan itu akan menghantuiku sepanjang sisa hidupku. Aku menolehkan kepala dan kembali menatap Sasuke.

"Sasuke-kun."

"Hn?"

Sasuke tak menatapku, ia bahkan lebih memilih untuk melirik layar ponsel nya.

"Aku ingin bertanya padamu."

Sasuke tak menjawabku atau menganggukan kepala. Namun aku mengartikan reaksi nya sebagai 'ya'.

"Apakah kau tidak merasa takut atau khawatir dengan kondisi kesehatanmu?"

"Haruskah aku menjawabmu?"

Aku terkejut dengan reaksi pria itu. Kata-kata itu seolah menusuk hati ku, membuat perasaanku benar-benar tidak enak.

"Tidak. Kau tidak perlu menjawab nya."

Sasuke kembali menatapku dengan tajam dan sinis. Jika tatapan dapat membunuh seseorang, kurasa aku akan mati sejak pertama kali melangkahkan kaki ke ruangan ini.

"Aku tidak peduli dengan kesehatanku."

Kurasa Sasuke menangkap rasa penasaranku dan memutuskan untuk menjawab pertanyaanku meskipun aku meminta nya untuk tidak menjawab. Aku benar-benar tidak suka dengan jawaban pria itu. Sebagai seorang dokter, aku peduli dengan kesehatan dan menginginkan setiap orang juga peduli dengan kesehatan.

"Mengapa? Kau harus peduli pada hal itu, Sasuke-kun. Jika kondisimu memburuk, nyawa mu berada dalam bahaya dan keluargamu akan khawati-"

Ucapanku terputus. Tatapan Sasuke yang ditujukan padaku begitu menakutkan dan terlihat kekesalan di wajah tampan nya. Ia melangkah maju dan aku dengan refleks melangkah mundur. Tatapan nya membuatku merasa takut dan tubuhku bergetar.

PLAK! Sebuah tamparan mendarat di wajah ku. Tamparan itu begitu keras hingga wajahku begitu memerah. Iris onyx Sasuke yang menatapku berkilat akibat emosi yang terpancar dibalik tatapan nya.

"Itu bukan urusanmu, Sakura." Ucap Sasuke dengan sinis. Ia terlihat sangat jengkel dan benar-benar terganggu. "Jangan bersikap seolah kau mengenalku. Kau bukan siapapun dan tak berhak mengurusi hidupku."

Nyut.. nyut… hati ku terasa benar-benar sakit. Terkesan berlebihan, namun aku benar-benar merasakan nya. Rasa sakit itu nyata dan sulit untuk ku deskripsikan. Jantung ku seolah tertusuk oleh seribu pedang yang menusuk secara bersamaan berulang kali. Dada ku menghangat dan air mata telah menggenang di pelupuk mata ku. Aku membelalakan mata sejenak dan memejamkan mata, berusaha keras agar aku tak meneteskan air mata.

Tanpa mengatakan apapun, aku berbalik badan dan melangkah meninggalkan ruang perawatan Sasuke. Aku bahkan tak menoleh sedikitpun untuk menatap pria itu.

.

.

Aku melangkah dengan pelan sambil menyeret langkah ku meninggalkan ruang perawatan Sasuke untuk mengunjungi kamar pasien lain nya. Rasa panas akibat tamparan Sasuke di wajah ku masih tertinggal, namun hati ku terasa jauh lebih sakit.

Aku tak sanggup membendung air mata ku. Setetes air mata kini mulai mengalir membasahi pipi ku. Dada ku terasa sesak dan aku ingin menangis keras-keras. Aku ingin menangis, bukan hanya karena Sasuke menamparku. Aku juga menangis karena pertemuan pertama ku dengan pria itu berakhir seperti ini dan hidup nya mungkin tak akan lama lagi. Aku tak bisa menerima realita jika Sasuke yang dulu kukenal berubah menjadi seperti ini.

Aku melangkah menuju salah satu kursi di depan ruang operasi yang kebetulan kulewati dan mendudukkan diriku disana. Tak ada seorangpun di koridor dan aku dapat menenangkan diri sejenak sambil menangis diam-diam. Aku menutup wajah ku dengan telapak tangan dan air mata ku mengalir bagaikan air terjun yang mengalir deras.

Aku merindukan Sasuke yang kukenal beberapa tahun yang lalu. Aku merindukan sosok pria yang sangat baik dan selalu tersenyum hangat padaku.

"Doumo, Sakura-chan." Ujar seorang wanita berambut hitam pendek yang sangat kukenal.

Aku segera mengusap air mata ku dan mengangkat wajah ku. Aku menampilkan seulas senyum di wajahku meskipun hati ku masih terasa sakit. Ah, kurasa aku juga cocok menjadi aktris teater dengan kemampuan berpura-pura ku.

"Doumo, Shizune-senpai."

"Kau habis menangis, ya?" Tanya Shizune sambil menatap wajahku lekat-lekat. Wanita itu adalah senior ku di universitas dan kami begitu akrab hingga secara kebetulan dapat bekerja di rumah sakit yang sama.

"Ahaha… tidak." Aku menjawab sambil tertawa canggung.

Shizune tak berkata apapun dan duduk disampingku. Ia memelukku dengan erat sambil menepuk-nepuk punggungku. Ia tahu bila aku menangis, namun ia memilih untuk tak mengatakan nya dan memelukku sehingga perasaanku terasa lebih baik.

"Memendam perasaan itu tidak baik, lho."

Aku membalas pelukan Shizune dan menangis di pelukan wanita itu. Aku menangis keras-keras, meluapkan seluruh kesedihan di hati ku. Jika aku tak melakukan nya, aku tak akan dapat tersenyum pada pasien-pasienku dan bersikap seolah tak terjadi apa-apa.

Ketika perasaanku telah membaik, aku melepaskan pelukanku dan menerima tissue yang telah diberikan Shizune. Shizune menatapku dengan perasaan khawatir.

"Apa yang terjadi padamu, huh? Apakah kau baru putus dengan kekasihmu?"

Aku menggeleng, "Aku tidak memiliki kekasih, tahu."

"Lalu kenapa? Seseorang menolak cinta mu?"

Aku menggeleng. Aku tak sedang berbohong saat ini. Aku memang jatuh cinta pada Uchiha Sasuke, teman masa kecil ku. Namun kini aku merasa seolah Sasuke yang kukenal telah mati. Lagipula Sasuke tak menolak cinta ku karena aku juga tak menyatakan nya.

"Bukan. Aku hanya bertemu teman lama dan ia benar-benar berubah hingga aku sama sekali tak mengenali nya."

"Apakah dia salah satu pasien mu?"

"Hm." Aku mengangguk. ''

Shizune menatappku sejenak dan ia tampak berpikir. Ia menjentikkan jari nya tanpa sadar, hal yang selalu dilakukannya jika ia sudah mengingat sesuatu.

"M-maksudmu Uchiha Sasuke?" Ujar Shizune dengan suara pelan dan menatap sekeliling. Ia khawatir jika seseorang mengawasi kami.

Aku menganggukan kepala. Aku tak mengerti mengapa Shizune terlihat takut. Namun wanita itu terlihat gelisah.

"Kau harus berhati-hati padanya. Sebisa mungkin jagalah sikap dan perkataanmu jika kau sedang bersama nya."

Aku mengernyitkan dahi. Bukankah setiap dokter memiliki ikatan perjanjian dan kode etik? Tentu saja kami harus menjaga sikap dan perkataan terhadap pasien kami. Setiap pasien, siapapun mereka harus dihargai sebagai seorang individu.

"Tentu saja. Kita memang menjaga sikap dan perkataan terhadap setiap pasien, bukan?"

"Yang ini berbeda. Pokoknya kau harus hati-hati." Ujar Shizune dengan serius dan ia berbisik di telinga ku. "Seharusnya aku yang ditunjuk untuk bertanggung jawab atas pengobatan nya. Namun aku menolak dan direktur memilihmu. Aku benar-benar takut."

Aku tertawa mendengar ucapan Shizune. Aku tak mengira bila Shizune yang merupakan seorang dokter spesialis terkenal juga dapat menolak pasien hanya karena merasa takut.

"Memang nya ada apa dengan orang itu?"

"Kau sama sekali tidak tahu?" Shizune balik bertanya padaku. Aku menggelengkan kepala untuk menanggapi Shizune.

"Uchiha Sasuke adalah ketua kelompok yakuza yang terkenal sadis dan mampu 'mengurus' setiap pekerjaan dengan sangat rapih sehingga para polisi tidak mengetahui nya dan menganggap sebagai kecelakaan biasa. Sebetulnya isu ini sudah merupakan rahasia umum, namun polisi tidak bisa menangkap karena kekurangan bukti." Shizune berbisik dengan sangat pelan.

Aku terkejut mendengar ucapan Shizune. Sulit bagiku untuk mempercayai seorang Uchiha Sasuke yang berhati lembut dan begitu baik menjadi ketua kelompok yakuza yang begitu kejam dan tak berhati. Namun cukup masuk akal karena tiga orang yang menjaga ruangan Sasuke terlihat mencurigakan dan aku, Karin –temanku sesama dokter yang ikut mengoperasi Sasuke- dan beberapa dokter lain juga diancam untuk tak memberitahukan bila Sasuke adalah pasien kami.

"Aku tak mengira bila ia adalah ketua yakuza sekarang." Ujarku dengan sangat pelan.

Aku bangkit berdiri dan melambaikan Shizune sambil mengeluarkan ponsel untuk melirik jam. Aku sudah menghabiskan sepuluh menit dan saat ini pukul tiga kurang lima menit. Lima menit lagi aku harus tiba di ruangan pasien lain.

"Shizune-senpai, aku harus mengunjungi pasien ku yang lain. Semoga beruntung dengan operasi mu."

Shizune melambaikan tangan padaku dan berkata, "Yang tadi kuucapkan adalah rahasia, ya."

"Tentu saja."

Aku menghapus air mata yang mengering di wajah ku dengan tangan sambil berjalan. Aku mengangkat sudut bibir ku, mempersiapkan diri untuk menampilkan senyum lembut dan ramah pada seorang anak perempuan manis yang merupakan pasienku selanjutnya.

Hari ini bukan ulang tahun ku, namun aku mendapat begitu banyak kejutan yang semua nya berasal dari Uchiha Sasuke. Dan seluruh kejutan itu membuat hatiku terasa benar-benar sakit.

.

.

Aku menarik nafas dalam-dalam. Seluruh tubuh dan pikiranku terasa benar-benar lelah hari ini, seolah seluruh tenaga ku tersedot. Aku masih dapat melihat darah bagaikan sedang menari-nari di pelupuk mata ku meskipun saat ini aku tak lagi berada di ruang operasi.

Malam ini aku baru saja menyelesaikan operasi pengangkatan tumor otak yang dilakukan selama belasan jam. Aku bukanlah dokter kepala yang memimpi proses operasi, namun tetap saja melelahkan karena harus berdiri berjam-jam tanpa kesempatan untuk makan dan minum.

Aku hampir memejamkan mata ku dan tertidur dengan menyenderkan kepala di atas meja yang terdapat di ruanganku sendiri. Namun tatapanku tertuju pada agenda yang terbuka di meja ku.

Iris emerald ku segera kubelalakan lebar-lebar dan bangkit berdiri. Aku segera mengambil sebotol kopi instant yang menjadi senjata andalanku ketika harus menghadapi hari melelahkan seperti ini. Aku membuka mulut ku dan cairan pahit itu mengalir menuruni kerongkonganku. Sungguh ironi, seorang dokter yang seharusnya menjadi panutan bagi orang lain untuk menjalani hidup sehat malah rutin mengkonsumsi cairan perusak kesehatan serta memiliki gaya hidup yang jauh dari kata 'sehat'.

Malam ini aku harus mengunjungi ruang perawatan pasien terakhir ku untuk mengecek kondisi nya dan memberikan obat sebelum tidur. Sebetulnya aku bisa saja meminta bantuan perawat untuk memberikan obat, namun pasien terakhir ini sedikit 'spesial' dan tidak memperbolehkan dokter atau perawat manapun selain dokter yang bertanggung jawab untuk masuk ke ruangan nya.

Aku melangkahkan kaki menuju koridor VVIP room. Ruangan-ruangan itu kosong, seluruhnya telah dipesan oleh pasien 'spesial' ku dan ia sendiri hanya menempati ruangan ketiga dari seluruh ruangan di koridor VVIP room itu.

Jantung ku berdebar keras saat mendapati dua orang di dekat pintu masuk koridor VVIP room dan dua orang lagi di depan pintu ruangan. Aku pernah melihat beberapa dari mereka dan beberapa dari orang itu mengenaliku.

Mereka menghampiri ku ketika aku hendak memasuki ruangan dan menatapku dengan tajam. Salah satu dari penjaga itu bertanya dengan suara berat yang menyeramkan. Aku tak pernah melihat penjaga itu.

"Siapa kau dan apa tujuanmu?"

"Aku Haruno Sakura, dokter yang bertanggung jawab untuk pengobatan Uchiha Sasuke. Aku harus masuk untuk memberikan obat."

Salah satu dari penjaga yang tadi mempersilahkanku memasuki koridor segera menghampiri penjaga itu dan berkata, "Sasuke-sama sudah memberitahu kami bila wanita ini adalah dokter yang bertugas untuk merawat nya."

"Kami akan memeriksa barang-barang mu, nona."

Aku segera melepaskan jas ku dan membiarkan penjaga itu memeriksa nya. Salah satu dari penjaga itu memeriksa dengan meraba-raba kantung celana ku hingga membuatku risih.

"Apa tujuanmu membawa suntikan ini?" Salah satu penjaga mengeluarkan suntikan berisi obat yang kubawa.

"Ini obat."

"Obat apa?" Penjaga itu menatap alat suntik itu dengan seksama. Alat suntik itu masih steril dan dibungkus dengan plastik serta dosis obat yang ditakarkan langsung dari perusahaan farmasi.

Aku segera memberikan penjelasan dengan bahasa yang dapat dimengerti oleh orang awam dan penjaga itu mengembalikan jas putih ku. Aku segera memakai jas itu kembali dan memasuki ruangan setelah mengetuk pintu tiga kali.

Sasuke menoleh ketika mendengar suara pintu terbuka, namun ia kembali mengalihkan pandangan nya. Tirai penutup jendela telah dibuka dan pria itu berdiri di depan jendela sambil menatap keluar. Aku melangkah dengan ragu mendekati nya dan memeriksa kantung cairan infus miliknya. Cairan itu masih terisi setengah dan akan cukup hingga besok pagi.

"Ano… aku ingin memberikan obat untukmu." Ujarku dengan suara pelan dan ketakutan yang tersirat dalam intonasi suaraku.

Sasuke berbalik dan menatapku lekat-lekat. Jantung ku seolah berhenti berdetak dan aku tersadar jika kami berhadapan saat ini. Tubuh Sasuke banyak berubah, ia jauh lebih tinggi dibandingkan saat kali terakhir aku melihat nya di tingkat dua high school.

Ia mengulurkan tangan dan menyentuh dahi ku. Jantung ku berdebar keras saat telapak tangan nya yang lembut mengenai permukaan kulit ku.

"Dahi mu masih tetap lebar,hn?"

Aku tersentak dan memberanikan diri menatap iris onyx Sasuke yang sedang menatapku. Apakah ia masih mengingatku? Aku sungguh berharap bila pria itu masih mengingatku meskipun kemarin ia melupakanku.

Ia menyentuh rambut ku yang sengaja kuikat dengan model ekor kuda dan menarik karet yang mengikat rambut ku. Rambut ku kini tergerai dan aku hendak menyentuh rambut ku untuk memperbaiki ikatan nya. Aku hendak bertanya apa yang sedang dilakukan nya dengan rambut ku.

Sasuke menyentuh rambut ku dan membuat sebagian rambut ku terjuntai ke bagian dada ku.

"Dahi mu tidak terkesan lebar jika seperti ini."

"Arigato gozaimasu." Ucapku tanpa sadar dan memberanikan diri menatap nya. Tatapan yang ditujukan padaku tidak setajam beberapa hari yang lalu. Aku bahkan dapat menemukan sedikit pancaran kehangatan di dalam iris onyx yang menatapku.

"Mengapa kau memperbaiki rambutku?"

"Aku hanya tidak suka dengan penampilanmu."

Aku teringat dengan masa lalu ketika aku dan Sasuke bertemu pertama kali di kindergarten. Saat kecil aku adalah korban bully akibat dahi lebar yang kumiliki. Aku terus menjadi korban bully hingga tahun terakhir di elementary school. Setiap aku menangis, Sasuke dan Naruto selalu melindungiku. Mereka berdua bahkan berani memukul kakak kelas yang membullyku. Aku ingat ketika aku memanjangkan rambut di junior high school atas usul Sasuke dan aku masih ingat betapa bahagia nya aku ketika Sasuke menyebutku cantik dengan rambut panjang,

"Begitukah? Maaf bila kau tak menyukainya." Aku tak mengerti alasan mengapa aku meminta maaf, namun aku tak tahu apa yang harus kuucapkan.

Sasuke tak menjawabku dan ia kembali menatap keluar jendela. Rasa penasaran membuatku ikut menatap kearah jendela. Aku ingin mengetahui apa yang begitu menarik atensi Sasuke hingga ia mau berdiri lama-lama di depan jendela. Aku mencuri pandang untuk melihat apa yang terpantul di iris onyx sekelam malam milik nya.

"Sasuke-kun, aku ingin memberikan obat untukmu."

"Letakkan saja di meja."

"Tidak bisa. Aku harus menyuntikkan obat ini ke tubuh mu."

Sasuke menatapku ketika mendengar kata 'menyuntikkan'. Ekspresi wajah nya terlihat datar, namun ia terkesan ingin mengelak.

"Sebentar lagi."

"Kau harus beristirahat, Sasuke-kun."

Sasuke tak menjawabku dan kembali menatap ke jendela. Rasa penasaran menguasai benakku dan membuatku membuka mulut untuk bertanya, "Apa yang sedang kau lihat, Sasuke-kun?"

Aku meringis ketika menyadari apa yang telah kulakukan. Aku harus bersiap mendapat tamparan, tatapan tajam atau kalimat yang menyakitkan hati.

"Bulan."

Aku tak mengira ia akan menjawab pertanyaanku dengan nada datar. Aku mengira ia akan menatapku dengan tajam.

"Eh?"

"Aku melihat bulan." Gumam Sasuke dengan suara pelan, seolah berkata pada diri nya sendiri.

Aku mengikuti arah pandang nya, menatap bulan penuh yang memancarkan sinar lembut di langit malam yang kelam, sekelam iris onyx Sasuke. Tak satupun bintang terlihat di langit malam ini, dan bulan seolah telah memonopoli langit malam ini.

Aku menoleh kearah Sasuke yang menatap dengan intens. Ia bahkan tak sadar jika aku sedang menatap nya. Aku tak mendapati iris onyx yang sedang menatap tajam, yang kudapati hanyalah mata yang menatap kosong. Kurasa benak Sasuke tak sedang bersama ku meskipun raga nya masih di ruangan ini, berdiri di samping ku.

"Sasuke-kun?"

Sasuke tak menjawabku. Ia masih terus menatap keluar jendela. Namun kini tatapan nya terlihat sendu. Iris onyx itu berkilat, seolah menampung emosi tak terungkapkan.

"Sasuke-kun?" Aku menepuk lengan Sasuke dengan perlahan.

Sasuke menoleh dan tanpa berkata apa-apa segera meninggalkan jendela untuk kembali ke kasur nya.

"Asuma, tolong tutup tirai nya."

Seorang pria berusia tiga puluhan segera berjalan kearah jendela dan menutup jendela ketika mendapat perintah dari Sasuke. Pria bernama Asuma itu sejak tadi mengawasiku dan membuatku gugup.

Aku mengeluarkan jarum suntik yang kupersiapkan dan melepaskan plastik pembungkus nya. Aku menyentuh lengan Sasuke dan menusukkan jarum suntik itu ke bagian nadi Sasuke.

Jarum itu menembus permukaan kulit Sasuke dan pria itu berusaha keras mempertahankan ekspresi datar di wajah nya. Lengan Sasuke terlihat tegang dan ia mengepalkan telapak tangan nya.

Aku hampir tertawa dengan reaksi Sasuke dan menahan nya. Saat elementary school, sekolah memberikan imunisasi gratis dan Sasuke selalu menghindar saat imunisasi. Ia selalu memilih giliran paling akhir dan berteriak ketika disuntik.

Wajah Sasuke terlihat muram dan ia menyentuh lengan nya yang baru saja kusuntik. Sekilas, ia terlihat seperti anak kecil yang kesakitan setelah disuntik.

"Apakah tak ada obat selain suntikan ini?"

"Tidak ada." Aku menggeleng. "Kau takut dengan jarum suntik, Sasuke-kun?"

Sasuke menatapku tajam dan aku segera menoleh ke belakang. Aku mendapati Asuma telah menatapku dengan tajam dan sinis. Tangan nya bersiap mengeluarkan sesuatu dari saku jas nya.

"Nona, tolong jagalah sikap dan perkataanmu dihadapan Sasuke-sama."

Aku meneguk ludah dan segera menundukkan kepala dalam-dalam.

"Moushiwake arimasen."

"Hn."

"Oyasuminasai, Sasuke-kun." Ujarku sambil tersenyum pada nya dan melangkah meninggalkan pria itu. Aku tak menoleh ke belakang maupun berharap pria itu memanggilku. Aku tak ingin berharap untuk sesuatu yang sia-sia.

"Sakura."

"Ya?"

"Oyasumi."

Aku menganggukan kepala dan meninggalkan ruangan Sasuke. Ucapan Sasuke membuat hatiku menghangat. Sungguh sulit dipercaya, namun aku masih mencintai nya meskipun ia bukan lagi Sasuke yang kukenal. Aku ingin berusaha keras untuk menyembuhkan nya, meskipun ia tak menginginkan nya sekalipun, aku tetap akan berusaha keras. Aku tak ingin jika Sasuke meninggalkan hidupku untuk kali kedua.

-TBC(?)-